Rabu, 04 April 2012

Piramida Kekuasaan Orde Baru


 REVIEW
PIRAMIDA KEKUASAAN ORDE BARU
(Menelisik Kekuatan Politik Soeharto dalam Mempertahankan Pemerintahan)

Moh.Ali Andrias, S.IP., M.Si

Kekuatan politik Orde Baru dalam review kali ini mencoba menjelaskan tentang tiga tema pokok utama pendukung kekuasaan pemerintahan Soeharto. Pandangan ilmuwan politik R.William Liddle guru besar Ohio Statet University, tentang piramida kekuasaan di zaman Orde Baru. Liddle memang tidak memasukkan partai politik (Golkar) sebagai salah satu komponen penting piramida kekuasaan. Bentuk (piramida kekuasaan) Orde Baru terdiri dari (1) Kantor Kepresidenan yang kuat, (2), militer yang aktif berpolitik, (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan. Ketiga “cabang” kekuasaan itu berinteraksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan segitiga kekuasaan yang sangat kuat dan hegemonik di dalam kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik Indonesia. Bahkan, interaksi dari ketiga kekuasaan ini telah mendorong terjadinya proses institusional politik yang menggantikan model pemerintahan yang bersifat pribadi (personal rule).
Salah satu yang krusial dalam pandangan Liddle tentang piramida kekuasaan Orde Baru adalah kehadiran aktor politik, yakni mantan Presiden Soeharto. Dalam pandangannya, Soeharto, sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, yang merupakan pelaku utama transformasi meskipun tidak penuh, model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasikan. Sampai tingkat tertentu, indikator dari institusional ini adalah dominannya peran kantor kepresidenan.
Meskipun tidak terlalu berbeda secara substansial dengan Liddle, saya juga cenderung berpendapat bahwa tokoh utama politik Indonesia sebelum masa reformasi lahir adalah Soeharto. Tiga pilar kekuasaan yang secara efektif berhasil dimainkannya adalah birokrasi, tentara, dan Golkar. Inilah tiga tiang penyangga kekuasaan Soeharto. Melalui pengaturan yang efektif oleh Soeharto, baik militer, birokrasi  maupun Golkar muncul sebagai mesin pendukung kekuasaan Orde Baru. Untuk itu, sebenarnya proses institusionalisasi belum terjadi benar, dan yang masih menonjol selama tiga dasawarsa lebih pemerintahan Soeharto adalah proses-proses politik yang secara individual dikendalikan oleh Presiden. Cabang-cabang kekuasaan apapun itu namanya, tetap berada di bawah kontrol Soeharto.
Dalam situasi seperti ini, jelas birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Birokrasi tidak bisa mengelak intervensi politik presiden. Demikian pula halnya dengan militer dan parpol, alih-alih menjalankan fungsi sebagai aggregator dan articulator kepentingan konstituennya, Golkar ketika itu lebih berperan sebagai electoral machine penguasa pada umumnya dan Presiden Soeharto khusunya.
Kini, setelah Presiden Soeharto turun dari kekuasaan dengan segala implikasi (hujatan, makian, tuntutan, dan sebagainya) yang menyertainya situasi di atas tidak bisa dipertahankan lagi. Keinginan untuk keluar dari penjara otoritarianisme Orde Baru mendorong orang untuk merumuskan format baru bagi birokrasi, tentara, dan parpol. Dengan tertatih-tatih, sejak pertengahan Mei 1998 sudah melakukan transformasi besar-besaran, untuk mengenai rumusan ideal tentang bagaimana seharusnya birokrasi, militer, dan parpol berfungsi dengan sebagai mestinya.

