Rabu, 25 April 2012

Struktur dan Budaya Politik dalam Sistem Politik

Struktur dan Budaya Politik dalam Sistem Politik
Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si

Pemahaman tentang struktur dan budaya politik dalam kerangka kerja sistem politik memegang peran penting. Gabriel Almond mengatakan, sistem politik merupakan organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, sistem politik melaksanakan perang atau mendorong perdamaian, memajukan perdagangan internasional atau membatasinya, membuka diri demi pertukaran gagasan-gagasan atau menutup diri, menarik pajak dari rakyat secara adil atau tidak, mengalokasikan sumberdaya untuk hajat hidup orang banyak. Singkatnya sistem politik melaksanakan berbagai kegiatan yang ditunjukkan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah dirumuskan.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan yang kompleks ini, sistem politik memerlukan badan-badan dan struktur-struktur yang bekerja dalam sistem politik seperti, parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Pelaksanaan fungsi-fungsi inilah yang pada akhirnya membuat sistem politik bekerja, dalam arti mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Dalam suatu sistem politik, biasanya terdapat tiga fungsi yang hampir selalu ada. Ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, fungsi sosialisasi politik. Ini merupakan sungsi mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk atau bagian-bagian penduduk ataupun melatih rakyat untuk melaksanakan peran-peran politik, administrasi birokrasi, dan peranan yudikatif. Fungsi-fungsi ini menurut Almond, akan melibatkan keluarga, sekolah, media dan struktur-struktur politik yang ada di dalam masyarakat. Kedua, rekruitmen politik, ini merupakan penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan-jabatan pemerintahan melalui penampilan media komunikasi, anggota organisasi, pencalonan pada jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi politik. Fungsi ketiga ini bertanggungjawab terhadap mengalirnya informasi dari masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokratis, komunikasi politik sering dianggap sebagai ‘life blood’ yang membuat sistem politik bekerja dengan baik. Dalam konteks ini, komunikasi politik mengalir tidak hanya dari penguasa politik atau pemerintahan ke masyarakat atau warga negara, tetapi juga sebaliknya. Apa yang sering disebut sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan pada dasarnya berlangsung melalui mekanisme komunikasi politik dalam bangunan sistem politik.
Almond mendefinisikan sistem politik  sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisai yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Ini berarti bahwa setiap sistem politik tidak pernah hidup dalam ruang hampa. Ia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang saling mempengaruhi. Lingkungan dalam pandangan Almond, terdiri dari lingkungan domestik dan internasional.
Selain struktur dan fungsi-fungsinya, dalam sistem politik juga dipengaruhi oleh budaya politik juga mempunyai peran penting dalam membantu menjelaskan sistem politik, meskipun budaya politik bukan merupakan satu-satunya aspek politik. Perhatian terhadap budaya politik setidak-tidaknya dilandasi oleh dua hal. Pertama, meskipun sistem politik menghadirkan keterkaitan yang kompleks antara budaya politik dengan aspek-aspek lain dalam sistem politik, baik formal maupun informal, tetapi dengan menggunakan alat yang ada sangatlah sulit untuk melihat totalitas sistem politik dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, hampir semua ilmuwan politik dipaksa untuk melihat satu aspek atau aspek-aspek lain dalam sistem politik. Kedua, dilandasi oleh keyakinan bahwa budaya politik masyarakat merupakan aspek yang sangat signifikan dalam sistem politik. Dalam konteks ini terdapat hubungan yang dekat antara struktur dan budaya politik.
Menurut Sidney Verba, budaya politik tidak merujuk pada interaksi struktur politik baik formal maupun informal seperti pemerintahan, parpol, kelompok kepentingan, atau klik-klik politik. Budaya politik juga bukan merujuk pada pola interaksi di antara aktor-aktor politik-siapa berbicara kepada siapa, siapa mempengaruhi siapa, dan siapa memilih siapa. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh David Easton, budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka, dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut.
Lebih dalam lagi kita membahas mengenai budaya politik, cukup memiliki pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Perilaku politik seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh sistem kultur yang melekat dan berlaku dalam masyarakat. Karenanya antara perilaku politik dan budaya politik mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Setiap masyarakat dalam suatu negara memiliki budaya politik yang khas, demikian pula dengan individu yang hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi dalam setiap masyarakat, baik dalam masyarakat modern, transisional maupun tradisional.
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, yang tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota dalam suatu sistem politik (Sastroatmodjo, 1995 : 36). Budaya politik terdiri dari sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan yang berkembang di seluruh lapisan masyarakat, termasuk kecenderungan-kecenderungan alamiah dan pola-pola tertentu yang mungkin terdapat dalam masyarakat.
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak lahirnya pendekatan tingkah laku (behavioralisme). Budaya politik banyak dikaji dalam bidang perbandingan politik. Dalam sebuah artikel wordpress (2006/10/13/kajian-budaya-politik), pendekatan budaya politik banyak ditinggalkan karena beberapa sebab :
1.          Konsep budaya politik terlalu abstrak (vague). Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara. Jika pada level individu, apakah bisa digeneralisasi?. Kalau pada level negara, apakah bisa mencerminkan individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort (tujuan terakhir), kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena.

