Netralitas Birokrasi dalam Pilkada[1]
A. Pengantar
Tujuan dalam tulisan ini adalah mengetahui dan menjelaskan netralitas birokrasi dalam pilkada, melalui pendekatan kualitatif dengan alat analisis normatif dan teoritis, hasil penelitian ini diketahui dan dijelaskan secara normatif dan teoritis cenderung dilematis, pertama, birokrasi dalam pilkada diketahui secara individu tidak netral, memihak kepentingan politik dan ekonomi, tetapi menghargai hak azasi manusia dalam berpolitik (UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 59 ayat 1,3, dan 5 (g), Aristoteles, Amirudin, dan A. Zaini Bisri, Karl Marx, Mokhtar Mas’oed), dengan demikian pola kepemimpinan kepala daerahnya bersifat transaksional (Brun dan Bass), kedua, birokrasi dalam pilkada secara institusional, cenderung profesional dan bersifat netral, tetapi tidak menghargai hak azasi manusia dalam berpolitik (UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 3 ayat 1, 2, dan 3, Hegel, Nicholas Henry)
B. Pendahuluan
Perubahan zaman dari era kerajaan (monarkhi) hingga berganti era pemerintahan konstitusional (Republik/Demokrasi) Orde Lama, dan Orde Baru, kemudian era reformasi sekarang ini. Permasalahan birokrasi di Indonesia menjadi sangat penting, dan menentukan bagi para politikus yang ingin meraih kekuasaan guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monopolitik. Tulisan ini berusaha untuk mencari penjelasan empirik tentang netralitas birokrasi dakam Pilkada.
Di tingkat daerah sekarang pada era desentralisasi otonomi daerah, birokrasi dijadikan “kendaraan politis” secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah sebagai mitra masyarakat atau fasilitator untuk memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat, mengingat tugas pokok dan fungsi birokrasi sebagai aktor pelayanan masyarakat yang netral adil dan apolitis.
Realitasnya birokrasi menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi seperti terjadinya diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas dan dana negara, sebagaimana diketemukan hasil penelitian dari Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada langsung : Problem dan Prospek. Menjelaskan bahwa biaya rata-rata pencalonan bupati/walikota dalam Pilkada langsung di Jateng sepanjang 2005 mencapai Rp 8 Miliar (A. Zaini Bisri, 2007).
Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menyatakan bahwa pemerintah bukanlah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat, tetapi justru menjadi bagian terbesar dari persoalan masyarakat, sistem pelatanan masyarakat sipil cenderung dibuat terbatas dan birokrasi relatif hanya melaksanakan tugas rutin sehari-hari (L. Misbah Hidayat, 2007).
Setahun setelah pemilu 2004, pilkada langsung mulai digelar, keinginan dan hasrat dari berbagai kalangan agar pegawai negeri sipil (PNS) tidak terlibat parpol pun kembali dipermasalahkan baik oleh birokrat sendiri, pengamat, pakar maupun elemen-elemen sosial dan politik di masyarakat, hal ini dapat dijelaskan bahwa dari hasil pilkada langsung sejak Juni 2005, sudah menghasilkan lebih dari 270 kepala daerah, hampir 40 persen dimenangkan kalangan birokrat. Birokrat yang notabene adalah PNS memang tidak dilarang mencalonkan diri dalam pilkada (Kompas, 3/1/2007).
Sebagaimana dijelaskan oleh Miftah Thoha (1990), bahwa birokrasi yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh, dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi, dalam hal seperti ini diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh birokrasi netral, tidak memihak dan objektif.
Dengan demikian masalah netralitas birokrasi dalam pilkada dapat dijelaskan dengan berasumsi bahwa pertama, birokrasi sebenarnya cenderung tidak netral, kedua birokrasi harus dapat diusahakan supaya tidak netral, adil dan apolitis.
C. Pilkada dan Netralitas Birokrasi
Netralitas birokrasi adalah birokrasi pemerintah yang tidak memihak kepada kekuatan politik dan golongan yang dominan istilah politiknya disebut apolitic, agar eternal pelayanan dan pengabdiannya kepada pemerintah dan kepada seluruh masyarakat atau sebagai abdi negara dan abdi rakyat (Miftah Thoha, 1990).