Politisasi Birokrasi : Sesuatu yang Tak Terelakkan ?
Merumuskan yang ideal memang bukan sesuatu yang mudah, birokrasi bisa saja diformulasikan secara ideal, denga menyalin teori dan konsep dasar dari para ahli tentang administrasi birokrasi. Mengubah alam pikiran birokratis yang pernah berkembang selama tiga dasawarsa memang sulit, sehingga masih saja membekas dalam pikiran para birokratis tidak bisa membebaskan birokrasi dari intervensi politik, masa transisi yang sudah berlangsung 10 tahun lebih masih ditandai oleh struktur birokrasi yang kental. Birokrasi memang tidak bisa imun (tidak terlindungi) dari politik. Dengan kata lain, politisasi merupakan sesuatu yang tak terelakkan.
Yang dimaksud dengan politisasi birokrasi, adalah masuknya orang-orang partai ke jajaran birokrasi. Tentu, ini bukan dalam konteks duduknya tokoh-tokoh politik sebagai menteri, tetapi lebih pada diisinya jabatan-jabatan di bawah menterri oleh orang-orang partai atau mereka yang mempunyai kedekatan sosial budaya, ekonomi, maupun politik dengan elite-elite politik.
Isu ini memang bukan perkara mudah untuk direformasi, ada yang berpandangan pro dan kontra. Kalangan pertama (yang pro) bahwa hal itu (terutama) merupakan konsekuensi logis, dan mungkin tanpa rekayasa secara cukup berarti dari terpolitisasinya massa sebagai akibat dari liberalisasi dan relaksasi politik, setelah mundurnya Soeharto. Tidak ada cara yang lebih mudah bagi para pemimpin partai atau elit politik untuk memberikan reward (hadiah) kepada para pendukungnya, kecuali dengan membagi-bagikan jabatan. Karena apa yang disebut dengan jabatan-jabatan politik itu sedikit jumlahnya, maka jabatan-jabatan yang bersifat “non politik” jadi sasaran. Di luar itu, ada yang merumuskan sejauh orang yang ditempatkan mempunyai tingkat kompetensi yang memadai dan bertindak profesional, maka tidak ada alasan untuk menolak mereka masuk ke dalam birokrasi.
Sementara kalangan yang kontra (menolak) masuknya orang-orang partai ke birokrasi, kecuali posisi menteri yang dilihat sebagai jabatan politik. Masuknya elit-elit partai ke jajaran birokrasi tentu akan merusak fungsi dan netralitas birokrasi. Pada akhirnya yang demikian itu akan membuat birokrasi bekerja untuk kepentingan partai, dan bukan masyarakat luas. Karenanya, untuk menjaga netralitas dan profesionalisme, birokrasi harus bebas dari politik yang antara lain ditandai dengan diisinya jabatan-jabatan birokratis (karir) oleh para  birokrat itu sendiri.
Tapi yang dikemukakan di sini bukan perdebatan tentang substansi masing-masing argumen, baik yang mendukung atau yang menolak politisasi birokratis. Dengan kata lain, tulisan di bawah ini tidak akan menimbang baik buruknya politisasi birokrasi, atau kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika orang-orang partai masuk birokrasi. Alih-alih yang juga penting diperbincangkan adalah, kemungkinan bahwa pada dasarnya birokrasi tidak dapat menghindar dari kecenderungan-kecenderungan politik penguasa. Lazimnya naluri politik para politisi, apa saja yang ada disekeliling mereka, apalagi yang masih ada kaitannya dengan institusi negara akan dipandang atau dijadikan sebagai sumberdaya politik[1].
Interplay yang sedemikian hebat antara politik dan birokrasi, terutama pada masa Orde Baru telah menghasilkan birokrasi yang memihak dan tidak netral. Hal ini bukan hanya nampak pada masa-masa menjelang pemilu, tetapi juga pada tradisi kinerja birokrasi sehari-hari. Pendeknya, kalau kita ingin menunjukkan akibat buruk dari interplay antara politik dan birokrasi, impartiality seperti yang diteorikan oleh Weber baik dalam konteks promosi jabatan maupun kualitas pekerjaan, merupakan nomenklatur yang tidak dikenal dalam perjalanan birokrasi Indonesia.
Apa yang ingin disampaikan adalah persoalan politisasi birokrasi tidak bisa dilihat semata-mata dari perspektif baik-buruk. Melainkan, hal itu juga harus diletakkan dalam konteks yang lebih realistis, khususnya yang berkaitan dengan watak  pelaku-pelaku politik serta pandangan inheren mereka tentang kekuasaan. Tanpa itu, kita akan gagal merumuskan gagasan tentang posisi birokrasi secara tetap lebih-lebih lagi di tengah besarnya daya tarik politik. Pandangan doktriner yang hanya didasarkan pada konsep-konsep ideal tentang birokrasi, hanya akan menghasilkan “teriakan-teriakan keras”. Sementara itu, para pelaku politik, secara tidak bergeming, tetap melancarkan gerakan-gerakan politik mereka untuk mempengaruhi dan membentuk tatanan yang diinginkan atas apa saja yang di sekeliling mereka. Tempo-tempo, hal itu dilakukan secara terang-terangan. Pada kesempatan lain, politisasi itu dilakukan secara samar-samar. “Apa saja” itu bisa berarti birokrasi, institusi militer, bank sentral, MA, dan lain sebagainya. Meskipun ada undang-undang yang melarang atau membatasinya, di tangan para pelaku politik yang kharismatis, yang mampu menyedot dukungan secara berarti, baik dari luar maupun dari dalam negeri, politisasi seperti yang dimaksudkan di atas akan dilihat sebagai sesuatu yang paling tidak “wajar”. Bukankah demikian yang sedang berlangsung dewasa ini ?.
Partai Politik Sebagai Artikulator dan Agregator
Parpol menurut keharusan apakah pada masa Demokrasi Terpimpin, Liberal, Orde Baru, ataupun reformasi berkisar sebagai institusi yang melakukan agregasi atau artikulasi kepentingan masyarakat. Meskipun demikian, kita juga sadar bahwa parpol, meski dalam konteks keharusan, tidak dalam tataran vakum. Peran parpol akan sangat dipengaruhi oleh circumstances yang ada baik yang bersifat struktural, sosio kultural, dan lain sebagainya. Seperti yang dikonseptualisasikan banyak pihak yakni sebagai articulator dan aggregator kepentingan masyarakat akan sangat dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi yang ada, atau praktik-praktik politik yang berkembang, atas dasar pemikiran itu maka pembicaraan mengenai peran parpol pasca Orde Baru juga akan ditentukan oleh struktur dan situasi sosial ekonomi dan politik yang berkembang pada masa itu.
Untuk alasan-alasan yang akan dikemukakan nanti saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan yang pesimistis bahwa peran atau kehidupan parpol pasca Orde Baru ini tidak seperti diharapkan oleh gerak reformasi, harapan di mana parpol bisa berlaku mandiri, mempunyai resources (sumberdaya) yang cukup, untuk memainkan peran mereka sebagai aggregator dan articulator kepentingan masyarakat. Tentu, dengan pertanyaan ini saya tidak menafikan adanya perubahan-perubahan yang cukup mencolok dalam diri kehidupan partai-partai pasca Orde Baru. Paling tidak kehidupan mereka, sama dengan yang dialamai masyarakat luas yakni menjadi lebih dinamis.
Kenyataan itu baru merupakan ekspresi kebebasan dari belenggu struktur kehidupan politik yang tidak kompetitif di masa lalu. Artinya, dilihat dari sudut substansi peran yang seharusnya mereka mainkan, parpol masih berada pada tahap menikmati kebebasan berpolitik bagi mereka sendiri. Indikator penting dari hal ini, nampak banyaknya keinginan yang disuarakan parpol, namun diantara parpol satu dengan yang lainnya bukan hanya berbeda kepentingan, tetapi juga bertentangan bahkan menjadi konflik. Dinamika seperti ini ditambah lagi tidak diimbangi oleh kemampuan elit parpol untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan bersama, sehingga daftar agenda yang disusun dan akan dijalankan, kerapkali tidak sesuai substansinya.
Sebagai hasil liberalisasi dan relaksasi politik yang terjadi pasca reformasi, masih berjalan ditempat. Course of Action kehidupan kenegaraan masih berputar soal (1) keinginan untuk keluar dari krisis ekonomi, (2) mengadili pejabat-pejabat yang korup, (3) stabilitas politik yang masih belum pasti dan (4) kebutuhan sembako belum bisa dipenuhi secara maksimal dan semakin tinggi.
Parpol masih berusaha keluar dari stigma lama, menjadi sangat vocal dan kritis terhadap pemerintah, meski sudah melakukan konsolidasi politik. Tetapi masih belum jelas semua dilakukan dalam rangka apa, dalam konteks fungsi resmi parpol sebagai articulator dan aggregator kepentingan masyarakat ?. apakah DPR memperjuangkan ide tentang accountability yang tegas antara wakil rakyat dan yang diwakilinya?. Ataukah mereka justru mewakili kepentingan-kepentingan politik mereka sendiri? Dalam rangka UU pemilu, belum bisa menarik kesimpulan yang jelas, di mana letak aspirasi masyarakat luas yang diwakili dalam pasal-pasal dan UU tersebut. Di pihak lain (pemerintah) selaku pekaksana masih berputar-putar dengan pernyataan retoris, dan bergerak sejengkal ketika ada desakan (konflik) atau masalah di masyarakat. Di atas semua itu, yang justru nampak adalah diskordansi, ketidakjelasan mengenai apa yang hendak diperbuat dalam kerangka reformasi.
Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia mewarisi konfigurasi elit yang terpecah, bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga ide. Munculnya parpol dengan beragam visi, misi, platform, dan pemikiran politik. Sedikit banyak telah memperteguh polarisasi politik, faksi-faksi, bahkan friksi-friksi dalam masyarakat. Bagaimana situasi seperti ini kita bisa mengharapkan kehadiran parpol, yang meskipun mulanya mewakili sebuah kepentingan faksionalisme. Sebagaimana pernah diharapkan Voltaire yang kembali dikutip Giovanni Sartori, bagaimana kita bisa berharap, kehidupan politik partai sebisanya tidak memuakkan?. Pesimisme publik bisa bertambah hanya dengan melihat munculnya banyak partai itu sendiri. Tanpa bermaksud menepis niat baik para pendiri partai, kemunculan multi partai itu, dengan variasi nama yang hampir tanpa preseden, mengesankan kita semua kita tidak serius dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap krisis.

