Jumat, 06 April 2012

Materi Menulis Makalah


Oleh : Prof.Dr. Mujhahirin Tohir
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Menulis Makalah


1. Pengantar
Dasar penilaian bagi mahasiswa bidang  ilmu politik sebagian besar berasal dari tugas-tugas menulis: membuat makalah, resume buku, laporan penelitian, dan menyusun skripsi. Bahkan  menjawab soal ujian adalah bentuk makalah  yang paling sederhana  tetapi sangat menentukan keberhasilan belajar setiap mahasiswa. Semua itu membutuhkan ketrampilan khusus yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa: ketrampilan menulis.

2. Analisis, argumen dan kritik.
Penulisan bidang sosial dan politik mempersyaratkan analisis, bukan sekadar pendekatan deskriptif. Hasil tulisan harus mencerminkan argumen yang jelas. Tidak seperti komposisi tulisan sederhana yang mungkin biasa ditulis untuk jenis tulisan non akademik (misalnya "Kegiatan Saya Selama Liburan" atau "Hari-hari Menjelang Pernikahan"), sebuah makalah biasanya berusaha menjawab pertanyaan tentang apakah kita setuju atau tidak setuju terhadap suatu pernyataan, atau pertanyaan yang meminta kita mendiskusikan suatu topik secara kritis, atau untuk mengevaluasi sebuah pernyataan, atau untuk membuat pilihan. Makalah pada tingkat universitas, khususnya untuk bidang ilmu politik, adalah suatu argumen untuk mendukung atau menolak suatu proposisi tertentu. Argumen adalah sekumpulan generalisasi atau propisisi, didukung oleh fakta atau penjelasan rasional dan disusun dalam urutan yang logis sehingga menuntun kita ke arah kesimpulan yang dapat diandalkan.
Dengan demikian, penulis makalah harus mempertahankan argumen yang dikemukakan dengan cara memberi fakta dan alasan-alasan. Sekadar penegasan tidaklah mendukung sebuah argumen. Penulis makalah harus mendukung opininya dengan data dan fakta yang baik serta alasan yang valid. Apa yang dapat dikategorikan sebagai fakta yang baik dan alasan yang valid akan diperoleh dari pengalaman, dan dari konsultasi dengan dosen pengasuh sebuah matakuliah. Bersikap kritis mungkin berarti bahwa kita harus menentukan apakah data yang tersedia mampu menjustifikasi kesimpulan yang kita buat, atau kita harus membuka dan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang mendasari teori politik dan teori-teori lain dalam ilmu-ilmu sosial.

3. Makalah
Sebuah makalah memberi kesempatan kepada kita untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukan: bahwa kita memahami pertanyaan, bahwa kita memahami issue-issue yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut, dan bahwa kita telah merampungkan bahan bacaan dalam jumlah yang memadai.
Dengan penguasaan seperti itu, kita kemudian harus menunjukkan bahwa kita mampu mengkomunikasikan pemahaman kita tersebut kepada orang lain.
Pastikan bahwa kita benar-benar mampu manjawab pertanyaan yang diajukan. Jika kita diminta untuk mengevaluasi, atau untuk memilih, atau mendiskusikan suatu topik, maka kita harus melakukan sesuai perintah itu. Jangan sekali-sekali menuliskan semua yang kita ketahui tentang subyek yang ditanyakan karena hal itu mungkin tidak relevan.
Dosen pengasuh matakuliah tidaklah mencari "jawaban yang benar". Dalam hal ini tidak ada pola khusus yang harus diikuti. Para dosen pengasuh matakuliah biasanya lebih menitikberatkan perhatian pada seberapa bagus seorang penulis makalah mampu mengolah pembahasan pada kasus yang dipilihnya. Apakah dosen setuju atau tidak setuju dengan pendapat penulis makalah tidaklah menjadi faktor penentu dalam menentukan rangking nilai. Ketidaksetujuan tidak akan menjurus ke nilai jelek, tetapi makalah yang buruk pasti akan berakibat kepada nilai jelek.
Jika ada pendapat penting yang berlawanan dengan pendapat kita sebagai penulis makalah, jangan abaikan pendapat-pendapat tersebut, bahkan kita harus menghargainya secara jujur. Berikan penjelasan terhadap mereka yang tidak setuju dengan pendapat kita, usahakan untuk mempertemukan pendapat mereka tersebut dengan pendapat yang lebih baik. Proses belajar di universitas bukanlah persoalan penentuan kredit-poin karena pendapat kita selalu dianggap benar, tetapi kita harus menghormati data dan pendapat yang lebih baik.
Adalah sangat penting untuk diperhatikan bahwa di dalam menulis makalah, setiap argumen yang kita susun haruslah konsisten, bahasa yang digunakan harus jelas, mengikuti tatabahasa yang benar, serta gaya bahasa yang baik.
Lebih lanjut, sebuah makalah adalah hasil pekerjaan dalam bentuk final, bukan sekadar draft atau sekumpulan catatan. Walaupun draft atau konsep awal harus ditulis (mungkin beberapa kali), tetapi makalah final harus memenuhi standar penampilan yang dipersyaratkan.

4. Merencanakan Makalah
a. Memilih Topik
Setiap matakuliah biasanya mewajibkan tugas penulisan makalah dengan memberikan beberapa pilihan topik. Pilihlah secara hati-hati dan mulailah bekerja pada tahap yang paling dini. Lakukanlah semua persiapan dan perhitungkan juga dengan tugas-tugas dari matakuliah lain. Hal ini akan menghindari situasi akhir yang tidak diinginkan pada saat-saat terakhir menjelang pengumpulan: begadang, terburu-buru, dan menulis asal jadi karena sudah frustasi dan depresi.
Makalah terbaik adalah yang ditulis dengan topik pilihan yang menarik minat penulisnya, namun waspadalah agar kita tidak terjebak dengan kesalahan umum: menghabiskan terlalu banyak waktu untuk topik tersebut padahal sebenarnya kurang mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis, atau mengabaikan tugas matakuliah lain.

b. Analisis
Apakah pertanyaan yang harus dikerjakan? Mulailah dengan memeriksa kata-kata kunci dan konsep dalam pertanyaan-pertanyaan tentang topik yang harus ditulis. Perhatikan secara khusus beberapa kata kunci yang sering digunakan dalam pertanyaan. Contohnya:
bandingkan - membahas karakteristik dari suatu obyek dalam pertanyaan tersebut untuk menunjukkan perbedaan dan persamaannya.
kontraskan - membahas karakteristik dari suatu obyek dalam pertanyaan untuk menunjukkan perbedaan- perbedaannya.
analisis - pertimbangkan beberapa komponen secara keseluruhan dan jelaskan hubungan-hubungan antar komponen tersebut.
diskusikan - menampilkan dan membahas aspek-aspek yang berbeda dari pertanyaan dan masalah dalam topik tersebut.
evaluasi - membahas beberapa sisi dari pertanyaan untuk mencapai penilaian normatif.

