Rabu, 13 Juni 2012

Apakah Posisi Golkar Benar-Benar Terancam ?


Apakah Posisi Golkar Benar-Benar Terancam ?
Oleh : Mohammad Ali Andrias

Menanggapi hasil survei yang dilakukan tiga lembaga yang berbeda Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia(SI), CIRUS Surveyors Group, dan Lembaga Survei Indonesia mengenai dukungan pemilih Partai Golkar semakin menurun. Lingkaran Survei Indonesia (SI) menunjukkan Golkar hanya menempati urutan ketiga dengan perolehan suara 11,9 persen, jauh di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebesar 31 persen,  dan Partai Demokrat 19,3 persen. Dukungan suara bagi Golkar lebih rendah dari pemilih yang tak tahu atau tak menjawab pilihan sebanyak 17,3 persen. Data survei yang dilakukan dari tanggal 5-15 Desember terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia dengan batas toleransi kesalahan yang digunakan lebih kurang 2,9 persen.
Sementara survei pembanding yang sejenis dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 26 Oktober-5 November 2008 menunjukkan hasil Golkar tetap kalah. Survei terhadap 2.197 responden se Indonesia dengan batas toleransi kesalahan kurang dari 2 persen menempatkan Partai Demokrat sebagai pilihan terbanyak masyarakat dengan perolehan 16,8 persen. Disusul Golkar dan PDI-Produksi masing masing sebesar 15,9 persen dan 14,2 persen.
Sedangkan survei yang dilakukan CIRUS Surveyors Group di semua provinsi pada 3-10 November 2008 terhadap 2.600 responden dengan batas toleransi kesalahan 1,9 persen juga menunjukkan hasil bahwa Partai Demokrat dengan pendukung terbesar 17,34 persen. Selanjutnya secara berurutan PDI-Produksi 15,03 persen dan Golkar 14,57 persen.
Dari data tersebut memang bisa sedikit membuktikan bahwa pilihan masyarakat cukup rasional, untuk mencari format baru dalam sistem politik Indonesia yang sudah mapan. Jika kita menginginkan restrukturisasi dan reposisi birokrasi sebagai public service. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah ialah mengubah mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku Orde Baru yang mayoritas tunggal menjadi sikap demokratis dengan mencari partai baru yang dianggap bisa menyalurkan aspirasi dan tuntutan rakyat.
Namun kita harus lebih mencermati, meski dari survei awal posisi Golkar akan terancam, tapi kekuatan tersembunyi yang dimiliki Golkar mampu memainkan peranan, bahkan masih mempengaruhi sistem politik Indonesia ala Orde Baru. Mungkin kita sadar 9 tahun lalu, dimana pemilu demokratis digelar di Indonesia. Masyarakat dan pengamat politik sudah bisa memprediksikan bahwa Golkar terancam tidak akan mendominasi wakil di parlemen, bahkan terancam dibubarkan karena adanya tuntutan rakyat terhadap partai pemerintah Orde Baru tersebut yang berkuasa selama 32 tahun secara otoriter. Tapi apa hasilnya? Golkar tetap mempunyai dukungan besar diurutan tiga besar dalam dua kali pemilu demokratis 1999 dan 2004, bahkan dalam sembilan tahun ini Golkar berusaha keras melakukan restrukturisasi dan pencitraan untuk kembali merebut kekuasaan politik di Indonesia.
Sementara Direktur Eksekutif Lingkaran SI Denny JA berpendapat, turunnya popularitas Golkar akibat tidak jelasnya posisi dan identitas partai tersebut. Walau berada di pemerintahan yang identik dengan partai pemerintahan adalah Partai Demokrat, bukan Partai Golkar. Partai oposisi identik dengan PDI-P. Diantara partai besar lainnya Golkar adalah partai yang tidak memiliki isu krusial yang ditawarkan ke publik. Demokrat gencar dengan isu antikorupsi, sedangkan PDI-Produksi menawarkan sembako murah. Golkar sebenarnya memiliki banyak tokoh, tetapi tak ada diantara tokoh itu yang menonjol dalam persepsi publik. Sebagai partai terbesar. Golkar juga belum menetapkan calon presiden, sehingga kurang mampu menjadi penarik siimpati pemilih.
Sedangkan dalam pandangan saya, selain Golkar tidak memiliki isu-isu krusial untuk merehabilitasi perekonomian Indonesia, memperbaiki kehidupan masyarakat miskin, dan perbaikan sarana dan prasarana di beberapa sektor industri dan non industri. Sikap Wakil Presiden Yusuf Kalla bisa menjadi cermin turunnya popularitas dukungan masyarakat terhadap Golkar. Beberapa masyarakat menilai bahwa Golkar hanya dihuni kalangan birokrasi tulen, pengusaha atau saudagar yang menguasai berbagai sektor industri dan non industri. Bahkan yang fatal adalah kondisi masyarakat korban lumpur panas Sidorjo Jawa Timur, bisa menjadi salah satu faktor. Karena perusahaan tersebut sebelumnya dimiliki Bakrie Group, yang notabenenya adalah menteri dari Golkar.
 Kendati demikian, meski data survei menunjukkan bahwa dukungan Golkar turun, namun sebagai rakyat yang peduli dengan kondisi ekonomi dan politik di Indonesia. Siapapun partai yang mampu memenangkan pemilu, kami mengharapkan adanya perubahan dalam struktur birokrasi dan fungsi ideal dari birokrasi sendiri. Sebagai organisasi atau lembaga yang melakukan pelayanan bagi masyarakat, tidak boleh terpengaruh, memihak, dan mendukung warna politik yang dibawa oleh pejabat politik yang mewakili rakyat di parlemen, walaupun aspirasi mereka sejalan dengan pejabat politik yang memimpinnya. Agar ke depan perpolitikan Indonesia bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Mohammad Ali Andrias
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi
Tasikmalaya