Profesionalisasi Tentara : Kembali ke Barak ?
Eforia politik pasca Orde Baru juga menuntut perumusan baru tentang fungsi dan kedudukan tentara. Suara yang paling keras adalah tuntutan untuk menghilangkan fungsi-fungsi sosial-politik tentara, baik di parlemen atau pos-pos sosial politik lainnya. Ini jelas bukan perkara mudah ketika itu. Sekian dasawarsa tentara telah terlibat dalam fungsi-fungsi sosial-politik. Pengembalian militer ke barak secara drastis merupakan suatu keputusan yang bisa mendatangkan dislokasi-dislokasi sosial-politik. Bahkan bisa mendatangkan krisis ekonomi dan negara yang kolaps. Namun membangun kembali hubungan sipil-militer jelas harus melibatkan proses negoisasi. Dalam hal ini tentara tidak mampu mendiktekan kemampuan mereka. Proses transisi atau negoisasi itu, tentara kehilangan hak-hak prerogative secara cukup berarti. Bahkan mereka tidak lagi mampu menentukan budget mereka sendiri. Demikian pula kenaikan pangkat dan rekruitmen yang sekarang di bawah kontrol Menteri Pertahanan.
Akan tetapi yang ingin dikemukakan di sini sebenarnya adalah cara penanganan terhadap tentara berkaitan dengan reformasi peran mereka. Bahwa tentara ikut menangani masalah sosial-politik, hal itu bukan zamannya.  Kenyataan bahwa tentara Indonesia sudah sekian lama berpolitik, hal itu hendaknya dijadikan pertimbangan dalam merumuskan peran mereka. Bukankah itu pulalah, yang melatarbelakangi para politisi di parlemen mengulur batas waktu tentara untuk berpolitik dari 2004 menjadi 2009. Namun yang jelas dalam review kali ini, piramida kekuasaan yang kita sudah bahas sebelumnya, sedikit banyak bisa menjelaskan bahwa telah menjadi kekuatan politik Orde Baru.



[1] Sebetulnya agak aneh memperbincangkan soal politisasi birokrasi dewasa ini, seolah-olah hal itu merupakan sesuatu yang asing dalam kehidupan kenegaraan kita, sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan sebagai institusi yang bebas politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, terpimpin, dan Pancasila, dan periode transisional sekarang ini. interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Walaupun, harus diakui bahwa intensitas dan lingkupnya bervariasi antara satu pemerintahan dengan pemerintahan yang lain.

Kekuatan Politik Militer Indonesia Pra-Pasca Reformasi


REVIEW
Politik Militer Transisi Pasca Reformasi
Kekuatan Politik yang Menghiasi Perpolitikan Indonesia

Oleh :
Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si




Dalam suatu perjuangan menuju demokrasi, hubungan kekuasaan dalam suatu rezim otoriter di satu pihak tergantung pada kemampuan rezim untuk memimpin para sekutu politiknya, dan untuk mempertahankan persatuan koersinya, dan, di pihak lain, tergantung pada kemampuan kelompok oposan yang demokratis untuk memperkuat dirinya serta untuk menciptakan dukungan bagi sebuah alternatif pemegang kekuasaan[1].


