Senin, 18 Juni 2012

Menagih Janji Nasionalisme

Menagih Janji Nasionalisme

Sabtu, 2 Juni 2012 11:22 wib
OKEZONE.COM

Bulan Mei menjadi bulan yang sangat penting bagi negeri ini. Dua momen besar sarat nilai historis dan heroisme diperingati; Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Kedua momen itu saling berkait berkelindan, tidak bisa dipisahkan atau pun dipandang parsial. Pendidikan menjadi sumber elan pital kebangkitan. Sedangkan kebangkitan itu sebagai pembuktian bahwa pendidikan itu berhasil menciptakan manusia berkarakter.

Harkitnas; Hari Sakit Nasional?
Peringatan Harkitnas yang ke 104 tahun 2012 ini menjadi penting, jika nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kejujuran, dan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi ciri ke-Indonesia-an, yang telah dipelopori oleh para pendahulu kita melalui gerakan “Boedi Oetomo” dapat dijadikan suatu enerji bagi langkah-langkah bangsa kedepan. Sekaligus menjadi renungan dan evaluasi, sejauhmana semangat nasionalisme tersebut terimplementasi dalam setiap potensi, profesi, tugas dan tanggung jawab perilaku masing-masing individu warganegara Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menapaki perjalanan sejarah kebangkitan nasional Indonesia, maka cara berfikir nasionalis dalam membangun Indonesia baru di masa depan adalah bagaimana mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Dalam hal ini, cara berpikir nasionalis diharapkan menjadi antitesis dari cara berpikir individual atau perorangan, antitesis dari cara berpikir kedaerahan, antitesis dari cara berpikir kepartaian atau golongan, dan mutlak antitesis dari cara berpikir kolonial.

“Karena itu, dalam memaknai kebangkitan nasional dan wacana Indonesia ke depan yang lebih baik, mandiri, sejahtera dan lebih bermartabat, diperlukan adanya korelasi antara kesadaran sejarah, fakta sosial, dan semangat nasionalisme ke-Indonesia-an kita ke depan. Nasionalisme ke-Indonesia-an yang memiliki bangunan karakter kesejatian Indonesia”, demikian tegas Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D kepada civitas akademika UGM dalam peringatan Harkitnas 2012 di kampus itu (Humas UGM, 21/5/2012).

Tapi, harapan Pak Rektor di atas hanya tinggal harapan di atas langit nusantara. Realitas factual justeru menabalkan bahwa bangasa ini sedang digerogoti penyakit akut lagi mematikan bernama KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) atau yang senada dengannya bernama NKK (nolongin kawan kroni). Penyakit itu sudah bersifat kolektif. Karenanya bisa dikatakan bahwa Harkitnas itu kini tak lebih dari akronim dari Hari Sakit Nasional.

Wakil Rakyat berlipstik harta tahta wanita, menari ganjen menyanyi Hedonesia ria. Tentu beda antara Indonesia Raya dengan Hendonesia ria. Bila Indonesia Raya kabarkan tentang ruang bercahaya nasionalisme emas. Maka Hedonesia ria muncratkan perilaku nasionalisme edan para wakil rakyat berwajah mewah, bermobil mewah, atas bawah sumringah. Sementara rakyat terjerat lagu Indonesia Melarat, "Benjing amenanging kala tida,wong duwur dadi umbul-umbul,wong cilik tengal-tengul nyedoti umbel"  (Skober, 2011).

Nasionalisme Digilas
Intervensi negara-negara Barat dan Eropa terhadap kebijakan dalam negeri negara lain yang berstandar ganda adalah suatu fakta, bahwa kepentingan yang ada didalamnya ikut ambil dalam menentukan kebijakan luar negeri mereka. Kemenangan kaum reformis dalam pergulatan meruntuhkan rezim orde baru dengan lengsernya Presiden soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari pertempuran ekonomi global yang sedang memperebutkan pasar dan sumber daya alam negeri ini (Ayu, 2011).

Lemahnya kekuasaan pemerintah negeri ini terhadap kebijakan asing tidak terlepas dari perekonomian negara yang sangat bergantung terhadap investasi asing. Banyaknya raksasa-raksasa ekonomi yang menguasai perekonomian negeri ini berpengaruh besar terhadap pertarungan politik yang ada di negeri ini. Kepentingan-kepentingan pasar yang bermain dalam rangka menciptakan boneka-boneka politik dalam struktur pemerintahan adalah salah satu bentuk neoimperialisme modern yang sedang trend sekarang ini.

Pemegang kartu atau kunci kekuasan politik dari siapa yang akan dipertahankan dan siapa yang akan dilengserkan adalah logika kaum neoliberal ketika kekuasaan pemerintahan suatu negara ada di tangan mereka.

