Jumat, 25 Mei 2012

Cengkraman 'Gurita' Itu, Bernama 'Asing'

Cengkraman 'Gurita' Itu, Bernama 'Asing'

Yusuf Senopati Riyanto - detikNews
Kamis, 24/05/2012 10:59 WIB

Jakarta : Sudah lebih kurang 14 tahun Reformasi, masih banyak berbagai hal yang mungkin masih belum kita sadari, seperti Pasal 33 UUD 1945, Bab XIV.

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat. Begitulah bunyi Pasal tersebut antara lain secara harfiah.

Globalisasi Perusahaan Asing

Seiiring dengan gembar-gembor globalisasi kita masyarakat seolah 'terpukau' takjub, dimana seluruh sendi kehidupan kita Anak Nusantara 'terbuka' seluas-luasnya. Sepertinya tidak ada batasan lagi mana yang dapat peran serta asing dan mana yang tidak. Seluruh sendi kehidupan di Nusantara.

Apabila Kita kembali kepada isi utuh Pasal 33 UUD 1945 tersebut, maka hakekatnya adalah segala hal sensitif, strategis bahkan pribadi (Indonesia) alangkah bijak tetap dikuasai Negara.

Migas misalnya, kita dapat lihat dengan mata telanjang sekalipun bahwa telah lebih dari 50% masuk asing kedalam Industri tersebut.

Apa iya? Silahkan lihat berapa banyak retail, gerai yang telah beroperasi. Ini baru dari satu sektor, belum lagi yang kasat mata, atau diluar sektor tersebut.

Menguntungkan?

Apa berbagai hal tersebut menguntungkan? Jawabanya dapat tanyakan pada masing-masing nurani Kita Anak Nusantara. Mengapa? Karena harkat martabat sebagai Bangsa dapat saja tergerus oleh 'gempuran' asing di Nusantara ini.

Kita Manusia Indonesia, anak Nusantara, Melayu, selalu memiliki ungkapan Peribahasa. Antara lain: Dimana Bumi Dipijak Langit Dijinjing. Lalu Dimana Bumi Dipijak Langit Dijinjing? apabila gempuran asing begitu lebar,luas, bahkan keseluruh lini bangsa? Gurita itu bernama 'Asing'.

Kesadaran, Duduk Bersama

Berbagai hal tersebut diatas, terus terang saja 'menggambarkan' ketidak pedulian Kita terhadap berbagai ragam yang terjadi. Diantaranya Bab XIV pasal 33 UUD 1945 tersebut. Ini amanah Undang-Undang Dasar 1945( selanjutnya UUD 45).

Tolak ukur, atau Patron Kita adalah UUD 45 dan Pancasila Bukan? Apakah tidak ada kesadaran Kita? khususnya Para Tokoh Nasional untuk duduk bersama dalam kaitanya bagaimana NKRI, Nusantara,Indonesia saat ini dan kedepan?

Janganlah kita mengedepankan ego, pribadi kita masing-masing. Leburlah dengan duduk bersama, berbagi untuk Nusantara saat ini dan kedepan. Bhineka Tunggal Ika.

Diawali dengan niat tulus, Ikatan tali silaturahim, semoga kebersamaan itu ada. Alangkah mahalnya nilai sebuah Demokrasi apabila tidak adanya kesadaran Kita Semua elemen Bangsa. Nusantara Indonesia. Demi Persatuan dan Kesatuan.