Parpol Wajib Berbenah Menjelang Pemilu 2014


Parpol Wajib Berbenah Menjelang Pemilu 2014

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Pergelaran pemilu 2014 memang masih dua tahun lagi . Namun hingga saat ini peserta pemilu (partai politik) masih mengkampanyekan secara simbol-simbol belum pada taraf sosialisasi dan kontrak politik yang ditawarkan, meski spanduk dan poster-poster bertebaran dimana-mana. Permasalahan yang terjadi di Indonesia belum sepenuhnya diatasi oleh partai politik tersebut. Mereka hanya bisa mengemukakan secara lisan, namun tidak ada realitasnya. Mungkin beberapa permasalahan seperti masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban lumpur PT Lapindo Brantas, yang hingga kini belum sepenuhnya mendapat ganti rugi dari PT Lapindo Brantas, penggusuran pasar-pasar tradisional dan pedagang kaki lima dengan alasan penertiban umum, namun penggusuran tersebut dimaksudkan ingin menggantikannya dengan pasar modern (mal atau hypermarket-Red). Kelangkaan pupuk bersubisidi bagi petani,  kasus korupsi yang semakin merajalela tanpa ada kepastian hukum yang jelas dari pengadilan, minimnya sarana dan prasarana pendidikan di tingkat daerah, rendahnya pendapatan petani miskin, belum pulihnya kondisi perekonomian Indonesia, permasalahan tingginya harga sembako di dalam negeri. Serta berbagai kasus lainnya yang menimpa masyarakat sipil ketika berhadapan dengan sosok yang bernama negara (state).   Tidak mampu diatasi secara maksimal oleh wakil rakyat dan partai politik (parpol), yang notabene sebagai manusia terpilih (ideal) yang mampu mewakili masyarakat dari kungkungan negara dan ekonomi global.
  Potret nyata yang ada di masyarakat ini telah memunculkan wacana yang serius bagi parpol yang akan menghadapi pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada 2009 nanti. Jika parpol tidak mampu mengatasi permasalahan sosial dan politik saat ini. Maka konsep dan arti yang buruk bagi parpol hanya sebagai lembaga atau institusi untuk mencari kekuasaan dan haus keuntungan ekonomi semata, bukan menjadi mitra hidup ketika rakyat sedang menghadapi kesulitan social, ekonomi dan politik.
Rakyat Indonesia yang semakin rasional pemikirannya ketika era reformasi digelar mulai 1998, kini semakin mempertanyakan keberadaan mesin politik bernama parpol yang semakin besar jumlahnya. “Parpol yang begitu beragam pada kemana ? Ngapain aja kerjanya ?”. Pada saat ini rakyat justru berada dalam situasi ketidakdilan dan termajinalkan oleh sosok negara dan pemimpin yang cenderung korup. “Apakah parpol terlihat sosoknya hanya pada saat pemilu akan digelar ?”. 
Jika kondisi demikian memang secara ‘sengaja’ dilaksanakan oleh parpol, konteks perpolitikan era reformasi Indonesia, sama artinya masih mengacu pada rezim Orde Baru, dimana masyarakat mengalami alienasi atau keterasingan ketika berhadapan dengan pemerintah. Dalam kondisi tertentu, rakyat hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan untuk meraup dukungan, tanpa diperhatikan kesulitan dan aspirasi yang dihadapinya selama ini.  
Sehingga tidak salah jika penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian politik sebelumnya, tahun 2009 pemilihan umum (pemilu) DPR atau Presiden dan Wapres diprediksikan tidak akan mencapai separuh lebih, bahkan ada dugaan pemilih golongan putih (golput) akan semakin membengkak sekitar 40% lebih dari pemilihan sebelumnya.
Seperti diberitakan oleh harian Seputar Indonesia edisi Kamis 20 Desember 2007, survei yang dilakukan Indo Barometer menyatakan bahwa kinerja parpol masih dinilai buruk. Mayoritas publik relatif tidak puas terhadap kinerja parpol saat ini. Berdasarkan data survei alasan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol sebanyak 47,5% tidak memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat, kinerja tidak dirasakan rakyat sebesar 28,5%, fungsi tidak berjalan seperti pengkaderan sebesar 19,5%, sementara sisanya 4,4% menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. Sementara untuk total jumlah tingkat kepuasan rakyat terhadap parpol hanya 30,1%, sedangkan yang tidak puas mencapai 54,6%
