REVIEW
PIRAMIDA KEKUASAAN
ORDE BARU
(Menelisik Kekuatan
Politik Soeharto dalam Mempertahankan Pemerintahan)
Moh.Ali Andrias,
S.IP., M.Si
Kekuatan politik Orde Baru
dalam review kali ini mencoba menjelaskan tentang tiga tema pokok utama
pendukung kekuasaan pemerintahan Soeharto. Pandangan ilmuwan politik R.William
Liddle guru besar Ohio Statet University, tentang piramida kekuasaan di zaman
Orde Baru. Liddle memang tidak memasukkan partai politik (Golkar) sebagai salah
satu komponen penting piramida kekuasaan. Bentuk (piramida kekuasaan) Orde Baru
terdiri dari (1) Kantor Kepresidenan yang kuat, (2), militer yang aktif berpolitik,
(3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan. Ketiga “cabang” kekuasaan
itu berinteraksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan segitiga kekuasaan yang
sangat kuat dan hegemonik di dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik
Indonesia. Bahkan, interaksi dari ketiga kekuasaan ini telah mendorong
terjadinya proses institusional politik yang menggantikan model pemerintahan
yang bersifat pribadi (personal rule).
Salah satu yang krusial
dalam pandangan Liddle tentang piramida kekuasaan Orde Baru adalah kehadiran
aktor politik, yakni mantan Presiden Soeharto. Dalam pandangannya, Soeharto,
sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, yang merupakan pelaku utama
transformasi meskipun tidak penuh, model pemerintahan yang bersifat pribadi
kepada yang lebih terinstitusionalisasikan. Sampai tingkat tertentu, indikator
dari institusional ini adalah dominannya peran kantor kepresidenan.
Meskipun tidak terlalu
berbeda secara substansial dengan Liddle, saya juga cenderung berpendapat bahwa
tokoh utama politik Indonesia sebelum masa reformasi lahir adalah Soeharto.
Tiga pilar kekuasaan yang secara efektif berhasil dimainkannya adalah
birokrasi, tentara, dan Golkar. Inilah tiga tiang penyangga kekuasaan Soeharto.
Melalui pengaturan yang efektif oleh Soeharto, baik militer, birokrasi maupun Golkar muncul sebagai mesin pendukung
kekuasaan Orde Baru. Untuk itu, sebenarnya proses institusionalisasi belum
terjadi benar, dan yang masih menonjol selama tiga dasawarsa lebih pemerintahan
Soeharto adalah proses-proses politik yang secara individual dikendalikan oleh
Presiden. Cabang-cabang kekuasaan apapun itu namanya, tetap berada di bawah
kontrol Soeharto.
Dalam situasi seperti ini,
jelas birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Birokrasi tidak bisa mengelak intervensi politik presiden. Demikian
pula halnya dengan militer dan parpol, alih-alih menjalankan fungsi sebagai
aggregator dan articulator kepentingan konstituennya, Golkar ketika itu lebih
berperan sebagai electoral machine
penguasa pada umumnya dan Presiden Soeharto khusunya.
Kini, setelah Presiden
Soeharto turun dari kekuasaan dengan segala implikasi (hujatan, makian,
tuntutan, dan sebagainya) yang menyertainya situasi di atas tidak bisa
dipertahankan lagi. Keinginan untuk keluar dari penjara otoritarianisme Orde
Baru mendorong orang untuk merumuskan format baru bagi birokrasi, tentara, dan
parpol. Dengan tertatih-tatih, sejak pertengahan Mei 1998 sudah melakukan
transformasi besar-besaran, untuk mengenai rumusan ideal tentang bagaimana
seharusnya birokrasi, militer, dan parpol berfungsi dengan sebagai mestinya.
Politisasi
Birokrasi : Sesuatu yang Tak Terelakkan ?
Merumuskan yang ideal
memang bukan sesuatu yang mudah, birokrasi bisa saja diformulasikan secara
ideal, denga menyalin teori dan konsep dasar dari para ahli tentang
administrasi birokrasi. Mengubah alam pikiran birokratis yang pernah berkembang
selama tiga dasawarsa memang sulit, sehingga masih saja membekas dalam pikiran
para birokratis tidak bisa membebaskan birokrasi dari intervensi politik, masa
transisi yang sudah berlangsung 10 tahun lebih masih ditandai oleh struktur
birokrasi yang kental. Birokrasi memang tidak bisa imun (tidak terlindungi)
dari politik. Dengan kata lain, politisasi merupakan sesuatu yang tak
terelakkan.