*Penulis adalah alumni Magister Hukum UNPAD Bandung

Selasa, 22 Mei 2012

34 Years Anniversary, Saatnya UNSIL Go Internasional

34 Years Anniversary, Saatnya UNSIL Go Internasional


Oleh : Moh. Ali Andrias., S.IP., M.Si

Universitas Siliwangi Tasikmalaya (UNSIL) kini sudah menginjak 34 tahun untuk mengisi perjuangannya dalam memberikan pendidikan dan pengabdian pada masyarakat. Bagi sebuah institusi pendidikan atau universitas, umur 34 tahun ini dianggap masih sangat muda, jika kita selalu membandingkan dengan universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, atau Universitas Padjajaran dan Universitas Jenderal Soediraman yang paling dekat dengan UNSIL. Namun ukuran bagi suatu kesuksesan bagi sebuah institusi pendidikan tidak bisa dinilai dari lamanya berdiri. Ukuran suatu kesuksesan bagi universitas maupun institusi pendidikan adalah bagaimana perjuangannya dalam mencetak anak-anak bangsa atau alumni yang bisa diterima oleh masyarakat dan bermanfaat bagi negaranya. Bagaimana hasil pendidikan selama ini bisa dimanfaatkan masyarakat maupun stakeholder lainnya.   
 Selama ini wilayah Tasikmalaya selalu terkenal dengan pondok pesantren yang sudah lama berdiri dan berjuang dalam pendidikan bagi masyarakat di Tasikmalaya seperti Cipasung, Sukamanah, Sukahideng, dan puluhan pondok pesantrennya lainnya. Sehingga Tasikmalaya terkenal dengan julukan Kota Santri. Namun kini masyarakat Priangan Timur, khususnya masyarakat Tasikmalaya semakin bangga lagi dengan berdirinya Kampus perjuangan UNSIL, yang berjuang dalam dunia pendidikan dan pengabdian bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Umur 34 Tahun bagi ukuran manusia normal sudah dianggap sudah sangat dewasa dan semakin matang dalam karir maupun berkeluarga. Begitupula bagi UNSIL yang sudah menginjak umur tersebut, sudah waktunya semakin eksis menjadi institusi pendidikan yang berfikir go internasional. Kemudian menjadikan kampus perjuangan kita ini menjadi salah satu institusi pendidikan yang selalu mencetak mahasiswa yang berfikir kreatif dan inovatif, serta dosen-dosen yang selalu melaksanakan Tri Dharma Pendidikan seperti Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian bagi masyarakat. Diharapkan pada usia 34 Tahun ini UNSIL menjadi salah satu institusi pendidikan di wilayah timur yang memiliki pengaruh besar dan kuat, memberikan masukan dan saran bagi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat.

Senin, 14 Mei 2012

"Saya Sudah Jadi Presiden"

"Saya Sudah Jadi Presiden"

Dia mengungkap modus baru mafia hukum sampai pemilu presiden 2014 nanti.

Jum'at, 9 Desember 2011

VIVAnews - Berbincang dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD begitu lepas, seperti tak ada batas, tak ada beban. Saat berkunjung ke kantor redaksi VIVAnews.com, Senin siang, 5 Desember 2011, ada sejumlah hal dan pemikiran baru yang disampaikan mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu--dari mulai proses pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, Abraham Samad; jual-beli pasal di DPR, tren korupsi, hingga pengalamannya sebagai orang dekat mendiang Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid. Sejumlah di antaranya diwanti-wantinya supaya off the record.

Berikut percakapan dengan guru besar hukum kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957 itu, yang kadang berlangsung serius, kadang ger-geran.
Anda menaruh harapan kepada Abraham Samad, Ketua KPK yang baru?
Saya berharap, iya, karena dia itu terpilih karena kecelakaan kompromi saja. Tidak ada yang memperhitungkan dia. Begini, semula saya bertemu dengan politisi Golkar. Mereka mengatakan saya ini teman Busyro Muqodas dan memberitahu bahwa Busyro tidak akan terpilih lagi menjadi ketua KPK.

Saya bilang ndak apa-apa. Tidak apa-apa mau terpilih atau tidak. Dikira, karena saya teman Busyro, karena memperpanjang jabatannya empat tahun itu, saya punya andil agar Busyro tetap menjadi Ketua KPK. Nggak ada urusannya.

Lalu saya tanya mereka, "Calon Anda siapa?" Ternyata, calon mereka Bambang Widjojanto. Mereka tidak mau Busyro, karena dianggap penakut dan peragu.

Golkar mendukung Bambang?
Ya, sampai saat terakhir. Mereka tidak mau Yunus Husein karena katanya terlalu pro Istana. Bambang kan keras. Justru karena itu kata mereka. Mereka bilang ke saya, "Kami dari Golkar tidak apa-apa para politisi kami dimasukkan penjara karena korupsi. Silakan. Tapi, KPK harus berani juga menangkap partai lain, Partai Demokrat. Bambang berani. Kami ditangkap, orang partai lain pun ditangkap. Dan Century akan terungkap."