Terkait dengan ini pula, pemilih di berbagai daerah pada saat pemilihan kepala daerah (harian Kompas edisi Selasa 18 Desember 2007), rakyat sudah lebih rasional mencari sosok pemimpin yang terbukti gagal memperbaiki nasib rakyat tidak akan dipilih kembali, dan ini merupakan bentuk hukuman publik kepada pejabat atau partai politik yang sudah mendominasi sejak lama di suatu daerah pemilihan. Hal itu diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jerry Sumampow.
Bahkan, menurut Kepala Divisi Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Andy Agung Prihatna. Penyebabnya bukan karena pemilih mulai rasional, semakin banyaknya pemilih golput dan tidak memilih pejabat yang gagal mempertahankan pejabat bertahan, disebabkan lemahnya mesin politik dan kegagalan mereka mengkomunikasikan dirinya kepada pemilih.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya keterkaitannya dengan politik uang (money politic), menurut Andy, hampir tidak ada kandidat yang benar-benar bersih dari politik uang (money politic). Untuk menjadi gubernur, setidaknya diperlukan biaya politik Rp 400 miliar-Rp 500 miliar, sedangkan menjadi bupati atau walikota Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.
Keniscayaan money politic dalam proses politik di era reformasi sudah menjadi rahasia umum, bahkan dianggap sebagai prasyarat utama jika ingin menjadi pemenang pemilu, wakil rakyat atau pemimpin negara ini. Kondisi ini telah mencerminkan bahwa parpol belum bekerja dengan baik sebagai struktur yang mampu menjadi kendaraan sebagai pendidikan kepada rakyat. Struktur partai yang begitu kompleks seharusnya mampu menjalankan fungsi-fungsi partai sebagai alat untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi politik. Dengan optimalisasi fungsi pendidikan dan sosialisasi politik yang baik, masyarakat akan dapat memiliki wawasan, kompetensi, dan komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi, sosial dan politik di Indonesia.
Selain itu, keniscayaan terhadap uang menunjukan parpol belum berfungsi secara ideal dalam mempopulerkan kadernya yang hendak dijadikan sebagai wakil rakyat atau pemimpin. Secara teknis, ini terjadi karena lebih banyak parpol belum memiliki struktur sampai ke bawah. Karena itu, struktur parpol tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkenalkan kader-kader yang potensial menjadi pemimpin di kalangan masyarakat akar rumput (grass root). Bahkan kerap terjadi parpol bertindak sangat pragmatis dengan hanya merekrut atau mendukung individu yang sudah populer untuk dijadikan calon, walaupun popularitas itu bukan karena kemampuan, kompetensi, dan komitmen untuk mengelola struktur negara guna memperbaiki keadaan.
Jika kondisi demikian dibiarkan terus-menerus tanpa ada sumberdaya manusia yang memadai, dalam menghadapi situasi sosial dan politik dalam negeri. Maka lambat laun masyarakat semakin tidak percaya terhadap wakil rakyat, pemimpin atau partai politik yang dipilihnya secara langsung. Apalagi masyarakat kelas bawah semakin cerdas untuk memilih wakil rakyat, pemimpin, atau partai politik yang dianggap telah mewakili kepentingan dan aspirasinya. Jika partai politik tidak segera membenahi diri dengan menempatkan kader-kader politik yang cerdas, militan, dan mau mewujudkan cita-cita visi misi partai. Lambat laun partai akan segera ditinggalkan pemilihnya, bahkan dianggap sebagai partai yang tidak memiliki program yang jelas, dan hanya mencari keuntungan ekonomi semata.