Pasca reformasi Indonesia situasi perpolitikan Indonesia sejatinya masih belum dianggap mengalami stabilisasi politik. Konflik politik dan kepentingan yang hanya mementingkan kelompok atau golongan elit politik sipil, setelah mengambil alih kekuasaan otoriter Orde Baru, belum bisa memanfaatkan dengan baik situasi kondisi demokrasi seperti ini. Jangan sampai situasi ini dimanfaatkan oleh beberapa negara Asia lain atau Amerika Latin, dimana peran militer mengambil alih perpolitikan negara yang dianggap tidak kondusif. Dengan memanfaatkan situasi demikian tidak menutup kemungkinan, militer berupaya kembali masuk politik yang dianggap “haram” atau “tabu” selama ini.
Ditengah-tengah situasi yang rumit itu, tampaknya masyarakat “menghendaki segera adanya situasi yang “aman” agar mereka dapat menjalani kehidupan bersama. Dalam rangka itu, masyarakat luas tampaknya mulai “tidak percaya” kepada elit politik sipil yang hanya “pandai berpolitik praktis” yang menyebabkan situasi damai tak juga terwujud. Untuk melahirkan harapan masyarakat itu, mereka pada akhirnya melirik kekuatan yang selama ini dicurigai, bahkan dihujat karena dukungannya terhadap Jenderal Soerharto Orde Baru yang otoriter dan korup. Kecenderungan kembali diharapkannya TNI untuk “ikut” mengambil peranan dalam pemerintahan bangsa-negara , tampak di dalam hasil polling di Metro TV beberapa waktu lalu. Hasilnya sekitar 76% peserta memberi suara terhadap (kemungkinan) kembalinya TNI ke jajaran pemerintahan. Tentu saja hasil polling itu dapar “diperdebatkan”, apalagi peneleponnya berasal dari Jakarta, namun paling tidak hasil polling dapat dibaca gejala berubahnya pandangan masyarakat dewasa ini.
Penentangan militer pada era Orde Lama bisa dilihat secara historis misalnya munculnya DI/TII, Permesta, TKR di Sulawesi untuk menentang pemerintahan Republik Indonesia. pasukan-pasukan bersenjata organik milik pemerintah tampak saling bersaing dengan wilayah kekuasaannya masing-masing. Bahkan diantara batalyon-batalyon itu pernah berkelahi sendiri dalam bentuk kontak senjata di antara mereka, demikian pula halnya dengan pasukan-pasukan  bersenjata DI/TII dengan TKR saling bersaing dan bertempur. Dengan demikian ada persaingan internal dan eksternal diantara pasukan-pasukan itu.
Sejalan dengan itu, tampak bahwa posisi militer, TNI sebagai sebuah kekuatan terorganisasi dan alat negara setiap periode yang ditandai oleh terjadinya perubahan militer, memang menjadi pembicaraan untuk “meletakkan” posisi militer itu dalam kerangka pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, yang sering tampil sebagai topik pembicaraan dalam setiap periode perubahan itu ialah hubungan sipil-militer. Selanjutnya bagaimana dan di mana posisi militer dalam percaturan politik negara. Dengan demikian, yang akan menjadi topik pembicaraan itu berfokus pada peranan sosial politik militer.
Berbicara permasalahan tentang hubungan sipil militer, Dr Salim Said sebagai pengamat militer Indonesia cukup menarik jawaban, menurutnya :

Kalau berbicara hubungan sipil-militer di Indonesia kita bicara dalam dua tataran. Pada tataran legal konstitusional dan civilian supremacy. Artinya, orang yang dipilih rakyat itulah yang berkuasa, termasuk berkuasa atas TNI sesuai Pasal 10 UUD 45. Sedangkan dalam tataran politik, adalah suatu kenyataan bahwa sejak awal kemerdekaan TNI memainkan peranan politik.  Tanpa doktrin Dwifungsi dari “jalan tengah” mereka telah mempunyai peranan politik. Peranan ini membesar atau mengecil tidak tergantung dialektik antara kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat dengan militer.

Persoalan hubungan sipil-militer ini memang merupakan hal yang sekarang menemukan “bentuknya” yang tepat, bahkan sampai sekarang. Dan hal ini pula yang menyebabkan persoalan posisi militer selalu dalam situasi yang rumit. Sejak awal terbentuknya, yang dilakukan oleh dirinya sendiri, sebagaimana secara factual historis, dan ini juga dikatakan oleh Dr. Salim Said, militer memang selalu berada di dalam posisi “perebutan”. Atau bisa dikatakan sebagai Pergulatan Kekuatan-Kekuatan untuk Menguasai Militer.
Adanya situasi rumit untuk melakukan pergantian komandan di lingkungan militer, dan terjadinya friksi-friksi di lingkungan Markas Besar dan Kementrian Pertahanan pada tahun 1950-an, tidak hanya disebabkan oleh karena kebermacaman warna dari pasukan-pasukan militer sebagai akibat proses pembentukan dirinya sendiri, melainkan karena kekuatan-kekuatan politik memang melakukan strategi untuk merebut pengaruh di lingkungan militer. Setiap menteri pertahanan yang diangkat di dalam kabinet yang dibentuk, akan berusaha untuk menempatkan “orang-orang kita, baik di Kementerian Pertahanan, tetapi juga di Markas Besar TNI.
Puncak dari situasi buruk hubungan sipil-militer ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Dampak dari peristiwa ini memang membekas amat dalam yang bahkan “mengorbankan” sejumlah perwira terbaik dan pembentuk TNI yang awal, seperti Mayjen Simatupang dan Kolonel Nasution. Setelah melewati situasi rumit dengan bentuk penyelesaian yang “tidak selesai”, maka setelah Pemilu 1955, posisi Nasution dikembalikan untuk menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Tetapi sayangnya (hasil)Pemilu tahun 1955, tidak dengan segera menyelesaikan persoalan, bahkan yang terjadi ialah persoalan-persoalan baru, tidak hanya yang berkaitan dengan persoalan hubungan sipil-militer, melainkan makin lebar ke kawasan lain, yakni hubungan Pusat (Jakarta-Jawa) dengan Daerah (luar Jawa). Ternyata hubungan Pusat-Daerah ini tidak dapat pula dilepaskan dari persoalan “di mana posisi militer dalam rangka pengaturan hidup bersama dan pemerintahan negara”.
Apa yang terjadi setelah Nasution memegang pimpinan TNI-AD menunjukkan bahwa dalam perjalannya, ia berusaha mencari suatu rumusan “yang pasti” di mana tempat TNI dalam rangka peranannya sebagai kekuatan alat negara. Dalam rangka itulah Nasution merumuskan “Jalan Tengah” yang dikenal lebih lanjut dengan dwifungsi ABRI.
Ketika Demokrasi Terpimpin, maka diwfungsi ABRI “secara embriotik” mulai tampak lebih jelas. Tetapi pelaksanaannya “dapat dikontrol” karena yang melaksanakan adalah “penciptaan” sendiri, yakni Jenderal Nasution. Lain halnya ketika dwifungsi ini diwujudkan dengan sebuah pelaksanaan yang sistematis dan menjadi bagian dari sistem politik yang dikembangkan selama periode kekuasaan Jenderal Soeharto (Orde Baru). Selama itu, dengan berpegang pada formula dwifungsi yang dikembangkan Jenderal Soeharto, ketika menyaksikan penetrasi anggota TNI-ABRI ke struktur pemerintahan di luar struktur TNI-ABRI, mulai dari camat, bupati, direktur, dirjen-sekjen-irjen di “semua” departemen. Kita juga menyaksikan Golkar sudah menjadi organisasi politik yang “dikuasai” TNI-ABRI dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Dalam rangka pelaksanaan strategi politik bagi kemenangan Golkar maka dilaksanakanlah, pertama, massa mengambang, kedua, monoloyalitas bagi PNS (Sipil).
Perjalananan TNI-ABRI dengan dwifungsi berlangsung bersama dengan sistem kekuasaan Presiden Jenderal Soeharto dan ketika kekuasaan rezim ini jatuh, maka posisi militer pun kembali digugat. Dwifungsi pun “diteriakkan sebagai barang haram” dan harus dihapuskan. Teriakan tersebut mendapat sambutan dari lingkungan TNI sendiri. Banyak hal yang dilakukan dalam rangka reposisi TNI itu, yang pertama, istilah ABRI tidak digunakan lagi dan sepenuhnya hanya digunakan TNI. Yang kedua, Polri dipisahkan kembali dari TNI dan Polri berada di bawah langsung Presiden. Yang ketiga, TNI aktif yang memegang jabatan struktural non-TNI di departemen-departemen tidak lagi diperbolehkan untuk tetap menggunakan atribut TNI. Artinya kalau tetap pada jabatan non TNI, harus pensiun.
Ketika situasi berubah di dalam rangka isu reformasi, maka kembali posisi TNI dipertanyakan dan dwifungsi pun digugat. Pengamat militer Salim Said memberikan pandangannya :
Secara legal, penghapusan dwifungsi haruslah merupakan keputusan politik dari wakil-wakil rakyat atau elected politicians. Selama para politisi yang mewakili rakyat itu bisa secara bersama mengelola negara ini tanpa menjegal satu dengan lainnya, maka selama itu pula TNI tidak akan punya alasan untuk mengatakan bahwa mereka harus masuk politik untuk jadi juru selamat.

