Kamis, 26 April 2012

Mahasiswa Jerman Tolak Kedatangan anggota DPR-RI


PPI Jerman Tolak Kedatangan Anggota Komisi I DPR-RI di Jerman

Sumber : Kompas Forum


Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman, bersama dengan PPI Berlin, dan Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Jerman, menolak kedatangan Komisi 1 DPR-RI yang datang ke Jerman. Untuk mendiskusikan dan merumuskan pernyataan penolakan ini, PPI juga mengajak berbagai organisasi dan elemen masyarakat, namun ketiga organisasi ini yang bisa hadir dalam pertemuan tersebut. Penolakan ini disampaikan secara bersama oleh para mahasiswa-mahasiswi yang hadir di acara tatap muka dengan para wakil rakyat. Acara tersebut berlangsung di KBRI Berlin, dengan dihadiri oleh para anggota DPR-RI Komisi 1 beserta keluarga dan rombongan, para pejabat dan staf KBRI-KJRI Jerman, juga sejumlah organisasi dan kelompok masyarakat setempat.

Sebelum pernyataan dikeluarkan, seorang mahasiswa sempat mengutarakan pertanyaan retorik untuk menyentil kedatangan Komisi 1, antara lain mempertanyakan sikap anggota DPR yang senang berbondong-bondong keluar negeri bak orang desa rindu ke kota, apalagi dengan membawa keluarga dan rombongan yang dipastikan akan mengganggu kinerja perwakilan RI setempat, misalnya pelayanan imigrasi. Mengikuti rentetan pertanyaan retorik tersebut, pernyataan pun kemudian dikeluarkan.

Dalam pernyataan penolakanya, PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU menuntut tiga hal, yaitu transparansi, laporan, dan pengertian dari para wakil rakyat, yang mana dalam pernyataan mereka dijabarkan sebagai berikut:

1. Transparansi dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan ke luar negeri beserta biaya yang akan dikeluarkan. Informasi tersebut harus dipublikasikan paling lambat 1 bulan sebelum keberangkatan.
2. Melaporkan hasil kunjungan tersebut kepada rakyat melalui website DPR RI dan media massa.
3. Pengertian Ibu Bapak wakil rakyat untuk tidak menghamburkan uang rakyat dengan terbang ribuan kilometer untuk Rapat Dengar Pendapat dengan KBRI dan KJRI. Hal ini bisa dilakukan lewat tele-konferens, atau ketika pejabat-pejabat KBRI dan KJRI berada di Jakarta.

Melihat rendahnya urgensi kunjungan dan dana sebesar 3,1 miliar Rupiah yang telah dikeluarkan untuk membiayai perjalanan ini, PPI Jerman, PPI Berlin, dan NU Cabang Istimewa Jerman sepakat untuk menolak kedatangan Ibu Bapak Wakil Rakyat beserta keluarga dan rombongannya. Apabila ingin menanggapi, para anggota DPR yang hadir saat itu dipersilakan untuk melayangkan tanggapannya ke: contact@ppi-jerman.org

Setelah pembacaan pernyataan selesai, para mahasiswa yang tergabung dalam PPI, bersama dengan perwakilan NU Cabang Istimewa Jerman, sepakat untuk mempertegas protes mereka lewat aksi walk-out. Langkah ini diambil karena selama ini dialog dengan para Wakil Rakyat tidak membuahkan perbaikan apa pun. Selain itu mereka berharap agar aksi ini dapat menjadi renungan untuk para anggota DPR RI supaya lebih serius dalam menjalankan amanah yang telah mereka terima dari rakyat. Setelah pamit, mereka pun kemudian mengakhiri prosesi yang berlangsung damai tersebut dengan berjalan meninggalkan ruangan sambil dilontari tanggapan kekesalan dari orang-orang yang terusik dengan aksi mereka

Berlin,24 April 2012

Rabu, 25 April 2012

Struktur dan Budaya Politik dalam Sistem Politik

Struktur dan Budaya Politik dalam Sistem Politik
Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si

Pemahaman tentang struktur dan budaya politik dalam kerangka kerja sistem politik memegang peran penting. Gabriel Almond mengatakan, sistem politik merupakan organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, sistem politik melaksanakan perang atau mendorong perdamaian, memajukan perdagangan internasional atau membatasinya, membuka diri demi pertukaran gagasan-gagasan atau menutup diri, menarik pajak dari rakyat secara adil atau tidak, mengalokasikan sumberdaya untuk hajat hidup orang banyak. Singkatnya sistem politik melaksanakan berbagai kegiatan yang ditunjukkan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah dirumuskan.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan yang kompleks ini, sistem politik memerlukan badan-badan dan struktur-struktur yang bekerja dalam sistem politik seperti, parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Pelaksanaan fungsi-fungsi inilah yang pada akhirnya membuat sistem politik bekerja, dalam arti mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Dalam suatu sistem politik, biasanya terdapat tiga fungsi yang hampir selalu ada. Ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, fungsi sosialisasi politik. Ini merupakan sungsi mengembangkan dan memperkuat sikap-sikap politik di kalangan penduduk atau bagian-bagian penduduk ataupun melatih rakyat untuk melaksanakan peran-peran politik, administrasi birokrasi, dan peranan yudikatif. Fungsi-fungsi ini menurut Almond, akan melibatkan keluarga, sekolah, media dan struktur-struktur politik yang ada di dalam masyarakat. Kedua, rekruitmen politik, ini merupakan penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan-jabatan pemerintahan melalui penampilan media komunikasi, anggota organisasi, pencalonan pada jabatan tertentu, pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi politik. Fungsi ketiga ini bertanggungjawab terhadap mengalirnya informasi dari masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokratis, komunikasi politik sering dianggap sebagai ‘life blood’ yang membuat sistem politik bekerja dengan baik. Dalam konteks ini, komunikasi politik mengalir tidak hanya dari penguasa politik atau pemerintahan ke masyarakat atau warga negara, tetapi juga sebaliknya. Apa yang sering disebut sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan pada dasarnya berlangsung melalui mekanisme komunikasi politik dalam bangunan sistem politik.
Almond mendefinisikan sistem politik  sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisai yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Ini berarti bahwa setiap sistem politik tidak pernah hidup dalam ruang hampa. Ia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang saling mempengaruhi. Lingkungan dalam pandangan Almond, terdiri dari lingkungan domestik dan internasional.
Selain struktur dan fungsi-fungsinya, dalam sistem politik juga dipengaruhi oleh budaya politik juga mempunyai peran penting dalam membantu menjelaskan sistem politik, meskipun budaya politik bukan merupakan satu-satunya aspek politik. Perhatian terhadap budaya politik setidak-tidaknya dilandasi oleh dua hal. Pertama, meskipun sistem politik menghadirkan keterkaitan yang kompleks antara budaya politik dengan aspek-aspek lain dalam sistem politik, baik formal maupun informal, tetapi dengan menggunakan alat yang ada sangatlah sulit untuk melihat totalitas sistem politik dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, hampir semua ilmuwan politik dipaksa untuk melihat satu aspek atau aspek-aspek lain dalam sistem politik. Kedua, dilandasi oleh keyakinan bahwa budaya politik masyarakat merupakan aspek yang sangat signifikan dalam sistem politik. Dalam konteks ini terdapat hubungan yang dekat antara struktur dan budaya politik.
Menurut Sidney Verba, budaya politik tidak merujuk pada interaksi struktur politik baik formal maupun informal seperti pemerintahan, parpol, kelompok kepentingan, atau klik-klik politik. Budaya politik juga bukan merujuk pada pola interaksi di antara aktor-aktor politik-siapa berbicara kepada siapa, siapa mempengaruhi siapa, dan siapa memilih siapa. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh David Easton, budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka, dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut.
Lebih dalam lagi kita membahas mengenai budaya politik, cukup memiliki pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Perilaku politik seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh sistem kultur yang melekat dan berlaku dalam masyarakat. Karenanya antara perilaku politik dan budaya politik mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Setiap masyarakat dalam suatu negara memiliki budaya politik yang khas, demikian pula dengan individu yang hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi dalam setiap masyarakat, baik dalam masyarakat modern, transisional maupun tradisional.
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney Verba kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, yang tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota dalam suatu sistem politik (Sastroatmodjo, 1995 : 36). Budaya politik terdiri dari sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan yang berkembang di seluruh lapisan masyarakat, termasuk kecenderungan-kecenderungan alamiah dan pola-pola tertentu yang mungkin terdapat dalam masyarakat.
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak lahirnya pendekatan tingkah laku (behavioralisme). Budaya politik banyak dikaji dalam bidang perbandingan politik. Dalam sebuah artikel wordpress (2006/10/13/kajian-budaya-politik), pendekatan budaya politik banyak ditinggalkan karena beberapa sebab :
1.          Konsep budaya politik terlalu abstrak (vague). Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara. Jika pada level individu, apakah bisa digeneralisasi?. Kalau pada level negara, apakah bisa mencerminkan individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort (tujuan terakhir), kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena.