Penyerdahanaan Parpol Atau Calon Independen ?
Berbagai seminar dan diskusi publik telah dilakukan oleh kalangan pakar politik dan akademis untuk menilik kinerja parpol selama runtuhnya rezim Orba. Berubahnya konstelasi politik Indonesia memasuki era reformasi diharapkan bisa membawa angin segar menuju demokrasi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Selama kurun waktu sepuluh tahun, banyaknya parpol berdasarkan Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur dalam seminar “Sistem Kepartaian dan Masa Depan Keindonesiaan” di Universitas Surabaya (Kompas edisi Selasa 18 Desember 2007) yang dihadiri mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, Sultan Hamengkubuwono X dan guru besar FISIP Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti. Banyaknya parpol telah mengakibatkan konflik politik sulit dikendalikan, sehingga permasalahan sosial dan ekonomi menjadi kurang diperhatikan. Karena itu, penyerdehanaan parpol wajar dilakukan, apalagi praktis sedikit parpol yang terlibat dalam pengambilan keputusan di parlemen.
Dalam pembicaraan tersebut, parpol didirikan untuk memperjuangkan cita-cita politik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tujuannya tidak terlepas dari tujuan nasional yakni mengembangkan pengembangan yang demokratis, kesejahteraan rakyat dan memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.
Kendati bukan mekanisme seperti Orba, Akbar Tandjung mengharapkan, terjadinya penyederhanaan parpol sesuai dengan kesamaan idiologi dan platform. Penyerderhanaan parpol itu penting untuk rekrutmen dalam pemilihan presiden dan wapres. Namun kesemuanya itu harus ada dan aturan main yang jelas menggenai penggabungan parpol sebelum dan setelah pemilu.
Sementara itu, mengenai masalah calon independen yang akan menjadi pemimpin negara yang tidak terikat secara langsung dengan parpol, kiranya perlu ada hukum dan perundangan, serta komitmen yang jelas untuk mewujudkan sistem politik Indonesia yang ideal.
Jangan sampai ketika calon independen dimunculkan dan mendapat dukungan yang besar dari rakyat. Namun ketika memimpin malah diobok-obok oleh parpol yang dianggap tidak sejalan dengan visi dan misinya.
Tetapi kesemuanya itu, dengan komitmen parpol yang masih fluktuatif kinerjanya, diharapkan ada solusi, aturan main dan komitmen partai yang jelas untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan sampai rakyat semakin kecewa dan menjadi korban dari sistem perpolitikan Indonesia.