Nah, tarik-menarik ini tidak ketemu sehingga akhirnya di luar rapat resmi Setgab. Lalu muncul lobi yang dimotori PDIP dan Hanura. Tiba-tiba muncul suara sebagai Ketua KPK: Bambang tidak, Yunus tidak, Busyro apalagi. Lalu muncullah nama Abraham Samad.
Karena itu saya katakan dia hasil kompromi yang terjadi karena kecelakaan, bukan kompromi yang disadari sejak awal bahwa dia ini orang baik. Tapi, karena dia muncul dari kecelakaan, maka dia jadi tidak punya ikatan apapun dengan partai. Karena itu saya katakan saya berharap padanya. Dia tidak punya ikatan apapun, karena tidak pernah diminta oleh siapapun.

Anda kenal Abraham?
Saya tidak pernah kenal secara pribadi. Tapi, saya tanya ke berbagai sumber memang anak itu bagus. Sejak lama di Makassar dia menjadi musuh pejabat-pejabat yang korup. Jadi banyak yang gemetar, apalagi kalau ditakut-takuti agar dia mulai dari daerah asalnya itu.

Anda masuk pemerintahan sejak zaman Gus Dur. Anda melihat tren korupsi sejak Gus Dur sampai SBY ini membaik atau memburuk? 
Saya kira memburuk dan semakin nekat.

Indikatornya apa?
Penegak-penegak hukum kita sekarang masih banyak dihuni orang-orang lama yang masih bisa dibeli dan masih bisa disandera.

Saat ini bahkan ada pola berbahaya yang baru muncul. Dalam kasus korupsi, untuk menjerat aktor utama korupsi biasanya pelaku-pelaku yang lain dihukum dahulu. Ada kasus di mana sudah ada lima orang yang dihukum karena terbukti korupsi, tapi aktor intelektualnya belum. Nah, tanpa Anda tahu, tiba-tiba lima orang ini ini dibebaskan semuanya di tingkat PK (Peninjauan Kembali). Sehingga, akhirnya tidak ada lagi alasan hukum untuk menangkap si aktor intelektual.

PK-nya kapan, siapa yang mengajukan, tidak jelas. Tidak ada beritanya. Tiba-tiba saja orang-orang itu bebas setelah PK. Yang menarik, hasil PK itu diputuskan saat mereka sudah dihukum dan keluar dari penjara. Lima orang tadi sudah dihukum dan dinyatakan terbukti bersalah mulai dari tingkat pengadilan negeri sampai kasasi. Aktor intelektualnya tidak lagi bisa disentuh karena kelima pelaku sudah dinyatakan tidak bersalah.

Itu terjadi pada kasus apa, persisnya?
Banyak lah. Ini modus baru dalam membebaskan koruptor. Siapa orang yang mengotaki ini? Kok bisa mendekati MA (Mahkamah Agung), lalu tiba-tiba keluar putusan PKnya? Itu cara yang sangat berbahaya. Semua koruptor bisa bebas karena praktik ini. Yang bisa minta PK ke MA itu kan tidak sembarang orang.

Mulai muncul protes sistem tata negara kita sekarang sangat didominasi parlemen. Keberadaan MK bisa jadi pengimbang kekuasaan parlemen?
Dari struktur ketatanegaraan, MK memang menyeimbangkan. Problemnya sekarang, menurut saya, adalah tidak kompetibelnya sistem pemerintahan dan sistem kepartaian. Sistem kepartaian kita terlalu liberal. Partai bebas melakukan apa saja, partai bebas didirikan oleh siapa saja, boleh ikut pemilu dengan syarat yang sangat ringan. Mestinya, di sistem presidensial, partai itu disederhanakan.

Maka itu, saya sangat setuju parliamentary treshold itu agak tinggi. Saya usul 7,5 persen sehingga nanti muncul 3 atau 4 partai saja. Menurut saya itu bagus karena penguatan ideologi negara akan terjadi di situ.