Selanjutnya Salim Said menyatakan bahwa :

Keputusan pimpinan TNI untuk menghapuskan dwifungsi, bahkan sebelum MPR dan DPR mengambil keputusan final mengenai hal tersebut, bisa dilihat sebagai bukti kepekaan TNI terhadap aspirasi masyarakat. Tetapi ini juga bisa hanya sekedar usaha sementara untuk meredakan kemarahan masyarakat. Buktinya masih banyak jabatan birokrasi yang masih diduduki oleh militer di berbagai departemen.

Melihat pandangan ini jelas bahwa penentuan posisi TNI haruslah ditentukan oleh (sebuah) keputusan politik  dari wakil-wakil rakyat, atau politisi-politisi (sipil) yang terpilih melalui Pemilu. Tetapi penentuan itu hanya dapat dilakukan kalau para politisi (sipil) yang mewakili rakyat itu dapat mengelola negara tanpa konflik, istilah yang digunakannya, “tanpa menjegal satu dengan yang lainnya” diantara mereka. Yang dimaksud oleh Salim Said ialah selama para politisi sipil dapat “dipecah”, maka peluang bagi campur tangan TNI yang dilakukan dengan “melampui batas” kewenangannya, setiap kali dapat dilakukan. Dengan keterangan itu, ia mempersyaratkan “keutuhan politik” diantara para politisi sipil, wakil rakyat, untuk mengakhiri “campur tangan” TNI di bidang non TNI.
Kemudian ada hal yang menarik dari pandangannya, tentang penghapusan dwifungsi itu. Dari sudut pandang TNI, dapat dilihat dari sudut yang berbeda. Yang pertama, adanya kepekaan TNI terhadap aspirasi rakyat, yang kedua, untuk meredakan rakyat. Hal pertama, tentu mempunyai makna yang positif. Artinya secara politik, TNI memiliki kemampuan untuk menangkap aspirasi rakyat terhadap TNI. Dengan itu, TNI dapat mempertahankan komitmennya “untuk bersama-sama dengan rakyat”.
Sebaliknya dengan hal yang kedua, yang bersifat “taktik” untuk mempertahankan diri. Jelas hal kedua ini lebih bersifat negatif. Artinya langkah untuk menghapuskan dwifungsi itu dilakukan tetap dalam rangka mempertahankan posisi TNI di tempat-tempat strategis di non-TNI.
Ketika SU MPR yang angota-anggotanya dipilih melalui pemilu 1999, maka ada hal yang menarik. Yakni dipertahankannya keanggotaan TNI-Polri sampai 2009. Keputusan ini memang melahirkan wacana, karena dianggap sebagai keputusan yang kontroversial. Bahkan tokoh yang waktu itu berkedudukan sebagai Menteri Pertahankan, seperti Prof.Dr. Juwono Soedarsono memberikan reaksi yang “agak emosional”, terhadap keputusan itu. Tampak tokoh yang sering “digambarkan” dekat TNI itu, “amat” tidak setuju dengan keputusan yang memperpanjang posisi TNI di dalam lembaga legislatif.
Sehubungan dengan itu, ketika keputusan politik yang berkaitan dengan waktu pengakhiran keberadaan TNI di MPR itu, ditanyakan Salim Said :

Barangkali mungkin saya salah, tetapi saya melihat ini sebagai indikator dari belum tumbuhnya rasa percaya diri para politisi sipil kepada diri mereka serta proses politik demokratis. Mereka tampaknya masih dihantui oleh pengalaman Orde Baru yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan hanya bisa stabil dan bertahan lama jika ia menguasai dan didukung tentara.