Penulis :
Mohammad Ali Andrias
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya

“Perburuan Rente” Kekuasaan 2009-2014

“Perburuan Rente” Kekuasaan 2009-2014

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Perburuan rente merupakan fenomena yang sering kita temukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, atau kajian pelaku bisnis untuk mendapatkan kemudahan cara memperoleh keuntungan dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (dengan atas nama publik), dengan memberikan hak-hak tertentu kepada satu, atau sekelompok orang pelaku bisnis dari lisensi atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dengan mendapatkan berbagai keistimewaan dalam usaha bisnisnya.
Pengertian rente juga sudah mendapatkan kajian pada studi ekonomi politik, rente disini merupakan sebagai imbalan yang tidak beresiko, dan paling mudah. Maka rente dalam analisis ekonomi politik yang dimaksud sebagai sifat pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dan modal yang seharusnya menjadi hak milik publik atau pelaku bisnis lainnya dengan persaingan yang sempurna tanpa ada campur tangan pemegang regulasi (pemerintah).
Dalam ekonomi klasik, rente merupakan perolehan yang wajar dan sah sebagaimana pelaku ekonomi (pemilik modal, tenaga kerja), sementara pelaku ekonomi yang mendapatkan rente (sewa) dari kepemilikan lahan atau tanah yang  bisa disewakan kepada investor lain. Aktor rente ini tanpa banyak mengeluarkan modal dan resiko besar sebagaimana pemilik modal dengan membangun perusahaan dan alat-alat produksinya, jika buruh/tenaga kerja akan mendapat imbalan atau upah dengan tenaga dan pikirannya. Kedua pelaku ekonomi (pemilik modal atau buruh) sangat beresiko dalam proses ekonomi. Jika perusahaan terancam bangkrut kalau usahanya tidak menguntungkan, sementara buruh akan kehilangan pekerjaannya.
Kendati demikian, pengertian rente dalam ekonomi politik akan menjadi negatif, jika seseorang atau pelaku bisnis mendapatkan keuntungan dari sekelompok orang karena mendapatkan keuntungan dengan kemudahan dari proteksi (perlindungan) dan privasi yang diberikan oleh pemerintah tersebut. Kemudahan itu muncul karena diberikan oleh pihak yang berkuasa untuk menentukan atau berkat kegigihan dari pengusaha untuk berburu hak dari pemerintah.
Karena amat mudahnya mendapatkan keuntungan maka menikmati rente amat mengasyikan. Hal ini menyebabkan ada kecenderungan masyarakat untuk sekedar berburu mendapatkan rente. Masyarakat yang mempunyai perilaku memburu rente, kemudian disebut dengan masyarakat pemburu rente. Aktivitas bisnis yang dilakukan bukan didasarkan oleh keterampilan usaha yang dimiliki berupa keuletan, kerja keras, dan kreativitas. Melainkan dilakukan karena mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan rente.
Kasus perburuan rente sudah diimplementasikan pada era kekuasaan Soeharto, dimana kerabat dekat yang menjadi rekan bisnisnya misal Bob Hasan dan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang terjun ke dunia bisnis mendapat keistimewaan fasilitas usaha dari “istana”. Sehingga bisnisnya lancar tanpa ada hambatan dari pesaing bisnis dari dalam maupun luar negeri yang mencoba membuka pasar di Indonesia. Mereka (pelaku bisnis) kroni-kroni Soeharto mampu memonopoli bisnis. Harga tinggi di pasaran tidak menjadi masalah karena tidak adanya pesaing sebagai pilihan bagi rakyat.