Yang dimaksud dengan
politisasi birokrasi, adalah masuknya orang-orang partai ke jajaran birokrasi.
Tentu, ini bukan dalam konteks duduknya tokoh-tokoh politik sebagai menteri,
tetapi lebih pada diisinya jabatan-jabatan di bawah menterri oleh orang-orang
partai atau mereka yang mempunyai kedekatan sosial budaya, ekonomi, maupun
politik dengan elite-elite politik.
Isu ini memang bukan
perkara mudah untuk direformasi, ada yang berpandangan pro dan kontra. Kalangan
pertama (yang pro) bahwa hal itu (terutama) merupakan konsekuensi
logis, dan mungkin tanpa rekayasa secara cukup berarti dari terpolitisasinya
massa sebagai akibat dari liberalisasi dan relaksasi politik, setelah mundurnya
Soeharto. Tidak ada cara yang lebih mudah bagi para pemimpin partai atau elit
politik untuk memberikan reward (hadiah)
kepada para pendukungnya, kecuali dengan membagi-bagikan jabatan. Karena apa
yang disebut dengan jabatan-jabatan politik itu sedikit jumlahnya, maka
jabatan-jabatan yang bersifat “non politik” jadi sasaran. Di luar itu, ada yang
merumuskan sejauh orang yang ditempatkan mempunyai tingkat kompetensi yang
memadai dan bertindak profesional, maka tidak ada alasan untuk menolak mereka
masuk ke dalam birokrasi.
Sementara kalangan
yang kontra (menolak) masuknya orang-orang partai ke birokrasi, kecuali
posisi menteri yang dilihat sebagai jabatan politik. Masuknya elit-elit partai
ke jajaran birokrasi tentu akan merusak fungsi dan netralitas birokrasi. Pada
akhirnya yang demikian itu akan membuat birokrasi bekerja untuk kepentingan
partai, dan bukan masyarakat luas. Karenanya, untuk menjaga netralitas dan
profesionalisme, birokrasi harus bebas dari politik yang antara lain ditandai
dengan diisinya jabatan-jabatan birokratis (karir) oleh para birokrat itu sendiri.
Tapi yang dikemukakan di
sini bukan perdebatan tentang substansi masing-masing argumen, baik yang
mendukung atau yang menolak politisasi birokratis. Dengan kata lain, tulisan di
bawah ini tidak akan menimbang baik buruknya politisasi birokrasi, atau
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika orang-orang partai masuk
birokrasi. Alih-alih yang juga penting diperbincangkan adalah, kemungkinan
bahwa pada dasarnya birokrasi tidak dapat menghindar dari
kecenderungan-kecenderungan politik penguasa. Lazimnya naluri politik para
politisi, apa saja yang ada disekeliling mereka, apalagi yang masih ada
kaitannya dengan institusi negara akan dipandang atau dijadikan sebagai
sumberdaya politik[1].
Interplay yang sedemikian
hebat antara politik dan birokrasi, terutama pada masa Orde Baru telah
menghasilkan birokrasi yang memihak dan tidak netral. Hal ini bukan hanya
nampak pada masa-masa menjelang pemilu, tetapi juga pada tradisi kinerja
birokrasi sehari-hari. Pendeknya, kalau kita ingin menunjukkan akibat buruk
dari interplay antara politik dan birokrasi, impartiality seperti yang diteorikan oleh Weber baik dalam konteks
promosi jabatan maupun kualitas pekerjaan, merupakan nomenklatur yang tidak
dikenal dalam perjalanan birokrasi Indonesia.
