REVIEW
Politik Militer
Transisi Pasca Reformasi
Kekuatan Politik
yang Menghiasi Perpolitikan Indonesia
Oleh :
Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si
Dalam suatu perjuangan menuju demokrasi, hubungan kekuasaan dalam suatu rezim otoriter di satu pihak tergantung pada kemampuan rezim untuk memimpin para sekutu politiknya, dan untuk mempertahankan persatuan koersinya, dan, di pihak lain, tergantung pada kemampuan kelompok oposan yang demokratis untuk memperkuat dirinya serta untuk menciptakan dukungan bagi sebuah alternatif pemegang kekuasaan[1].
Pasca reformasi Indonesia situasi perpolitikan Indonesia
sejatinya masih belum dianggap mengalami stabilisasi politik. Konflik politik
dan kepentingan yang hanya mementingkan kelompok atau golongan elit politik
sipil, setelah mengambil alih kekuasaan otoriter Orde Baru, belum bisa
memanfaatkan dengan baik situasi kondisi demokrasi seperti ini. Jangan sampai
situasi ini dimanfaatkan oleh beberapa negara Asia lain atau Amerika Latin,
dimana peran militer mengambil alih perpolitikan negara yang dianggap tidak
kondusif. Dengan memanfaatkan situasi demikian tidak menutup kemungkinan,
militer berupaya kembali masuk politik yang dianggap “haram” atau “tabu” selama
ini.
Ditengah-tengah situasi yang rumit itu, tampaknya
masyarakat “menghendaki segera adanya situasi yang “aman” agar mereka dapat
menjalani kehidupan bersama. Dalam rangka itu, masyarakat luas tampaknya mulai
“tidak percaya” kepada elit politik sipil yang hanya “pandai berpolitik
praktis” yang menyebabkan situasi damai tak juga terwujud. Untuk melahirkan
harapan masyarakat itu, mereka pada akhirnya melirik kekuatan yang selama ini
dicurigai, bahkan dihujat karena dukungannya terhadap Jenderal Soerharto Orde
Baru yang otoriter dan korup. Kecenderungan kembali diharapkannya TNI untuk
“ikut” mengambil peranan dalam pemerintahan bangsa-negara , tampak di dalam
hasil polling di Metro TV beberapa
waktu lalu. Hasilnya sekitar 76% peserta memberi suara terhadap (kemungkinan)
kembalinya TNI ke jajaran pemerintahan. Tentu saja hasil polling itu dapar “diperdebatkan”, apalagi peneleponnya berasal
dari Jakarta, namun paling tidak hasil polling
dapat dibaca gejala berubahnya pandangan masyarakat dewasa ini.
Penentangan militer pada era Orde Lama bisa dilihat secara
historis misalnya munculnya DI/TII, Permesta, TKR di Sulawesi untuk menentang
pemerintahan Republik Indonesia. pasukan-pasukan bersenjata organik milik
pemerintah tampak saling bersaing dengan wilayah kekuasaannya masing-masing.
Bahkan diantara batalyon-batalyon itu pernah berkelahi sendiri dalam bentuk
kontak senjata di antara mereka, demikian pula halnya dengan
pasukan-pasukan bersenjata DI/TII dengan
TKR saling bersaing dan bertempur. Dengan demikian ada persaingan internal dan
eksternal diantara pasukan-pasukan itu.
Sejalan dengan itu, tampak bahwa posisi militer, TNI
sebagai sebuah kekuatan terorganisasi dan alat negara setiap periode yang
ditandai oleh terjadinya perubahan militer, memang menjadi pembicaraan untuk
“meletakkan” posisi militer itu dalam kerangka pengaturan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam rangka itu, yang sering tampil sebagai topik pembicaraan
dalam setiap periode perubahan itu ialah hubungan sipil-militer. Selanjutnya
bagaimana dan di mana posisi militer dalam percaturan politik negara. Dengan
demikian, yang akan menjadi topik pembicaraan itu berfokus pada peranan sosial
politik militer.
Berbicara permasalahan tentang hubungan sipil militer, Dr
Salim Said sebagai pengamat militer Indonesia cukup menarik jawaban, menurutnya
:
Kalau
berbicara hubungan sipil-militer di Indonesia kita bicara dalam dua tataran.