Bagaimana jika “perburuan rente” ini yang dimaksud dalam tulisan ini, dengan dimensi yang berbeda yakni pada permasalahan lain tentang pergelaran perebutan kekuasaan untuk menduduki jabatan politik (eksekutif dan legislatif) periode 2009-2014 mendatang. Apakah perebutan jabatan politik ada aktor-aktor ketiga yang menjadi “pemburu rente” ini akan terjadi. Jika saya mengamati pada pemerintahan SBY yang diusung oleh beberapa partai politik pendukung, terutama elit politik yang menjabat sebagai di dalam birokrasi khususnya menteri , akan mendapat tambahan “amunisi” dengan beberapa fasilitas agar sokongan suara pada pemilu mendatang minimal bisa tetap aman.
Keuntungan dari pemerintahan incumbent tersebut, mereka mampu menyusun strategi politik dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menurutnya populis, tapi sebenarnya hanya strategi kampanye pada pemilu mendatang. Misalnya dengan menurunkan harga BBM menjadi Rp 4.500 per liter. Tapi amat disangsikan bahwa pemerintahan SBY merupakan pemerintah yang berani menaikkan BBM lebih dari dua kali, dengan alasan mengikuti harga minyak dunia. Kalau memang SBY seorang nasionalis, mengapa negara penghasil minyak terbesar harus mengikuti harga minyak dunia, tanpa mampu melakukan bergaining position dengan kebijakan sendiri. Tapi yang patut dicatat adalah tentang penjegalan aturan calon presiden yang harus diusung oleh parpol, sehingga calon presiden yang tidak terlibat dalam parpol (calon independen) dipastikan tidak bisa mengikuti pesta demokrasi mendatang.  Dan masih banyak lagi agen-agen politik atau aktor-aktor politik, serta beberapa pengusaha yang berkeliaran disekitar pemerintah yang berusaha menjadi penjilat pemerintah untuk mendapat fasilitas istimewa dari negara. Mungkin aktivitas ini dianggap wajar dalam politik praktis di Indonesia saat ini.
Tapi yang harus diingat, jika budaya ini tidak segera diberantas dalam sistem politik di Indonesia. Maka posisi pemerintah (birokrasi) untuk melayani rakyat secara netral tidak akan pernah terwujud. Posisi pemerintah akan terus dipengaruhi oleh agen-agen politik oportunis yang menguntungkan secara sepihak. Sementara rakyat yang di luar lingkaran pemerintah hanya menunggu kebijakan yang populis pada masa-masa jabatan politik di eksekutif dan legislatif akan berakhir (biasanya kebijakan populis ini akan muncul setelah 4 tahun menjabat). Karena elit-elit politik akan memunculkan janji-janji surga kepada rakyat agar dukungan politik tetap aman.
Kendati demikian, bukan berarti situasi ini tidak akan bisa berubah. Perubahan politik di Indonesia yang amat demokratis dan pemerintahan yang mensejahterakan rakyatnya akan bisa terwujud. Jika adanya partisipasi dan peran aktif dari rakyat untuk terus mengawasi roda pemerintahan yang jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Masyarakat harus cerdas memilih aktor-aktor politik yang tepat, serta memiliki track record (reputasi) yang baik untuk menduduki kursi di eksekutif maupun legislatif. Agar sistem politik di Indonesia sesuai dengan hakekatnya untuk melakukan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya sebagaimana yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Mohammad Ali Andrias
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi
Tasikmalaya