Oleh karena hal tersebut perlunya agen ganda yang mampu bermain sebagai pejabat formil dengan merangkap sebagai agen pasar adalah keharusan dari suatu pemerintahan.
Banyaknya permasalahan dari  kepentingan publik yang terlantar dan tak kunjung terselesaikan akan menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang berdiri di struktur kekuasaan tanpa didukung oleh kekuatan ekonomi global ini.

Walhasil terjadilah kontrak politik antara pemimpin negeri yang mempunyai ambisi untuk berkuasa dengan para pemilik modal. Ketika saat itu tiba, nasionalisme tidak lagi mampu berdiri tegak. Budaya menjadi pelacur terhadap nilai-nilai globalisasi dan idealisme menjadi barang yang murahan. Mereka yang melawan akan disingkirkan dan disebut terbelakang atau tidak beradab, yang bertahan dibuat sibuk saling menikam satu dengan yang lainnya. Sementara mekanisme pasar dengan nyaman mengeruk habis isi berharga dari tanah Republik dan kekayaan alam negeri ini.

Menagih Janji
Nasionalisme Indonesia datang sebagai sebuah janji (Andri, 2011). Dikala rakyat pribumi memilih nyaman berlindung di bawah payung feodalisme yang berjalan beriringan dengan kolonialisme, nasionalisme datang membawa harapan baru dengan logika bahwasanya setiap suku atau wilayah akan menjadi kekuatan besar apabila bersatu. Nasionalisme menjadi jawaban untuk mengusir penjajahan dari bumi nusantara.

Sebuah kisah historis yang kaya dan patut dibanggakan, dalam tempo beberapa puluh tahun saja, janji nasionalisme berhasil merubah arah bangsa. Negara Indonesia berhasil dibentuk. Rakyat resmi bebas dari kolonialisme. Kekuatan utamanya adalah spirit Bhineka Tunggal Ika, spirit yang demokratis dan berhasil menggalang kekuatan bersama. Berbagai latar budaya, kekuatan, ideologi, golongan, elit, melebur memperjuangkan entitas nasional.

Begitu dipercayainya nasionalisme sebagai sebuah janji pemersatu, membuat para founding fathers negara enggan melahirkan Indonesia dalam sistem federal. Ditakutkan, sistem federal kedepannya melanggengkan perpecahan. Sejarah telah mengingatkan bahwa Indonesia dulunya pernah kacau karena politik pecah belah, Devide Et Impera. Disepakati wujud Indonesia adalah negara kesatuan, sekalipun kurang sejalan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri atas ribuan suku.

Janji ini (nasionalisme) berjalan dengan penuh pergolakan. Banyak pengorbanan, pertumpahan darah. Keteguhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sempat tergoncang saat Belanda melangsungkan agresinya dan dalam beberapa masa, sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Indonesia berubah menjadi federal. Benarlah, sistem federal yang mengkotak-kotakkan, tidak sejalan dengan spirit nasionalisme yang masih berkobar sehingga Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Dalam perjalanannya lagi, nasionalisme sebagai janji terasa gagal setelah bertahun-tahun dijunjung tak jua membawa kesejahteraan. Soekarno, sang pemimpin, terlalu acuh terhadap kekuatan kapital sehingga rakyat tetap melarat, pembangunan lambat.

Periode berikut, masa orde baru, pembangunan berjalan pesat. Rasa nasionalisme diperkuat, bahkan dengan indoktrinasi via berbagai kebijakan dan agitasi media. Hanya saja, indoktrinasi ternyata bukan cara yang tepat untuk menguatkan nasionalisme. Nasionalisme adalah sesuatu yang berangkat dari kesadaran, dari kerinduan untuk menyatu dalam keragaman, kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kesatuan sebagai kekuatan, bukan dengan indoktrinasi yang melahirkan nasionalisme semu.

Yang terjadi, masyarakat sulit mengekspresikan hak politik secara demokratis. Sekalipun nasionalisme berdengung di segala arah, semangat nasionalisme meredup. Berganti orde, paradigma masyarakat tetap sama. Sekalipun pintu demokrasi setelah 1998 terbuka lebar, jiwa nasionalisme masih mengambang. Nasionalisme sebagai janji tetap gagal.

Masih layakkah kita percaya dengan janji pemersatu itu? Disaat lajunya acapkali tersendat-sendat? Jelas masih. Nasionalisme merupakan kekayaan historis yang bernilai besar, sangat layak diperjuangkan. Indonesia pernah punya pemikir-pemikir besar yang dengan keradikalannya masing-masing mau melebur dalam wadah nasionalisme. Adalah tanggung jawab setiap generasi memperjuangkan janji nasionalisme agar berhasil.

Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kajian sosial, pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh

Menyoal Polemik Posisi Wamen dan Solusinya

Menyoal Polemik Posisi Wamen dan Solusinya

Jum'at, 8 Juni 2012 14:09 wib
OKEZONE.COM

BERBAGAI kontroversi mewarnai negeri ini sejak awal digulirkannya ide Wakil Menteri (Wamen) sampai ditetapkannya 20 orang wamen dalam kabinet Presiden SBY. Pasalnya, keberadaan wamen dianggap menguras anggaran Negara dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Dengan adanya wamen, maka menyedot uang Negara.

Bayangkan saja, fasilitas take home pay satu menteri saja sebesar Rp 619 juta setahun. Bagaimana kalau 20 wamen? tentunya lumayan besar. Harusnya ini dialokasikan untuk kebutuhan lain (Republika, 7/6/2012). Selain itu, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri. Maka, tidak heran jika muncul kontroversi di negeri ini.

Sebelumnya, banyak gugatan dilakukan, seperti Yusril Ihza Mahendra yang menggugat jabatan wamen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berharap jabatan wamen ditiadakan dari pemerintahan. Logika menolak wamen didasarkan bahwa posisi itu akan menghamburkan uang Negara.

Hal ini juga diungkapkan Gerakan Nasional Anti Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), mereka menilai jabatan wamen memboroskan uang negara. (VIVAnews, 5/6/2012). Sebelumnya, GN-PK sudah menggugat MK, mereka menilai Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Jabatan itu tidak diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur masalah kementerian negara.
Polemik

Ada beberapa kalangan yang setuju dan menolak jabatan wamen. Alasan mereka juga berbeda dan sama-sama kuat. Di sisi lain berpendapat, bahwa putusan MK itu mengakui dan menegaskan pengangakatan menteri atau wamen merupakan hak konstitusional Presiden. Jadi, jabatan menteri dan wamen adalah konstitusional serta sesuai dengan UUD 1945. Dengan adanya putusan MK itu, sama sekali tak bisa ditafsirkan bahwa jabatan wamen menjadi tidak sah, atau batal demi hukum.

Dengan begitu, pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Maka, hal ini dinilai sah dan berlaku, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dipersoalkan pada putusan MK adalah aspek implementasi dari kewenangan Presiden dalam mengangkat wamen. Sebab, pada prakteknya, ternyata Presiden mengangkat wamen bukan hanya dari kalangan pejabat karir atau PNS. Padahal, penjelasan pasal 10 UU tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”

Menurut putusan MK, justru penjelasan Pasal 10 itu menimbulkan masalah hukum, sekaligus membatasi kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangkat menteri atau wamen. Penjelasan pasal 10 membatasi kategori posisi wamen yang hanya bisa diduduki pejabat karir. Menurut putusan MK lagi, seharusnya kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangat menteri ataupun wamen tidak boleh dibatasi. Menteri atau wamen bisa dari pejabat karir atau PNS, namun bisa juga dari kalangan non pejabat karir, bahkan bisa dari kalangan warga biasa, kalau dinilai memenuhi kualifikasi jabatan tersebut. Namun, meskipun demikian, problem ini semakin berbelit dan menuai polemik.

Terlepas dari polemik itu, sebelumnya Rusman Heryawan juga rela bila ia tidak menjadi wamen. Begitu pula Deny Indrayana sempat berkelakar tentang apapun keputusan MK, ia siap menerimanya melalui plesetan lagu Bob Marley “No Woman No Cry” menjadi “No Wamen No Cry”. Secara tidak langsung, Denny tidak membutuhkan posisi wamen, artinya ia menyerahkan semua itu kepada putusan MK.

Maka dari itu, problem ini harus segara diselesaikan. Artinya, pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini dengan langkah strategis. Logikanya, setiap pengambilan keputusan baik yang dilakukan Presiden atau MK harus selaras dengan konstitusi dan UUD 1945. Jika inkonstitusinal, maka segala keputusan harus ditolak.

Kembali ke Konstitusi
Pada dasarnya, jabatan wamen sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara adalah konstitusional, sah, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah adalah penjelasan pasal 10 yang bertuliskan, "Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet."

Kalau kemudian presiden tetap mengangkat wamen kembali, berarti hal itu inkonstitusional. Dengan demikian, posisi wamen harus segera dikaji ulang. Selain itu, Presiden harus tetap menghormati dan mentaati putusan MK. Sebagai kebijakan dan langkah-langkah konkrit berikutnya, tentu a Presiden akan menyesuaikan berbagai Keputusan Presiden tentang pengangkatan para wamen dengan putusan MK itu.

