Senin, 16 April 2012

Pemilih Cerdas VS Gerilya Penebar Amplop



Oleh : Rino Sundawa Putra 

Saat ini Komisi Pemilihan Umum Daerah kota Tasikmalaya sedang sibuk-sibuknya Keliling menggelar sosialiasi pelaksanaan Pilkada Kota Tasikmalaya yang akan digelar pada 9 Juli mendatang. Tema besar yang diusung pada setiap sosialisasi yang membidik kalangan pelajar dan mahasiswa ini adalah bagaimana menggiring masyarakat pemilih untuk bersikap cerdas dalam menentukan pilihan.

Persepsi penulis mengenai apa yang ingin dicapai oleh KPUD Kota Tasikmalaya dari tema ini adalah bagaimana menggeser pola pikir berdasarkan pemikiran pragmatis yang menjangkiti  mayoritas masyarakat pemilih menjadi pemilih yang rasional. Secara akademik dalam disiplin ilmu politik, memang belum ada bangunan teori yang ajeg dalam mendefinisikan pemilih pragmatis dan pemilih rasional dan masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi dalam konteks ini secara praktis penulis memberikan pengertian berdasarkan fenomena yang menjadi gejala pada setiap perhelatan politik bahwa, pemilih pragmatis adalah pemilih yang menggunakan pendekatan materi jangka pendek dalam menentukan pilihan. Amplop, beras, mie instans, kaos adalah materi jangka pendek. sedangkan pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan pendekatan berbasis informasi dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Informasi ini bisa berbasis ideologis, ketokohan calon, visi misi calon dan kriteria calon menurut sudut pandang pemilih atau bahkan kritisme pemilih kepada masing-masing calon.

Siapa Menebar Benih Pragmatisme?

Pertanyaan yang harus menjadi renungan adalah, kenapa mayoritas masyarakat pemilih kita punya kecenderungan yang sangat besar untuk menjadi pemilih pragmatis. Dalam kesempatan tatap muka dengan tim sosialisasi KPUD kota Tasikmalaya, penulis sempat menyampaikan faktor ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pemilih yang menjadi penyebab berantai pragmatisme masyarakat pemilih. Tetapi ada beberapa hal yang belum sempat penulis sampaikan pada forum itu, yaitu keyakinan penulis bahwa gejala pragmatisme akibat adanya stimulus atau rangsangan. Siapa yang pertama kali memberikan rangsangan, tidak lain tidak bukan adalah para elit politik yang “bermain” dalam memperebutkan kursi kepala daerah.  Alur pikirnya adalah, seandainya para politisi yang akan “manggung” dalam setiap perhelatan politik termasuk dalam Pilkada kota Tasikmalaya bersikap sebagai politisi sejati yang gentle man, punya tanggung jawab moral dan sosial, rendah hati dalam menerima kemenangan dan kekalahan kemudian bersama-sama mengikrarkan diri tidak akan melakukan gerilya membagi-bagikan amplop, beras dan mie instan, maka masyarakat akan dihadapkan pada satu pilihan dalam menentukan pilihan, yaitu berdasarkan hati nurani, kemudian masyarakat akan dipaksa untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai masing-masing pasangan calon yang layak untuk mereka pilih. Itulah yang penulis maksud dengan pemilih cerdas!.

Mari kita renungkan sejenak, sebetulnya kita sadar bahwa saat ini kita terjebak pada ritual teknis demokrasi yang menghabiskan energi tidak perlu. Sistem politik yang high cost, sistem politik berbiaya tinggi, baik itu biaya secara finansial ataupun biaya sosial. Fenomena pragmatisme adalah salah satu biaya sosial yang harus kita bayar dan ini menjadi salah satu rincian biaya kenapa sistem politik kita berbiaya tinggi. Penulis mengistilahkan dengan pasar bebas politik. Kalau dalam konteks  ekonomi, persaingan pasar bebas menitik beratkan pada mekanisme pasar yakni hukum penawaran (Supply) dan permintaan (Demand) yang akan menciptakan harga ke-ekonomian yang  akan menjadi standar harga, maka dalam konteks pasar bebas politik, penawaran yang seharusnya berorientasi pada visi misi dan program kerja, digeser menjadi penawaran materi jangka pendek, penawaran amplop, beras dan mie instan, maka sebagai hukum yang menimbulkan sebab akibat, penawaran ini akan di respon oleh masyarakat ke dalam sebuah permintaan yang akan diminta oleh masyarakat pemilih, maka lahirlah fenomena pemilih pragmatis, fenomena Golput alias Golongan Pendukung Uang Tunai!. Akhirnya semua calon yang akan bertarung berkompetisi untuk mengeluarkan kocek lebih dalam, inilah pasar bebas politik yang high cost!. Kalau saja penawaran yang diberikan adalah visi misi dan program kerja, maka permintaan masyarakat akan menghasilkan para pemilih cerdas!