c. Outline
Setelah menganalisis pertanyaan, komponen-komponen pertanyaan harus diorganisir untuk membentuk outline (perencanaan) dari makalah yang akan ditulis. Outline ini akan membantu penulisan makalah sehingga mempunyai struktur yang logis dan koheren. Juga akan mempermudah proses penulisan makalah karena outline akan membantu kita menentukan bahan bacaan, mengambil kutipan-kutipan dan membuat catatan-catatan pendek, serta menuliskannya ke dalam draft makalah.
Outline juga akan membantu kita untuk melakukan penilaian relatif terhadap komponen-komponen yang berbeda dari jawaban atas pertanyaan dalam topik yang dipilih, dengan cara membedakan mana poin-poin yang sentral dan mendukung argumen utama, dan mana yang sifatnya hanya periperal. Hal ini akan membantu usaha kita melakukan riset lebih lanjut. Namun demikian, outline tidaklah disusun secara konkrit. Tidak usah segan-segan untuk merevisi outline tersebut ketika ada kemajuan dalam riset tentang makalah tersebut, tetapi selalu lakukan cek ulang bahwa outline yang baru harus menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan dalam topik.

d. Riset
Penguasaan bahan bacaan yang luas dan mendalam adalah sangat esensial kalau kita hendak menulis makalah yang bagus. Tanpa bahan bacaan yang luas kita tidak akan mempunyai panduan pengetahuan yang memadai untuk mengevaluasi materi-materi berharga dan meletekkannya dalam perspektif yang benar. Riset yang efektif sangat tergantung pada kita, yaitu bahwa kita "mengetahui apa yang kita cari". Oleh karena itu selalu ingat-ingatlah outline yang sudah dibuat. Pastikan bahwa kita membaca untuk menjawab bagian-bagian tertentu dari outline.
Dalam beberapa matakuliah, tugas menulis makalah biasanya sudah diikuti dengan daftar bacaan yang dianjurkan. Seberapa banyak buku atau artikel yang harus dibaca tergantung dari topik yang dipilih. Secara umum, semua pilihan topik mempunyai daftar bahan bacaan dalam jumlah yang hampir sama. Mahasiswa dianjurkan untuk melengkapi daftar bacaan yang sudah tercantum di dalam silabus dengan buku-buku atau artikel lain yang relevan dengan topik yang hendak ditulis.
Gunakan outline sebagai dasar untuk membuat catatan-catatan dari bahan bacaan. Usahakan untuk tidak memfotokopi sejumlah besar halaman dari buku bacaan karena hal itu hanya akan menunda pekerjaan membaca dan berpikir. Cara terbaik adalah langsung membaca dari buku, buatlah catatan-catatan yang berguna dan sesuai dengan outline, gunakan catatan-catatan tersebut sebagai rujukan dalam menulis. Harap waspada bahwa kita sering "merasa aman dan senang" setelah memiliki sejumlah halaman fotokopian dan kemudian menyimpannya tanpa sekalipun usaha untuk membaca dan memahaminya.
Dalam mengambil catatan-catatan penting dari buku bacaan hendaknya dilakukan secara terorganisir: ikuti susunan materi yang sudah digariskan dalam outline dan pastikan bahwa kita hanya mencatat atau mengutip bagian-bagian yang relevan dengan dan mendukung terhadap topik. Khusus tentang kutipan, harap diperhatikan bahwa kutipan harus ditempatkan sebagai pendukung argumen, bukan sebagai argumen itu sendiri. Karena itu hindarkan diri dari penempatan kutipan panjang (apalagi lebih dari satu halaman) dan menganggapnya seolah-olah itu adalah hasil pemikiran kita. Kutipan yang tidak mendukung argumen tidak akan mendapatkan poin nilai, demikian juga menganggap kutipan sebagai argumen adalah sangat tidak dibenarkan. Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah mencatat secara cermat semua sumber catatan dan kutipan yang diambil dari buku atau artikel yang dibaca. Ini akan sangat berguna dalam membuat daftar referensi, baik untuk catatan kaki maupun daftar pustaka.

e. Menulis dan Merevisi
Makalah haruslah berisi sekumpulan analisis yang logis dan koheren dengan beberapa persyaratan tambahan. Pertama, makalah harus mampu menjawab pertanyaan dalam topik. Kedua, mempunyai argumen yang jelas dan secara jelas pula mengekspresikan gagasan dari penulisnya. Ketiga, harus didukung secara hati-hati dengan referensi yang memadai.
Struktur dari sebuah makalah biasanya terdiri dari tiga bagian: pendahuluan, bagian utama makalah, dan kesimpulan. Bagian pendahuluan berfungsi untuk menjelaskan secara ringkas tentang topik yang akan didiskusikan dan mempersiapkan pembaca tentang apa yang akan diperoleh kemudian. Mungkin akan sangat bermanfaat untuk menampilkan ringkasan dari keseluruhan tema dan argumen dalam bagian pendahuluan ini, dengan mengindikasikan poin-poin utama yang harus dibahas.
Bagian utama dari makalah (biasanya disebut sebagai the body of the essay) adalah tempat untuk menampilkan argumen-argumen utama penulisnya. Lakukankanlah presentasi secara logis dan sistematis dengan mempertimbangkan dukungan data dan referensi seperti sudah dibahas di atas.
Kesimpulan harus menuliskan kembali secara ringkas argumen-argumen kunci dan implikasinya. Juga pendapat dan argumen penulis secara khusus menyangkut materi yang sudah didiskusikan.
Secara sederhana, struktur makalah harus mengikuti aturan: "katakan apa yang hendak engkau katakan, katakanlah, dan katakan apa yang sudah engkau katakan".

Partisipasi dalam Politik : Konsekuensi Komunikasi yang Mempolitikan


Berpartisipasi dalam Politik :
Konsekuensi Komunikasi yang Mempolitikan

Mohammad Ali Andrias,S.IP.,M.Si

Melalui pengalaman sosialisasi dan komunikasi, orang akan mengembangkan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang relevan dengan politik. Apakah hal ini mengakibatkan orang dewasa akan berperan aktif dalam politik, yang bergantung pada terbukanya dan tanggapan orang tersebut terhadap komunikasi yang mempolitikan, maupun komunikasi yang mensosialisasikan. Pembahasan ini akan menguraikan hubungan diantara komunikasi politik dengan partisipasi politik. Fokus dalam pembahasan ini akan mengamati tipe-tipe orang yang akan mengambil bagian dalam politik, bagaimana mereka melakukannya, dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pendorongan atau pengurangan kegiatan politik mereka. Akhirnya kita bisa meneliti satu faktor secara rinci, yaitu sebagaimana partisipan menanggapi komunikasi politik.