Apa yang ingin disampaikan
adalah persoalan politisasi birokrasi tidak bisa dilihat semata-mata dari
perspektif baik-buruk. Melainkan, hal itu juga harus diletakkan dalam konteks
yang lebih realistis, khususnya yang berkaitan dengan watak pelaku-pelaku politik serta pandangan inheren
mereka tentang kekuasaan. Tanpa itu, kita akan gagal merumuskan gagasan tentang
posisi birokrasi secara tetap lebih-lebih lagi di tengah besarnya daya tarik
politik. Pandangan doktriner yang hanya didasarkan pada konsep-konsep ideal
tentang birokrasi, hanya akan menghasilkan “teriakan-teriakan keras”. Sementara
itu, para pelaku politik, secara tidak bergeming, tetap melancarkan
gerakan-gerakan politik mereka untuk mempengaruhi dan membentuk tatanan yang
diinginkan atas apa saja yang di sekeliling mereka. Tempo-tempo, hal itu
dilakukan secara terang-terangan. Pada kesempatan lain, politisasi itu
dilakukan secara samar-samar. “Apa saja” itu bisa berarti birokrasi, institusi
militer, bank sentral, MA, dan lain sebagainya. Meskipun ada undang-undang yang
melarang atau membatasinya, di tangan para pelaku politik yang kharismatis,
yang mampu menyedot dukungan secara berarti, baik dari luar maupun dari dalam
negeri, politisasi seperti yang dimaksudkan di atas akan dilihat sebagai
sesuatu yang paling tidak “wajar”. Bukankah demikian yang sedang berlangsung
dewasa ini ?.
Partai Politik
Sebagai Artikulator dan Agregator
Parpol menurut keharusan
apakah pada masa Demokrasi Terpimpin, Liberal, Orde Baru, ataupun reformasi
berkisar sebagai institusi yang melakukan agregasi atau artikulasi kepentingan
masyarakat. Meskipun demikian, kita juga sadar bahwa parpol, meski dalam
konteks keharusan, tidak dalam tataran vakum. Peran parpol akan sangat
dipengaruhi oleh circumstances yang
ada baik yang bersifat struktural, sosio kultural, dan lain sebagainya. Seperti
yang dikonseptualisasikan banyak pihak yakni sebagai articulator dan aggregator
kepentingan masyarakat akan sangat dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi yang
ada, atau praktik-praktik politik yang berkembang, atas dasar pemikiran itu
maka pembicaraan mengenai peran parpol pasca Orde Baru juga akan ditentukan
oleh struktur dan situasi sosial ekonomi dan politik yang berkembang pada masa
itu.
Untuk alasan-alasan yang
akan dikemukakan nanti saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan yang
pesimistis bahwa peran atau kehidupan parpol pasca Orde Baru ini tidak seperti
diharapkan oleh gerak reformasi, harapan di mana parpol bisa berlaku mandiri,
mempunyai resources (sumberdaya) yang
cukup, untuk memainkan peran mereka sebagai aggregator dan articulator
kepentingan masyarakat. Tentu, dengan pertanyaan ini saya tidak menafikan
adanya perubahan-perubahan yang cukup mencolok dalam diri kehidupan
partai-partai pasca Orde Baru. Paling tidak kehidupan mereka, sama dengan yang
dialamai masyarakat luas yakni menjadi lebih dinamis.
Kenyataan itu baru
merupakan ekspresi kebebasan dari belenggu struktur kehidupan politik yang
tidak kompetitif di masa lalu. Artinya, dilihat dari sudut substansi peran yang
seharusnya mereka mainkan, parpol masih berada pada tahap menikmati kebebasan
berpolitik bagi mereka sendiri. Indikator penting dari hal ini, nampak
banyaknya keinginan yang disuarakan parpol, namun diantara parpol satu dengan
yang lainnya bukan hanya berbeda kepentingan, tetapi juga bertentangan bahkan
menjadi konflik. Dinamika seperti ini ditambah lagi tidak diimbangi oleh
kemampuan elit parpol untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan bersama,
sehingga daftar agenda yang disusun dan akan dijalankan, kerapkali tidak sesuai
substansinya.
Sebagai hasil liberalisasi
dan relaksasi politik yang terjadi pasca reformasi, masih berjalan ditempat. Course of Action kehidupan kenegaraan
masih berputar soal (1) keinginan untuk keluar dari krisis ekonomi, (2)
mengadili pejabat-pejabat yang korup, (3) stabilitas politik yang masih belum
pasti dan (4) kebutuhan sembako belum bisa dipenuhi secara maksimal dan semakin
tinggi.
