Senin, 09 April 2012

Teori Perwakilan



Teori Perwakilan
Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si

Pengantar
Sebelum membahas tentang teori ini, ada baiknya kita membahas mengenai teori klasik tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan antara wakil dan terwakil, dikenal dengan teori mandat. Di dalam teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandate yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakat, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. (Wahidin, 2007 : 40).
 Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari :
1)     Mandat imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya.

2)     Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya.

3)     Mandat representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu.
Perkembangan berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili ini berkembang Teori Organ yang beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa pemilihan organ perwakilan menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili dalam jumlah sangat banyak.
Gambaran sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu ada berbagai organ yang harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu organ dimaksud adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya bersifat formalistik. Dalam arti orang-orang yang duduk di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum. Keberadaan organ itu memenuhi persyaratan formal dari eksistensi negara yang mengaruskan adanya lembaga perwakilan. Jadi tidak dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili, apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh yang memberikan kewenangan.
Di dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang melakukan telaah tentang bagaimana hubungan antara wakil dan terwakil tersebut namun pendapat para ahli dapat dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya gambaran hubungan wakil dan orang yang diwakili dalam nilai sosiologis yang menggambarkan bahwa lembaga perwakilan pada dasarnya adalah sebagai bangun sosial masyarakat. Jadi harus mewakili kepentingan masyarakat.
Demikian pula pendapat dari Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan wakil dan orang yang diwakil, tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat objektif.
Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai akibat dari mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil.
Atas dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan.

Sumber : Samsul Wahidin, 2007, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia: Penerbit   
Pustaka Pelajar

0 komentar:

Entri Populer