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor, dan kata “krasi” (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan (Ramlan Surbakti, 1992), dalam literature ilmu sosial birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan ditempat lain, dan mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan (Mohtar Mas’oed, 1994).
Pilkada merupakan sarana pelaksanan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 1). Sedangkan kepala dan wakil daerah adalah gubernur.wakil gubernur untuk provinsi, bupati, dan wakil bupati untuk kabupaten serta waklikota/wakil walikota untuk kota (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 2).
D. Analisis Normatif Terhadap Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Secara normatif berdasarkan UURI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 59 ayat 1 yang menjelaskan bahwa peserta pilkada merupakan pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh parpol atau gabungan parpol.
Sementara pasal 59 ayat 3 menjelaskan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pasal 58, dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Pasal 59 ayat 5 (g) parpol atau gabungan parpol pada saat mendaftarkan pasangan calon wajib menyerahkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS, TNI, dan anggota Kepolisian.
Berdasarkan UU RI No 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU RI No 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa PNS berkedudukan sebagai unsure aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Pasal 3 ayat 2 dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dengan ayat 1, PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan parpol, serta tuidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan pada Pasal 3 ayat 3 untuk menjamin netralitas PNS sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus parpol.
Analisis aspek perseorangan atau individu menjelaskan bahwa birokrasi atau PNS dibolehkan mencalonkan pilkada, hal ini didukung oleh peraturan tersebut di atas yang diberikan kesempatan oleh parpol atau gabungan parpol (pasal 59 ayat 3), jika dikaitkan dengan netralitas birokrasi dalam pilkada, terbukti birokrasi yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah berarti tidak netral, karena harus melalui parpol dan gabungan parpol (Pasal 59 ayat 1), dan juga diberikan kesempatan tetap berstatus sebagai PNS, karena hanya mengundurkan diri dari jabatan negeri yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional (Pasal 59 ayat 5 (g), oleh karena itu, secara individu dijamin hak azasi manusianya.
Analisis aspek institusional menjelaskan bahwa PNS atau birokrasi yang mencalonkan diri dalam pilkada, terbukti melanggar UU RI No 43 tahun 1999 pasal 3 ayat 1, 2, dan 3 karena tidak profesional mengingat jabatan pilkada adalah jabatan politik, sedangkan jabatan PNS adalah jabatan karir administratif sebagai pelayan masyarakat yang harus netral, sedangkan jabatan pilkada terkait dengan parpol atau gabungan parpol, dengan demikian melanggar pasal 3 ayat 2 dan ayat 3, sehingga secara institusional birokrasi atau PNS dibatasi hak politiknya.
Dengan demikian, birokrasi yang memenangkan pilkada, cenderung tidak netral karena terikat oleh parpol dan pemberi dana (pengusaha), mudah membentuk tim kerja yang solid, tetapi kesulitan menolak permintaan meningkatkan kesejahteraan atau kenaikan gaji para birokrat (PNS), sehingga mengorbankan pelayanan publik.
Menurut Syamsuddin Haris dapat dijelaskan dari sisi positif dan negatifnya, dari sisi positif terbukti belum adanya kepercayaan terhadap parpol, artinya parpol tidak siap dalam sumber daya manusianya, sehingga masih tergantung pada SDM yang sudah menjadi birokrat, dari sisi negatif, peran pejabat birokrat menjadi mendua (ambigu atau dilematis) antara politikus, atau pelayan publik (Kompas, 3/1/2007). Birokrasi yang kalah dalam pilkada kemungkinan akan tersolir, dimutasi dan kemungkinan terburuk akan mengundurkan diri dari status PNS.
E. Analisis Teoritis Terhadap Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Miftah Thoha menjelaskan bahwa persoalan netralitas birokrasi sejak awal perkembangannya sudah menjadi polemik antara Karl Marx dan Hegel. Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel tentang negara. Analisis Hegel menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai jembatan antara negara dengan rakyatnya. Masyarakat ini terdiri dari para profesi dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan umum. Diantara keduanya, birokrasi pemerintah itu merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan kekepentingan umum.