Anda melontarkan isu jual-beli pasal di DPR, kenapa berhenti sebatas wacana saja?
Hahaha ... Kalau itu sih menurut saya tidak bisa dibantah, sampai sekarang pun ada. Jangankan di DPR, di pengadilan pun ada. MK pun dicoba agar muncul putusan tertentu. Saya berharap Abraham dapat membongkar ini. KPK kan sudah memanggil orang-orang Badan Anggaran DPR. Yang dipanggil ke KPK itu kan semua kasus itu, kasus permintaan komisi 6-7 persen. Dipanggil semua, lalu DPR mengamuk mau membubarkan KPK.

Praktek jual beli pasal itu sudah lama terjadi, bukan?
Iya, sejak lama, tapi sekarang lebih lagi. Dulu di zaman Orde Baru pernah ada berita kasus Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief yang memberikan sekian miliar rupiah untuk membayari anggota DPR tidur di hotel untuk membahas undang-undang. Itu bukan lagi rahasia umum karena sudah dimuat di koran-koran. Cuma, waktu itu kalau Pak Harto bilang bukan masalah, kan langsung selesai.

Yang terjadi sekarang di Orde Reformasi, saya berani saja mengungkapnya. Kalau mau bicara bukti, buktinya sudah berupa putusan pengadilan, kok. Kalau mau bicara indikasi, Wa Ode Nurhayati (politisi PAN) dipanggil saja. Dia kan punya data.

Waktu jadi menteri bagaimana pengalaman Anda soal jual-beli pasal ini?
Oh, pernah... Itu lucu. Waktu itu saya membahas Undang-undang Pertahanan bersama LSM Pro Patria. Saya panggil orang luar supaya baik, termasuk Ikrar Nusa Bhakti. Draf itu saya pertahankan di DPR. Selesai, tinggal diundangkan.

Sesudah itu tiba-tiba ada nota dari Dirjen saya. Dia bilang, "Pak, ada undangan main golf." Saya lalu kasih disposisi, "Saya tidak bisa main golf."

Seminggu kemudian Dirjen itu datang lagi, "Pak, ini sudah ditunggu main golf." Saya bilang, "Saya kan sudah bilang saya tidak bisa main golf." Dia bilang, "Bukan begitu, Pak. Kalau main golf-nya, Bapak tidak usah hadir, tapi ininya, Pak (Mahfud mengusap-usap jarinya melambangkan uang)... untuk undang-undang yang sudah disetujui.
Wah, saya baru mengerti, saya pikir betulan diajak main golf ... hehehe. Saya bilang saja, "Kalau begitu, tidak usah... lebih baik tidak diundangkan saja undang-undang itu."
Anda akan maju sebagai calon presiden atau wakil presiden di 2014 nanti?
Hahaha... Sekarang kan saya sudah Presiden... MK. Kemarin saya hadir di pertemuan Presiden MK sedunia di Rusia. Ketika disuruh pidato saya dipanggil Mr. President. Jadi, nggak perlu mencalonkan lagi, sekarang saja sudah presiden, ke mana-mana dipanggil "Mr. President". Di mana-mana, Ketua MK itu disebut "President". Saya sendiri menyebut diri saya Chief Justice saja.

Bagaimana kalau dicalonkan?
Agak susah saya menjawab pertanyaan ini. Kalau saya jawab tidak, nanti orang menilai saya berpura-pura saja. Tapi kalau bilang oke, nanti orang bilang kok nggak tahu diri. Jadi, agak susah saya menjawab itu... hahaha. Jadi, saya bilang tunggu saja lah. Biarkan sejarah berjalan menurut hukumnya sendiri.

Sudah ada partai yang melamar?
Terus terang sudah, baik parpol besar dan kecil sudah datang ke saya. Mereka bicara kemungkinan-kemungkinan itu. Ada yang mengutus orang, ada yang bicara sendiri di meja makan. Ya, saya jawab seperti tadi itu. Saya ini kan, pertama, nggak punya modal--partai maupun uang. Kedua, saya nggak punya model... hahaha

Liberalisme Kian Menggurita

Liberalisme Kian Menggurita


Rismayanti Nurjannah

DetikNews
Senin, 14/05/2012 10:35 WIB

Jakarta Di media massa nasional, beberapa hari ini tengah diramaikan mengenai berita terkait kedatangan seorang pejuang feminis bernama Irshad Manji. Kedatangan wanita asal Kanada ini menuai kontroversi dari berbagai pihak terutama dari sejumlah ormas Islam.