Dari analisis tersebut sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa ia memberikan kritik yang tajam terhadap politisi sipil termasuk Alm. Gus Dur, karena belum mampu mengembangkan kekuatannya untuk “tidak terlepas” dari bayang-bayang kekuatan politik TNI-Polri, sebagaimana yang terjadi di dalam periode Orde Baru[2].


Upaya bangsa Indonesia membangun demokrasi, telah membawa sejarah politik militer di Indonesia pasca Soeharto ke dalam situasi yang sangat krusial. Situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh masyarakat maupun militer sendiri. Kekecewaan massa terhadap peran militer yang dinilai koersif mendukung rezim otoritarian, terakumulasi sekian lama, lalu meledak setelah menemukan momentumnya. Kekuatan massa itu kemudian berhasil memaksa militer dalam banyak hal untuk “tunduk” kepada sipil. Militer dipaksa untuk tidak lagi menyentuh ranah politik, dan diminta kembali ke barak. Sebaliknya militer diminta mengembangkan profesionalisme, sehingga tanggungjawab kepada masyarakat dan negara bukan kepada kepentingan rezim penguasa.
Menghadapi tekanan yang besar, mau tidak mau, secara internal militer kemudian melakukan reformasi, dengan mencoba mereposisi dan meredefinisi peran sosial politiknya. Sementara itu, politisi sipil memperoleh jalan lebar untuk mencoba mengisi dan mengendalikan berbagai posisi strategis yang di masa lalu di pegang militer, sehingga menimbulkan gelombang perubahan di kalangan sipil maupun di tubuh militer.
Perubahan peran militer dapat dilihat diparlemen, TNI seolah hanya mengikuti irama politisi sipil. Dalam beberapa kasus pemungutan suara di DPR, fraksi TNI memilih netral. Hanya ketika DPR mengambil suara dalam kasus Buloggate dan Brunaigate, fraksi TNI mendukung temuan Pansus DPR yang cenderung menyudutkan posisi Gus Dur.
Namun ketika melihat sikap TNI dalam penanganan konflik kekerasan yang cenderung meluas di berbagai daerah di Indonesia. TNI terkesan lamban, dengan alasan takut salah mengambil langkah. TNI trauma karena nanti dianggap tuduhan pelanggaran HAM. TNI kemudian merasa membutuhkan payung politik, antara lain instruksi dari penguasa yang ada di tangan sipil. Ironisnya, penguasa sipil itu tidak segera menurukan instruksi yang jelas dalam mengatasi konflik komunal[3].
Apa yang diperoleh militer pada era reformasi tersebut, sangat jauh berbeda dengan apa yang diperankan militer pada masa-masa sebelumnya. Rezim Soeharto militer memiliki peran yang sangat dominan. Peran militer merambah hampir seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle sempat menyebut sebagai primus inter pares. Begitu besarnya peran mereka sehingga berimplikasi kepada melemahnya berbagai kekuatan sosial politik masyarakat dan menguatnya korporatisme negara.
Dengan demikian sejumlah pertanyaan masih sangat terbuka, apakah militer benar-benar akan “kembali ke barak” dan menjadi militer profesional seperti yang ada pada militer Amerika Serikat, sehingga dengan demikian membuka kemungkinan bagi tumbuhnya apa yang disebut dengan “supremasi sipil”. Ataukah militer mencoba mendefinisikan citra dirinya  dalam format yang lain, misalnya sebagai tentara revolusi? Atau justru berkemungkinan menjadi tentara praetorian sehingga tentara tetap saja mengalami politisasi, yang hanya berarti akan memperlebar kemungkinan kembalinya militer menjadi alat Presiden dan bukan lagi alat masyarakat dan negara.
Kesimpang siuran peran militer dalam politik itu bukan semata-mata disebabkan adanya konflik kepentingan di tubuh internal militer seiring dengan munculnya persaingan antar friksi. Di kalangan masyarakat Nampak belum ada kata sepakat, suara masyarakat yang menghendaki supremasi sipil dengan cara mengurangi peran militer dalam politik semaksimal mungkin, ternyata tidak bulat. Sebuah jajak pendapat menghendaki peran militer lepas dari politik praktis 30,2% lebih rendah, dari mereka yang tidak menghendaki lepas dari politik praktis (31,6%), sedangkan sisanya 38% lainnya menyatakan bergantung situasi. Kalau situasi menghendaki, kenapa tidak[4].
Penelitian peran militer dalam politik di dunia oleh Perlmutter bisa dijadikan pelajaran berharga. Sejarah militer di manapun tidak berkembang secara linier seperti yang sesederhana dibayangkan orang. Ideologi militer di sebuah negara bisa saja berubah-ubah. Perkembangan sejarah militer di sejumlah negara diketahui mengalami pergeseran. Militer di sejumlah negara bergeser dari semula berorientasi profesional namun dalam perkembangannya kemudian menjadi praetorian atau sebaliknya, dari tentara tentara revolusi berubah ke tentara praetorian dan begitupula sebaliknya.
Perlmutter mengatakan bahwa kemungkinan tentara revolusi berubah menjadi prajurit praetorian jauh lebih besar, dibanding menjadi tentara profesional. Tentara profesional akan mengubah diri menjadi praetorian pada saat-saat krisis, misalnya ketika pemerintah sipil gagal menjalankan tugas melindungi keamanan warga dan masa depan bangsanya. Sementara itu, hampir setiap saat tentara revolusi bisa saja mengubah dirinya menjadi prajurit praetorian. Hanya saja sejauh ideologi revolusi itu masih dapat dipertahankan dominasinya, kemungkinan tentara revolusi berubah menjadi prajurit praetorian menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, munculnya prajurit praetorian dari tentara revolusi, lebih disebabkan karena tidak lagi dapat dipertahankannya dominasi partai atau kekuatan revolusi atas kebijakan nasional.

