Oleh
: Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si
Pengantar
Sebelum
membahas tentang teori ini, ada baiknya kita membahas mengenai teori klasik
tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan antara wakil dan terwakil,
dikenal dengan teori mandat. Di dalam teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa
subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandate yang
disampaikan oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan
segala tindakat, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa
bersesuaian dengan kehendak dari orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai
dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang
kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang
yang diwakilinya. (Wahidin, 2007 : 40).
Beberapa variasi di dalam teori mandat ini
terdiri dari :
1) Mandat imperatif, berarti bahwa hubungan antara
wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan
oleh orang-orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak
melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu
dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar
antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya.
2) Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam
kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang
berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis
menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap
terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan demikian
wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada
dirinya.
3) Mandat representatif, merupakan perkembangan
kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat representatif, duduknya
seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak
atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini,
bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara
umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu.
Perkembangan
berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili ini
berkembang Teori Organ yang beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa
pemilihan organ perwakilan menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang
dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri khas dari teori organ. Teori ini
dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk mengakomodasikan jumlah
wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili dalam jumlah
sangat banyak.
Gambaran
sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu ada berbagai organ yang
harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu organ dimaksud
adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya bersifat formalistik. Dalam arti
orang-orang yang duduk di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum.
Keberadaan organ itu memenuhi persyaratan formal dari eksistensi negara yang
mengaruskan adanya lembaga perwakilan. Jadi tidak dideskripsikan bagaimana
hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili, apakah keterwakilannya
sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh yang memberikan
kewenangan.
Di
dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang melakukan telaah tentang bagaimana
hubungan antara wakil dan terwakil tersebut namun pendapat para ahli dapat
dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya gambaran hubungan wakil dan
orang yang diwakili dalam nilai sosiologis yang menggambarkan bahwa lembaga
perwakilan pada dasarnya adalah sebagai bangun sosial masyarakat. Jadi harus
mewakili kepentingan masyarakat.
Demikian
pula pendapat dari Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis
tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja
keberadaan wakil dan orang yang diwakil, tetapi juga aturan-aturan tentang
tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam
memenuhi aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Semuanya harus dituangkan
dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat objektif.
Masih
ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan
pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai
akibat dari mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap pada bahasa yang
sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya
sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang lebih penting adalah
menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan
kepercayaan sebagai seorang wakil.
Atas
dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya
kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan kemudian bergabung pada suatu
lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang
yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga
perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili.
Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak
orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya
harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi,
dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah
memberikan.
Sumber : Samsul Wahidin, 2007, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia: Penerbit
Pustaka Pelajar
0 komentar:
Posting Komentar