A.    Komunikator Politik Sebagai Partisipan Politik

Dalam bagian ini akan mencoba menguraikan tipe-tipe orang seperti politikus, komunikator profesional, dan aktivis politik yang memainkan peran kepemimpinan dalam komunikasi politik. Politikus  baik yang mewakili anggota/golongannya atau politikus idiolog, berkomunikasi untuk kepentingan para pemilih atau untuk kepentingan tujuan. Juru bicara kelompok terorganisasi dan pemuka pendapat (pengamat politik) memainkan peran yang jauh lebih aktif dalam komunikasi politik dibandingkan dengan warga negara pada umumnya.
Meski pada pertemuan sebelumnya kita menekankan peran kepemimpinan sebagai komunikator politik, kita juga mengemukakan bahwa para pengikut politik pun adalah komunikator. Lebih dari itu, kita membedakan orang yang merupakan pengikut politik (partisipan politik) mereka yang menaruh minat aktif dalam politik dan bukan pengikut politik (mereka yang tidak tahu menahu atau apatis terhadap urusan politik). Dalam bahasan ini perhatian kita adalah pada pengikut yang aktif dan berminat yang diberi label sebagai partisipan politik. Bukan pada pemimpin politik atau bukan pada pengikut. Dalam komunikasi politik, partisipan politik adalah anggota khalayak yang aktif yang tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan oleh para pemimpin politik, tetapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan para pemimpinnya. Ringkasnya, partisipan politik melakukan kegiatan bersama-sama dengan para pemimpin politik, yaitu mereka sama-sama komunikator politik.
James Rosenau, mencoba menguraikan pandangannya dengan cara memperhatikan dua perangkat utama warga negara yang merupakan khalayak dari partisipan dalam komunikasi politik. Pertama, terdiri atas orang-orang yang sangat memperhatikan politik, tidak hanya selama bertahun-tahun pemilihan umum (pemilu), tetapi juga diantara pemilu tersebut, para pengamat politik ini berlaku sebagai khalayak tak terorganisasi bagi imbauan pemimpin politik, mereka disiarkan ditelevisi ketika mengutarakan pendapatnya, membaca surat kabar dan menulis opini di dalam surat kabar, mengikuti ceramah dan pidato politik, mengajukan pertanyaan kepada pemimpin politik yang menyampaikan informasi-informasi politik, berbicara politik dengan kawan dan kenalannya dan berbagai aktivitas lainnya mengikuti perkembangan politik di dalam negeri maupun luar negeri.
Melalui kegiatan ini para pengamat (partisipan politik) mengingatkan kepada pemimpin politik bahwa mereka sangat diamati dan dinilai kinerja (track record) dalam kepemimpinan politiknya. Selain itu, para pemimpin politik menguji imbauan mereka pada khayalak partisipan yang mengamati, para partisipan ini menggantikan para pemilih untuk digunakan oleh pemimpin dalam menaksir kemungkinan berhasilnya kebijakan, program dan pencalonannya.
Kedua, ada partisipan lainnya yang tidak sekedar mengamati dan menilai, karena itu mereka lebih dari hanya khalayak yang tak terorganisasi atau pengganti pemilih. Mereka adalah orang-orang yang menghubungi dan bertukar pesan dengan pemimpin pemerintahan dan bukan pemerintahan. Pada gilirannya para pemimpin politik itu memobilisasi partisipan ini untuk mendukung atau menentukan kebijakan dan tujuan yang diusulkan. Maka perangkat kedua dari partisipan ini terdiri atas orang-orang yang tidak hanya menaruh perhatian dan minat, namun juga bisa dimobilisasi. Untuk mendapat pengertian yang lebih baik tentang Pancasila yang dilakukan oleh partisipan yang mengamati dan dimobilisasi ini dalam politik, kita akan memperhatikan lebih seksama kegitan yang merupakan partisipasi politik. Mula-mula kita akan teliti dimensi-dimensi partisipasi politik, tipe-tipe utama partisipasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi apakah orang giat dalam politik dan dengan cara bagaimana.
B.  Dimensi Partisipasi Politik

Orang mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara. Cara-cara itu berbeda dalam tiga hal atau dimensi, gaya umum partisipasi, motif yang mendasari kegiatan mereka, dan konsekuensi berpartisipasi pada peran seseorang dalam politik.

Gaya partisipasi

Gaya mengacu kepada baik apa yang dilakukan maupun bagaimana ia melakukannya. Sebagaimana gaya pembicaraan politik (seperti singkat, padat, jelas atau bertele-tele), gaya umum partisipasi pun juga bervariasi.