Parpol masih berusaha
keluar dari stigma lama, menjadi sangat vocal dan kritis terhadap pemerintah,
meski sudah melakukan konsolidasi politik. Tetapi masih belum jelas semua
dilakukan dalam rangka apa, dalam konteks fungsi resmi parpol sebagai
articulator dan aggregator kepentingan masyarakat ?. apakah DPR memperjuangkan
ide tentang accountability yang tegas
antara wakil rakyat dan yang diwakilinya?. Ataukah mereka justru mewakili
kepentingan-kepentingan politik mereka sendiri? Dalam rangka UU pemilu, belum
bisa menarik kesimpulan yang jelas, di mana letak aspirasi masyarakat luas yang
diwakili dalam pasal-pasal dan UU tersebut. Di pihak lain (pemerintah) selaku
pekaksana masih berputar-putar dengan pernyataan retoris, dan bergerak
sejengkal ketika ada desakan (konflik) atau masalah di masyarakat. Di atas
semua itu, yang justru nampak adalah diskordansi, ketidakjelasan mengenai apa
yang hendak diperbuat dalam kerangka reformasi.
Hal ini menunjukkan bahwa
di Indonesia mewarisi konfigurasi elit yang terpecah, bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga ide. Munculnya parpol
dengan beragam visi, misi, platform,
dan pemikiran politik. Sedikit banyak telah memperteguh polarisasi politik,
faksi-faksi, bahkan friksi-friksi dalam masyarakat. Bagaimana situasi seperti
ini kita bisa mengharapkan kehadiran parpol, yang meskipun mulanya mewakili
sebuah kepentingan faksionalisme. Sebagaimana pernah diharapkan Voltaire yang
kembali dikutip Giovanni Sartori, bagaimana kita bisa berharap, kehidupan
politik partai sebisanya tidak memuakkan?. Pesimisme publik bisa bertambah
hanya dengan melihat munculnya banyak partai itu sendiri. Tanpa bermaksud
menepis niat baik para pendiri partai, kemunculan multi partai itu, dengan
variasi nama yang hampir tanpa preseden, mengesankan kita semua kita tidak
serius dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap krisis.
Profesionalisasi
Tentara : Kembali ke Barak ?
Eforia politik pasca Orde
Baru juga menuntut perumusan baru tentang fungsi dan kedudukan tentara. Suara
yang paling keras adalah tuntutan untuk menghilangkan fungsi-fungsi
sosial-politik tentara, baik di parlemen atau pos-pos sosial politik lainnya.
Ini jelas bukan perkara mudah ketika itu. Sekian dasawarsa tentara telah
terlibat dalam fungsi-fungsi sosial-politik. Pengembalian militer ke barak
secara drastis merupakan suatu keputusan yang bisa mendatangkan
dislokasi-dislokasi sosial-politik. Bahkan bisa mendatangkan krisis ekonomi dan
negara yang kolaps. Namun membangun kembali hubungan sipil-militer jelas harus
melibatkan proses negoisasi. Dalam hal ini tentara tidak mampu mendiktekan
kemampuan mereka. Proses transisi atau negoisasi itu, tentara kehilangan
hak-hak prerogative secara cukup berarti. Bahkan mereka tidak lagi mampu
menentukan budget mereka sendiri. Demikian pula kenaikan pangkat dan rekruitmen
yang sekarang di bawah kontrol Menteri Pertahanan.
Akan tetapi yang ingin
dikemukakan di sini sebenarnya adalah cara penanganan terhadap tentara
berkaitan dengan reformasi peran mereka. Bahwa tentara ikut menangani masalah
sosial-politik, hal itu bukan zamannya.
Kenyataan bahwa tentara Indonesia sudah sekian lama berpolitik, hal itu
hendaknya dijadikan pertimbangan dalam merumuskan peran mereka. Bukankah itu
pulalah, yang melatarbelakangi para politisi di parlemen mengulur batas waktu
tentara untuk berpolitik dari 2004 menjadi 2009. Namun yang jelas dalam review
kali ini, piramida kekuasaan yang kita sudah bahas sebelumnya, sedikit banyak
bisa menjelaskan bahwa telah menjadi kekuatan politik Orde Baru.
[1]
Sebetulnya agak aneh memperbincangkan soal politisasi birokrasi dewasa ini,
seolah-olah hal itu merupakan sesuatu yang asing dalam kehidupan kenegaraan
kita, sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan
suatu periode pemerintahan yang memperlakukan sebagai institusi yang bebas
politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, terpimpin, dan Pancasila, dan
periode transisional sekarang ini. interplay antara politik dan birokrasi
merupakan sesuatu yang jelas adanya. Walaupun, harus diakui bahwa intensitas
dan lingkupnya bervariasi antara satu pemerintahan dengan pemerintahan yang
lain.