2.         Bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, apabila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian. Ada beberapa penyebanya, diantaranya adalah mulai tersedianya data mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data yang memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih spesifik, dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.
Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang realible mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering, Pertama, Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993). Putnam melakukan penelitian di negara Italia, dengan membandingkan budaya Italia bagian utara dan selatan. Kesimpulan penelitian tersebut bahwa Italia bagian utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network dan asosiasi kemasyarakatan lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan. Penyebabnya adalah trust antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi.
Kedua, Ronald Inglehart melakukan banyak kajian mengenai budaya politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey itu. Artikel lain Inglehart berjudul “Trust, Well-being and Democracy”. Walaupun ada beberapa kritik untuk tulisan tersebut, tetapi artikel ini cukup banyak mendapatkan perhatian. Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Studi Inglehart menunjukkan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan data-data empirik.
Dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, budaya politik sering digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Almond dan Verba mendefinisikan  budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (Almond dan Verba, 1965: 13). Menurut kedua ahli ilmu politik ini, warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki masing-masing. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Sebenarnya pengertian budaya politik seperti ini akan membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu (Walter A. Rosembaum, 1975: 4). Dengan orientasi pada tingkat individu atau yang bersifat individual itu tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga komponen, yaitu komponen orientasi kognitif, afektif dan evaluatifMenurut Almond dan Verba, ketiga komponen tersebut dapat mengukur bagaimana sikap individu atau masyarakat terhadap sistem politik dengan menggunakan ketiga komponen ini.
Orientasi kognitif yang dimaksud Almond dan Verba adalah dengan menilai pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input, dan outputnya.
Orientasi afektif berbicara tentang perasaan seorang warga negara. Perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Seorang individu mungkin mempunyai suatu perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu secara keseluruhan. Dalam hal ini, telah menjadi kesepakatan para ahli bahwa sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan hidup seorang pada umumnya mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perasaan individu yang bersangkutan (Nazaruddin Syamsudin,1991: 21-22).
Orientasi yang terakhir yaitu orientasi evaluatif. Orientasi ini merupakan keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Komponen evaluatif orientasi politik ditentukan oleh evaluasi moral yang memang telah dimiliki seseorang. Di sini, norma-norma yang dianut akan menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem politik. Penilaian ini merupakan suatu kemampuan untuk mengukur kehadiran sistem politik, bagian-bagian, simbol-simbol dan norma-norma yang dimiliki masyarakat.
Menurut Nazaruddin Syamsudin, ketiga komponen orientasi tersebut tidaklah terpilah-pilah seperti itu (1991: 22). Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakat pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling berkaitan, atau sekurang-kurangnya saling mempengaruhi. Untuk dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, misalnya,  seorang warga negara tentunya harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Akan tetapi pengetahuannya itu tentulah sudah dipengaruhi, diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang suatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Bahkan dapat dikatakan pula bahwa pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Dalam menggolongkan obyek orientasi politik, Almond dan Verba membagi sistem politik ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1.        Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif, atau birokrasi.
2.       Pemegang jabatan; seperti pemimpin, legislator dan admininistrator
3.       Kebijakan, keputusan, struktur, pemegang jabatan, dan struktur secara timbal balik dapat diklasifikasi termasuk dalam proses “input” atau dalam proses adminstratif atau “output”.

Di samping orientasi terhadap sistem politik, pandangan atau sikap warga negara juga merupakan suatu aspek budaya politik penting lainnya. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan ”rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility)  yang  biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya, kelompok yang satu dengan kelompok lainnya atau antara golongan satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat (Almond dan Bingham Powell. 1978: 37-39). Perasaan-perasaan yang demikian terlihat pada sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya, baik yang berbentuk kelas, etnis, kedaerahan, agama, maupun antar kelompok agama itu sendiri. Dalam hal ini pengelompokan-pengelompokan tersebut mempengaruhi, baik dalam arti melahirkan sikap percaya maupun sikap bermusuhan seseorang.
Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antarnilai. Interaksi yang demikian memungkinkan timbulnya kontak-kontak antara budaya politik suatu kelompok, atau yang mungkin lebih tepat disebut ”subbudaya politik”, dengan budaya politik kelompok lainnya (Nazaruddin Syamsudin,1991: 22-23).  
Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert Widjaya menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, menurutnya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam (Albert Widjaya, 1988: 24). 
Almond dan Verba, selain mengelompokkan tipe orientasi budaya politik, juga melakukan klasifikasi tipe-tipe budaya politik. Kebudayaan politik dikategorikan menjadi kebudayaan politik parokial, subyek, dan partisipan (Almond dan Verba, 1984: 20-22).
Tabel 1. Tipe-Tipe Kebudayaan Politik

Sistem sebagai obyek umum
Obyek-obyek input
Obyek-obyek output
Pribadi sebagai partisipan aktif
Parokial
0
0
0
0
Subyek
1
0
1
0
Partisipan
1
1
1
1
Sumber : Almond dan Verba, 1984: 19