Irshad Manji, tokoh liberalis penyeru homoseksual dan lesbian terang-terangan memperjuangkan kaum gay dan menghujat Islam. Propaganda kaum liberal semakin gencar di negeri-negeri kaum muslim, terutama di Indonesia.

Strategi liberalisasi untuk mengacak-acak negeri kaum muslim dilakukan melalui berbagai cara. Dalam bidang hukum, strategi dilancarkan melalui pengajuan RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang justru semakin menghinakan kaum perempuan.

Kemudian dalam ranah pemikiran, kaum liberal terutama Irshad Manji sengaja mempropagandakan bahwa di dalam AlQuran terdapat 'ayat-ayat setan'.

Beriringan dengan hal tersebut, ia juga menyerukan ide-ide liberalisme yang akan menyesatkan pemahaman umat muslim. Selain itu, agenda liberalisme juga dilakukan melalui gaya hidup yang hedonistik.

Gaya hidup hedonis yang mengusung kebebasan berperilaku termasuk free sex telah menjamur di kalangan masyarakat, terutama di kalangan intelektual (baca: mahasiswa) yang menjadi tonggak dalam perubahan bangsa.

Di tengah virus liberalisme yang kian menggerogoti kaum muslim, peran Pemerintah dalam membendungnya virus ini sangat minim. Hal ini nampak dari tidak adanya penentangan Pemerintah terhadap ide-ide yang justru merusak akidah tersebut.

Ajaran Islam kemudian diabaikan, sedangkan ajaran liberalisme kemudian diagungkan. Sungguh ironi di sebuah negeri yang mayoritas muslim, akan tetapi liberalisme semakin menggurita.

Wajar, jika nilai-nilai Islam pun ditanggalkan dan akidah kaum muslimin semakin tergerus. Liberalisme pun semakin menjadi karena ditopang oleh sebuah sistem yang kini tengah diterapkan Indonesia, yaitu sistem Kapitalisme-Sekulerisme dengan sistem politiknya yakni demokrasi.

Kasus ini semakin memahamkan kita, betapa pentingnya penerapan sistem pemerintahan Islam dalam bingkai negara yakni Khilafah Islamiyyah.

Karena tanpa adanya Khilafah, akidah umat muslim semakin terancam dalam kebebasan yang kebablasan.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Komunitas Muslimah Pembebas Generasi

Rismayanti Nurjannah
Jl. Geger Kalong Girang, Bandung
rismayantinurjannah@yahoo.co.id
082115632175

Rabu, 09 Mei 2012

Mau Jadi Anggota DPR ? Ini Biaya yang Harus Dikeluarkan

Mau Jadi Anggota DPR ? Ini Biaya yang Harus Dikeluarkan

OKEZONE.COM (Rabu, 9 Mei 2012)

Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung mengatakan, setidaknya ada empat kategori latar belakang seseorang jika akan maju sebagai anggota legislatif.

Keempat kategori tersebut ialah publik figur, aktivis partai maupun aktivis sosial masyarakat, Pensiunan TNI/Polri dan pengusaha.

Dari keempat kategori tersebut, publik figur dinilai akan mengeluarkan biaya politik paling kecil jika akan maju dalam pileg. "Rata-rata publik figur pengeluarannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan aktivis partai, dan lain-lain," jelasnya kepada wartawan di DPR, Jakarta, Rabu (09/05/2012).

Pram juga mengatakan secara rinci kisaran anggaran yang akan dikeluarkan untuk keempat kategori tersebut. "Pengeluaran publik figur antara Rp100 juta sampai Rp500 juta. Aktivis partai antara Rp300 juta sampai Rp1 miliar. Nah yang pensiunan birokrasi di atas Rp1 miliar sampai Rp1,8 miliar. Sedangkan pengusaha di atas Rp1,8 miliar," paparnya.

Bahkan, sambung Pram, seorang dengan latar belakang pengusaha bisa menghabiskan dana sebesar Rp22 miliar untuk maju sebagai caleg.

"Pengeluaran terbesar rata-rata adalah pengusaha. Kisarannya Rp2 miliar lebih. Yang mengejutkan ada pengusaha yang pengeluarannya sangat ekstrim, sampai Rp22M. Jadi ini rata-rata," ujarnya.