1.       Langsung atau Mewakilkan : Ada orang yang melibatkan diri sendiri (aktual) dengan hubungan yang dilakukan terus menerus dengan figur politik. Hubungan tersebut dengan cara menelepon, mengirim surat atau email, dan mengunjungi kantor pemerintahan. Yang lain bertindak terhadap politikus, tetapi tidak bersama politikus. Misalnya, mereka memberikan suara untuk memilih pejabat pemerintahan yang belum pernah dilihat atau ditemuinya. Yang lain lagi dengan menonton televisi untuk mengetahui siapa yang terpilih menjadi presiden atau walikota, dalam persaingan tersebut mereka tidak cukup tergerak untuk memilih, jadi ambil bagian dengan cara turut merasakan (dengan cara mewakilkan) dengan mengetahui siapa yang menang. Manakala komunikasi interpersonal dengan pemegang jabatan memerlukan hubungan langsung, komunikasi massa mengambil sifat wakilan (tidak langsung) dari hubungan komunikasi politik tersebut.
2.       Kentara/ Tidak Kentara, jika seseorang mengutarakan opini politik, hal itu bisa meningkatkan kemungkinan diperlohnya keuntungan material (seperti jika mendukung kandidat politik dengan imbalan akan diangkat atau masuk untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan). Gaya ini melibatkan keuntungan yang kentara (terlihat) dan intrumental. Ada partisipasi yang kurang kentara, misalnya seperti upaya mendemontrasikan keunggulan statusnya kepada kawan-kawan. Perhatikan seorang dosen yang keras kepala pada pendapatnya, mempengaruhi mahasiswanya dengan tingkat pengetahuan dan informasinya yang lebih tinggi, atau seorang wakil rakyat (DPR) kepada anggota yang lainnya. Wakil Rakyat atau dosen itu seolah-seolah berkata “Anda harus menilai pandangan saya lebih baik daripada pandangan anda karena saya lebih berpengetahuan”. Akhirnya partisipasi bahkan bisa lebih tak kentara dan lebih ekspresif seperti jika mengatakan “pembohong jahat” kepada seorang politikus yang berada di luar jangkauan pendengaran dan penglihatannya. Orang itu merasa senang karena telah mengatakannya, tetapi hal itu tidak mengubah perilaku orang tersebut sedikit pun.
3.       Individu/kolektif, bahwa tekanan dalam sosialisasi masa mahasiswa adalah gaya partisipasi individual (memberikan suara, mengirim surat kepada pejabat, atau mengirim opini politik melalui surat kabar), bukan pada memasuki kelompok terorganisasi atau pada demonstrasi untuk memberikan tekanan kolektif kepadapembuat kebijakan. Ketika keluar dari dunia pendidikan bisa muncul lebih banyak gaya kolektif-masuk ke dalam partai politik, berusaha menjadi kandidat politik, menjadi aktif dalam serikat buruh atau dalam lembaga politik non pemerintah.
4.       Sistematis/Acak, beberapa individu berpartisipasi dalam politik untuk mencapai tujuan tertentu, mereka bertindak bukan karena dorongan hati melainkan berdasarkan perhitungan, pikiran, perasaan, dan usul mereka untuk melakukan sesuatu bersifat konsisten, tidak kontradiksi, dan tindakan mereka berkesinambungan dan teguh. Bukan sewaktu-waktu atau dengan intensitas yang berubah. Orang-orang demikian menunjukan gaya sistematis, bukan gaya yang acak.
5.       Terbuka/Tersembunyi, orang yang mengungkapkan opini politik secara terang-terangan dan tanpa ragy-ragu, dan yang menggunakan berbagai alat yang dapat diamati untuk melakukannya bergaya berpartisipasi terbuka. Yang lain sangat hati-hati dalam pandangannya, misalnya selalu merahasiakan pilihannya, dan sangat memuji kerahasiaan surat suaranya.
6.       Berkomitmen/Tak berkomitmen, warga negara berbeda-beda dalam intensitas partipasi politiknya. Orang yang sangat mendukung tujuan, kandidat, kebijakan, atau program bertindak dengan bersemangat dan antusias, ciri yang tidak terdapat pada orang yang memandang pemilu hanya sebagai memilih antara si A dan si B yang tidak ada bedanya sama sekali.
7.       Senang dan Menderita, bahwa seseorang bisa menaruh perhatian kepada politik dan melibatkan apapun konsekuensi yang akan terjadi (misalnya akan mendapat penderitaan), karena kegiatan politik itu sendiri merupakan kegiatan yang menyenangkan. Yang lain ingin mencapai sesuatu yang lebih jauh dari politik melalui partisipasi. Mereka bisa jadi ingin lebih berpengetahuan, memenangkan argumentasi, memilih pejabat pemerintahan, atau meningkatkan perbaikan sekolah. Orang yang menaruh perhatian pada pengajuan tujuan yang kentara maupun tak kentara bisa mengalami apa yang oleh Stephenson disebut derita komunikasi, mereka yang menikmati keiikutsertaan dalam politik semata-mata karena hal itu menyenangkan dan tanpa tujuan yang lebih jauh, memetik ganjaran dari kesenangan komunikasi.

C.  Motif Partisipasi
Berbagai faktor meningkatkan atau menekan partisipasi politik. Salah satu perangkat faktor seperti itu menyangkut motif orang yang membuatnya ambil bagian. Motif-motif ini seperti gaya partisipasi yang diberikannya berbeda-beda dalam beberapa hal :
1.        Sengaja/Tak Sengaja, beberapa warga negara mencari informasi dan peristiwa politik untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka bisa berhasrat menjadi berpengetahuan, mempengaruhi suara legislator, atau mengarahkan kebijaksanaan pejabat pemerintahan. Bagi mereka politik itu bertujuan dan hal yang disengaja. Yang lain melakukan kegiatan politik hampir secara kebetulan, barangkali mereka terlibat ke dalam cerita politik, menemukan stiker kampanye menempel pada bumper mobil dan sebagainya. Yang menyebabkan mereka berpartisipasi adalah karena keadaan, bukan dengan secara sengaja.
2.        Rasional/Emosional, orang yang berhasrat mencapai tujuan tertentu, yang dengan teliti mempertimbangkan alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, dan kemudian memilih yang paling menguntungkan dipandang dari segi pengorbanan dan hasilnya, disebut bermotivasi rasional. Sebaliknya, beberapa orang yang bertindak tanpa berfikir, semata-mata karena dorongan hati. Kecemasan, kekhawatiran, frustasi, kecenderungan, praduga harapan dan cita-cita, dan perasaan lain yang tidak ditentukan, telah memotivasi partisipasi emosional (sering dengan gaya ekspresif).
3.        Kebutuhan Psikologis/Sosial, kadang-kadang orang memproyeksikan kebutuhan psikologis mereka pada objek-objek politik. Misalnya dalam mendukung pemimpin politik karena kebutuhan yang mendalam untuk tunduk kepada autoritas, atau ketika memproyeksikan ketidakcukupannya pada berbagai kelas “musuh” politik yang dipersepsi-minoritas, negara asing, atau politikus dari partai oposisi. Yang lain menggunakan politik untuk meningkatkan persahabatan sosial, mengindentifikasikan diri dengan orang-orang yang statusnya diinginkan, atau meningkatkan posisi kelompok sosial mereka terhadap kelompok sosial yang lain.
4.        Diarahkan dari dalam/dari luar, perbedaan partisipasi politik yang diarahkan dari dalam diri pribadi dan dari luar erat hubungannya dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial untuk partisipasi politik orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri adalah orang yang beraksi sendiri,yaitu orientasi dan kecenderungannya diperoleh dari bimbingan orang tuanya : “Karena arah yang diambil dalam kehidupannya telah dipelajari dalam keluasan pribadi dalam rumah tangga (keluarga) dari sejumlah kecil pedoman, maka orang yang dirahkan oleh dirinya sendiri bisa sangat stabil”. Sebaliknya, orang yang diarahkan dari luar lebih kosmopolitan menanggapi berdasarkan orientasi yang diperoleh dari lingkungannya yang jauh lebih luas ketimbang hanya orang tua. Moral dan prinsip memotivasi orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri, hasrat untuk menyesuaikan diri dan berada di dalam secara sosial mendorong orang yang diarahkan dari luar.
5.        Berfikir/tanpa berfikir, setiap orang berbeda dalam tingkat kesadarannya ketika menyusun tindakan politik. Perilaku yang dipikirkan meliputi interpretasi aktif dari tindakan seseorang dan perkiraan konsekuensi tindakan itu terhadap dirinya dan orang lain. Kegiatan yang tidak dipikirkan seperti terseret orang banyak, membuat kerusuhan tanpa tujuan, partisan yang bersemangat atau meneriakan dengan slogan idiologi-menunjukkan kurangnya penggunaan pikiran di pihak individu. Misalnya bisa jadi seseorang tidak bermaksud ikut dengan demonstrasi yang menggunakan kekerasan, tetapi ia terseret oleh keadaan dan peristiwa.