Penutup

Dalam era reformasi ini, dalam rangka membangun TNI ke depan dengan upaya melakukan demokratisasi, militer masih memiliki pilihan-pilihan untuk melakukan proses trasnformasi. Hanya saja untuk kondisi saat ini, TNI tidak memiliki syarat sosial politik yang kondusif untuk mengubah dirinya menjadi praetorian. Sebaliknya,dalam rangka demokratisasi, TNI tengah didorong oleh masyarakat untuk menterjemah visinya mengikuti aturan-aturan profesionalisme militer. Masyarakat juga menghendaki agar TNI tidak tercerabut dari akar sejarahnya, sehingga terbuka bagi TNI untuk menggabungkan profesionalisme militer dengan visi tentara revolusi, dengan catatan TNI tidak kembali menjalankan peran praetorian.
Dari berbagai bukti empirik, dapatlah dipersepsikan langkah-langkah TNI masih menggambarkan keinginan untuk tetap dapat mempertahankan kekuasaan, meski syarat sosial politik tidak banyak mendukung. Sebetulnya, keinginan itu dapat ditoleransi, dengan catatan, tidak akan menyumbat mengalirnya kekuatan partisipasi politik masyarakat yang otonom. Jika TNI dapat meyakinkan publik dalam turut membangun saluran-saluran partisipasi politik yang lebih berkembang luas, kritis, dan otonom, maka dapat diyakini upaya TNI mempertahankan kekuasaannya masih akan memperoleh justifikasi. Meskipun, TNI tetap bakal menghadapi resistensi kalau dalam menjalankan kekuasaan yang dimilikinya itu lalu mengharap berbagai privelese-privelese berlebihan.
Dalam banyak negara demokrasi, privelese bukan dihapuskan sama sekali, akan tetapi pada umumnya secara de facto militer tidak mampu menggunakan hak-hak istimewa tersebut secara efektif, sehingga privelese itu tidak bisa dimaksimalkan. Hak-hak istimewa tersebut hanya dapat dijalankan dalam derajat atau gradasi yang rendah, atau dilakukan secara moderat, misalnya komandan dinas aktif pada setiap angkatan masih diberi kesempatan untuk berperan dalam kabinet, militer rela melakukan power sharring, sehingga misalnya badan pertahanan dan keamanan nasional beserta kebijakannya tidak dikendalikan sepenuhnya oleh militer, melainkan bisa berbagi dengan tenaga-tenaga profesional di luar militer, dalam hal ini dari kalangan sipil.
Milihat perkembangan politik di Tanah Air, terutama dengan maraknya konflik komunal yang terus meluas, TNI memiliki alasan untuk kembali meminta privelese-privelese tertentu. Namun, yang jelas tidak ada alasan bagi TNI saat ini untuk menghambat tumbuhnya kekuatan otonom dan pemberdayaan berbagai lembaga publik yang diperlukan sebagai syarat partisipasi politik yang demokratis. Pada posisi seperti ini, sesungguhnya terbuka peluang membangun saluran partisipasi politik yang luas, dan peluang yang besar bagi pembentukan kekuatan politik masyarakat yang otonom.
Hanya nampaknya muncul political constraint baru. Kali ini tidak datang dari kalangan militer, tetapi justru muncul dari perilaku militerisme di kalangan sipil dalam bentuk para militer maupun milisi, yang kadang-kadang lebih militer daripada militer itu sendiri, sehingga berpotensi besar untuk dapat mematikan terbentuknya kekuatan otonom, kekuatan kritis pada masyarakat dan pemberdayaan demokrasi secara kultural maupun struktural. Oleh karena itu, konsolidasi menuju demokrasi pada era reformasi ini belum juga kunjung selesai, meski militer telah didesakralisasi, sementara kekuasaan setidak-tidaknya secara formal sudah berada pada tangan sipil.



[1] Lihat Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi : Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
[2] Militer masih memperoleh jatah dalam kabinet dengan posisi yang strategis. Gus Dur masih mempercayakan Menko Polkam kepada Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen (pun) Surjadi Soedirja sebagai Mendagri, Menhub/Komunikasi kepada Letjen Agum Gumelar, dan Mendag kepada Letjen Luhut Panjaitan.
[3] Kekerasan yang muncul melalui jalur etnis, agama, dan juga berbagai kepentingan komunal di negeri ini secara  tak terelakkan yang kemudian menelan korban harta dan nyawa yang tidak sedikit. Dalam tragedi kemanusiaan di Sampity, Palangkaraya dan Pontianak. Dalam relatif singkat telah memusnahkan ribuan rumah penduduk, lebih 400 orang tewas, puluhan ribu etnis Madura harus mengungsi ke tanah aslinya. Belum terhitung dengan konflik antara etnis di Ambon, Maluku, dan Aceh.
[4] Maksum dalam temuan pada Jajak Pendapat Jawa Post, 14 Maret 2001.

Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik

Review
Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik
Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si