Kebudayaan politik parokial dalam sistem politik lebih bersifat afektif dan normatif. Dengan kata lain, masyarakat yang ada dalam sistem politik tersebut mempunyai orientasi afektif. Kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Frekuensi orientasi terhadap keempat jenis obyek politik dalam tabel di atas mendekati nol.
Kebudayaan politik subyek menurut Mochtar Mas’oed menyebutnya kebudayaan politik kaula, memiliki ciri masyarakat menyadari adanya otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan untuk terhadap orientasi tersebut, mereka mungkin menunjukkan kebanggaannya terhadap sistem itu, atau mungkin tidak menyukainya tapi hubungannya dengan sistem politik menunjukkan pola hubungan yang pasif. Dalam tabel tersebut terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan output dari sistem itu, tetapi terhadap input dan sebagai individu yang aktif, mendekati nol.
 Terakhir, Kebudayaan politik partisipan. Tipe kebudayaan politik partisipan adalah suatu bentuk kebudayaan dimana anggota-anggota masyarakat memiliki partsipasi aktif terhadap sistem politik, dan sudah bisa mengevaluasi jalannya sistem politik.
Menurut Almond dan Verba (1984: 24), kebudayaan politik yang ideal adalah adanya keharmonisan antara struktur dan budaya politik. Kebudayaan parokial, subyek, dan partisipan hampir sama dengan struktur politik yang tradisional, otoritarian, dan demokratis. Kebudayaan politik juga bisa berupa bersifat campuran, yaitu kebudayaan subyek parokial, kebudayaan partisipan subyek, dan kebudayaan  parokial partisipan (Almond dan Verba, 1984: 27-31).
Kebudayaan subyek parokial adalah suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Jadi mulai ada pergeseran atau perubahan dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan politik subyek.
Kebudayaan partisipan subyek, mulai terjadi perubahan dari budaya subyek kepada budaya partisipan. Sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis, sementara penduduk yang lain terus diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi yang pasif.
Kebudayaan parokial partisipan, banyak terdapat di negara sedang berkembang. Budaya yang dominan adalah parokial. Norma-norma struktural diperkenalkan bersifat partisipan, demi keselarasan dengan struktur politik.
Dalam hubungannya budaya politik dengan demokrasi, dalam tradisi riset civic culture, menurut Saiful Mujani (2007: 5), budaya dan tingkah laku demokratis dapat dipahami sebagai kompleks gabungan beberapa unsur, yaitu : keterlibatan kewargaan yang bersifat sekuler (secular civic engagement), sikap saling percaya (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politik, dukungan terhadap sistem demokrasi, dan partisipasi politik.
Studi budaya politik di Indonesia  pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat diantaranya yaitu Herberth Feith dan Clifford Geertz. Budaya politik suatu masyarakat akan ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat tersebut. Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua budaya politik yang dominan, yaitu aristokrasi Jawa dan wiraswasta Islam (Feith, 1968: 30-31). Sedangkan menurut Clifford Geertz, dalam masyarakat Jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, dan priyayi (Clifford Geertz, 1969). Sementara itu, Hildred Greetz, mengelompokkan masyarakat ini kepada tiga subbudaya, yang disebut sosiocultural types menjadi petani pedalaman Jawa dan Bali, masyarakat Islam pantai, dan masyarakat pegunungan . Pendapat para ahli dari Barat tersebut kendati pun banyak menuai kritik, akan tetapi hal tersebut menunjukkan adanya keanekaragaman subbudaya politik yang mempengaruhi budaya politik masyarakat di Indonesia.
Perkembangan pada subbudaya politik, menurut Nazaruddin Syamsudin, dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni adat istiadat dan sistem kepercayaan (agama). Adat dan agama memainkan peranan yang besar dalam proses penyerapan dan pembentukan pandangan masyarakat tentang kekuasaan atau simbol-simbol yang ada disekitarnya.  Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi bentuk pola sikap/pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan yang mungkin dimainkannya dalam sistem politik (1991: 34-45).
Dalam kelompok agama pun, subbudaya politik akan berkembang karena dalam satu agama akan ada kelompok-kelompok yang memiliki budaya dan corak yang berbeda. Islam misalnya, Islam memiliki organisasi-organisasi yang memiliki ciri khas sendiri. Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), ataupun Ormas Islam lainnya yang memiliki hubungan kultural yang kuat dengan anggotanya akan memberikan corak dalam kebudayaan politik.

            REFERENSI


Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta.

Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta

Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta.

Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta

Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.


Sabtu, 21 April 2012

Praktik Money Politic Diprediksi Meningkat di Pemilu 2014

Praktik Money Politic Diprediksi Meningkat di Pemilu 2014


sumber Stefanus Yugo Hindarto - Okezone.com


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan RUU Pemilu yang merupakan perubahan atas UU Pemilu nomor 10 tahun 2008. Salah satu keputusannya, ialah mempertahankan sistem proporsional terbuka.

Dengan sistem ini, pemilih memiliki keleluasaan untuk memilih secara langsung nama calon, sehingga dengan cara seperti itu diharapkan pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya sesuai yang diinginkan.

Menurut pengamat Politik Gun Gun Heryanto, sistem proporsional terbuka justru lebih banyak postifnya. Sebab nantinya, sistem ini akan mengikis oligarki partai politik. 

"Ini tamparan buat partai politik, agar bisa melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik," kata Gun-Gun saat berbincang dengan okezone, Jumat (13/4/2012).

Dikatakan Gun-Gun, partai politik tentunya harus bertanggung jawab bila tidak ingin ditinggalkan oleh basis konsituennya. Pasalnya dengan sistem proporsional terbuka, bisa saja kader-kader instan langsung melonjak naik menjadi calon legislatif dari partai. 

"Tapi kalau partai bertanggung jawab dan menjalankan fungsinya dengan baik, kemungkinan tidak akan ditinggalkan konstituen,” katanya.

Di sisi lain, sistem proporsional terbuka, kata Gun Gun memiliki sejumlah kelemahan. Salah satu sisi negatif proporsional terbuka, ialah munculnya praktik money politic. "Konsekuensinya, money politicakan meningkat," katanya.

Selain itu, dengan sistem proporsional terbuka, tentunya orang yang memiliki popularitas tinggi. "Selebritis, tokoh adat, Kyai, dan Pendeta memiliki peluang lebih baik karena faktor popularitas tadi," katanya.

Sistem proporsional terbuka dianggap paling ideal untuk mendapatkan calon terpilih yang lebih akuntabel kepada konstituennya. 

Kamis, 19 April 2012

Partai Politik dan Demokrasi Prosedural Indonesia

Partai Politik dan Demokrasi Prosedural Indonesia
(Minimnya Peran dan Fungsi Parpol dalam Mengimplementasikan
Sistem Politik yang Demokratis di Indonesia)

Oleh : Mohammad Ali Andrias[1]

Abstrak

Partai politik pada era modern ini merupakan “keyword” untuk menerapkan demokrasi modern saat ini. “Media politik” ini diklaim memiliki peran, fungsi dan mekanisme yang jelas dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, ketika berhadapan dengan sosok negara. Meskipun bukan pelaksana pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan ke arah mana pelaksanaan pemerintahan di jalankan. Demi mewujudkan sistem demokrasi ideal, dan tersalurkannya aspirasi rakyat Indonesia. Justru yang urgen pasca reformasi ini, adalah menguak kinerja dan efektivitas fungsi parpol itu sendiri sebagai perwakilan politik masyarakat,  sebagai suatu kebutuhan politik masyarakat.
Mengandaikan parpol sebagai subkultur demokrasi sebagai identitas komunitas, serta mengandaikan masyarakat yang merupakan konstituen parpol sebagai lingkungan sosial politik yang lebih luas. Parpol seharusnya mampu mengintroduksi, sekaligus nilai-nilai demokratisasi ke dalam masyarakat. Nilai-nilai dan substansi demokrasi seharusnya mampu dijadikan acuan parpol sendiri, sebelum disosialisasikan ke masyarakat.
Parpol yang demokratis adalah partai yang mempunyai keterwakilan yang tinggi di hadapan konstituen politiknya. Persoalan keterwakilan ini akan menjadi parameter penting dalam mengindentifikasi nilai-nilai demokratis, yang dikaitkan dengan kongruensi dan konsistensi platform partai, serta perwujudannya dalam bentuk kebijakan politik partai, maupun diimplementasikan dalam bentuk kebijakan publik yang lebih luas. Momen pemilu seharusnya bukan menjadi tujuan utama parpol. Yang lebih urgen bagaimana perhatian parpol terhadap kepentingan konstituen politiknya, dalam upaya penyelesaian ketidakadilan sosial dan politik masyarakat. Mengingat idealitas konstituen politik merupakan masyarakat melek politik dalam arti yang sebenarnya, sehingga terlepas dari ekspolitasi politik negara. Persyaratan demokrasi ini menjadi penting di tengah kegalauan masyarakat, yang memandang parpol lebih merupakan wadah perjuangan kepentingan elit partai dan elit politik semata.