Konsekuensi lain dari putusan itu, pemerintah harus mengubah Keppres wamen, sehingga kewenangan eksklusif Presiden dalam hal pengangkatan pembantu menteri itu bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dengan putusan MK itu, Presiden juga bisa mengangkat wamen dari berbagai kelompok, seperti profesional, partisan, dan nonpartisan. Wallahu a’lam bissawab.

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Mencermati Pilihan Politik Tere

Jeffrie Geovanie

Mencermati Pilihan Politik Tere

Senin, 11 Juni 2012 08:30 wib
Theresia Ebenna Ezeria Pardede yang popular dipanggil Tere mengambil pilihan politik yang mungkin menurut banyak kalangan tergolong  muskil. Pada saat para koleganya begitu kukuh mempertahankan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) walaupun sudah berstatus tersangka dan bahkan sudah menjalani penahanan, Tere malah dengan suka rela mundur dari DPR.

Di permukaan, alasan yang dikemukakan adalah untuk berkonsentrasi mengurus  ayahnya, Tombang Mulia Pardede, yang sakit jantung, dan untuk menyelesaikan kuliah S-2 Komunikasi Politik di Universitas Indonesia. Dua alasan ini secara faktual benar adanya. Tapi adakah alasan lain selain mengurus sang ayah dan melanjutkan studi?

Sepengetahuan saya, Tere merupakan sosok anggota DPR yang baik dan konsisten dalam menjalankan tugas, selalu berjalan lurus di atas rel yang digariskan. Secara pribadi saya tidak akrab dengan Tere, tapi dari beberapa pertemuan dan pernyataan-pernyataannya dalam sidang-sidang DPR –yang tak selalu diliput media—tampak dengan jelas kegelisahan jiwa dan ketajaman pikirannya.

Di sebuah media ibu kota, Tere yang lahir di Jakarta, 2 September 1979, mengungkapkan bahwa keputusannya untuk mundur dari DPR dan Partai Demokrat merupakan bagian dari kecintaannya kepada negeri ini. Artinya, ada obsesi besar di balik pengunduran dirinya, yakni bagaimana menjadikan Indonesia yang lebih baik.

Ada kesan paradoksal dari pernyataannya itu. Seharusnya, jika benar menyintai Indonesia, ia pertahankan jabatan DPR untuk terus ikut berkiprah memperbaiki sistem  agar semuanya berjalan sesuai yang dicita-citakan. Karena di DPR lah semua komponen sistem politik dirancang dan diputuskan.

Tapi, yang ditempuh Tere justru sebaliknya, ia menyintai Indonesia dengan mengundurkan diri dari DPR. Ini benar-benar menjadi tamparan buat DPR. Ada pesan yang kuat bahwa DPR bukan tempat yang baik untuk mengekspresikan kecintaan pada Indonesia. Karena logika inversinya berarti, jika ia tetap bertahan sebagai anggota DPR berarti ia tidak menyintai Indonesia.

Sudah sedemikian burukkah citra DPR? Dari yang tampak di permukaan bisa jadi benar. Banyaknya anggota DPR yang terjerat korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa segala modus korupsi ada dan dilakukan oleh anggota DPR. Bagi seorang idealis seperti Tere, kondisi semacam ini pasti akan menggelisahkan. Membuat jiwanya tidak tenang.  Maka benarlah apa kata Arvan Pradiansyah, penulis buku best-seller The 7 Laws of Happines, “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi” (Bandung, Mizan: 2009).

Setidaknya ada tujuh komponen yang menurut Arvan menjauhkan politik dari kebahagiaan:  Pertama dalam kebahagiaan ada patience (kesabaran) dan fokus pada proses, sedangkan dalam politik butuh kerja instan dan fokus pada hasil. Kedua, dalam kebahagiaan ada gratefulness (syukur), sedangkan dalam politik kita tak bisa cepat puas. Ketiga, dalam kebahagiaan ada kesederhanaan, dalam politik semua menjadi rumit. Keempat, dalam kebahagiaan ada love (cinta), dalam politik ada kepentingan. Kelima, dalam kebahagiaan ada giving (memberi), dalam politik selalu ingin mendapatkan. Keenam, dalam kebahagiaan ada forgiving (memaafkan), dalam politik justru berkembang upaya balas dendam. Ketujuh, dalam kebahagiaan ada perasaan berserah diri (surrender) tapi dalam politik justru selalu meminta kepada Tuhan.