Pada tataran legal konstitusional dan civilian supremacy. Artinya, orang yang
dipilih rakyat itulah yang berkuasa, termasuk berkuasa atas TNI sesuai Pasal 10
UUD 45. Sedangkan dalam tataran politik, adalah suatu kenyataan bahwa sejak
awal kemerdekaan TNI memainkan peranan politik. Tanpa
doktrin Dwifungsi dari “jalan tengah” mereka telah mempunyai peranan politik.
Peranan ini membesar atau mengecil tidak tergantung dialektik antara
kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat dengan militer.
Persoalan hubungan sipil-militer ini memang merupakan hal
yang sekarang menemukan “bentuknya” yang tepat, bahkan sampai sekarang. Dan hal
ini pula yang menyebabkan persoalan posisi militer selalu dalam situasi yang
rumit. Sejak awal terbentuknya, yang dilakukan oleh dirinya sendiri,
sebagaimana secara factual historis,
dan ini juga dikatakan oleh Dr. Salim Said, militer memang selalu berada di
dalam posisi “perebutan”. Atau bisa dikatakan sebagai Pergulatan Kekuatan-Kekuatan
untuk Menguasai Militer.
Adanya situasi rumit untuk melakukan pergantian komandan
di lingkungan militer, dan terjadinya friksi-friksi di lingkungan Markas Besar
dan Kementrian Pertahanan pada tahun 1950-an, tidak hanya disebabkan oleh
karena kebermacaman warna dari pasukan-pasukan militer sebagai akibat proses
pembentukan dirinya sendiri, melainkan karena kekuatan-kekuatan politik memang
melakukan strategi untuk merebut pengaruh di lingkungan militer. Setiap menteri
pertahanan yang diangkat di dalam kabinet yang dibentuk, akan berusaha untuk
menempatkan “orang-orang kita, baik di Kementerian Pertahanan, tetapi juga di
Markas Besar TNI.
Puncak dari situasi buruk hubungan sipil-militer ketika
terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Dampak dari peristiwa ini memang membekas
amat dalam yang bahkan “mengorbankan” sejumlah perwira terbaik dan pembentuk
TNI yang awal, seperti Mayjen Simatupang dan Kolonel Nasution. Setelah melewati
situasi rumit dengan bentuk penyelesaian yang “tidak selesai”, maka setelah
Pemilu 1955, posisi Nasution dikembalikan untuk menduduki jabatan Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD).
Tetapi sayangnya (hasil)Pemilu tahun 1955, tidak dengan segera
menyelesaikan persoalan, bahkan yang terjadi ialah persoalan-persoalan baru,
tidak hanya yang berkaitan dengan persoalan hubungan sipil-militer, melainkan makin
lebar ke kawasan lain, yakni hubungan Pusat (Jakarta-Jawa) dengan Daerah (luar
Jawa). Ternyata hubungan Pusat-Daerah ini tidak dapat pula dilepaskan dari
persoalan “di mana posisi militer dalam rangka pengaturan hidup bersama dan
pemerintahan negara”.
Apa yang terjadi setelah Nasution memegang pimpinan
TNI-AD menunjukkan bahwa dalam perjalannya, ia berusaha mencari suatu rumusan
“yang pasti” di mana tempat TNI dalam rangka peranannya sebagai kekuatan alat
negara. Dalam rangka itulah Nasution merumuskan “Jalan Tengah” yang dikenal
lebih lanjut dengan dwifungsi ABRI.
Ketika Demokrasi Terpimpin, maka diwfungsi ABRI “secara
embriotik” mulai tampak lebih jelas. Tetapi pelaksanaannya “dapat dikontrol”
karena yang melaksanakan adalah “penciptaan” sendiri, yakni Jenderal Nasution.
Lain halnya ketika dwifungsi ini diwujudkan dengan sebuah pelaksanaan yang
sistematis dan menjadi bagian dari sistem politik yang dikembangkan selama
periode kekuasaan Jenderal Soeharto (Orde Baru). Selama itu, dengan berpegang
pada formula dwifungsi yang dikembangkan Jenderal Soeharto, ketika menyaksikan
penetrasi anggota TNI-ABRI ke struktur pemerintahan di luar struktur TNI-ABRI,
mulai dari camat, bupati, direktur, dirjen-sekjen-irjen di “semua” departemen.