[1] Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya sejak tahun 2007. Lulusan Jurusan Ilmu Politik Unsoed Purwokerto tahun 2005, dan meraih gelar Master di Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro tahun 2011. Fokus kajian penulis pada studi Ekonomi Politik, Partai Politik, dan Politik Lokal. Email : aliza_aja@yahoo.com

Discussion Question Tentang Sekilas Teori Ekonomi Klasik, Neoklasik, Keynesian, Rostow dan Ekonomi Kerakyatan

DISCUSSION QUESTION


Sekilas Teori Ekonomi Klasik, Neoklasik, Keynesian, Rostow dan Ekonomi Kerakyatan









1. Bagaimana Pandangan Saudara Terhadap Teori-Teori Pembangunan Ekonomi :

A. Ekonomi Klasik

Pendekatan ekonomi klasik dalam teori pembangunan ekonomi merupakan sebuah kerangka yang berisi tema-tema utama dari ekonomi politik. Para pemikir ekonomi klasik mengajukan dan menguraikan secara terinci dua ide utama, yakni mengenai argumen tentang pasar atau ilmu ekonomi dapat dipandang mampu mengatur dirinya sendiri, dan bahwa ilmu ekonomi lebih penting dari bidang yang yang lain. Kemudian mengenai argumen nilai dan distribusi.
Para pelopor ekonomi klasik memandang bahwa telah terjadi perubahan pada hubungan antara kehidupan politik dan non politik yang diistilahkan secara longgar sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan pribadi. Berdasarkan persepsi ini, para pelopor melakukan re-definisi dan penyelarasan ulang. Penyelarasan ulang ini, para pelopor melakukan pergeseran penekanan, yakni menuju pada sebuah pandangan bahwa masyarakat mampu mengatur dirinya sendiri, dan mampu berkembang sesuai dengan pola perkembangan, proses dan tuntutan-tuntutannya sendiri. Dengan kata lain, institusi-institusi sosial yang penting dan vital dalam masyarakat tidaklah berkembang semata-mata karena direncanakan oleh keputusan-keputusan politik, melainkan masyarakat berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan dasar dari kondisi kehidupan berkelompok masyarakat itu sendiri.
Pandangan ini memberikan dorongan yang besar bagi pergeseran fokus semacam ini dimana penekanan terhadap politik dikurangi dan digeser ke arah pemahaman ekonomi. Adam Smith sebagai salah satu pelopor memandang kebangkitan masyarakat sipil sebagai dampak dari perilaku pencarian laba dan bukan sebagai akibat dari perencanaan yang dibuat dan dicanangkan oleh proses politik atau kewenangan publik apapun. Memudarnya dominasi politik ini tampak kelas di dalam konsep ”tangan tak terlihat” (invisible hand) maksudnya relasi pasar terhadap dirinya sendiri dari Adam Smith. Dia menyimpulkan bahwa politik tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat, dia punya pandangan yang pesimistis terhadap kaum politisi yang negatif dan penuh dengan intrik-intrik kotor.
Sehingga inti dari pandangan ekonomi klasik bahwa pasar akan berjalan dengan baik jika tanpa ada campur tangan politik. Biarkan pasar berjalan dengan sendirinya,meskipun adanya penderitaan yang ditimbulkan pasar adalah penderitaaan pada individu per individu saja. Maksudnya pendapatan dan kesejahteraan dari seorang penjual tertentu bisa saja menurun oleh karena kondisi pasar, tapi pendapatan dan kesejahteraan dari semua penjual sebagai satu kesatuan tidak mungkin bisa mengalami kerugian. Selain itu, kerugian yang dialami oleh penjual atau pebisnis hanya bersifat sementara karena kesulitan itu akan berakhir ketika si penjual menyesuaikan keterampilannya dan modalnya sehingga bisa menghasilkan barang lain yang disukai pasar.
Kendati demikian permasalahan dalam argumen klasik ini tentang pasar yang meregulasinya sendiri adalaj bahwa seandainya pun pasar memang benar-benar mampu meregulasi dirinya dengan cara seperti di atas, kepuasan yang dirasakan individu dari pasar akan tergantung pada bagimana, dan berapa barang yang ia jual di pasar. Bukan berapa kebutuhan pribadi dari si individu yang menentukan berapa yang ia konsumsi, melainkan sejauh mana kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kemudian tanpa ada regulasi terhadap aturan main pasar, tidak semua masyarakat yang mampu menikmati dari keuntungan dari mekanisme pasar ini. Masyarakat yang tidak memiliki modal dan keterampilan dengan sendirinya akan semakin terhimpit oleh permainan pasar tersebut.

B. Ekonomi Neoklasik
  Ilmu ekonomi neoklasik bukanlah sekedar versi modern dari ekonomi klasik. Ide utama dalam pemikiran neoklasik adalah konsep ”pilihan yang dibatasi”. Konsep ini memandang individu sebagai pelaku yang membuat pilihan, atau orang yang harus memilih dari beberapa alternatif tindakan berdasarkan pandangan atau imajinasinya sendiri tentang apa dampak dari tiap-tiap alternatif bagi dirinya sendiri. Para ekonom yang dididik dalam tradisi neoklasik mengasumsikan bahwa semua orang akan selalu berusaha untuk mencapai level kepuasan yang tertinggi di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sehingga tingkat kebahagiaan yang tertinggi dapat dicapai sesuai dengan sumberdaya yang tersedia bagi kita.
Pendekatan neoklasik bertolak dari ide tentang masimalisasi kebutuhan individu. Langkah berikutnya adalah menggunakan ide ini untuk mendefinisikan kondisi-kondisi maksimalisasi kesejahteraan untuk sebuah sistem yang terdiri dari beberapa individu yang saling terkait. Kesejahteraan dari sebuah kelompok harus didefinisikan secara berbeda dari kesejahteraan individu. Sebuah kelompok dikatakan mendapatkan kesejahteraan yang maksimal ketika semua anggota dari kelompok itu berhasil memaksimalkan kesejateraannya masing-masing, asalkan kesejateraan dari semua individu dalam kelompok saling terkait satu sama lain.
Mengenai mekanisme pasar dalam pandangan neoklasik ini, pasar untuk produk atau bahkan untuk tenaga kerja bahwa hubungan antara pasar dan pilihan ini tidak boleh dikenai intervensi oleh pemerintah. Batas-batas pasar ditentukan sebagai batas sejauh mana ketersediaan pilihan mampu meningkatkan kesejahteraan. Agar dapat menentukan batas-batas ini, kita perlu memerhatikan prinsip apa saja 9misalnya hak-hak individu) yang harus dipenuhi sebelum individu memilih. Secara ringkasnya, pendekatan ini dalam ilmu ekonomi memandang pasar sebagai institusi yang memungkinkan terbentuknya peluang yang semaksimal mungkin bagi pertukaran secara bebas, sehingga memungkinkan terwujudnya efisiensi yang seluas-luasnya. Pasar memungkinkan individu untuk mengganti sumberdaya atau komoditas yang hendak ia gunakan agar bisa memenuhi kebutuhannya. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, situasi semacam ini terbentuk jika ada banyak jenis barang konsumen di pasar yang bisa ia pilih. Dari sudut pandang produsen, situasi ini terjadi ketika ada kesempatan untuk mengkombinasikan faktor-faktor produksi dengan banyak cara yang berbeda. Tanah, tenaga kerja, dan kapital, yang semuanya memiliki banyak lagi sub kategori di dalamnya, bisa digabungkan dengan proporsi yang berbeda-beda untuk menghasilkan barang-barang yang dapat dijual di pasar.
Ekonomi dipandang sebagai proses dimana orang berusaha memaksimalkan pemenuhan terhadap kebutuhan berdasarkan sumberdaya yang ada. Pasar dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari transaksi-transaksi yang dilakukan secara sukarela antar beberapa pemilik yang independen yang semuanya sama-sama mengejar kepentingan pribadinya sendiri-sendiri. Menurut pandangan ini, transaksi-transaksi ini baru akan terjadi kalau dianggap bisa memberikan peningkatan kesejahteraan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi.
Cara pandang dari pendekatan ini menghasilkan dua jenis agenda politik. Yang pertama, adalah agenda politik yang berusaha untuk mengamankan atau mempertahankan sistem hak kepemilikan agar transaksi bisa terjadi secara sukarela. Ini dilakukan dengan memberlakukan dan menegakkan beberapa aturan tentang hak kepemilikan yang dirancang untuk menunjang tujuan-tujuan pencapaian kesejahteraan individu. Yang kedua, adalah agenda politik yang terkait dengan pihak-pihak yang tidak ikut mengadakan kontrak tapi terpengaruh oleh kontra atau transaksi itu, atau agenda yang terkait dengan situasi-situasi di mana transaksi-transaksi yang berpotensi untuk meningkatkan kesejhateraan tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan yang bukan merupakan batasan-batasan yang harus dipatuhi agar bisa menegakkan hak kepemilikan.
Pandangan ekonomi neoklasik selanjutnya juga menerapkan logika ekonomi dasar dari pilihan terbatas terhadap situasi-situasi dimana transaksi pribadi tidak berhasil memaksimalkan kesejahteraan. Istilah ”ekonomi” disini digunakan dalam dua artian. Artian yang pertama dan yang paling mendasar dari ”ekonomi” disini adalah penghematan yang dilakukan karena terbatasnya pilihan yang ada. Yang kedua, ”ekonimi” disini berarti menggunakan mekanisme pasar sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pemenuhan terhadap kebutuhan individu. Cara lainnya adalah lewat politik. Jika membangun ilmu ekonomi politik berdasarkan pendekatan neoklasik adalah sama dengan mempertimbangkan masalah kegagalan pasar (karena pendekatan neoklasik sebenarnya tidak membutuhkan politik dan lebih menekankan pada ekonomi, maka politik baru diperlukan kalai ekonominya gagal,  atau dengan kata lain kalau pasarnya tidak sempurna. Ekonomi politik neoklasik menelaah situasi dimana pasar tidak berhasil memberikan peluang kepada individu-individu untuk mencapai level pemenuhan kebutuhan yang semaksimal mungkin sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.