Realitas politik seperti itulah yang tampaknya membuat Tere galau. Begitu banyak kejadian yang bertolak belakang dengan cita-cita politiknya. Ia ingin sekali memperbaiki keadaan, tapi yang terjadi justru ia harus lebih banyak berkompromi dan tahu diri. Ia sadar bahwa seorang anggota DPR hanyalah semacam “pion” yang tak mampu berbuat apa-apa karena semuanya diputuskan melalui kesepakatan bersama, atau atas keinginan pimpinan partai yang tak selamanya sesuai dengan idealismenya.

Maka bagi Tere, politik bagaikan barang najis yang harus dijauhi. Ia tak hanya mundur dari DPR, tapi benar-benar menjatuhkan talak tiga dengan partai politik. “Saya  ingin menjadi masyarakat madani, di mana kata John Lennon (dalam lagu “Imagine”), partai politik tak perlu ada,” katanya.

Kita apresiasi jalan politik yang ditempuh Tere. Tapi saya yakin, pilihan eskapisme semacam ini bukanlah jalan yang terbaik. Menurut saya, jika kita ingin memperbaiki keadaan, keterlibatan secara langsung merupakan keniscayaan.  Karena dalam politik, kebaikan tidak akan datang dengan sendirinya. Kebaikan harus direbut dan diperjuangkan.

Dalam politik, kebaikan itu bisa diekspresikan  dalam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam demokrasi ada sarana, proses, dan tujuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Partai politik adalah sarana. Dinamika yang terjadi di DPR adalah proses untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena ketiganya merupakan satu kesatuan maka kita tak bisa meninggalkan satu atau dua komponen dari ketiganya, misalnya dengan memotong kompas menuju cita-cita tanpa melalui sarana dan prosesnya. Itulah mengapa partai politik disebut sebagai pilar demokrasi.  Tanpa pilar, bangunan demokrasi akan runtuh.

Karena partai politik merupakan keniscayaan dalam proses demokratisasi maka jika kita merasa tidak nyaman dengan partai politik tertentu, bukan berarti kita meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan partai politik. Yang seyogianya kita lakukan adalah mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang kita perjuangkan.

Jalan inilah yang baru-baru ini saya tempuh, mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang saya perjuangkan. Jadi kemunduran saya dari DPR hanyalah konsekuensi dari pilihan politik yang saya tempuh itu, bukan berarti saya menjauh atau meninggalkan partai politik. Karena sekali lagi, partai politik  adalah sarana yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses meraih tujuan.

Menurut saya, Indonesia yang baik membutuhkan pemerintah dan DPR yang baik, yang ditopang oleh partai politik yang baik. Partai politik yang baik membutuhkan orang-orang baik. Maka saya sangat menyayangkan langkah Tere, atau orang-orang baik lainnya –seperti Soetrisno Bachir-- yang keluar (bahkan terkesan antipati) pada partai politik.

Jika orang-orang baik terus bertahan, saya masih punya harapan, partai politik akan semakin membaik. Dan dengan membaiknya partai politik ada harapan besar, sistem politik yang  berjalan di negara ini pun semakin membaik.

Jeffrie Geovanie
Politisi Partai NasDem

Langkah Antisipatif Memberantas Korupsi

Zainurur rudin

Langkah Antisipatif Memberantas Korupsi

Kamis, 14 Juni 2012 10:18 wib
OKEZONE.COM

Korupsi dan koloninya tak henti-hentinya menjarah keuangan Negara. Terungkap yang satu, muncul lagi yang lainnya. Bagaikan pohon pisang yang belum berbuah, jika ditebang akan muncul tunasnya lagi.

Entah sudah berapa juta triliun uang rakyat yang habis dikorupsi oleh koruptor dan koloninya. Sehingga berdampak dengan pembangunan Negara yang lamban dan kehidupan masyarakat jauh dari kata sejahtera. Harus bagaimana cara bangsa/Negara ini mengatasi dan memberantasnya. Beberapa lembaga sudah terbentuk, dari yang dibentuk oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sipil. Namun tidak bisa membendung lajunya para penjahat, penjilat uang rakyat ini beraksi. Dari lembaga Negara yang dibentuk, itu juga sangat menyedot penggunaan uang rakyat. Mulai dari komisi, pansus, dan lain-lainya. Bayangkan saja untuk kasus century saja. Miliaran rupiah yang digunakan. Namun hasilnya sangat-sangat dipertanyakan sampai sekarang. Belum lagi pembentukan pansus-pansus yang lainnya.