Ironi Penegakan Hukum
         
Dalam Buku Sosialisasi yang dikeluarkan oleh KPUD kota Tasikmalaya, pada Bab IV  prinsip kampanye dijelaskan bahwa kampanye harus dilakukan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis, serta bertanggung jawab sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat. Ini jelas menggambarkan kepada kita prinsip-prinsip yang harus dijalani pada setiap kampanye. Berkaca pada Pilkada kota Tasikmalaya 2007 lalu, seharusnya persoalan klasik bagi-bagi amplop pada pertemuan “minta doa restu” yang jauh dari kesan dialogis apalagi pendidikan politik, menjadi pengalaman tersendiri bagi KPUD dan Panwaslu untuk bekerja ekstra pada Pilkada kali ini. Pembiaran pada pola-pola seperti ini oleh KPUD dan Panwaslu merupakan “serangan balik” dari kesibukan KPUD melakukan road show sosialisasi pemilih cerdas yang selama ini dilakukan.

Dari aspek penegakan hukum, Panwaslu harus mengevaluasi kinerjanya pada Pilkada kota Tasikmalaya 2007 lalu. Bagi-bagi amplop dalam setiap pertemuan dengan masyarakat jelas mengindikasikan adanya kecurangan yang berakibat pada pelanggaran Pemilu yang bisa ditindak secara pidana. Karena penggunaan uang untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan atau membeli suara adalah pelanggaran pemilu yang sudah dijabarkan pada UU nomor 12 tahun 2008 perubahan dari UU nomor 32 tahun 2004, tentang pembatalan pasangan calon yang terbukti melakukan money politik." Dalam pasal 82 UU nomor 32 tahun 2004, disebutkan jika pasangan calon terbukti melakukan tindak pidana memberikan dan menjanjikan sesuatu yang bersifat materi, yang dapat mempengaruhi pilkada, dapat diberikan sanksi pidana berupa pembatalan pasangan calon. Fenomena ini pada 2007 lalu sangat nyata, gamblang dan menjadi rahasia umum, tapi toh tidak ada tindakan apa-apa.

Dari ironi ini, penulis berseloroh, kalau memang dari aspek penegakan hukum, bagi-bagi amplop ini dibiarkan, atau lebih tepatnya pembiaran, maka jalan keluarnya adalah menghapus bagi-bagi amplop sebagai cara yang dikategorikan pelanggaran dalam UU Pemilu, artinya bagi-bagi amplop itu sah, legal dan diperbolehkan menurut UU. Perputaran uang dari praktek ini akan dinikmati oleh masyarakat, masyarakat senang dan tidak perlu lagi ada perdebatan tentang pemilih cerdas, rasional dan pragmatis bahkan Panwaslu pun bisa di tiadakan. Tapi bukan itu maksud saya, ini adalah bagian dari bentuk sarkasme dan penyampaian ironi dari penulis, karena sudah lelah melihat sistem politik yang kita jalani ini ternyata menghasilkan sistem yang high cost, aturan yang mudah dilanggar, lembaga yang membiarkan pelanggaran dan mungkin masyarakat yang dibodoh-bodohi. Wacana pemilihan Kepala Daerah agar kembali lagi dipilih oleh DPRD rasanya perlu kita pikirkan kembali, setidaknya cost sosial terbentuknya karakter masyarakat pemilih yang pragmatis dan gesekan sosial akibat pola pragmatisme dapat dihindari. Biarkanlah yang pragmatis itu wakil-wakil kita di DPRD, dan jangan libatkan masyarakat.

Entri Populer