D.  Konsekuensi Partisipasi  
Pembahasan mengenai segi partisipasi politik yang dipikirkan dan interpretatif dibandingkan dengan jenis yang kurang dipikirkan dan lebih tanpa disadari menimbulkan pertanyaan tentang apa konsekuensi partisipasi bagi peran seseorang dalam politik pada umumnya.
1.         Fungsional/disfungsional, tidak setiap bentuk partsipasi memajukan tujuan seseorang. Jika, misalnya tujuan seorang warga negara adalah melaksanakan kewajiban kewarganegaraan yang dipersepsi, maka pemberian suara merupakan cara fungsional untuk melakukannya. Namun jika orang itu ingin menggulingkan seluruh aparat pemerintah, maka pemberian suara relatif tidak banyak membantu tujuan itu, setidak-tidaknya seperti pada umumnya yang berlaku di negara Indonesia, pemberian suara rakyat tidak mendukung maksud diadakannya suatu revolusi sosial dan politik.
2.         Sinambung/terputus, Jika partisipasi politik seseorang membantu meneruskan situasi, program, pemerintah, atau keadaan yang berlaku. Maka konsekuensinya sinambung. Jika partisipasi itu mengganggu kesinambungan kekuatan yang ada, merusak rutin dan ritual, dan mengancam stabilitas, partisipasi itu terputus. Partisipasi pemilih pada umumnya sinambung, peledakan pesawat atau mengancam dengan sandera, penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis politik mempunyai konsekuensi yang terputus.
3.         Mendukung/Menuntut, melalui beberapa tipe tindakan, orang menunjukkan dukungan mereka terhadap rezim politik yang ada-dengan memberikan suara, membayar pajak, mematuhi hukum, menyanyikan lagu kebangsaan, berikrar setia kepada bendera, dan sebagainya. Melalui tindakan yang lain mereka mengajukan tuntutan kepada pejabat pemerintahan-mengajukan petisi kepada anggota wakil rakyat (DPR) dengan surat, kunjungan, dan telepon. Melobi atau menarik dukungan finansial dari kampanye kandidat.
















Berita Politik : Pemerintah dan Pers Sebagai Sumber dan saluran Komunikasi








Berita Politik : Pemerintah dan Pers
sebagai Sumber dan Saluran Komunikasi Politik

Mohammad Ali Andrias, S.IP.,M.Si


A. Pengantar

Orang  mengetahui perilaku dari berbagai media massa, media interpersonal, dan media organisasi. Dari hari ke hari orang Amerika sangat mengandalkan pers bagi informasi politik mereka, informasi yang diterima mereka dalam bentuk berita. Istilah pers menunjuk kepada semua media berita, bukan hanya surat kabar, majalah berita, dan bahan cetak lainnya. Pers mencakup siaran berita radio dan televisi, dokumenter, dan semua alat untuk meneruskan informasi politik kepada khalayak massa secara terorganisasi. Sebelumnya kita sudah menguraikan jenis komunikator politik, yakni politikus yang mencalonkan diri untuk menjadi pejabat, menggunakan secara luas berbagai media berita untuk tujuan persuasif (pendekatan). Setelah menjadi pejabat, politikus meneruskan penggunaan pers sebagai alat vital untuk berkomunikasi dengan warga negara. Sekarang dalam pembahasan ini akan meninjau hubungan antara dua perangkat komunikator politik, yakni pejabat pemerintah dan jurnalis. Hubungan itu membentuk jaringan yang melibatkan pejabat dalam peran sumber berita dan jurnalis sebagai saluran komunikasi. Hasilnya, berupa transaksi sumber-saluran, menciptakan hubungan pemerintah-pers. Kita akan menelaah jaringan itu dalam hubungannya dengan sifat berita politik, peran pers dalam membuat berita serta peran pemerintah dalam mengelola berita, dan konsekuensi proses pembuatan-pengelolaan berita terhadap komunikasi politik.

B. Apa Berita Itu ?

Karena berita adalah dasar dari begitu banyak informasi politik yang diterima orang, sebaiknya kita memulai dengan bertanya apa berita itu, melihat kepada apa yang telah dikatakan orang, dan mencoba membuar karakterisasi sementara dari kita sendiri.

C. Pandangan Alternatif

Dalam analisisnya tentang komunikator professional dalam masyarakat modern, James Carey melukiskan jurnalistik sebagai pekerjaan yang menggunakan lambang secara kreatif dan imajinatif. Jurnalis ‘menangkap situasi, menyebut unsur-unsur, struktur dan ramuan yang menonjol, dan memberi nama dengan cara yang mengandung sikap terhadapnya. Melalui pemberian nama, jurnalis membuat berita ; seperti wasit ketiga dalam anekdot. Reporter dapat mengatakan “ Mereka bukan siapa-siapa, sebelum saya menamai mereka”. Akan tetapi mengatakan bahwa berita adalah apa yang disebut oleh orang pers, berarti memilih hanya satu dari banyak definisi yang dikemukakan.
Definisi itu mengandung masalah yang jelas, yaitu memberi peluang bagi timbulnya banyak definisi tentang apa berita dan apa yang bukan berita, sebanyak jumlah jurnalis yang membuat definisi itu. Akibatnya ialah kemungkinan tidak adanya konsensus tentang cara menarik perbedaan diantara berita dan bukan berita.