Korupsi dan politik uang tak henti-hentinya mengrogoti Negara kita  bagaikan bom waktu yang sesekali meletus meghancurkan negra ini. Sekali dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, maka butuh waktu dan uang yang besar untuk mengungkap dan menangkap pelakunya. Bahkan uang yang digunakan untuk menangkap atau mengungkap kasus korupsi lebih besar dari uang yang dikorupsi oleh koruptor. Jika proses yang dilakukan benar dan berhasil, maka bisa menjadi bahan pertimbangan oleh masyarakat dan semua pihak. Namun jika proses yang dilakukan berhenti di tengah jalan tanpa hasil, alangkah sayangnya uang yang sudah habis untuk menjalankan proses itu.

Alangkah sayangnya uang Negara ini yang yang hakikatnya adalah uang rakyat dan harus digunakan untuk mensejahtrakan kehidupan rakyat, malah digunakan untuk membayar para orang hebat Negara ini duduk di kursi empuk dan berbasa basi seakan serius mambahas kasus-kasus korupsi. Sedangkan setelah itu tenggelam tanpa ada hasil yang bisa dipertanggung jawabkan. Salah satu ya kasus Bank Century.

Sungguh luar biasa dampak dari korupsi dan politik uang yang semakin lama semakin menjadi bahkan sudah menjadi ruh bgi pejabat-pejbat kita . Banyak hal yang menjadi korban.walau bagaimanapun keberhasilan para penegak hukum, para badan/ lembaga Negara yang menangani korupsi, namun tidak bisa menghilangkan koruspsi. Bahkan seakan-akan makin merajalela. Sudah banyak orang berhasil diugkap dan ditangkap, namun besok lusanya ada lagi berita tentang adanya korupsi. Sungguh capek, letih melihat semua ini.

Jadi, bagaimana caranya memberantas korupsi yang tiada hentinya ini. Dari segi hukum, Negara sudah memiliki hukum yang berfungsi menangkap, menyelidiki, mengadili dan memenjarakan para koruptor. Dari segi agama, setiap agama yang ada sangat tidak menganjurkan bagi

Siapa yang bertanggungjawab?


Beranjak dari perilkau korupsi semakin merajalela, maka penting untuk bangsa ini agar terus melakukan evaluasi dan pembelajaran secara terus menerus pada pola dan sistem perekrutan keanggotaan KPK. Mungkin lebih tepatnya, tugas ini merupakan juga milik sejumlah partai politik yang ada agar tidak sembarangan menempatkan kader-kadernya untuk duduk di parlemen. Hal tersebut merupakan langkah antisipatif, mengingat kejadian tersebut di atas dimungkinkan tidak dengan serta merta muncul pada saat itu saja. Bisa jadi tindakan tersebut merupakan salah satu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh salah seorang kader partai, maka individu semacam ini tentu tidak boleh dipasang sebagai kader yang duduk di kursi parlemen.

Apabila kita tilik pada kasus yang terjadi dari kasus century dan kasus Gayus semua orang bingung siapa yang mau disalahkan dan siap yangg harus bertanggung jawab apakah KPK bisa  menangkap siapa yang memakan begitu banyak uang miliyaran bahkan triliunan bahkan kasus yang sudah berbulan-bulan tentag kasus Nazaruddin dan kawan –kawan belum usai namun  dengan politik ynag begitu rapid an tertata kasus ini hilang bhakan tenggelam dengan ksaus lapindo terus bagimana para pejabat dan para wakil rakyat menanggapi ini kok seakan-akan semua orang terdiam dan tidak mau tahu tentang suatu hal ini.

Pada sudut pandang yang lain, uang memang adalah penguasa tak terbantahkan dalam kehidupan, terutama bagi para penganut materealisme sejati. Dengan uang seseorang bisa membeli apa saja, termasuk di dalamnya adalah pemenuhan kegiatan korupsi. Sejatinya hal tersebut merupakan tindakan di atas kewajaran (amoral). Deskripsi ini jika dikorelasikan pada Prilaku partai demokrat tersebut di atas, maka bisa diterka bahwa anggota Partai demokrat yang bersangkutan sejatinya mengidap penyakit berbahaya yang bernama materelisme. Dari uraian diatas Ada beberapa  hal yang mungkin bisa dijadikan cara untuk langkah antisipatitif  memberantas korupsi dan kejahatan lainnya. Pertama; dari segi hukum. Melihat bagaimana hukum sekarang ini berjalan memang sangat tidak adil. Di mana ganjaran bagi para koruptor kelas kakap masih ringan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Andai hukuman bagi para koruptor lebih berat dari hukuman bagi masyarakat biasa yang mencuri ayam, dan bahkan lebih berat dari hukumam kasus pembunuhan, para koruptor akan berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Yang pastinya juga koruptor tersebut harus mengembalikan jumlah uang yang dikorupsinya. Intinya, hukuman bagi koruptor lebih berat, lebih sakit dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya. Karena yang menerima danpaknya bukan cuma satu dua orang. Tapi masyarakat dan Negara.