Maka dari itu, Pram khawatir, dengan disepakatinya sistem pemilu yang terbuka, maka itu akan membuka peluang kepada siapa yang memiliki dana besar akan menjadi pemenang. "Saya khawatir dalam sistem proporsional terbuka ini, lama-lama, jangan-jangan yang masuk kebanyakan orang yang punya duit banyak," pungkasnya

Selasa, 01 Mei 2012

Sekilas Tentang Michel Foucolt


Sekilas Tentang Michel Foucolt
Sumber : Wikipedia.com
Paul-Michel Foucault (Poitiers15 Oktober 1926Paris25 Juni 1984) adalah seorang filsufPerancissejarahwan, intelektual, kritikus, dan sosiolog.[1] Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France, karena karyanya yang berjudul Sejarah sistem pemikiran(History of Systems of Thought) dan juga mengajar di Universitas Kalifornia Berkeley.[1]
Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutamapsikiatrikedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karya-karyanya tentang sejarah seksualitas.[1] Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan,pengetahuan dan diskursus telah banyak diperdebatkan secara luas.[1] Pada tahun 60-an Foucault sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis.[1] Foucault kemudian menjauhkan dirinya dari gerakan pemikiran ini.[1] Meski sering dikarekterisasikan sebagai seorangpostmodernis, Foucault selalu menolak label Post-strukturalis dan posmodernis

Riwayat hidup singkat

Pada usia 25 tahun dia menerima Agregasi dan pada tahun 1952 memperoleh Diploma dalampsikologi.[1] Pada tahun 1950 dia bekerja di Rumah Sakit Jiwa dan pada tahun 1955 mengajar di Universitas Uppsala, [Swedia]]. Karya pertamanya berjudul Kegilaan dan Ketidakbernalaran : Sejarah pada Masa Klasik, dipresentasikan untuk menempuh gelar doktoralnya di tahun 1959 di bawah bimbingan Georges Canguilhem.[1] Karya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1961.[1] Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai dosenSejarah Sistem Pemikiran di Perancis.[1] Ia meninggal tahun 1984.[1]
Secara kronologis, bisa dilihat perjalanan hidup Foucault sebagai berikut: [2]
  • 1926 lahir dengan nama Paul-Michel Foucault[2]
  • 1936 mendaftar di Lycee Henry-IV di Pitiers[2]
  • 1940 mendaftar di Kolese St. Stanislas, sebuah Sekolah Yesuit kedua[2]
  • 1945 belajar di Paris di Lycee Henry-IV untk mempersiapkan ujian masuk untuk Ecole Normale Superiure, pemikiran filsafat oleh Jean Hyppolite[2]
  • 1945 diakui untuk Ecole Normale Superiure, di mana dia menerima lisensi filsafat (1948), lisensi filsafat (1949) dan agragasi filsafat (1952)[2]
  • 1952 bekerja di Faculte des Lettres, Universitas di Lille, menerima Diploma Psiko-Patologi dari Institut Psikologi di Paris[2]
  • 1955-1958 mengajar di Universitas Uppsala, Swedia[2]
  • 1959 mengabdi sebagai direktur dari Pusat Universitas Warsaw di Perancis[2]
  • 1960 mengajar Psikologi di Universitas Clermont-Ferrand[2]
  • 1961 menerima gelar doktor, dengan karya-karya, Histoire de la folie a l'age classique, Antropologie in pragmatischer Hinsicht[2]
  • 1962 menjadi profesor filsafat di Universitas Clermont-Ferrand[2]
  • 1966 mengunjungi profesor di Universitas [Tunisia]][2]
  • 1967 terpilih sebagai profesor di Universitas Paris, di Naterre, tapi kembali ke Tunisia ketika menteri pendidikan menunda ratigikasi dari pemilihan itu[2]
  • 1968 mengabdi sebagai pimpinan di departemen filsafat pada ekperimen baru di Vincennes[2]
  • 1969 terpilih di Kolese Prancis dengan karya "Sejarah dari Sistem Pemikiran"[2]
  • 1970 menghadiri pelajaran pertamanya di Amerika dan [Jepang]][2]
  • 1971 ikut mendirikan the Groupe d'information sur les Prison, sebuah organisasi yang mengkritik kondisi [penjara]] di Prancis[2]
  • 1972 membuat perjalanan lain ke USA, termasuk mengunjungi penjara di New York di Attica[2]
  • 1973 mengajar di New YorkMontreal, dan Rio de Janeiro[2]
  • 1875 ikut dalam protes melawan eksekusi Franco terhadap para militansi[2]
  • 1976 mengunjungi Brazil dan California[2]
  • 1981 ikut aktif dalam protes melawan gerakan komunis di pemerintahan Polandia dan mendukung solidaritas[2]
  • 1983 mengajar di Universitas California di Berkeley sebagai bagian dari kesepakatan untuk berkunjung ke sana setiap tahun[2]
    • 1984 meninggal di Paris pada Juni tanggal 25[2]
  • Pemikiran