Berita Kebenaran dan Desas Desus


Dengan demikian maka berita adalah laporan yang bermakna tentang peristiwa, laporan yang menyangkut pilihan beberapa orang (terutama wartawan) yang melakukan pilihan yang memberi nama, mengintreptasikan, dan memberi bentuk kepada kejadian yang diketahui. Jadi, definisi berita, seperti definisi setiap kata atau lambang yang lain, adalah inheren dengan politik karena  elibatkan orang-orang yang melakukan pilihan dan, jika terjadi pilihan yang bertentangan, menegoisasikan pengertian kolektif. Dengan mengikuti Sigal, kita kira sebaiknya dibedakan antara pilihan dan putusan. Putusan menyiratkan pertimbangan yang disadari tentang pokok masalah, pilihan tidak begitu diperhitungkan dan mencakup pemilihan dari berbagai objek yang dapat dipilih, pemilihan dilakukan dalam kondisi ketidakpastian mengenai konsekuensi yang tepat dari memilih satu alternatif dari alternatif yang lain.
Karena pembuatan berita itu melibatkan pilihan banyak orang, pilihan yang sering tidak memeriksa factor-faktor yang mendasari peristiwa, berita harus dibedakan dari kebenaran. Fungsi kebenaran, tulis Lippman,” adalah menyingkapkan fakta yang tersembunyi, menempatkannya dalam hubungan satu sama lain, dan membuat gambaran tentang realitas yang dapat mendasari tindakan orang”. Berita mempunyai fungsi yang lain, yaitu ‘mengisyaratkan peristiwa” dengan cara yang dianggap orang bermakna dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berita, kata Lippman, hanyalah laporan yang disarikan dri “lautan ikhwal yang mungkin merupakan kebenaran”. Orang dapat berita, tetapi tanpa pengetahuan sebelumnya tentang konsekuensi yang tersembunyi dari perbuatan itu.
Bila berita itu bukan kebenaran, demikian pula desas-desus. Bagaimanapun, desas-desus sebagai komunikasi diantara orang-orang yang bergabung, dalam situasi yang bermakna ganda dalam upaya menyusun intrepetasi yang bermakna. Dalam pengertian ini, desas-desus adalah suatu bentuk berita. Akan tetapi, kata Shibutani, sebenarnya desas-desus adalah pengganti berita. Jika saluran yang dilembagakan untuk komunikasi seperti pers tidak menyajikan informasi untuk membantu orang menghilangkan ambiguitas dan mengurangi ketidakpastian, orang bergabung untuk memenuhi permintaan mereka akan berita dengan menyusun desas-desus.
Barangkali, cara terbaik untuk memikirkan berita, kebenaran, dan desas-desus ialah bahwa ketiganya diturunkan dari upaya orang untuk menengahi hal yang tak terduga. Dalam proses membuat yang tak terduga menjadi rutin, kredibilitas laporan-apakah orang mempercayainya lebih sebagai kebenaran yang actual daripada sebagai kepalsuan-sangat menentukan. Kita bertindak atas dasar kepercayaan, nilai, dan pengharapan kita, tidak selalu atas dasar kebenaran yang didemonstrasikan.

E. Membuat Berita Politik : Peran Pengumpulan Berita Pada Pers


Proses pembuatan berita politik berkembang melalui saling lingkup berbagai pengaruh. Dalam bagian ini kita akan menijau proses yang diturunkan dari kegiatan pers, khususnya pengaruh organisasi berita, hubungan antara reporter dan pejabat, proses pengumpulan berita, dan penyajian berita. Dalam bagian berikut kita akan kembali kepada segi utama kedua dalam proses transformasi peristiwa menjadi berita politik, yakni bagaimana pemerintah mengelola informasi.

E.1. Pengaruh Organisasi

Organisasi berita adalah badan usaha yang personelnya mengumpulkan, menyunting, dan menyebarkan laporan serta evaluasi tentang peristiwa. Meskipun tidak begitu birokratis seperti jawatan pemerintah yang khas, organisasi berita mempunyai sifat birokratis. Bnayak organisasi berita yang merupakan struktur yang besar dan kompleks. Jaringan televisi yang besar seperti RCTI, SCTV, Metro TV dan lainnya, termasuk harian media cetak seperti Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, dan Pikiran Rakyat. Setiap struktur organisasi berita mempunyai spesialisasi dan pembagian kerja-peran terpisah dan pertanggungjawaban dalam surat kabar bagi penerbit, editor pengelola, reporter, pencetak dan distributor.
Organisasi peran itu bersifat hierarkis, baik dalam penstrukturan siapa yang melaporkan kepada siapa (mata rantai komando) maupun dalam enetapkan prosedur operasi standar, atau “saluran tindakan” dalam meliput cerita.

E.2Nilai
Baik secara implisit maupun eksplisit, dalam operasi setiap organisasi berita terdapat seperangkat nilai yang dominan yang menjadi pedoman pemilihan kebijakan,, terutama dalam pemilihan berita. Sebuah organisasi, misalnya, bisa memperhatikan terutama pembinaan jumlah pembaca atau penilaian khalayak, yang lain bisa membanggakan diri atas pelaporannya yang cermat. Yang lain atas keseluruhan mutu keahliannya (surat kabar dan media elektronik yang diedit terbaik di Indonesia).
Melalui latihan sambil bekerja di dalam organisasi induk, jurnalis belajar mengenal nilai yang dihargai dan setidak-tidaknya secara tidak sadar menerapkannya. Nilai organisasi juga masuk ke dalam pengolahan berita televisi. Yang pasti, pengarah jaringan berita berfikir dengan cara dialektis. Oleg sebab itu. Kisah berita televisi yang baik memiliki unsur konflik yang kuat unsure tesis lawan antitesis. Dalam menetapkan berita setiap hari, peristiwa yang memiliki sifat konflik mendapat perhatian utama—persengketaan partai, ras, hukum, dan bentuk persengketaan lain mendominasi berita televisi malam. Nilai dramatis juga masuk ke dalam pengumpulan kisah berita televisi.
Setiap kisah berita, tanpa sama sekali mengorbankan kejujuran dan tanggungjawab, harus mempertunjukkan cirri-ciri fiksi atau drama. Kisah berita harus memiliki struktur dan konflik, masalah dan penyeleseian, aksi yang meningkat dan aksi yang menurun, awal, tengah dan akhir.

