Selasa, 01 Mei 2012

Sekilas Tentang Michel Foucolt


Sekilas Tentang Michel Foucolt
Sumber : Wikipedia.com
Paul-Michel Foucault (Poitiers15 Oktober 1926Paris25 Juni 1984) adalah seorang filsufPerancissejarahwan, intelektual, kritikus, dan sosiolog.[1] Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France, karena karyanya yang berjudul Sejarah sistem pemikiran(History of Systems of Thought) dan juga mengajar di Universitas Kalifornia Berkeley.[1]
Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutamapsikiatrikedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karya-karyanya tentang sejarah seksualitas.[1] Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan,pengetahuan dan diskursus telah banyak diperdebatkan secara luas.[1] Pada tahun 60-an Foucault sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis.[1] Foucault kemudian menjauhkan dirinya dari gerakan pemikiran ini.[1] Meski sering dikarekterisasikan sebagai seorangpostmodernis, Foucault selalu menolak label Post-strukturalis dan posmodernis

Riwayat hidup singkat

Pada usia 25 tahun dia menerima Agregasi dan pada tahun 1952 memperoleh Diploma dalampsikologi.[1] Pada tahun 1950 dia bekerja di Rumah Sakit Jiwa dan pada tahun 1955 mengajar di Universitas Uppsala, [Swedia]]. Karya pertamanya berjudul Kegilaan dan Ketidakbernalaran : Sejarah pada Masa Klasik, dipresentasikan untuk menempuh gelar doktoralnya di tahun 1959 di bawah bimbingan Georges Canguilhem.[1] Karya tersebut kemudian diterbitkan pada tahun 1961.[1] Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai dosenSejarah Sistem Pemikiran di Perancis.[1] Ia meninggal tahun 1984.[1]
Secara kronologis, bisa dilihat perjalanan hidup Foucault sebagai berikut: [2]
  • 1926 lahir dengan nama Paul-Michel Foucault[2]
  • 1936 mendaftar di Lycee Henry-IV di Pitiers[2]
  • 1940 mendaftar di Kolese St. Stanislas, sebuah Sekolah Yesuit kedua[2]
  • 1945 belajar di Paris di Lycee Henry-IV untk mempersiapkan ujian masuk untuk Ecole Normale Superiure, pemikiran filsafat oleh Jean Hyppolite[2]
  • 1945 diakui untuk Ecole Normale Superiure, di mana dia menerima lisensi filsafat (1948), lisensi filsafat (1949) dan agragasi filsafat (1952)[2]
  • 1952 bekerja di Faculte des Lettres, Universitas di Lille, menerima Diploma Psiko-Patologi dari Institut Psikologi di Paris[2]
  • 1955-1958 mengajar di Universitas Uppsala, Swedia[2]
  • 1959 mengabdi sebagai direktur dari Pusat Universitas Warsaw di Perancis[2]
  • 1960 mengajar Psikologi di Universitas Clermont-Ferrand[2]
  • 1961 menerima gelar doktor, dengan karya-karya, Histoire de la folie a l'age classique, Antropologie in pragmatischer Hinsicht[2]
  • 1962 menjadi profesor filsafat di Universitas Clermont-Ferrand[2]
  • 1966 mengunjungi profesor di Universitas [Tunisia]][2]
  • 1967 terpilih sebagai profesor di Universitas Paris, di Naterre, tapi kembali ke Tunisia ketika menteri pendidikan menunda ratigikasi dari pemilihan itu[2]
  • 1968 mengabdi sebagai pimpinan di departemen filsafat pada ekperimen baru di Vincennes[2]
  • 1969 terpilih di Kolese Prancis dengan karya "Sejarah dari Sistem Pemikiran"[2]
  • 1970 menghadiri pelajaran pertamanya di Amerika dan [Jepang]][2]
  • 1971 ikut mendirikan the Groupe d'information sur les Prison, sebuah organisasi yang mengkritik kondisi [penjara]] di Prancis[2]
  • 1972 membuat perjalanan lain ke USA, termasuk mengunjungi penjara di New York di Attica[2]
  • 1973 mengajar di New YorkMontreal, dan Rio de Janeiro[2]
  • 1875 ikut dalam protes melawan eksekusi Franco terhadap para militansi[2]
  • 1976 mengunjungi Brazil dan California[2]
  • 1981 ikut aktif dalam protes melawan gerakan komunis di pemerintahan Polandia dan mendukung solidaritas[2]
  • 1983 mengajar di Universitas California di Berkeley sebagai bagian dari kesepakatan untuk berkunjung ke sana setiap tahun[2]
    • 1984 meninggal di Paris pada Juni tanggal 25[2]
  • Pemikiran