Kita juga menyaksikan Golkar sudah menjadi organisasi politik yang “dikuasai”
TNI-ABRI dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Dalam rangka pelaksanaan
strategi politik bagi kemenangan Golkar maka dilaksanakanlah, pertama, massa mengambang, kedua, monoloyalitas bagi PNS (Sipil).
Perjalananan TNI-ABRI dengan dwifungsi berlangsung
bersama dengan sistem kekuasaan Presiden Jenderal Soeharto dan ketika kekuasaan
rezim ini jatuh, maka posisi militer pun kembali digugat. Dwifungsi pun
“diteriakkan sebagai barang haram” dan harus dihapuskan. Teriakan tersebut
mendapat sambutan dari lingkungan TNI sendiri. Banyak hal yang dilakukan dalam
rangka reposisi TNI itu, yang
pertama, istilah ABRI tidak digunakan lagi dan sepenuhnya hanya digunakan TNI.
Yang kedua, Polri dipisahkan kembali dari TNI dan Polri berada di bawah
langsung Presiden. Yang ketiga, TNI aktif yang memegang jabatan struktural
non-TNI di departemen-departemen tidak lagi diperbolehkan untuk tetap
menggunakan atribut TNI. Artinya kalau tetap pada jabatan non TNI, harus
pensiun.
Ketika situasi berubah di dalam rangka isu reformasi,
maka kembali posisi TNI dipertanyakan dan dwifungsi pun digugat. Pengamat
militer Salim Said memberikan pandangannya :
Secara
legal, penghapusan dwifungsi haruslah merupakan keputusan politik dari wakil-wakil
rakyat atau elected politicians. Selama para politisi yang mewakili rakyat itu
bisa secara bersama mengelola negara ini tanpa menjegal satu dengan lainnya,
maka selama itu pula TNI tidak akan punya alasan untuk mengatakan bahwa mereka
harus masuk politik untuk jadi juru selamat.
Selanjutnya Salim Said menyatakan bahwa :
Keputusan
pimpinan TNI untuk menghapuskan dwifungsi, bahkan sebelum MPR dan DPR mengambil
keputusan final mengenai hal tersebut, bisa dilihat sebagai bukti kepekaan TNI
terhadap aspirasi masyarakat. Tetapi ini juga bisa hanya sekedar usaha
sementara untuk meredakan kemarahan masyarakat. Buktinya masih banyak jabatan
birokrasi yang masih diduduki oleh militer di berbagai departemen.
Melihat pandangan ini jelas bahwa penentuan posisi TNI
haruslah ditentukan oleh (sebuah) keputusan politik dari wakil-wakil rakyat, atau politisi-politisi
(sipil) yang terpilih melalui Pemilu. Tetapi penentuan itu hanya dapat
dilakukan kalau para politisi (sipil) yang mewakili rakyat itu dapat mengelola
negara tanpa konflik, istilah yang digunakannya, “tanpa menjegal satu dengan
yang lainnya” diantara mereka. Yang dimaksud oleh Salim Said ialah selama para
politisi sipil dapat “dipecah”, maka peluang bagi campur tangan TNI yang
dilakukan dengan “melampui batas” kewenangannya, setiap kali dapat dilakukan.
Dengan keterangan itu, ia mempersyaratkan “keutuhan politik” diantara para
politisi sipil, wakil rakyat, untuk mengakhiri “campur tangan” TNI di bidang
non TNI.
Kemudian ada hal yang menarik dari pandangannya, tentang
penghapusan dwifungsi itu. Dari sudut pandang TNI, dapat dilihat dari sudut yang
berbeda. Yang pertama, adanya
kepekaan TNI terhadap aspirasi rakyat, yang
kedua, untuk meredakan rakyat. Hal pertama, tentu mempunyai makna yang
positif. Artinya secara politik, TNI memiliki kemampuan untuk menangkap
aspirasi rakyat terhadap TNI. Dengan itu, TNI dapat mempertahankan komitmennya
“untuk bersama-sama dengan rakyat”.