E.3. Ritualisasi Berita
Untuk menghindari tuduhan mempunyai kecenderungan politik, banyak organisasi berita yang bersiteguh bahwa jurnalis melaksanakan “objektivitas”. Sebenarnya, seperti argumentasi ilmuwan komunikasi Tuchman, pelaporan objektif adalah ritual, prosedur rutin yang hampir tidak ada hubungannya dengan penghilangan sikap memihak dari pembuatan berita. Dalam arti, yang penting setiap jurnalis yang memasukan laporan, melakukan banyak sekali kebijaksanaan. Versi reporter tentang kebenaran hanyalah salah satu pertimbangan subjektif. Jurnalistik, seperti ditekankan oleh Lippman, bukanlah laporan tangan pertama tentang bahan mentah kejadian melainkan laporan yang disesuaikan dengan kepercayaan, nilai dan pengharapan pilihan. Ada strategi yang menyesuaikan gaya dan meritualkan pembuatan berita menurut pedoman organisasi tentang objektivitas :
1.      Penyajian kemungkinan yang bertentangan : dalam menghadapi masalah yang tidak dapat disingkapkan ‘fakta’nya, reporter mempertahankan objektivitas dengan menyajikan laporan yang bertentangan. Misalnya, kasus korupsi dari dana Bank Indonesia yang melibatkan beberapa anggota DPR-RI, namun dibantah keras oleh Badan Kehormatan DPR-RI. Tapi reporter mencari berita dengan pejabat lain misalnya KPK, atau pejabat lain yang mengetahui hal tersebut. Dengan demikian, reporter dapar merebut headline (kepala berita).
2.      Penyajian bukti yang mendukung :  strategi ini terdiri atas penyebutan bukti yang biasa diterima sebagai kenyataan untuk mendukung pertanyaan yang keontetikannya diragukan.
3.      Kebijaksanaan penggunaan tanda kutip : bagi jurnalis, bukti yang mendukung kebanyakan terdiri atas pengutipan pendapat orang lain. Seorang reporter bisa berkeinginan menulis bahwa walikota setempat memiliki reputasi jelek, tetapi ia tidak dapat mengatakan demikian. Namun, ia dapat mengutip anggota dewan dengan tujuan yang sama, dan demikian ia menjaga suasana pelaporan yang objektif.
4.      Penyusunan cerita dengan urutan yang tepat : biasanya berita disajikan dalam format pyramid terbalik. Penulis menempatkan informas terpenting tentang sesuatu peristiwa dalam paragraph pertama dan bahan yang kepentingannya berkurang di tempatkan dalam setiap paragraph berikutnya. Dengan menerapkan rumus bahwa informasi mengani “siapa, apa, dimana, mengapa, dan bagaimana” merupakan “fakta material” dari suatu cerita, reporter memperkenalkan unsur-unsur ini lebih dulu. Paragraph-paragraf berikutnya disediakan bagi pernyataan yang lebih spekulatif.
5.      Pelabelan analisis berita :  dalam banyak hal reporter, kolumnis, dan editor tidak berbuat seakan-akan objektif, mereka memberi label laporan demikian dengan “komentar” atau “analsisi berita”. Namun indikasinya ialah bahwa semua cerita yang tidak ditunjukkan seperti itu adalah laporan objektif atau tidak memihak.      

Maksud berbagai strategi ini bukanlah untuk mencapai objektivitas. Strategi ini tidak mencapai objektivitas, tetapi merupakan rasiona; yang praktis yang digunakan jurnalis untuk menyesuaikan diri dengan tekanan organisasi seperti deadline, dan perintah untuk menghindari tuntutan atas dasar fitnah, dan untuk memberikan jawaban dalam menghadapi teguran dari atasan. “prosedur berita yang ditampakkan sebagai sifat formal kisah berita dan surat kabar ini sebenarnya adalah strategi yang digunakan oleh wartawan untuk melindungi diri terhadap dan untuk meletakkan tuntutan profesional agar bersikap objektif”.

E.4. Pengolahan Berita


Banyak jalan prosedur yang diikuti organisasi berita dalam memproses peristiwa menjadi berita. Hal ini juga mempengaruhi sifat laporan. Proses ini mencakup, pertama, prosedur penugasan mencari berita. Dalam beberapa hal reporter mengambil inisiatif dalam menetapkan peristiwa yang bernilai berita, baik melalui pekerjaannya sebagai reporter dengan tugas umum maupun untuk peristiwa khusus – pertemuan politik, pidato, pemeriksaan jawatan, dan sebagainya. Ada juga, yang kedua, prosedur untuk mengedit naskah berita, apakah naskah itu disajikan melalui surat kabar, makajah berita atau televisi. Dan yang terakhir, cerita dapat dihentikan melalui putusan manajemen.
Bagaimana  cerita diperoleh, diedit, dan dipilih untuk dipublikasikan atau untuk ruang pemotongan memberikan kesan menyeluruh tentang organisasi berita. Ada organisasi yang reporternya memegang inisiatif untuk memilih peristiwa yang bernilai berita sementara copy editor dan personel penulis memainkan peran pasif. Organisasi seperti ini mengembangkan reputasi sebagai “surat kabar reporter”. Surat kabar editor menyiratkan bahwa yang diutamakan adalah pilihan editor dan manajemen. Majalah berita mingguan dan acara berita televisi jaringan kabel biasanya didominasi oleh pertimbangan editorial dalam mendukung nilai, ritual, pedoman kontrol, dan kedudukan ekonomi organisasi berita masing-masing.



Materi Kuliah Pemberdayaan Masyarakat Desa

                                           


  Pemberdayaan Masyarakat Desa
Oleh Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si





Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan Menuju Pembangunan Manusia

Dinamika sosial mempunyai makna yang strategis dalam proses pembangunan sesuai dengan era globalisasi dan arus informasi yang semakin deras dalam puncak keunggulan budaya.
Dikatakan bermakna strategis dikarenakan dinamika sosial mempunyai interelasi, interdependensi, dan korelasi yang erat dengan perkembangan budaya, pertumbuhan ekonomi, serta pembinaan politik yang bersifat integral komprehensif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan yang terencana dari suatu situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik (Ktaz dalam Moeljarto, 1987). Konsep pembangunan mempunyai kaitan erat dengan nilai, strategi, dan indikator yang sekaligus menjadi domain setiap negara berkembang. Dalam konsep pembangunan terdapat interpetasi yang secara diametric bertentangan satu sama lain, mulai dari perbedaan perpektif ontologi dan epistemology pada tingkat filsafat sampai pada tingkat empiric. Paradigma pertumbuhan sosial ekonomi ditinjau dari konsep pembangunan ‘growth paradigm’  menimbulkan kelompok negara maju dan berkembang. Untuk mengejar ketertinggalan sosial ekonominya, negara-negara berkembang menerapkan konsep paradigma pertumbuhan (growth paradigma) yang ditandai oleh meningkatkan pertumbuhan pendapatan nasional (gross national product). Peningkatan GNP ternyata tidak menjamin adanya pemerataan distribusi pendapatan nasional dan harapan ‘trickle down effect’.
Bahkan belum bisa mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Mengingat paradigma pertumbuhan telah menimbulkan ketimpangan yang lebih besar, maka diterapkan alternative lain, yakni konsep pembangunan dengan paradigma pertumbuhan dan pemerataan. Hasil konsep yang disebut belakangan termanifestasikan dalam perbaikan sosial ekonomi masyarakat, meskipun dikhawatirkan terjadi eksploitasi terhadap SDA yang mengancam kelangsungan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia (human development).
Kegagalan orientasi pembangunan yang berparadigma pada pertumbuhan dan pemerataan, selain karena lebih menekankan pendekatan ‘human development’ juga karena lebih menekankan model pembangunan kebutuhan dasar manusia (basic needs strategy). Kebutuhan dasar manusia mempunyai tingkatan berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, hubungan sosial, harga diri dan katualisasi diri (Abraham Maslow, 1954).
Menurut Streeten (dalam Supriatna, 1997), mengatakan bahwa terjadinya perbedaan dalam menentukan kebutuhan dasar setiap negara, pada hakikatnya berdasarkan pada pendekatan tiga tujuan pokok yaitu :
1.      Terpenuhinya kebutuhan minimum keluarga untuk konsumsi, pangan, papan dan sandang
2.      Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan publik
3.      meningkatnya partisipasi masyarakat dalam formulasi dan implementasi program atau kebijaksanaan yang menyangkut diri masyarakat.