Kedua; Pastinya adalah agama. Di mana setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kebaikan dan melarang melakukan kejahatan. Namun pendidikan agama sekarang ini sudah sangat kuruang. Kita menemukan pendidikan tentang agama secara intens hanya pada pesentren, madrasah, atau yang sejenisnya di agama lain. Di jenjang pendidikan yang umum, juga sangat jauh sekali. Di tingkat Sekoah Dasar sampai Sekolah Menengah Utama, pelajaran agama hanya ada di bidang studi pendididikan agama. Dan itu hanya seminggu sekali. Sedangkan di perguruan tinggi hanya ada mata kuliah Agama. Dan itu hanya ditemui di satu semester saja dengan beberapa kali pertemuan saja. Pastinya itu tidak akan cukup. Jika melihat perkembangan jaman yang semakin pesat. Jika pendidikan agam lebih diperbanyak dan secara kontinyu, pastinya akan memberikan danpak yang cukup baik untuk menjadikan manusia menjadi lebih baik. Baik dari segi pengetahuan umum, maupun pengetahuan agama.

Ketiga; larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah bila kita  menilik ke  zaman Nabi Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’). Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Wallahu A’lam bisshawab.
 
Zainurur rudin
Alumnus TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura

(//mbs)

Mengukur Validitas Presiden Polling



Mengukur Validitas Presiden Polling

Dina Kusumaningrum
Selasa, 21 Februari 2012 - 16:41 wib
OKEZONE.COM


PEMILU 2014 masih menyisakan tiga tahun lagi, namun ‘perang survei’ sudah dimulai. Ramai-ramai lembaga survei unjuk kebolehan menentukan siapa jagoan yang akan memimpin negara ini di masa mendatang. 

Tentu, bukan karena pendapat pribadi atau menebak-nebak atas dasar suka dan kebencian. Calon presiden pilihan adalah keinginan rakyat yang dirajut berdasarkan hasil polling lembaga survei.

Polling yang dilakukan bukan tanpa alasan. Adalah fakta dan realistis, jelang pemilu dan diikuti pilpres, menjadikan polling ini sebagai barometer keberhasilan partai politik dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014.

Namun, polling yang dilakukan bukan juga untuk membuat publik terjebak. Keabsahan, kebenaran dan independensi sebuah lembaga survei harus menjadi perhatian.

Apalagi, sudah menjadi rahasia umum kalau ada survei yang berdasarkan pesanan. Akibatnya cenderung mengakomodir kepentingan dan keinginan pihak pemesan.

Makanya, tidak heran bila hasil lembaga survei satu dan lainnya bervariasi. Bila hasil polling positif akan diterima dengan senang hati oleh sebagian kalangan. Sebaliknya bila itu negatif, bisa saja akan ada polling tandingan yang dilakukan sebagai bahan masukan dan pelajaran.

Belum lama ini, Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) mengeluarkan survei mengejutkan.

Nama Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri melambung tinggi. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, masih dianggap sebagai figur yang paling dikenal masyarakat dibandingkan tokoh politik lainnya dengan meraup sekira 91,6 persen.

Bahkan, bila pemilu digelar saat ini, CSIS berpendapat, Megawati adalah pemenang pemilihan presiden kali ini. 

Berbeda ketika Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Kuskridho Ambardi, pada Januari 2012 merilis survei tokoh yang layak maju di capres 2014. 

Nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menempati angka tertinggi sebagai tokoh yang layak untuk memimpin negara, yakni sebanyak 45 persen, kendati SBY tidak memiliki kesempatan kembali untuk mencalonkan diri di pemilu 2014.

CSIS juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai paling banyak mendapat dukungan masyarakat, meskipun dukungannya merosot 8,25 persen, urutan kedua ditempat Partai Golkar. 

Sementara survei LSI menunjukkan Partai Golkar berada diurutan atas dengan perolehan 15,5 persen, menggeser posisi Demokrat 13,6 persen. Demokrat mengalami penurunan sebesar tujuh persen. 

Adalah lumrah ketika lembaga survei menghasilkan analisa berbeda. Dengan perbedaan itu, apakah publik bisa menjadikan survei ini sebagai acuan? 
Tentu saja tidak 100 persen demikian, menurut Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J. Vermote, fenomena jelang pemilu ini biasa di Indonesia. 