Sebaliknya dengan hal yang kedua, yang bersifat “taktik”
untuk mempertahankan diri. Jelas hal kedua ini lebih bersifat negatif. Artinya
langkah untuk menghapuskan dwifungsi itu dilakukan tetap dalam rangka
mempertahankan posisi TNI di tempat-tempat strategis di non-TNI.
Ketika SU MPR yang angota-anggotanya dipilih melalui
pemilu 1999, maka ada hal yang menarik. Yakni dipertahankannya keanggotaan
TNI-Polri sampai 2009. Keputusan ini memang melahirkan wacana, karena dianggap
sebagai keputusan yang kontroversial. Bahkan tokoh yang waktu itu berkedudukan
sebagai Menteri Pertahankan, seperti Prof.Dr. Juwono Soedarsono memberikan
reaksi yang “agak emosional”, terhadap keputusan itu. Tampak tokoh yang sering
“digambarkan” dekat TNI itu, “amat” tidak setuju dengan keputusan yang
memperpanjang posisi TNI di dalam lembaga legislatif.
Sehubungan dengan itu, ketika keputusan politik yang
berkaitan dengan waktu pengakhiran keberadaan TNI di MPR itu, ditanyakan Salim
Said :
Barangkali
mungkin saya salah, tetapi saya melihat ini sebagai indikator dari belum
tumbuhnya rasa percaya diri para politisi sipil kepada diri mereka serta proses
politik demokratis. Mereka tampaknya masih dihantui oleh pengalaman Orde Baru
yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan hanya bisa stabil dan bertahan lama
jika ia menguasai dan didukung tentara.
Dari analisis tersebut sebenarnya dapat
ditafsirkan bahwa ia memberikan kritik yang tajam terhadap politisi sipil
termasuk Alm. Gus Dur, karena belum mampu mengembangkan kekuatannya untuk
“tidak terlepas” dari bayang-bayang kekuatan politik TNI-Polri, sebagaimana
yang terjadi di dalam periode Orde Baru[2].
Upaya bangsa Indonesia membangun demokrasi, telah membawa
sejarah politik militer di Indonesia pasca Soeharto ke dalam situasi yang
sangat krusial. Situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh
masyarakat maupun militer sendiri. Kekecewaan massa terhadap peran militer yang
dinilai koersif mendukung rezim otoritarian, terakumulasi sekian lama, lalu meledak
setelah menemukan momentumnya. Kekuatan massa itu kemudian berhasil memaksa
militer dalam banyak hal untuk “tunduk” kepada sipil. Militer dipaksa untuk
tidak lagi menyentuh ranah politik, dan diminta kembali ke barak. Sebaliknya
militer diminta mengembangkan profesionalisme, sehingga tanggungjawab kepada
masyarakat dan negara bukan kepada kepentingan rezim penguasa.
Menghadapi tekanan yang besar, mau tidak mau, secara
internal militer kemudian melakukan reformasi, dengan mencoba mereposisi dan
meredefinisi peran sosial politiknya. Sementara itu, politisi sipil memperoleh
jalan lebar untuk mencoba mengisi dan mengendalikan berbagai posisi strategis
yang di masa lalu di pegang militer, sehingga menimbulkan gelombang perubahan
di kalangan sipil maupun di tubuh militer.
Perubahan peran militer dapat dilihat diparlemen, TNI
seolah hanya mengikuti irama politisi sipil. Dalam beberapa kasus pemungutan
suara di DPR, fraksi TNI memilih netral. Hanya ketika DPR mengambil suara dalam
kasus Buloggate dan Brunaigate, fraksi TNI mendukung temuan Pansus DPR yang
cenderung menyudutkan posisi Gus Dur.
Namun ketika melihat sikap TNI dalam penanganan konflik
kekerasan yang cenderung meluas di berbagai daerah di Indonesia. TNI terkesan
lamban, dengan alasan takut salah mengambil langkah. TNI trauma karena nanti
dianggap tuduhan pelanggaran HAM. TNI kemudian merasa membutuhkan payung
politik, antara lain instruksi dari penguasa yang ada di tangan sipil.
Ironisnya, penguasa sipil itu tidak segera menurukan instruksi yang jelas dalam
mengatasi konflik komunal[3].