C. Pendekatan Keynesian
  Pendekatan ini mengajukan sebuah kritik  terhadap konsep pasar yang meregulasinya dirinya sendiri yang banyak digunakan oleh para pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Kritik dari pendekatan Keynesian ini mempertanyakan pandangan bahwa sistem pasar yang tidak diregulasi akan dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi produksi yang ada dalam masyarakat. Inti dari argumen pasar yang meregulasi dirinya sendiri adalah sistem pasar akan mempertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki pasokan sedemikan rupa sehingga kebutuhan semua orang akan terpenuhi seoptimal mungkin sesuai dengan sumberdaya yang ada. Argumen neoklasik ini sebelumnya merujuk pada harga dan permintaan. Harga dari barang akan naik atau turun sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan dalam pasar akan terpeuhi yakni semua yang dibawa produsen ke pasar akan selalu mendapatkan pembeli. Mekanisme harga ini akan menjamin bahwa permintaan akan selalu ada, dan sekaligus membuat investasi kapital diarahkan pada bagian-bagian yang memerlukan lebih banyak investasi, dimana kebutuhan yang lebih tinggi akan investasi ini akan ditandai dengan adanya profitabilitas yang lebih besar.
Kritik dari Keynesian mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli bisa jadi merupakan masalah sistemik yang tidak ada hubungannya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melainkan bisa disebabkan karena kegagalan mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar gagal untuk mempertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat. Kegagalan pada permintaan agregat (tidak adanya pembeli yang cukup untuk membeli semua produk dalam pasar) ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan kegagalan pada permintaan individu (tidak adanya pembeli yang cukup untuk membeli produk dari satu penjual tertentu). Kalau pasar secara sistematis mengalami kegagalan untuk mendapatkan permintaan agregat maka itu akan berdampak terhadap kemampuan pasar sebagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan. Penilaian tentang mampu tidaknya pasar ini terkait dengan pandangan kita tentang bagaimana hubungan antara urusan pribadi dengan badan publik, sehingga berdampak juga terhadap pandangan tentang keterpisahan antara bidang ekonomi dan politik dan sejauh mana ekonomi dapat mendominasi kehidupan bermasyarakat.
Kritik dari pendekatan Keynesian berusaha untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dengan pasar. Namun sejauh ini, banyak ekonom dari aliran Keynesian menyimpulkan bahwa kegagalan dalam permintaan agregat (kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen dalam jumlah yang sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar) tidak harus diperlakukan sebagai sebuah masalah politik. Para ekonom Keynesian mengajukan argumen bahwa stabilitas dan kecukupan mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administratif dan bukan dengan cara politik.
Argumen dari pendekatan Keynesian ini, tentu saja dapat diperdebatkan lagi. Tapi yang penting disini adalah bahwa perdebatan terhadap pandangan dari aliran Keynesian ini akan menggeser fokus dari topik-topik utama dalam ekonomi politik ke bidang yang berbeda. Kita perlu memahami kritik Keynesian terhadap konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri secara lebih terperinci. Kritik Keynesian ini mengimplikasikan bahwa cara pandangan kita terhadap perekonomian pasar harus direvisi secara signifikan. Revisi yang dilakukan oleh kritikan dari pendekatan ini sendiri ditunjukkan pada masalah-masalah yang bersifat sentral dari ekonomi politik, yakni sifat dasar, tujuan sosial dan batas-batas dari sistem kepemilikan. Pendekatan Keynesian memfokuskan pada ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis. Karena adanya beberapa faktor perekoniman kapitalis mengandung proses-proses yang membuat reproduksi di dalamnya menjadi tidak stabil sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti perkembangannya. Proses-proses yang menimbulkan ketidakstabilan ini membuat kita menjadi ragu tentang sejauh mana pasar yang meregulasinya sendiri dapat dijadikan institusi bagi masyarakat untuk mengorganisir produksi dan distribusi barang.
Pandangan perekonomian kapitalis mengandung unsur-unsur yang membuatnya menjadi tidak stabil sebelumnya sudah ada sejak lama. Karl Marx merupakan tokoh yang paling keras mengkritik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri memiliki kecenderungan untuk mengalami krisis yang akan mengakibatkan pengangguran dalam skala besar dan pasar produk akan gagal untuk menyalurkan keseluruhan kapasitas produksi yang ada dalam produk kapitalis. Keynes sepakat dengan pandangan Marx ini namun hanya sebatas tertentu saja. Biarpun Keynes tidak menggunakan bahasa yang dramatis seperti yang biasa digunakan Marx untuk menggambarkan gangguan-gangguan yang terjadi dalam proses reproduksi kapitalis, namun Keynes juga membatan pendapat bahwa pasar mampu mempertahankan ketersediaan lapangan kerja dan kelancaran reproduksi. Keynes menolak ide bahwa kapitalisme mengandung unsur-unsur yang membuatnya tidak stabil dan mengalami kekacauan, namun dia menyimpulkan bahwa kalau perekonomian kapitalis dibiarkan bekerja tanpa intervensi negara (atau dalam konsep klasik disebut ”tangan tak terlihat”) , maka akan terjadi situasi di mana sumber daya yang ada tidak termanfaatkan secara penuh dalam kadar yang signifikan.