A. Arti Patologi Birokrasi
Istilah “patologi” hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai sesuatu penyakit. Namun belakangan analogi ini dikenal dalam ilmu politik untuk menyadur bahwa dalam realitasnya ada “penyakit” dalam tubuh pemerintahan. Namun bukan penyakit seperti halnya dalam ilmu kedokteran. Namun bisa dikatakan adanya penyakit akut yang sulit dihilangkan, terutama dalam birokrasi di Indonesia. Makna ini agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosial kultural dan teknologi. Berbagai penyakit yang mungkin sudah deritanya atau mengancam akan menyerang perlu diidentifikasi untuk dicari solusi yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita “penyakit birokrasi sekaligus”.
Dalam paradigma Lord Acton yang dinyatakan bahwa kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolute pasti korup, secara implisit juga menjelaskan birokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan menyelewengkan wewenangnya. Dalam hal ini selain sistem, juga aparaturnya. Karena itu perlu dipikirkan pula para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa dan kecenderungan menggunakan wewenangnya. Ini juga terkait patologi birokrasi itu sendiri. Melihat kekuasaan birokrasi publik menjadi sangat luas dan kuat dalam Etzionu-Halevy (1983) :
1.          Semakin meningkatnya ruang intervensi pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2.         Meningkatnya kompleksitas tugas pemerintahan
3.         Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang semakin berguna dalam membuat keputusan politik.
4.        Memiliki sumber informasi
5.         Pejabat politik memiliki sumberdaya serta selalu ada (tidak dibatasi waktu/pergantian)
6.        Pejabat politik tidak selalu memiliki kepentingan atau kontrol terhadap seluruh persoalan birokrasi.
7.         Menurunnya kekuasaan parlemen
8.        Adanya proses pergantian kepemimpinan yang menjadi areal birokrasi mencari peluang atau pengaruh
Patologi birokrasi bisa juga diartikan sama dengan “penyakit birokrasi”. Peran birokrasi sebagai implementor dari kebijakan politik, atau dengan kata lain birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, maka patologi birokrasi dapat diartikan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan akibat kinerja birokrasi tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Patologi birokrasi dapat saja terwujud dalam ketidakmampuan pejabat politik di eksekutif (terpilih karena mandat politik) atau persoalan kinerja pejabat publik yang terpilih, yakni pejabat di birokrasi yang menduduki jabatan akibat proses politik., atau karena kinerja pemimpin administratif, yakni birokrat karir yang menduduki jabatan karir di birokrasi. Atau birokrasi itu sendiri secara institusi, atau para agen pemerintah atau para birokrat yang tidak mampu memberikan kepuasan publik.
Dalam hal ini patologi birokrasi dapat dilihat dari perspketif kelembagaan, kepemimpinan politik di eksekutif, perilaku para elit birokrasi maupun perilaku para birokrat pelaksana itu sendiri, atau gabungan dari unsure-unsur tersebut.

B. Kategori dan Ruang Lingkup Patologi Birokrasi
Menurut Siagian, patologi birokrasi bisa dikelompokkan dalam lima kategori, diantara adalah :
1.     Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi
2.    Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
3.    Patologi timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.   Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif
5.    Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Diantara kelima kategori tersebut memiliki begitu banyak bentuk atau macam patologi birokrasi, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini :
Bentuk dan Macam Patologi Birokrasi
Persepsi, Perilaku, dan Gaya Manajerial
Kurangnya pengetahuan-Keterampilan
Tindakan Melanggar Hukum
Dimanifestasikan ke dalam Perilaku Disfungsional
Berkenaan dengan Situasi Internal Birokrasi
Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
Ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan
Penggemukan biaya
Bertindak sewenang-wenang
Penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
Persepsi atas dasar prasangka
Ketidaktelitian
Menerima sogokan
Pura-pura sibuk
Kewajiban sosial sebagai beban
Mengaburkan masalah
Rasa puas diri
Ketidakjujuran
Paksaan
Eksploitasi
Menerima sogokan
Bertindak tanpa berfikir
Korupsi
Konspirasi
Ekstorsi
Pertentangan kepentingan
Kebingungan
Tindakan criminal
Sikap takut
Tidak tanggap
Cenderung mempertahankan status quo
Tindakan yang tidak produktif
Penipuan
Penurunan mutu
Pengangguran terselubung
Empire Building
Tidak adanya kemampuan berkembang
Kleptokrasi
Tidak sopan
Motivasi yang tidak tepat
Bermewah-mewah
Mutu hasil pekerjaan yang rendah
Kontrak fiktif
Diskriminasi
Imbalan yang tidak memadai
Pilih kasih
Kedangkalan
Sabotase
Cara kerja legalistis
Kondisi kerja yang kurang memadai
Takut pada perubahan, inovasi, dan resiko
Ketidakmampuan belajar
Tata buku tidak benar
Dramatisasi
Inconvenience
Penipuan
Ketidaktepatan tindakan
Pencurian
Sulit dijangkau
Pekerjaan tidak kompatibel
Sikap sombong
Inkompetensi

Sikap tidak acuh
Tidak adanya indikator kinerja
Ketidakpedulian pada kritik dan saran
Ketidakcekatan

Tidak disiplin
Kekuasaan kepemimpinan
Jarak kekuasaan
Ketidakteraturan

Inesia
Miskomunikasi
Tidak mau bertindak
Melakukan tindakan yang tidak relevan

Kaku
Misinformasi
Takut mengambil keputusan
Sikap ragu-ragu

Tidak berperikemanusiaan
Beban kerja yang terlalu berat
Sifat menyalahkan orang lain
Kurangnya Imajinasi

Tidak peka
Terlalu banyak pegawai
Tidak adil
Kurangnya prakarsa

Sikap lunak
Sistem pilih kasih
Intimidasi
Kemampuan rendah

Tidak peduli mutu kerja
Sasaran yang tidak jelas
Kurang komitmen
Bekerja tidak produktif

Salah tindak
Kondisi kerja yang tidak nyaman
Kurang koordinasi
Ketidakrapian

Semangat yang salah tempat
Sarana dan prasarana yang tidak tepat
Kurang kreativitas dan eksperimentasi
Stagnasi

Negativism
Perubahan sikap yang mendadak
Kredibilitas rendah


Melalaikan tugas

Kurangnya visi yang imajinatif


Tanggungjawab rendah

Kedengkian


Lesu darah

Nepotisme


Paparazzi

Tindakan tidak rasional


Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan

Bertindak di luar wewenang


Red Tape

Paranoia


Kerahasiaan

Sikap opresif


Utamakan kepentingan sendiri

Patronase


Suboptimasi

Penyeliaan dengan pendekatan punitive


Syncophancy

Keengganan mendelegasikan


Tampering

Keenganan pikul tanggungjawab


Imperative wilayah kekuasaan

Ritualisme


Tokenism

Astigmatisme


Tidak profesional

Xenophobia


Sikap tidak wajar




Melampui wewenang




Vasted interest




Pertentangan kepentingan




Pemborosan


Adapun ruang lingkup patologi birokrasi itu sendiri bila menggunakan terminologi Smith berkenaan dengan kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar yakni :
1.     Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.

2.    Mal administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi :perilaku korup, tidak sensitive, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.

Entri Populer