Apa yang diperoleh militer pada era reformasi tersebut,
sangat jauh berbeda dengan apa yang diperankan militer pada masa-masa
sebelumnya. Rezim Soeharto militer memiliki peran yang sangat dominan. Peran
militer merambah hampir seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle
sempat menyebut sebagai primus inter
pares. Begitu besarnya peran mereka sehingga berimplikasi kepada melemahnya
berbagai kekuatan sosial politik masyarakat dan menguatnya korporatisme negara.
Dengan demikian sejumlah pertanyaan masih sangat terbuka,
apakah militer benar-benar akan “kembali ke barak” dan menjadi militer
profesional seperti yang ada pada militer Amerika Serikat, sehingga dengan
demikian membuka kemungkinan bagi tumbuhnya apa yang disebut dengan “supremasi
sipil”. Ataukah militer mencoba mendefinisikan citra dirinya dalam format yang lain, misalnya sebagai
tentara revolusi? Atau justru berkemungkinan menjadi tentara praetorian
sehingga tentara tetap saja mengalami politisasi, yang hanya berarti akan
memperlebar kemungkinan kembalinya militer menjadi alat Presiden dan bukan lagi
alat masyarakat dan negara.
Kesimpang siuran peran militer dalam politik itu bukan
semata-mata disebabkan adanya konflik kepentingan di tubuh internal militer
seiring dengan munculnya persaingan antar friksi. Di kalangan masyarakat Nampak
belum ada kata sepakat, suara masyarakat yang menghendaki supremasi sipil
dengan cara mengurangi peran militer dalam politik semaksimal mungkin, ternyata
tidak bulat. Sebuah jajak pendapat menghendaki peran militer lepas dari politik
praktis 30,2% lebih rendah, dari mereka yang tidak menghendaki lepas dari
politik praktis (31,6%), sedangkan sisanya 38% lainnya menyatakan bergantung
situasi. Kalau situasi menghendaki, kenapa tidak[4].
Penelitian peran militer dalam politik di dunia oleh
Perlmutter bisa dijadikan pelajaran berharga. Sejarah militer di manapun tidak
berkembang secara linier seperti yang sesederhana dibayangkan orang. Ideologi
militer di sebuah negara bisa saja berubah-ubah. Perkembangan sejarah militer
di sejumlah negara diketahui mengalami pergeseran. Militer di sejumlah negara
bergeser dari semula berorientasi profesional namun dalam perkembangannya
kemudian menjadi praetorian atau sebaliknya, dari tentara tentara revolusi
berubah ke tentara praetorian dan begitupula sebaliknya.
Perlmutter mengatakan bahwa kemungkinan tentara revolusi
berubah menjadi prajurit praetorian jauh lebih besar, dibanding menjadi tentara
profesional. Tentara profesional akan mengubah diri menjadi praetorian pada
saat-saat krisis, misalnya ketika pemerintah sipil gagal menjalankan tugas
melindungi keamanan warga dan masa depan bangsanya. Sementara itu, hampir
setiap saat tentara revolusi bisa saja mengubah dirinya menjadi prajurit
praetorian. Hanya saja sejauh ideologi revolusi itu masih dapat dipertahankan
dominasinya, kemungkinan tentara revolusi berubah menjadi prajurit praetorian
menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, munculnya prajurit praetorian dari
tentara revolusi, lebih disebabkan karena tidak lagi dapat dipertahankannya
dominasi partai atau kekuatan revolusi atas kebijakan nasional.
Penutup
Dalam era reformasi ini, dalam rangka membangun TNI ke
depan dengan upaya melakukan demokratisasi, militer masih memiliki
pilihan-pilihan untuk melakukan proses trasnformasi. Hanya saja untuk kondisi
saat ini, TNI tidak memiliki syarat sosial politik yang kondusif untuk mengubah
dirinya menjadi praetorian. Sebaliknya,dalam rangka demokratisasi, TNI tengah
didorong oleh masyarakat untuk menterjemah visinya mengikuti aturan-aturan
profesionalisme militer. Masyarakat juga menghendaki agar TNI tidak tercerabut
dari akar sejarahnya, sehingga terbuka bagi TNI untuk menggabungkan
profesionalisme militer dengan visi tentara revolusi, dengan catatan TNI tidak
kembali menjalankan peran praetorian.