D. Doktrin Rostow
Rostow adalah seorang ahli ekonomi. Tetapi perhatiannya tidak terbatas pada masalah ekonomi dalam arti sempit. Perhatiannya meluas pada masalah sosiologi dalam proses pembangunan, meskipun titik berat analisisnya masih pada masalah ekonomi. Dia menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Seperti juga para ahli ekonomi umumnya pada zaman itu, bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus. Yakni dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Proses ini, dengan pelbagai variasinya, pada dasarnya berlangsung sama di mana pun dan kapan pun juga. Variasi yang ada bukanlah merupakan perubahan yang mendasar dari proses ini, melainkan hanya berlangsung di permukaan saja. Rostow membangi proses pembangunan menjadi lima tahap :
Masyarakat Tradisional (The Traditional Society) : ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Karena itu, masyarakat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Akibatnya produksi masih sangat terbatas. Masyarakat ini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak ada investasi, pola dan tingkat kehidupan generasi kedua umumnya hampir sama dengan kehidupan generasi sebelumnya.
Prakondisi untuk Lepas Landas (The Pre Take-Off Stage) : masyarakat tradisional meskipun sangat lambat terus bergerak. Pada suatu titik, dia mencapai posisi parakondisi untuk lepas landas. Biasanya keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang karena faktor-faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan. Pada periode ini, usaha untuk meningkatkan tabugan masyarakat terjadi. Tabungan ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, temasuk misalnya pendidikan. Investasi ini dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh negara. Sebuah negara nasional yang sentralistis juga terbentuk. Pendeknya, segala usaha untuk meningkatkan produksi mulai bergerak dalam periode ini.
Lepas landas (Take Off) : periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan merupakan sesuatu yang berjalan, wajar, tanpa adanya hambatan yang berarti seperti ketika pada periode prakondisi untuk lepas landas. Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari pendapatan nasional. Juga industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat cepat. Keuntungannya sebagian besar ditanamkan kembali ke pabri yang baru. Sektor modern dari perekonomian dengan demikian jadi berkembang. Dalam pertanian, teknik-teknik baru juga tumbuh. Pertanian menjadi usaha komersil untuk mencari keuntungan dan bukan sekedar untuk konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian merupakan sesuatu yang penting dalam proses lepas landas, karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang banyak, supaya ongkos perubahan ini tidak terlalu mahal.
Bergerak ke Kedewasaan (The Road to Maturity) : setelah lepas landas akan terjadi kemajuan yang terus bergerak ke depan meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Sekitar 10-20% pendapatan nasional diinvestasikan kembali supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomian global, barang-barang yang tadinya diimpor sekarang diproduksikan di dalam negeri, impor baru menjadi kebutuhan, sementara ekspor barang-barang baru mengimbangi impor. Sesudah 60 tahun sejak negara lepas landas (atau 40 tahun setelah periode lepas landas berakhir), tingkat kedewasaan biasanya tercapai. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi. Yang diproduksikan bukan saja terbatas pada barang konsumsi, tetapi juga barang modal.
Era Konsumsi Massal yang Tinggi (The Society of Mass Consumption) : Karena kenaikan pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini investasi meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan terus menerus.
Teori Rostow tentang lima tahap pembangunan ekonomi ini seperti halnya teori-teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik terpenting dalam gerak kemajuan dari masyarakat yang satu ke yang lainnya adalah proses lepas landas. Dalam membahas lepas landas pun, Rostow berbicara tentang aspek-aspek non ekonomi ini. Baginya lepas landas harus memenuhi semua dari ketiga kondisi yang saling berkaitan yakni : 1) meningkatnya investasi di sektor produktif dari 5% (misalnya) menjadi 10% (atau lebih) dari pendapatan nasional, 2) tumbuhnya satu atau lebih sektor industri manufaktur yang penting, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, 3) adanya atau munculnya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial yang bisa memanfaatkan berbagai dorongan gerak ekspansi dari sektor ekonomi modern, dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar sebagai hasil dari lepas landas, di samping itu lembaga-lembaga ini kemudian bisa membuat pertumbuhan menjadi sebuah proses yang berkesinambungan.

E. Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi rakyat sering didengarkan dan dikembangkan pada negara-negara berkembang, apalagi di Indonesia ketika dilanda krisis moneter tahun 1997-1998, usaha kecil menengah (UKM) telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan di beberapa sub sektor-sektor penyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi. Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi mayoritas rakyat yang menguasai sebagian kecil sumberdaya kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi.
Persoalan pelik yang selalu menghadang dalam membahas perekonomian kerakyatan terjadi pada saat menunjuk  sebutan, aktor maupun pengertian dari ekonomi arus bawah, yang memang ada tetapi sering diabaikan keberadaannya. Bahkan definisi dari usaha dengan klasifikasi sektor modern pun masih sulit dimengerti, karena banyaknya istilah dan kriteria yang digunakan. Namun demikian, meskipun banyak orang berbeda pendapat tentang pengertian ekonomi rakyat, tetapi sebenarnya sangat jelas adanya, karena apabila ditanyakan kebanyakan malah mudah dimengerti. Namun harus disadari bahwa ekonomi rakyat adalah sektor-sektor kegiatan yang dikerjakan oleh rakyat kebanyakan dengan kemampuan dan caranya sendiri yang berkembang di masyarakatnya.
Dengan demikian ekonomi rakyat pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi orang seorang, rumah tangga dan atau kelompok masyarakat untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, dalam pengerian ekonomi rakyat melajat unsur dikerjakan sendiri atau bersama-sama, kecil dan berorientasi pada kelangsungan kehidupan, cenderung tradisional dengan tingkat keswadayaan yang menonjol. Dalam pengertian Barat mirip dengan ciri small economic undertaking yang diperkenalkan Uni Eropa yang dikenal secara khsusu dalam kelompok UKM. Di Indonesia sejak kemerdekaan upaya memperkuat ekonomi masyarakat lapis bawah, atau pernah secara eksplisit disebut perekonomian rakyat, ditekankan pada tiga sektor yakni a) pertanian termasuk perkebunan dan perikanan rakyat, b) perdagangan terutama perdagangan eceran, dan c) perindustrian rakyat. Sementara infrastruktur perkuatan keuangan masih sering dikaitkan dengan pembangunan pemerintahan dalam negeri, sehingga di masing-masing desa yang sudah maju dilengkapi dengan lembaga keuangan milik desa.
Dari sini jelas bahwa ekonomi rakyat jelas usaha tradisional (pengertian UUD.1945) dan usaha skala mikro (informal dan formal), atau dapat juga usaha skala kecil dan menenagh. Tetapi UKM tidak selalu identik dengan ekonomi rakyat. Usaha mikro belum memiliki definisi yang pasti, tetapi hampir tercapai kesepakatan bahwa yang disebut usaha mikro mengacu pada volume penjualan yang kurang dari jumlah tertentu. Pengetian usaha mikro ini memang baru 4-5 tahun terakhir mengemuka seteralh pengertian UKM tidak bisa menampungnya. Batasan itu sendiri tidak mutlak tetapi ada kesepakatan tentang ciri umum yakni kegiatan ekonomi atau unit usaha yang terabaikan (excluded from) oleh pelayanan perbankan komersial biasa. Pengertian usaha mikro adalah sebuah penegasan terhadap kelompok unit usaha yang menyangkut kehidupan lapisan terbesar, tetapi tidak terjangkau pelayanan mekanisme pasar biasa.

