PKS
OPOSISI ATAU TETAP KOALISI ?
OLEH
: MOHAMMAD ALI ANDRIAS.,S.IP.,M.Si
Gelombang demokratisasi di Indonesia dan tumbuh kembangnya partai
politik (parpol) pasca reformasi ini, belum bisa dikatakan menuju ke sistem baru yang demokratis. Indonesia bisa dikatakan
hanya terselingi oleh musim semi kebebasan, yang mengarah ke rekonsilidasi
otoritarianisme gaya baru. Pasca pemilu 2009 lalu, parpol yang kurang mendapat perolehan
suara ternyata tidak berani, terkesan malu-malu untuk memposisikan diri sebagai
oposisi. PDIP, Gerindra dan Hanura saja yang dianggap memposisikan sebagai
oposan. Sementara Golkar dan PPP sebagai
parpol besar, kemudian PKB, PKS dan PAN berkoalisi dengan pemerintah Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) Jilid II dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pilpres
dan Pileg 2009 dengan perolehan suara dalam dua pemilu lebih dari 60%.
SBY dalam pidato kemenangannya, 'Kompetisi politik telah usai saatnya
kita bersatu'. Ungkapan ini jelas adanya keinginan SBY membangun pemerintahan
2009-2014 secara bersama-sama yang kuat antarsemua parpol. Meski ada parpol
yang menyataka sebagai oposan, SBY tetap percaya diri melenggang memimpin
pemerintahannya hingga akhir periode.
Menanggapi pecahnya koalisi dengan dipecatnya PKS dari Setgab, yang
dianggap sebagai parpol yang selalu berseberangan dengan koalisi. Terakhir, PKS
secara berani menolak kenaikan harga BBM 2012, menentang kebijakan koalisi
Demokrat untuk menaikan harga BBM. Sebelumnya PKS juga berani mengambil langkah
politis untuk mendukung Hak Angket terhadap Kasus Bank Century yang juga belum
kunjung usai. Namun langkah politis PKS ini dianggap mencederai kontrak politik
koalisi yang dibangung SBY dan Demokrat. Langkah PKS ini dianggap “mencari
muka” di depan publik menjelang pemilu 2014 dan dianggap “musuh dalam selimut”.
Namun apapun itu, seharusnya langkah politis PKS ini harus mendapat apresiasi dari
masyarakat. Bahwa kebijakan politik untuk menaikan harga BBM di parlemen, kesan
PKS bahwa kebijakan ini, adanya kesenjangan antara logika politik dengan hati
nurani di kalangan elitis PKS yang akan mencederai rakyat Indonesia.
Namun yang ditekankan dalam tulisan ini, memang sudah seharusnya ada balance untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah. Jangan semua parpol di
parlemen, ramai-ramai berkoalisi mencari kekuasaan dan jabatan politik. Demokrasi
tanpa oposisi adalah 'demokrasi kuburan', yang sunyi senyap tanpa kritik dan
tanpa program alternatif. Padahal, demokrasi modern membutuhkan checks and balances dan kontrol yang
bersifat politik dari DPR. Ketika seluruh partai berkoalisi, DPR hanya akan
menjadi tukang ketuk palu (rubber stampt)
dan mau menuruti kehendak pemerintah. Sementara kepentingan publik ketika
ditekan oleh negara dengan segala kebijakannya diabaikan oleh elit-elit parpol.
Maka vox populi vox dei (suara
rakyat sebagai suara Tuhan) telah berubah menjadi vox elite vox dei (suara elit sebagai suara Tuhan) Hal ini tentu
saja pemerintahan ini hanya mengulangi era pemerintahan Orde Baru dengan format
yang berbeda. Ini terjadi karena persepsi dari politisi bahwa terlibat dalam
cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses terhadap sumber
daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan dengan
tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di sektor
swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik.
Budaya politik di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun di bawah naungan
Orde Baru, para politisi telah tenggelam dalam kehidupan sistem politik
otoritarian yang tidak kenal oposisi. Hal ini membuat partai atau politisi
tidak terbiasa membangun tradisi dan kultur politik berbeda dengan penguasa,
baik dalam tataran artikulasi maupun konsep operasional. Jika fenomena ini
menjadi kenyataan, berarti dalam pemerintahan di Indonesia kelak tak akan ada
partai oposisi secara permanen, baik di pemerintah maupun di parlemen.
Diharapkan parpol yang sudah mengakui sebagai oposan harus berani menunjukkan
konsistennya, atau mempertahankan sikap politiknya sebagai partai oposisi,
terkhusus bagi PKS jika sudah dipecat dari Setgab.
Dalam dunia politik praktis mungkin hal ini sah-sah saja, namun secara
teori, lahirnya pemerintahan yang kuat memang harus diimbangi dengan kekuatan
oposisi yang kuat. Tanpa itu, bukan pemerintah yang kuat yang lahir, melainkan akan
terjadinya pemerintahan otoriter dan korup. Karena itu pula, perlu adanya
pembatasan-pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
Memang secara konseptual dan normatif, tidak salah apabila parpol
bertujuan merebut kekuasaan. Namun menjadi persoalan ketika partai
seringkali tidak siap berada pada posisi oposisi.Sebagian partai merasa tidak
nyaman pada posisi oposisi. Kekuasaan pastilah dibagi-bagi diantara sesama
partai koalisi. Tidak kepada kelompok berposisi oposisi. Kesempatan-kesempatan
yang bakal menguntungkan secara ekonomi bagi partai lebih mungkin akan
dinikmati oleh kelompok koalisi.
Kendati demikian, bukan berarti tidak adanya partai oposisi di dalam
pemerintahan kali ini sebagai harga mati, masih banyak langkah yang bisa
ditempuh oleh kompetitor politik lainnya untuk memberikan kontrol dan
pengawasan kepada pemerintah. Mengambil tulisan Sunny Tanuwidjaja (dalam opini
Kompas edisi Selasa 23 Agustus 2009). Mendorong kontrol dan pengawasan
pemerintahan tidak melulu lewat oposisi. Dalam konteks Indonesia ,
sangat tidak logis dan kondusif bagi partai untuk menjadi oposisi, bukan tidak
mungkin bahwa fungsi kontrol oposisi dilakukan dari dalam koalisi, apalagi jika
pemerintah serius membangun pemerintahan yang kuat, sekaligus mengemban
reformasi menuju demokrasi di Indonesia .
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UNSIL
Tasikmalaya