2. Pendekatan Pendidikan Peningkatan Kualitas SDM

Salah satu ciri utama negara berkembang adalah komitmen dan konsistensi mereka terhadap pembangunan nasional. Pembangunan nasional pada prinsipnya merupakan perubahan sosial yang besar dari satu situasi dan situasi lain yang lebih bernilai. Perubahan sosial yang terjadi dalam system sosial harus memenuhi persyaratan fungsional yaitu :
1.      Adaptation
2.      Goal attainment
3.      Integration
4.      Latent maintenance (pemeliharaan pola)

Sistem sosial budaya menurut komponennya dapat membentuk keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan dan kelas atau lapisan masyarakat. Komponen-komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh :
1.      Ekologi, tempat dan geografi dimana masyarakat berada
2.      Demografi menyangkut populasi, susunan penduduk dan cirri-cirinya
3.      Kebudayaan, menyangkut nilai-nilai sosial, system kepercayaan dan norma-norma dalam masyarakat
4.      Kepribadian meliputi sikap mental, semangat temperamen dan cirri-ciri psikologis masyarakat
5.      Waktu, sejarah dan latar belakang masa lampau masyarakat tersebut (Slamet Margono, 1985)

Perubahan sosial acap relevan dengan perubahan ekonomi, politik dan kebudayaan, termasuk di dalamnya ileum pengatahuan dan teknologi melalui proses pendidikan secara timbale balik. Pendidikan dapat mempercepat proses perubahan dalam bidang teknologi, sosial. Ekonomi, politik dan budaya.
Fungsi, peran dan kedudukan pendidikan dalam proses transformasi sosial dalam rangka modernisasi melalui berbagai program pembanunan sosial, terutama peningkatan kualitas manusia sebagai makhluk sosial sangat startegis dan menyeluruh.
Modernisasi yang menimbulkan perubahan sosial tidak akan ber;angsung tanpa didukung oleh SDM terdidik dan berkualitas.







Skema : Pendidikan dan Teknologi dalam Perubahan Sosial
 
















Sasaran Perubahan SDM sebagai Individu dan Masyarakat
                      
Pendekatan yang ditempuh kepada khalayak sasaran dalam proses perubahan sosial perlu diperhatikan.
1.    Sasaran perubahan sosial sumber daya manusia sebagai individu dapat dilakukan dengan model perubahan individu (change man strategy) atau pendekatan perubahan mandiri (self help approach). Model pendekatan tersebut beraneka ragam sesuai dengan penekanannya, antara lain :
a.       Model perubahan kebiasaan individu menurut Goodenough (1970). Perubahan ini menekankan pada kerja sama dengan agen perubahan dengan warga masyarakat agar terjadi perubahan kebiasaan, sehingga dapat merubah lingkungan masyarakat.
b.      Model perubahan tingkah laku (behavior) menurut Kuenkuel (19470. perubahan ini menekankan pada terciptanya proses belajar mengajar yang dilaksanakan pemerintah/pendidik/penyuluh/fasilitator dalam konteks sosial agar terjadi perubahan tingkah laku individu anggota masyarakat.
c.       Model reformasi menurut Neihoff (19460. model ini beranjak pada gagasan, ide atau rencana yang diperkenankan oleh pembawa inovasi (innovator) kepada masyarakat, sehingga dari interaksi tersebut terjadilah integrasi yang baru.
d.      Model orientasi proses menurut Batten (19560, penekanannya pada pentingnya perubahan sikap dan tingkah laku manusia yang pada gilirannya menggugah partisipasi warga masyarakat untuk melaksanakan pembaruan.
e.       Model pemanfaatan serentak arus komunikasi jenjang tunggal dan jenjang ganda. Model ini diadaptasikan secara menyeluruh dalam struktur sosial yang paternalistic dan mengkondisikan tumbuh berkembangnya kehidupan yang lebih demokratis.

2.    Sasaran perubahan sosial SDM dalam kelompok dan organisasi. Perubahan sosial lewat khalayak sasaran SDM dalam kelompok dan organisasi berpegang pada prinsip bahwa kehidupan sosial tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi sosial. Prinsip ini, menurut psikologis sosial berasumsi bahwa manusia cenderung hidup berkelompok, berorganisasi dan bermasyarakat melalui interaksi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
3.    Perubahan sosial pada KSM Komunitas
Perubahan sosial dapat terjadi pada subsistem kepribadian (individu), sosial dan budaya, sehingga komunitas sebagai unsure dari masyarakat pun akan mengalami perubahan. Komunitas dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang beragam dapat dipandang dari aspek mikro berupa kampong, marga, desa dan kota kecil. Sementara komunitas dilihat dari aspek makro dalam rangka perubahan sosial berupa kota besar, provinsi, bangsa dan umat manusia.

3. Pembangunan Masyarakat dalam Mengatasi Kemiskinan Pedesaan

Konsep “The Good Communty and Copetency” ini mengandung sembilan nilai, yaitu :

1.      Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain secara aktif berdasarkan hubungan pribadi dan berkelompok
2.      Komunitas memiliki otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggungjawab
3.      Komunitas memiliki valibitas, yaitu kemampuan untuk memcahkan masalah sendiri
4.      Distribusi kekuasaan dilakukan secara merata, dimana setting setiap orang memiliki kesempatan yang sama, bebas memilih dan menyatakan kehendaknya
5.      kesempatan yang luas untuk setiap anggota masyarakat dalam berpartisipasi aktif bagi kepentingan bersama
6.      keberadaan komunitas memberi makna penting kepada anggotanya
7.      adanya heterogenitas dan perbedaaan pendapat
8.      pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat mungkin dan secepat mungkin bagi yang berkepentingan, dan
9.      Adanya konflik dan managing konflik


















Entri Populer