    Pemikiran Foucault sangat dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya.[3] Bahkan dia tidak jarang tidak sependapat dengan filsuf pujaannya itu.[3] Hal ini terdapat dalam teori Genealogi Foucault.[3] Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam "apa yang ditulis" dan "apa yang menjadi tafsirnya", keduanya saling terjalin tanpa pemisahan.[3] Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek.[3] Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.[3]
    Tentang subjek dan objek, filsuf tahun 60an adalah filsuf yang merayakan kematian subjek (pengada awal) yang disejajarkan dengan Tuhan.[3] Lalu setelah itu, jika Tuhan mati, maka manusia yang mengikuti Tuhan juga mati.[3] Sebab manusia yang mengikuti Tuhan itu tidak punya kuasa atas dirinya tanpa Tuhan yang memberi makna padanya.[3] Maka dari sini filsafat yang selama ini berkutat pada humanismesudah tamat.[3] Maka manusia baru pun bisa 'dibangkitkan' lagi.[3] Namun Foucault sendiri bersedih karena kehilangan makna seiring hilangnya subjek (Tuhan) tadi.[3]
    Subjek menurut Foucautl subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa ditelaah melalui kekuasaan.[3] Lalu kekuasaan sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak pejal dan tidak bisa dipegang, dia adalah peng-kata-an dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan.[3]Kekuasaan bukan sesuatu yang bisa dimiliki, bahkan oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi oleh kepenuhan hukum atau punkebenaran, dia tidak tunduk pada teori politik normal, tidak bisa direduksi oleh representasi [hukum]].[3] Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah bukan pelaku dan produk.[3] Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan, namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil penemuan (founding subject).[3] Demikianmanusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan manusia mempengaruhi kekuasaan.[3] Bahkan subjek pada akhirnya menihilkan kebebasan dan subjektivitas.[3] Dengan begitu, kebebasan dan subjektivitas baru akan ditawarkan olehnya.[3] Kebebasan semacam apa itu, kebebasan yang senantiasa dapat mengendalikan kekuasaan dan kehendak pada subjek yang dihasilkannya.[3]
    Pendefinisian kekuasaan dan kehendak itu kemudian dipakai oleh, salah satunya oleh pengaturan kehidupan seksualitas di Eropa pada masa Ratu Victoria I (1819-1901) Karena Ratu sangat dominan dalam mengendalikan rakyatnya, maka dia juga mengatur hal-hal kecil dari rakyatnya.[4] Kehidupan seksualitas yang bebas harus dipisahkan dari kesopanan di Eropa.[4] Di sini tampak bahwa kekuasaan yang diartikan oleh Foucault yang berhubungan dengan kehendak itu harus dibatasi oleh sistem pemerintahan.[4] Pemikiran yang bersifat mekanisme ini dinyatakan olehnya sebagai sesuatu yang efektif, bukan mistis seperti yang ditawarkan fenomenologi.[5] Menurut dia, kekurangan dari fenomenologi bisa dijawab oleh sains (ilmu tentang manusia, misalnya psikologi).[5] Namun hal ini juga akan disadari olehnya sebagai penyesatan belaka, sama dengan penyelidikan filosofis.[5] Akhirnya dia memutuskan untuk kembali pada zaman pencerahan pasca Descartes pada abad 17, yaitu ketika manusia menyukai dialog dan kegilaan.[5] Kegilaan yang dia maksud adalah bidang medis, hal ini cocok dengan pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.[5]

Antara Seks, Politik, dan Kekuasaan


Antara Seks, Politik, dan Kekuasaan


JAKARTA, KOMPAS.com -- Mana yang lebih memalukan dan berakibat fatal di politik? Korupsi atau ketika tingkah tidak senonoh politisi tersebar ke masyarakat? Di Indonesia, mungkin jawabannya adalah ketika adegan seks atau tidak senonohnya tersebar.
Wa Ode Nurhayati masih menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional meski ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus dugaan korupsi dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah. Partai Demokrat juga masih mempertahankan Angelina Sondakh di DPR meski Putri Indonesia 2001 itu ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, Arifinto, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera, segera mundur dari DPR ”hanya” karena kepergok membuka situs porno saat Rapat Paripurna DPR, April 2011. Yahya Zaini, politisi dari Fraksi Partai Golkar, juga mundur dari DPR karena video tidak senonoh antara dia dan seorang penyanyi tersebar di masyarakat. Max Moein, dari PDI-P, pada 2008 juga diberhentikan sebagai anggota DPR karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anggota stafnya.
Kini, skandal serupa muncul lagi lewat beredarnya gambar dan video adegan tidak senonoh yang diduga melibatkan anggota DPR berinisial KMN. Kasus ini memang masih berjalan. Namun, jika melihat kasus-kasus sejenis sebelumnya, penyelesaiannya dapat diperkirakan.
Namun, skandal seks dalam politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pada 1998 pernah direpotkan oleh skandal akibat hubungannya dengan staf Gedung Putih, Monica Lewinski. Sementara itu, meski menyangkal, (mantan) Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi juga pernah dituding melakukan hubungan seks dengan perempuan di bawah umur.
Akhirnya, seks memang menjadi (salah satu) senjata paling ampuh untuk menghancurkan seseorang di politik. Namun, seks juga dapat menjadi senjata efektif untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan politik.
Cleopatra yang lahir tahun 69-an sebelum Masehi dikenang sebagai sosok yang menggunakan seks dan kecantikannya untuk memenangi pertarungan politik. Agar tidak terbuang dari lingkaran elite Istana Mesir, dia menikah dengan Ptolemeus XIII, saudaranya. Untuk mengatasi kudeta yang dirancang pendukung saudaranya, dia bersekutu dan menikah dengan Kaisar Romawi Julius Caesar, lalu Mark Antony
Mengutip Michel Foucault, filsuf Perancis, kekuasaan dan seksualitas memang saling mengintervensi. Seksualitas menjadi wacana publik. Bagaimana seksualitas diwacanakan adalah ungkapan dari kekuasaan. Ini terlihat, misalnya, ketika kekuasaan berusaha mempelajari dan mengintervensi pembicaraan tentang seks demi pengaturan pertumbuhan penduduk.
Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, menuturkan, tanpa memiliki ”rem” yang kuat, anggota DPR akan mudah terjebak dan hancur oleh masalah seks. ”Kekuasaan membuat anggota DPR dapat menikmati segala sesuatu secara berlebihan. Namun, jika ’pedal gas’ terus diinjak untuk menikmatinya tanpa kontrol, kehancuran akan datang sewaktu-waktu, tanpa diduga, dan mungkin terlihat konyol. Misalnya lewat skandal seks,” katanya. (M Hernowo)

Entri Populer