    Pemikiran Foucault sangat dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya.[3] Bahkan dia tidak jarang tidak sependapat dengan filsuf pujaannya itu.[3] Hal ini terdapat dalam teori Genealogi Foucault.[3] Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam "apa yang ditulis" dan "apa yang menjadi tafsirnya", keduanya saling terjalin tanpa pemisahan.[3] Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek.[3] Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.[3]
    Tentang subjek dan objek, filsuf tahun 60an adalah filsuf yang merayakan kematian subjek (pengada awal) yang disejajarkan dengan Tuhan.[3] Lalu setelah itu, jika Tuhan mati, maka manusia yang mengikuti Tuhan juga mati.[3] Sebab manusia yang mengikuti Tuhan itu tidak punya kuasa atas dirinya tanpa Tuhan yang memberi makna padanya.[3] Maka dari sini filsafat yang selama ini berkutat pada humanismesudah tamat.[3] Maka manusia baru pun bisa 'dibangkitkan' lagi.[3] Namun Foucault sendiri bersedih karena kehilangan makna seiring hilangnya subjek (Tuhan) tadi.[3]
    Subjek menurut Foucautl subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa ditelaah melalui kekuasaan.[3] Lalu kekuasaan sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak pejal dan tidak bisa dipegang, dia adalah peng-kata-an dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan.[3]Kekuasaan bukan sesuatu yang bisa dimiliki, bahkan oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi oleh kepenuhan hukum atau punkebenaran, dia tidak tunduk pada teori politik normal, tidak bisa direduksi oleh representasi [hukum]].[3] Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah bukan pelaku dan produk.[3] Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan, namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil penemuan (founding subject).[3] Demikianmanusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan manusia mempengaruhi kekuasaan.[3] Bahkan subjek pada akhirnya menihilkan kebebasan dan subjektivitas.[3] Dengan begitu, kebebasan dan subjektivitas baru akan ditawarkan olehnya.[3] Kebebasan semacam apa itu, kebebasan yang senantiasa dapat mengendalikan kekuasaan dan kehendak pada subjek yang dihasilkannya.[3]
    Pendefinisian kekuasaan dan kehendak itu kemudian dipakai oleh, salah satunya oleh pengaturan kehidupan seksualitas di Eropa pada masa Ratu Victoria I (1819-1901) Karena Ratu sangat dominan dalam mengendalikan rakyatnya, maka dia juga mengatur hal-hal kecil dari rakyatnya.[4] Kehidupan seksualitas yang bebas harus dipisahkan dari kesopanan di Eropa.[4] Di sini tampak bahwa kekuasaan yang diartikan oleh Foucault yang berhubungan dengan kehendak itu harus dibatasi oleh sistem pemerintahan.[4] Pemikiran yang bersifat mekanisme ini dinyatakan olehnya sebagai sesuatu yang efektif, bukan mistis seperti yang ditawarkan fenomenologi.[5] Menurut dia, kekurangan dari fenomenologi bisa dijawab oleh sains (ilmu tentang manusia, misalnya psikologi).[5] Namun hal ini juga akan disadari olehnya sebagai penyesatan belaka, sama dengan penyelidikan filosofis.[5] Akhirnya dia memutuskan untuk kembali pada zaman pencerahan pasca Descartes pada abad 17, yaitu ketika manusia menyukai dialog dan kegilaan.[5] Kegilaan yang dia maksud adalah bidang medis, hal ini cocok dengan pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.[5]

Entri Populer