2. Identifikasi Keunggulan dan Kelemahan Prinsip Pengambilan Keputusan :

A. Utilitarianism
Banyak ahli ekonomi memiliki kecenderungan untuk menggunakan pemahaman utilitarian sehingga cenderung untuk mengasumsikan bahwa jika sebuah pasar berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dari semua pelaku di dalamnya, asalkan kebutuhan dan sarana pemenuhan kebutuhan dapat ditentukan secara jelas, maka dapat dikatakan bahwa pasar telah berhasil memenuhi kebutuhan pribadi adalah sama dengan memenuhi kebutuhan publik. Maka menurut pandangan ini yang menjadi pertanyaan dalam kaitannya dengan pasar adalah : apakah sebuah sistem yang terdiri dari beberapa pelaku yang bertindak secara pribadi dan mengejar kepentingan pribadi mereka sendiri bisa menghasilkan beberapa transaksi pertukaran yang terjadi secara sukarela yang bisa memenuhi kebutuhan dari pelaku-pelaku itu dengan semaksimal mungkin tanpa harus ada pengaturan dari politik atau pemerintah.
Buku karya Eric Nordlinger yang berjudul On The Autonomy of the Democratic State berusaha menerapkan pendekatan utilitarian pada negara-negara yang bertindak menurut agenda mereka sendiri. Ini dilakukan Nordlinger dengan membuat definisi negara yang didasarkan pada pemikiran utilitarian. Istilah negara menurutnya merujuk pada semua individu yang memegang jabatan dimana jabatan ini memberikan kewenangan kepada individu-individu untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dapat mengikat pada sebagian atau keseluruhan dari segmen-segmen dalam masyarakat. Dari definisi ini tampak dua hal penting mengenai negara. Pertama, negara terdiri dari dari beberapa individu dan Kedua, negara terpisah dari masyarakat di mana masyarakat  ini terikat untuk mematuhi keputusan-keputusan negara. Maka dari pandangan ini, otonomi negara adalah berbentuk kemampuan dari para pejabat negara untuk melaksanakan pilihan-pilihan mereka dengan cara menterjemahkan pilihan-pilihan itu ke dalam kebijakan publik, yang bisa selaras atau bisa juga bertentangan dengan pilihan-pilihan orang lain yang bukan pejabat negara.
Apakah negara memiliki otonomi atau tidak, dapat ditentukan secara logis dengan relatif mudah. Semua individu memiliki pilihan. Individu-individu yang memegang jabatan publik memiliki pilihan sendiri juga. Kadang pilihan-pilihan dari individu yang tidak memegang jabatan negara ini mengalami konflik dengan pilihan-pilihan dari individu yang menjadi pejabat. Dan ketika konflik ini terjadi, kadang-kadang pilihan dari para pejabat negaralah yang menang. Ketika pilihan dari pejabat negara ini menang, maka dikatakan bahwa negara memiliki otonomi. Nordlinger memaparkan masalah otonomi negara sebagai sebuah klaim yang dapat dibuktikan secara empiris (yakni cukup dengan melihat siapa yang menang atau berhasil menerjemahkan pilihannya menjadi kebijakan). Negara akan dikatakan otonom ketika pejabat-pejabatnya berhasil menerjemahkan pilihan-pilihan mereka sendiri menjadi kebijakan.
Namun pendekatan seperti ini tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan besar mengenai pembedaan antara negara dengan perekonomian. Nordlinger mencoba membedakan antara keduanya dengan cara merujuk pada konsep jabatan. Negara (yang terdiri dari individu) dapat dikatakan sebagai negara karena individu-individu di dalamnya memegang jabatan yang dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat terhadap sebagian atau semua individu dalam masyarakat. Masyarakat sipil dikatakan sebagai bukan negara karena didalamnya tidak ada kemampuan untuk membuat keputusan yang mengikat seperti itu. Tapi pembatasan seperti ini memiliki masalah yakni tidak adanya kriteria yang relevan dengan isi dari pilihan para pembuat kebijakan negara ini dengan pilihan dari mereka yang bukan pejabat negara. Pilihan negara (pilihan yang dibuat pejabat negara) dengan pilihan non negara (pilihan yang dibuat mereka yang bukan pejabat negara) dapat dianggap sama bentuknya biarpun isinya bisa bertentangan satu sama lain (karena keduanya adalah sama-sama individu yang membuat pilihan berdasarkan kepentingan pribadinya masing-masing biarpun kepentingan pribadi dari pejabat negara dipengaruhi oleh pilihan para konstituennya). 
Tiadanya perbedaan isi atau perbedaan substansi antara pilihan-pilihan dalam wilayah negara dengan wilayah non negara membuat konsep otonomi negara menjadi tidak jelas dasarnya. Jika para pejabat negara dan orang-orang dalam kapasitas pribadi memiliki pilihan-pilihan yang identik satu sama lain, maka otonomi negara menjadi tidak ada bedanya dengan sekedar pertarungan antarbeberapa kepentingan yang sama-sama bersifat pribadi, dan bukan merupakan pertarungan antara klaim-klaim yang didasarkan pada kepentingan publik.


B. Libertarianism
Negara tidak memperdulikan dirinya sendiri dengan menyelamatkan pendayagunaan pasar secara tepat untuk alasan berikut. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan melanggar hak-hak milik dan membawa redistribusi hal milik dengan alat yang tidak sah. Pertama, negara membuat ketetapan bahwa keputusan pribadi tentang orang-orang yang melibatkan penjualan hak milik mereka harus dibenarkan karena mereka membawa pada level keseluruhan dari kesejahteraan. Agar dapat membenarkan keputusan-keputusan tersebut negara bertanggungjawab untuk menentukan kembali penggunaan properti yang sudah ada melalui perpajakan dan pengeluaran contohnya.
Sementara negara tidak memiliki tujuan dengan memerhatikan pada peraturan ekonomi, hal ini tidak membuatnya membuatnya menjadi tidak aktif. Sebaliknya, negara libertarian dapat menjadi sangat aktif dalam cara-cara yang mempengaruhi kehidupan ekonomi. Jelaslah jika percaya dalam keadilan intrinsik tentang orde libertarian seperti dijelaskan sebelumnya, kita harus mampu menyampaikan hukuman kita kepada orang lain dan sehingga membantu mereka untuk memegang teguh prinsip-prinsip keadilan yang berpusat pada hak-hak. Tetapi lebih penting daripada ini, kita juga harus membuat viabilitas masyarakat menjadi tertata, kapasitasnya untuk mempertahankan kebenaran prinsip di mata warga negaranya.
Hal ini mungkin menjadi masalah, jika masyarakat yang tertata sejalan dengan lini libertarian membawa pada begitu banyak pelanggaran yang seringkali terjadi karena tuntutan saling ketergantungan ekonomi bahwa keadilan hanya dapat bertahan di mana saling ketergantungan semacam ini bersifat minimal. Kurangnya ketergantungan kita pada pasar karena empay kebutuhan dasar, tidak terjadinya kegagalan pasar mendasari komitmen kita untuk itu. Saling ketergantungan menempatkan masalah-masalah serius untuk argumen libertarian. Gagasan tentang hak milik menyebutkan batasan dalam hak seperti yang lain.
Hal ini kemudian membuatnya menjadi relevan untuk memikiran tentang hubungan apa yang seharusnya ada antara negara dengan perekonomian. Jika tidak, maka adanya kesalingketergantungan antarpelaku yang tidak diinginkan oleh pelaku itu akan membuat pendekatan libertarian menjadi kurang relevansinya. Ini menunjukkan kepada kita sebuah aspek penting dari cara pandang dari pendekatan libertarian. Pada level yang paling mendasar, pendekatan ini memfokuskan pada keterpisahan dan kesalingketergantungan antar orang. Pendekatan liberatarian memandang keterpisahan antara orang yang satu dengan yang lainnya sebagai kemampuan tiap-tiap orang untuk menyambung hidupnya sendiri-sendiri dan menjadi diri mereka sendiri tanpa memerlukan konteks yang lebih besar seperti institusi sosial dan sistem kelompok.
Seorang libertarian akan lebih suka melepaskan hubungan saling ketergantungan dengan orang lain dari pada melepaskan kebebasannya. Dengan begitu si libertarian dengan sendirinya meletakkan integritas individu yang dianggapnya sama dengan hak individu pada posisi yang lebih tinggi daripada integritas dari kelompok atau integritas masyarakat, karena integritas kelompok atau sosial diadakan hanya untuk melindungi dan meningkatkan integritas individu sementara integritas individu berada dalam kondisi yang lemah. Pendekatan ini memandang bahwa kalau kita bisa melepaskan ikatan-ikatan itu maka yang kita dapatkan adalah kebebasan. Namun kebebasan atau kemerdekaan dalam artian seperti ini, biarpun menarik dari beberapa segi tertentu, tampaknya tidak memiliki kekayaan makna dan mungkin sedikit asosial.