Dari berbagai bukti empirik, dapatlah dipersepsikan
langkah-langkah TNI masih menggambarkan keinginan untuk tetap dapat
mempertahankan kekuasaan, meski syarat sosial politik tidak banyak mendukung.
Sebetulnya, keinginan itu dapat ditoleransi, dengan catatan, tidak akan
menyumbat mengalirnya kekuatan partisipasi politik masyarakat yang otonom. Jika
TNI dapat meyakinkan publik dalam turut membangun saluran-saluran partisipasi
politik yang lebih berkembang luas, kritis, dan otonom, maka dapat diyakini
upaya TNI mempertahankan kekuasaannya masih akan memperoleh justifikasi.
Meskipun, TNI tetap bakal menghadapi resistensi kalau dalam menjalankan
kekuasaan yang dimilikinya itu lalu mengharap berbagai privelese-privelese
berlebihan.
Dalam banyak negara demokrasi, privelese bukan dihapuskan
sama sekali, akan tetapi pada umumnya secara de facto militer tidak mampu menggunakan hak-hak istimewa tersebut
secara efektif, sehingga privelese itu tidak bisa dimaksimalkan. Hak-hak
istimewa tersebut hanya dapat dijalankan dalam derajat atau gradasi yang
rendah, atau dilakukan secara moderat, misalnya komandan dinas aktif pada
setiap angkatan masih diberi kesempatan untuk berperan dalam kabinet, militer
rela melakukan power sharring,
sehingga misalnya badan pertahanan dan keamanan nasional beserta kebijakannya
tidak dikendalikan sepenuhnya oleh militer, melainkan bisa berbagi dengan
tenaga-tenaga profesional di luar militer, dalam hal ini dari kalangan sipil.
Milihat perkembangan politik di Tanah Air, terutama
dengan maraknya konflik komunal yang terus meluas, TNI memiliki alasan untuk
kembali meminta privelese-privelese tertentu. Namun, yang jelas tidak ada
alasan bagi TNI saat ini untuk menghambat tumbuhnya kekuatan otonom dan
pemberdayaan berbagai lembaga publik yang diperlukan sebagai syarat partisipasi
politik yang demokratis. Pada posisi seperti ini, sesungguhnya terbuka peluang
membangun saluran partisipasi politik yang luas, dan peluang yang besar bagi
pembentukan kekuatan politik masyarakat yang otonom.
Hanya nampaknya muncul political constraint baru. Kali ini tidak datang dari kalangan
militer, tetapi justru muncul dari perilaku militerisme di kalangan sipil dalam
bentuk para militer maupun milisi, yang kadang-kadang lebih militer daripada militer
itu sendiri, sehingga berpotensi besar untuk dapat mematikan terbentuknya
kekuatan otonom, kekuatan kritis pada masyarakat dan pemberdayaan demokrasi
secara kultural maupun struktural. Oleh karena itu, konsolidasi menuju
demokrasi pada era reformasi ini belum juga kunjung selesai, meski militer
telah didesakralisasi, sementara kekuasaan setidak-tidaknya secara formal sudah
berada pada tangan sipil.
[1]
Lihat Alfred Stepan, Militer dan
Demokratisasi : Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti
[2]
Militer masih memperoleh jatah dalam kabinet dengan posisi yang strategis. Gus
Dur masih mempercayakan Menko Polkam kepada Letjen Susilo Bambang Yudhoyono,
Letjen (pun) Surjadi Soedirja sebagai Mendagri, Menhub/Komunikasi kepada Letjen
Agum Gumelar, dan Mendag kepada Letjen Luhut Panjaitan.
[3]
Kekerasan yang muncul melalui jalur etnis, agama, dan juga berbagai kepentingan
komunal di negeri ini secara tak
terelakkan yang kemudian menelan korban harta dan nyawa yang tidak sedikit.
Dalam tragedi kemanusiaan di Sampity, Palangkaraya dan Pontianak. Dalam relatif
singkat telah memusnahkan ribuan rumah penduduk, lebih 400 orang tewas, puluhan
ribu etnis Madura harus mengungsi ke tanah aslinya. Belum terhitung dengan
konflik antara etnis di Ambon, Maluku, dan Aceh.
[4]
Maksum dalam temuan pada Jajak Pendapat Jawa
Post, 14 Maret 2001.
0 komentar:
Posting Komentar