2.         Bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, apabila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian. Ada beberapa penyebanya, diantaranya adalah mulai tersedianya data mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data yang memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih spesifik, dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.
Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang realible mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering, Pertama, Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993). Putnam melakukan penelitian di negara Italia, dengan membandingkan budaya Italia bagian utara dan selatan. Kesimpulan penelitian tersebut bahwa Italia bagian utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network dan asosiasi kemasyarakatan lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan. Penyebabnya adalah trust antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi.
Kedua, Ronald Inglehart melakukan banyak kajian mengenai budaya politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey itu. Artikel lain Inglehart berjudul “Trust, Well-being and Democracy”. Walaupun ada beberapa kritik untuk tulisan tersebut, tetapi artikel ini cukup banyak mendapatkan perhatian. Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Studi Inglehart menunjukkan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan data-data empirik.
Dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, budaya politik sering digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Almond dan Verba mendefinisikan  budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (Almond dan Verba, 1965: 13). Menurut kedua ahli ilmu politik ini, warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki masing-masing. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Sebenarnya pengertian budaya politik seperti ini akan membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu (Walter A. Rosembaum, 1975: 4). Dengan orientasi pada tingkat individu atau yang bersifat individual itu tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga komponen, yaitu komponen orientasi kognitif, afektif dan evaluatifMenurut Almond dan Verba, ketiga komponen tersebut dapat mengukur bagaimana sikap individu atau masyarakat terhadap sistem politik dengan menggunakan ketiga komponen ini.
Orientasi kognitif yang dimaksud Almond dan Verba adalah dengan menilai pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input, dan outputnya.
Orientasi afektif berbicara tentang perasaan seorang warga negara. Perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Seorang individu mungkin mempunyai suatu perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu secara keseluruhan. Dalam hal ini, telah menjadi kesepakatan para ahli bahwa sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan hidup seorang pada umumnya mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perasaan individu yang bersangkutan (Nazaruddin Syamsudin,1991: 21-22).
Orientasi yang terakhir yaitu orientasi evaluatif. Orientasi ini merupakan keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Komponen evaluatif orientasi politik ditentukan oleh evaluasi moral yang memang telah dimiliki seseorang. Di sini, norma-norma yang dianut akan menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem politik. Penilaian ini merupakan suatu kemampuan untuk mengukur kehadiran sistem politik, bagian-bagian, simbol-simbol dan norma-norma yang dimiliki masyarakat.
Menurut Nazaruddin Syamsudin, ketiga komponen orientasi tersebut tidaklah terpilah-pilah seperti itu (1991: 22). Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakat pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling berkaitan, atau sekurang-kurangnya saling mempengaruhi. Untuk dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, misalnya,  seorang warga negara tentunya harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Akan tetapi pengetahuannya itu tentulah sudah dipengaruhi, diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang suatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Bahkan dapat dikatakan pula bahwa pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Dalam menggolongkan obyek orientasi politik, Almond dan Verba membagi sistem politik ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1.        Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif, atau birokrasi.
2.       Pemegang jabatan; seperti pemimpin, legislator dan admininistrator
3.       Kebijakan, keputusan, struktur, pemegang jabatan, dan struktur secara timbal balik dapat diklasifikasi termasuk dalam proses “input” atau dalam proses adminstratif atau “output”.

Di samping orientasi terhadap sistem politik, pandangan atau sikap warga negara juga merupakan suatu aspek budaya politik penting lainnya. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan ”rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility)  yang  biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya, kelompok yang satu dengan kelompok lainnya atau antara golongan satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat (Almond dan Bingham Powell. 1978: 37-39). Perasaan-perasaan yang demikian terlihat pada sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya, baik yang berbentuk kelas, etnis, kedaerahan, agama, maupun antar kelompok agama itu sendiri. Dalam hal ini pengelompokan-pengelompokan tersebut mempengaruhi, baik dalam arti melahirkan sikap percaya maupun sikap bermusuhan seseorang.
Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antarnilai. Interaksi yang demikian memungkinkan timbulnya kontak-kontak antara budaya politik suatu kelompok, atau yang mungkin lebih tepat disebut ”subbudaya politik”, dengan budaya politik kelompok lainnya (Nazaruddin Syamsudin,1991: 22-23).  
Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert Widjaya menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, menurutnya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam (Albert Widjaya, 1988: 24). 
Almond dan Verba, selain mengelompokkan tipe orientasi budaya politik, juga melakukan klasifikasi tipe-tipe budaya politik. Kebudayaan politik dikategorikan menjadi kebudayaan politik parokial, subyek, dan partisipan (Almond dan Verba, 1984: 20-22).
Tabel 1. Tipe-Tipe Kebudayaan Politik