C. Teori Keadilan Rawl
John Rawl telah mengajukan sebuah pendekatan berbasis keadilan yang memiliki banyak perbedaan dengan pendekatan libertarian. Pendekatan ini adalah pendekatan yang ”modern” karena ada pendekatan kontraktian ”klasik” yakni teori kontrak sosial dari Thomas Hobbes dan JJ Rousseau. Pendekatannya ini berbeda dari cara Rawl menentukan prinsip-prinsip dasar keadilan dan kemudian berbeda dari segi prinsip-prinsip yang dihasilkannya itu sendiri. Teori Rawl ini memiliki lingkup yang luas dan tidak terfokus secara khusus pada masalah-masalah yang relevan dengan ekonomi politik saja.
Kalau keadilan ekonomi didefinisikan sebagai pengakuan terhadap hak kepemilikan pribadi, maka keadilan hanya bisa terwujud lewat pasar bebas dan hanya dampak-dampak yang dihasilkan oleh pasar bebas itu saja yang dapat dikatakan adil bagi masyarakat (sesuai dengan definisinya). Karenanya, agar sebuah teori berbasis keadilan bisa memandang bahwa ada dampak lain yang juga adil, maka teori itu harus menggunakan ukuran lain untuk menilai distribusi pendapatan dan kekayaan, di mana ukuran lain ini menggunakan hak kepemilikan tapi tidak melulu menggunakan hak kepemilikan saja. Alternatif lain di luar keadilan sebagai pengharapan terhadap hak individu yang diajukan Rawl adalah konsep keadilan sebagai keseimbangan.
Rawl memaparkan prinsip-prinsip dasar dari keadilan sebagai berikut : ”Semua nilai sosial seperti kebebasan dan peluang, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar dari martabat individu harus didistribusikan secara merata kecuali jika distribusi yang tidak merata terhadap sebagian atau semua dari nilai-nilai ini bisa menguntungkan semua orang”. Definsi ini membawa implikasi bagi masalah distribusi kekayaan dan pendapatan seperti diuraikan berikut ini. Menurut prinsip keadilan Rawl distribusi yang tidak merata harus sama-sama menguntungkan mereka yang memiliki banyak dan mereka yang memiliki lebih sedikit agar bisa dikatakan adil. Ini berarti bahwa ketidakmerataan harus dapat memberikan keuntungan bagi mereka yang lebih kecil kekayaan atau kesejahteraannya.
Pemerintah dipandang memainkan peranan aktif dalam hubungannya dengan pasar, karena pemerintah harus menyesuaikan dampak-dampak dari pasar bebas agar selaras dengan tuntutan keadilan. Ini artinya politik ikut berperan di dalam kelancaran fungsi perekonomian. Namun pada prinsipnya ada banyak hal dari arena politik yang menjadi tidak berfungsi ketika pendekatan ini diterapkan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam perekonomian seperti berapa banyak barang yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksinya dan bagaimana mendistribusikannya, sekarang ditentukan oleh logika ekonomi dan prinsip keadilan. Solusi politik tidak diperlukan lagi,dalam kerangka kontraktian ini, penerapan prinsip keadilan diberikan prioritas yang lebih tinggi daripada politik.
Pandangan terhadap politik dalam pendekatan ini mirip seperti tema utama dari ekonomi politik klasik. Pendekatan-pendekatan berbasis keadilan tidak pernah berusaha untuk memasukkan unsur politik ke dalam perekonomian. Masing-masing dari pendekatan berbasis keadilan ini berusaha untuk mendefinisikan bagaimana kerangka institusional yang sesuai bagi pemenuhan kebutuhan. Kalau institusi-institusi ini adil maka dapat dipastikan bahwa kegiatan ekonomi akan menghasilkan dampak-dampak yang adil juga (yakni adil dalam artian seimbang). Keadilan akan tetap terwujud selam hukum-hukum yang selaras dengan prinsip keadilan dipatuhi.

D. Demokratik
Demokrasi merupakan wacana dan praktik yang terus berjalan dinamis untuk menemukan pola-pola trerbaiknya menyesuaikan dengan khasan karakter lokal di mana demokrasi di praktikkan, dan mencari jalan keluar terbaik atas masalah-masalah yang dihadapi. Pendek kata, demokrasi sampai kini belum berhenti mencari bentuknya yang terbaik. Demokrasi memiliki banyak varian makna yang cukup beragam, di era modern ini, demokrasi cenderung ditekankan pada makna bahwa dalam konteks politik kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Roberth A Dahl dengan mengajukan lima standar untuk demokrasi. Menurutnya demokrasi akan memberikan berbagai kesempatan untuk : partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, pemahaman yang jernih, melaksanakan pengawasan terhadap agenda, percakupan orang dewasa. Dahl juga memberikan argumen penting mengapa demokrasi harus didukung. Menurutnya demokrasi pada akhirnya akan menghasilkan: menghindari tirani, hak-hak asasi, kebebasan umum, menentukan nasib sendiri, otonomi moral, perkembangan manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama, mencari perdamaian dan kemakmuran.
Pendapat lain dari Henry B Mayo dalam Introduction to Democratic Theory memberikan penjelasan tentang nilai-nilai unggul yang tersimpan dalam sistem demokrasi. Diantaranya adalah : menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara lembaga, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat, menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, megakui serta mengganggap wajar adanya keanekaragaman, menjamin tegaknya keadilan.
Kendati demikian kata demokrasi selalu dihubungkan pada sistem liberalisme kapitalisme Barat. Karena kebebasan individu ditekankan lebih besar sementara masalah kesejahteraan ekonomi sebagaimana dikritik oleh Keynes, Marx, bahwa pemerintah harus ambil bagian atau tanggungjawab dengan permasalahan ekonomi. Namun untuk menjalankan sistem demokrasi secara subtansial, demokrasi tidak akan bisa berkembang dalam sistem ekonomi komando (karena tidak memungkinkan inisiatif dan kebebasan swasta mengembangkan diri). Demokrasi juga tidak bisa hidup wajar dalam sistem ekonomi pasar murni karena jaminan kebebasan dan penyediaan “public goods” memerlukan intervensi bagi konsolidasi. Demokrasi adalah sekumpulan norma, lembaga dan regulasi yang dirumuskan dan diterima melalui proses sosio-politik dan berfungsi menjadi pencegah antara “Negara” dan “pasar”. Inilah yang disebut dengan Economy Society. Sejarah menunjukkan bahwa konsolidasi demokrasi memerlukan pelembagaan pasar yang diatur oleh politik, sehingga tidak mengganggu jalannya demokrasi.

E. Ethical Pluralism
Memerhatikan sebiah versi aliran pluralisme dari pendekatan utiliritarian. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, aliran ini memandang bahwa negara memiliki peran sebagai fasilitator belaka. Ketika negara dihadapkan pada tekanan-tekanan dari masyarakat yang saling bertentangan satu sama lain, negara melakukan mediasi dari koordinasi terhadap klaim-klaim yang saling bertentangan dari berbagai kelompok, mendorong pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk mengambil kompromi, dan menjamin bahwa aturan permainan dipatuhi oleh semua pihak. Negara dalam artian ini adalah arena pertarungan dan sekaligus menjadi wasit yakni sebuah tempat dimana konflik masyarakat dijalankan, dan sekaligus merupakan beberapa aturan yang mengatur jalannya konflik itu. Setelah kelompok-kelompok dalam masyarakat mengungkapkan tuntutan mereka, negara berubah perannya dari yang sebelumnya berfungsi sebagai penjamin kepatuhan terhadap prosedur menjadi pihak yang mengimplementasikan kebijakan.
Pluralisme sebagai sebuah teori sosial yang memberikan peran yang kecil bagi negara. Arthur Bentley pelopor dari teori pluralisme memiliki relevansi tidak hanya pada pemikirannya sendiri, tapi juga bagi pemikiran-pemikiran dari aliran pluralisme selama setengah abad berikutnya yang terkait dengan masalah negara. Jika teori dari pluralisme ini diterima secara serius, maka akan sulit atau bahkan tidak mungkin negara dipandang cuma sebagai dampak dari tekanan-tekanan dari berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Dan bahkan dalam pandangan pluralisme, stabilitas dari masyarakat diyakini akan terbentuk ketika hasil-hasil keputusan politik mencerminkan keseimbangan kekuasaan yang ada di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Bagi teori pluralisme, otonomi negara adalah fenomena yang ada secara empiris dan tidak dapat ia jelaskan (anomali). Ada banyak kasus nyata dalam dunia politik yang tidak selaras dengan teori ini seperti yang ditunjukkan oleh kondisi global pasca perang dunia ke II, membuat pandangan-pandangan tentang perubahan sosial dan politik yang berbasis masyarakat menjadi sulit untuk dipercaya. Di Amerika dan banyak negara di Eropa telah mendorong pemerintah untuk melakukan intervensi dan pembuatan kebijakan makro ekonomi dan pengeluaran publik mengalami kenaikan pesat di hampir semua negara yang berhaluan demokrasi liberal, menurut Skocpol Amerika Serikat dan Inggris sama-sama mengalami beban berat akibat persaingan ekonomi internasional. Masyarakat di dua negara tersebut tidak lagi mampu untuk mempertahankan keunggulan ekonomi mereka sehingga menjadi bersedia untuk membiarkan negara berperan secara lebih aktif. 

Entri Populer