Jumat, 13 April 2012

PKS Oposisi atau Tetap Koalisi ?



PKS OPOSISI ATAU TETAP KOALISI ?
OLEH : MOHAMMAD ALI ANDRIAS.,S.IP.,M.Si

Gelombang demokratisasi di Indonesia dan tumbuh kembangnya partai politik (parpol) pasca reformasi ini, belum bisa dikatakan menuju ke sistem baru yang demokratis. Indonesia bisa dikatakan hanya terselingi oleh musim semi kebebasan, yang mengarah ke rekonsilidasi otoritarianisme gaya baru. Pasca pemilu 2009 lalu, parpol yang kurang mendapat perolehan suara ternyata tidak berani, terkesan malu-malu untuk memposisikan diri sebagai oposisi. PDIP, Gerindra dan Hanura saja yang dianggap memposisikan sebagai oposan. Sementara Golkar dan PPP  sebagai parpol besar, kemudian PKB, PKS dan PAN berkoalisi dengan pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) Jilid II dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pilpres dan Pileg 2009 dengan perolehan suara dalam dua pemilu lebih dari 60%.
SBY dalam pidato kemenangannya, 'Kompetisi politik telah usai saatnya kita bersatu'. Ungkapan ini jelas adanya keinginan SBY membangun pemerintahan 2009-2014 secara bersama-sama yang kuat antarsemua parpol. Meski ada parpol yang menyataka sebagai oposan, SBY tetap percaya diri melenggang memimpin pemerintahannya hingga akhir periode.
Menanggapi pecahnya koalisi dengan dipecatnya PKS dari Setgab, yang dianggap sebagai parpol yang selalu berseberangan dengan koalisi. Terakhir, PKS secara berani menolak kenaikan harga BBM 2012, menentang kebijakan koalisi Demokrat untuk menaikan harga BBM. Sebelumnya PKS juga berani mengambil langkah politis untuk mendukung Hak Angket terhadap Kasus Bank Century yang juga belum kunjung usai. Namun langkah politis PKS ini dianggap mencederai kontrak politik koalisi yang dibangung SBY dan Demokrat. Langkah PKS ini dianggap “mencari muka” di depan publik menjelang pemilu 2014 dan dianggap “musuh dalam selimut”. Namun apapun itu, seharusnya langkah politis PKS ini harus mendapat apresiasi dari masyarakat. Bahwa kebijakan politik untuk menaikan harga BBM di parlemen, kesan PKS bahwa kebijakan ini, adanya kesenjangan antara logika politik dengan hati nurani di kalangan elitis PKS yang akan mencederai rakyat Indonesia.
Namun yang ditekankan dalam tulisan ini, memang sudah seharusnya ada balance untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah. Jangan semua parpol di parlemen, ramai-ramai berkoalisi mencari kekuasaan dan jabatan politik. Demokrasi tanpa oposisi adalah 'demokrasi kuburan', yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa program alternatif. Padahal, demokrasi modern membutuhkan checks and balances dan kontrol yang bersifat politik dari DPR. Ketika seluruh partai berkoalisi, DPR hanya akan menjadi tukang ketuk palu (rubber stampt) dan mau menuruti kehendak pemerintah. Sementara kepentingan publik ketika ditekan oleh negara dengan segala kebijakannya diabaikan oleh elit-elit parpol.
Maka vox populi vox dei (suara rakyat sebagai suara Tuhan) telah berubah menjadi vox elite vox dei (suara elit sebagai suara Tuhan) Hal ini tentu saja pemerintahan ini hanya mengulangi era pemerintahan Orde Baru dengan format yang berbeda. Ini terjadi karena persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik.
Budaya politik di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun di bawah naungan Orde Baru, para politisi telah tenggelam dalam kehidupan sistem politik otoritarian yang tidak kenal oposisi. Hal ini membuat partai atau politisi tidak terbiasa membangun tradisi dan kultur politik berbeda dengan penguasa, baik dalam tataran artikulasi maupun konsep operasional. Jika fenomena ini menjadi kenyataan, berarti dalam pemerintahan di Indonesia kelak tak akan ada partai oposisi secara permanen, baik di pemerintah maupun di parlemen. Diharapkan parpol yang sudah mengakui sebagai oposan harus berani menunjukkan konsistennya, atau mempertahankan sikap politiknya sebagai partai oposisi, terkhusus bagi PKS jika sudah dipecat dari Setgab.
Dalam dunia politik praktis mungkin hal ini sah-sah saja, namun secara teori, lahirnya pemerintahan yang kuat memang harus diimbangi dengan kekuatan oposisi yang kuat. Tanpa itu, bukan pemerintah yang kuat yang lahir, melainkan akan terjadinya pemerintahan otoriter dan korup. Karena itu pula, perlu adanya pembatasan-pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
Memang secara konseptual dan normatif, tidak salah apabila parpol bertujuan merebut kekuasaan. Namun menjadi persoalan ketika partai seringkali tidak siap berada pada posisi oposisi.Sebagian partai merasa tidak nyaman pada posisi oposisi. Kekuasaan pastilah dibagi-bagi diantara sesama partai koalisi. Tidak kepada kelompok berposisi oposisi. Kesempatan-kesempatan yang bakal menguntungkan secara ekonomi bagi partai lebih mungkin akan dinikmati oleh kelompok koalisi.
Kendati demikian, bukan berarti tidak adanya partai oposisi di dalam pemerintahan kali ini sebagai harga mati, masih banyak langkah yang bisa ditempuh oleh kompetitor politik lainnya untuk memberikan kontrol dan pengawasan kepada pemerintah. Mengambil tulisan Sunny Tanuwidjaja (dalam opini Kompas edisi Selasa 23 Agustus 2009). Mendorong kontrol dan pengawasan pemerintahan tidak melulu lewat oposisi. Dalam konteks Indonesia, sangat tidak logis dan kondusif bagi partai untuk menjadi oposisi, bukan tidak mungkin bahwa fungsi kontrol oposisi dilakukan dari dalam koalisi, apalagi jika pemerintah serius membangun pemerintahan yang kuat, sekaligus mengemban reformasi menuju demokrasi di Indonesia.

Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UNSIL
Tasikmalaya

Entri Populer