Sistem sebagai obyek umum
Obyek-obyek input
Obyek-obyek output
Pribadi sebagai partisipan aktif
Parokial
0
0
0
0
Subyek
1
0
1
0
Partisipan
1
1
1
1
Sumber : Almond dan Verba, 1984: 19

Kebudayaan politik parokial dalam sistem politik lebih bersifat afektif dan normatif. Dengan kata lain, masyarakat yang ada dalam sistem politik tersebut mempunyai orientasi afektif. Kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Frekuensi orientasi terhadap keempat jenis obyek politik dalam tabel di atas mendekati nol.
Kebudayaan politik subyek menurut Mochtar Mas’oed menyebutnya kebudayaan politik kaula, memiliki ciri masyarakat menyadari adanya otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan untuk terhadap orientasi tersebut, mereka mungkin menunjukkan kebanggaannya terhadap sistem itu, atau mungkin tidak menyukainya tapi hubungannya dengan sistem politik menunjukkan pola hubungan yang pasif. Dalam tabel tersebut terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan output dari sistem itu, tetapi terhadap input dan sebagai individu yang aktif, mendekati nol.
 Terakhir, Kebudayaan politik partisipan. Tipe kebudayaan politik partisipan adalah suatu bentuk kebudayaan dimana anggota-anggota masyarakat memiliki partsipasi aktif terhadap sistem politik, dan sudah bisa mengevaluasi jalannya sistem politik.
Menurut Almond dan Verba (1984: 24), kebudayaan politik yang ideal adalah adanya keharmonisan antara struktur dan budaya politik. Kebudayaan parokial, subyek, dan partisipan hampir sama dengan struktur politik yang tradisional, otoritarian, dan demokratis. Kebudayaan politik juga bisa berupa bersifat campuran, yaitu kebudayaan subyek parokial, kebudayaan partisipan subyek, dan kebudayaan  parokial partisipan (Almond dan Verba, 1984: 27-31).
Kebudayaan subyek parokial adalah suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Jadi mulai ada pergeseran atau perubahan dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan politik subyek.
Kebudayaan partisipan subyek, mulai terjadi perubahan dari budaya subyek kepada budaya partisipan. Sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis, sementara penduduk yang lain terus diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi yang pasif.
Kebudayaan parokial partisipan, banyak terdapat di negara sedang berkembang. Budaya yang dominan adalah parokial. Norma-norma struktural diperkenalkan bersifat partisipan, demi keselarasan dengan struktur politik.
Dalam hubungannya budaya politik dengan demokrasi, dalam tradisi riset civic culture, menurut Saiful Mujani (2007: 5), budaya dan tingkah laku demokratis dapat dipahami sebagai kompleks gabungan beberapa unsur, yaitu : keterlibatan kewargaan yang bersifat sekuler (secular civic engagement), sikap saling percaya (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politik, dukungan terhadap sistem demokrasi, dan partisipasi politik.
Studi budaya politik di Indonesia  pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat diantaranya yaitu Herberth Feith dan Clifford Geertz. Budaya politik suatu masyarakat akan ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu aristokrasi Jawa dan wiraswasta Islam (Feith, 1968: 30-31). Sedangkan menurut Clifford Geertz, dalam masyarakat Jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, dan priyayi (Clifford Geertz, 1969). Sementara itu, Hildred Greetz, mengelompokkan masyarakat ini kepada tiga subbudaya, yang disebut sosiocultural types menjadi petani pedalaman Jawa dan Bali, masyarakat Islam pantai, dan masyarakat pegunungan . Pendapat para ahli dari Barat tersebut kendati pun banyak menuai kritik, akan tetapi hal tersebut menunjukkan adanya keanekaragaman subbudaya politik yang mempengaruhi budaya politik masyarakat di Indonesia.
Perkembangan pada subbudaya politik, menurut Nazaruddin Syamsudin, dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni adat istiadat dan sistem kepercayaan (agama). Adat dan agama memainkan peranan yang besar dalam proses penyerapan dan pembentukan pandangan masyarakat tentang kekuasaan atau simbol-simbol yang ada disekitarnya.  Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi bentuk pola sikap/pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan yang mungkin dimainkannya dalam sistem politik (1991: 34-45).
Dalam kelompok agama pun, subbudaya politik akan berkembang karena dalam satu agama akan ada kelompok-kelompok yang memiliki budaya dan corak yang berbeda. Islam misalnya, Islam memiliki organisasi-organisasi yang memiliki ciri khas sendiri. Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), ataupun Ormas Islam lainnya yang memiliki hubungan kultural yang kuat dengan anggotanya akan memberikan corak dalam kebudayaan politik.

            REFERENSI


Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta.

Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta

Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta.

Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta

Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.


0 komentar:

Entri Populer