Analisis Marx menjelaskan bahwa negara itu tidak mewakili kepentingan umum, tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan artinya birokrasi merupakan suatu instrumen bagi kelas dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu negara.
Jika dikaitkan dengan pilkada, birokrasi cenderung tidak netral atau memihak. Pertama, kepada kepentingan politik artinya politik merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia, politik hadir dimana-mana, di sekitar kita, sadar atau tidak, mau atau tidak mau, politik ikut hadir mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat, hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai kematian. Maka Aristoteles menyatakan bahwa politik untuk memahami lingkungan yakni mengatur apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (Ramlan Surbakti, 1992).
Kedua, memihak kepada kelas dominan atau pemilik modal, hal ini dibuktikan bahwa biaya rata-rata pencalonan bupati/walikota dalam pilkada langsung di Jateng sepanjang tahun 2005 mencapai Rp 8 Miliar. Secara teoritik dijelaskan bahwa birokrasi diciptakan untuk menjelaskan fungsi pendisiplinan dan pengendalian dan kebutuhan akan fungsi pendisiplinan, dan pengendalian ini berkaitan dengan perkembangan kapitalisme, dengan kata lain birokrasi berfungsi mendorong masyarakat menciptakan surplus (Mohtar Mas’oed, 1994).
Dengan demikian, maka kepimpinan birokrasi dalam pilkada cenderung bersifat transaksional yakni kepemimpinan sebagai sebuah pertukaran untuk mendapatkan kepatuhan. Artinya, terjadinya transaksi politik antara kepala daerah dengan kekuatan politik atau parpol, dan pemilik modal atau pengusaha, yang mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat terabaikan.
F. Penutup
Berkaitan dengan hasil analisis normatif dan teoritis terhadap netralitas birokrasi dalam pilkada dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Netralitas birokrasi dalam pilkada cenderung delematis, jika birokrasi diberikan kemerdekaan dalam pilkada, maka birokrasi tidak netral artinya akan memihak kepada kepentingan politik (parpol) dan kepentingan ekonomi (pemberi dana), akibatnya kepentingan publik, karena pola kepimpinan kepala daerah bersifat transaksional, disamping itu, apabila birokrasi kalah dalam pilkada, maka birokrasi tersebut akan terisolir, dimutasi dan kemungkinan buruk akan mengundurkan diri sebagai PNS. Tetapi jika birokrasi dibatasi dalam pilkada, maka birokrasi tersebut akan dapat meningkatkan karier administratif secara profesional, walaupun hak azasi manusianya untuk berpolitik tidak dihargai.
2. Dilematis netralitas birokrasi dalam politik ini sesuai dengan pegawai federal di AS pada tahun 1801 yang dibatasi hak politiknya, akibatnya pegawai federal tersebut merasakan sebagai kelompok kelas dua, ketika pada tahun 1976 diberikan kemerdekaan untuk berpolitik, realitasnya pegawai federal tersebut menunjukkan tingkat kenaikan keikutsertaan mereka dalam kegiatan politik, namun tidak meningkat secara signifkan. Hasil penelitian terhadap 976 pegawai federal yang diteliti diketahui bahwa 8 persen responden cenderung mengatakan “akan jauh lebih aktif”, jika mereka mendapatkan kebebasan politik yang lebih besar, 14 persen responden mengatakan “lebih aktif” dan 18 persen responden mengatakan “sedikit lebih aktif”, serta 60 persen responden mengatakan “sama saja”. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pegawai negeri sebagai seorang individu tidak banyak merasakan pengaruh yang signifikan atas penghapusan larangan berpolitik untuknya. Artinya terlibat aktif dalam politik hasilnya tidak berdampak signifikan terhadap statusnya sebagai pegawai negeri.
[1] Makalah ini merupakan salah satu tulisan yang menelaah mengenai Birokrasi di Indonesia. Penulis Bambang Kuncoro, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. (Dalam Jurnal Ilmu Politik UNSOED Purwokerto, Swara Politika Vol 10, No.1. 2007).
0 komentar:
Posting Komentar