Terlebih, saat ini Indonesia sedang memasuki era dinamisasi pendapat umum melalui polling yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik dan pengambilan keputusan bagi publik.

Harga Sesuai Pesanan Sehingga, upaya polling dengan melakukan berbagai cara guna menarik simpati publik kerap dilakukan. Termasuk survei pesanan yang dilakukan partai politik dan juga tokoh sebagai acuan untuk menentukan strategi pemenangan.

Bagi Philips, itu adalah biasa dan tidak ada masalah bila lembaga survei didanai parpol tertentu, sepanjang itu dilakukan dengan kaidah-kaidah statistik yang benar, didasarkan atas temuan ilmiah, metodologinya juga bisa dipertanggung jawabkan dan yang tak kalah penting independensinya.
 
Apalagi survei itu membutuhkan dana operasional tidak sedikit. “Ratusan juta pastinya”, kata Philips J. Vermote tanpa menyebut angka pasti, saat berbincang-bincang dengan okezone. 

Mantan Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny JA mengatakan, adanya lembaga survei yang bisa dipesan oleh sekelompok tertentu, itu tergantung trak record lembaganya. 

“Kalau baru muncul 3, 6 bulan, atau kemarin itu belum teruji dan sangat mungkin,” kata Denny kepada okezone beberapa waktu lalu.

Denny memang tidak menampik, saat ini ada banyak lembaga survei yang memiliki reputasi yang baik dan buruk, teruji dan belum teruji. Jadi tidak bisa diseragamkan.

Sementara, M. Qodari dari lembaga survei IndoBarometer juga tidak menampik, survei yang kerap dilakukannya tidak terlepas dari pesanan partai politik. Meski ada juga survei internal berdasarkan situasi kondisi terkini.

Untuk survei pesanan, M. Qodari memasang tarif beragam ada yang murah, juga mahal, itu tergantung dari situasi dan kondisi, wilayah, tingkat kesulitan juga faktor geografis. “Kalau perkotaan itu murah, tidak sampai ratusan juta, kalau nasional itu mahal hingga ratusan juta,” jelas M.Qodari.

Sementara, sumber okezone menyebut, survei yang pernah dilakukan pada 2009, untuk tingkat nasional biaya untuk satu kali survei Rp300-500juta, untuk lokal dan perkotaan Rp70-100 juta. “Tapi itu bisa ditawar-tawar lagi kok,” jelas sumber itu.

Gun Gun Heriyanto pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menegaskan, seharusnya survei yang diselenggarakan berbagai lembaga untuk mengukur popularitas seorang tokoh menjadi Capres harus mencerminkan realitas aspirasi publik. Survei Capres tak boleh berupa pesanan karena merusak demokrasi. 

“Namun, pada kenyataannya intevensi atau pesanan sangat mungkin, sebuah riset oleh pelembaga riset di Indonesia tidak independen, dan motif untuk melakukan sangat rasial untuk mengetes hasil suatu pesanan, yakni berupa metodologi representative dan hasil risetnya akal sistem,” kata Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute ini.

Lembaga Survei Menjamur
Belakangan banyak lembaga survei yang dinilai tidak transparan. Survei itu tidak memunculkan akuntabilitas data-data yang dihasilkan, seperti terang-terangan memberikan data mentahnya.

“Sepengatahuan saya, selama ini tidak ada lembaga  survei yang mau memberikan data mentahnya kepada masyarakat,” jelas Philips J. Vermote pengamat dari CSIS. 

Padahal menurutnya, data mentah itu penting dibuka untuk diketahui masyarakat. Dengan demikian, melalui data mentah itu, publik bisa melakukan kajian lagi dengan data yang sama dari hasil survei yang dilakukan.

Perlu dibukanya data mentah, juga untuk melakukan kebenaran, memperbaiki kemungkinan ada kesalahan-kesalahan metodologis. 

Sementara, lembaga survei itu sendiri menjamur pertama kali di Indonesia lepas pemerintahan orde baru. Demam survei mulai terasa saat reformasi bergulir. Waktu itu Pemilu 1999. 

Seperti yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dikutip situs resmi lsi.or.id dari opini Jurnal Nasional, waktu itu baru lima lembaga survei yang melakukan polling, yakni Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems (IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI. 

Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei yang memakai metodologi penelitian yang sahih.

Sukses di 1999, survei kembali marak menjelang pemilu 2004, meski ‘pemain’ masih sedikit. 

Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute (DRI) dll. 

Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai ‘pemenang’ terbukti akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.

Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif 2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya. 

Saat itu, LSI dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran Demokrat di antara 19-22%.

Berbeda jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan. 

Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai

Entri Populer