Jerussalem, Kota Suci Yang Penuh Konflik

Jerussalem, Kota Suci Yang Penuh Konflik
Oleh : Mohammad Ali Andrias


Jerusalem kota suci yang penuh makna sejarah, kota yang yang dimiliki tiga agama samawi yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Akan tetapi kota ini selalu menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan, karena kota ini tidak pernah sepi dari pembicaraan dan pemberitaan dari berbagai media yang meliputnya. Karena kota suci ini selalu dirudung pertikaian yang tidak pernah kunjung padam dari awal periode Hyksos (1750-1500 SM) sebelum kota ini didatangi oleh penduduk, zaman Chalcolithic (3500 SM) periode pemukiman pertama terbentuk, hingga periode dimana Allah menurunkan Nabi-Nabinya di wilayah tersebut untuk memberikan pantunan agama kepada seluruh umat di dunia, agar menyembah penciptanya yang Esa, serta memberikan kemaslahatan untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Hingga kota selalu diperebutkan bangsa-bangsa di dunia terutama oleh bangsa Israel (Yahudi) dan Palestina (Islam) saat ini. Kota suci ini tidak bisa dibandingkan dengan kota manapun di dunia ini tentang sejarahnya yang penuh dengan pertentangan dari tiga agama tersebut.
Kota ini selama berabad-abad lamanya selalu mendatangi dengan berziarah ke Jerusalem untuk bertemu Tuhannya (Allah) dengan cara yang berbeda-beda untuk menyembah Tuhan, bagi yang sangat mempercayainya bahwa kota tersebut adalah “pintu gerbang” menuju surga. Sullivan penulis asing yang disadur dari Trias Kuncahyono dalam tulisannya (Jerusalem, kesucian, konflik dan pengadilan akhir) berjudul Jerusalem: The Three Religions of the Temple Mount menuturkan, ketiga agama samawi tersebut memandang Jerusalem sebagai pintu menuju surga. Disinilah terjadinya pertemuan antara surga dan akhirat, tempat terjadinya perlawanan antara surga dan bumi. Jerusalem dikuduskan (disucikan) oleh agama dan tradisi, oleh sejarah dan teologi oleh tempat-tempat suci dan rumah-rumah ibadah. Itulah Jerusalem kota yang selalu dipuja-puja, ditakzimkan oleh umat Yahudi, Islam dan Kristen. Semua itu mencerminkan kegairahan dan kesalehan dari tiga agama monoestik, yang semuanya dikaitkan ke Jerusalem dengan pemujaan dan cinta.
Semua umat ketiga agama tersebut merasa, jika menginjakkan kaki mereka di Jerusalem akan merasa dekat dengan Tuhan (Allah) secara fisik maupun batin. Disini mereka merasa bisa bertemu Tuhan, di tempat inilah manusia merasa bisa berbicara dan bersentuhan dengan Tuhan sang Pencipta. Ketiga agama samawi sama-sama mencintai Tuhannya, dan mengungkapkannya dengan cara masing-masing. Jika Yahudi berdoa di Tembok Barat (Tembok Ratapan), umat Kristiani berziarah ke makam Yesus, dan Islam mengunjungi Dome of The Rock (Masjid Qubbath) dan Masjid al Aqsa. Kedua masjid tersebut berhubungan dengan perjalanan malam Rasullulah mengunjungi Sidratul al Muntaha (ke Singgasana Allah).   
Keunikan Jerusalem berasal dari warisan sejarahnya yang berkaitan dengan munculnya peradaban dan sebagai pusat ketiga agama tersebut, atau perebutan wilayah kota suci berabad-abad lamanya, mulai Raja Daud menaklukkan Jerusalem hingga pencaplokkan oleh Israel terhadap Palestina setelah mendapat mandat dari Inggris (1917-1948) berakhir. Setelah Inggris menguasai Palestina sesudah mengalahkan Kekaisaran Ottoman pada Perang Dunia I. Melainkan keunikan Jerusalem (tanah suci) ini dari arti spiritualnya yang sudah dikatakan sebelumnya dari tiga agama samawi terbesar di dunia. Walau ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang ajaran, iman dan ritual ibadahnya. Disatukan oleh kecintaan mereka terhadap Jerusalem.
Selama berabad-abad, Jerusalem menjadi sebuah simbol, lambang persatuan dengan Tuhan. Kota tersebut, manusia merasa menemukan Tuhannya. Manusia tidak hanya merasakan bahwa Tuhan ada “di luar sana”, tetpai juga disekeliling mereka. Tuhan dirasakan begitu dekat ada dalam tarikan napas, dan ada di dalam hati mereka baik sedang bahagia maupun sedih. Ketika kota dilecehkan, semua umat merasa bahwa mereka pun merasa dilecehkan. Jerusalem sungguh berarti bagi banyak orang banyak pihak.
Jerusalem Untuk Siapa ?
Dimensi dari aspek agama telah memberi beban yang berlebih kepada Jerusalem, sekaligus menambah kekusutan identitas sosial dengan konflik yang amat kontradiktif, sehingga kota itu menjadi fokus kepentingan global. Agama sendiri tak mampu mengatasi konflik yang terjadi selama ini. Agama malahan sering tampil sebagai dua wajah yang saling berbeda. Di satu sisi, agama merupakan tempat orang menemukan kedamaian dalam hidup. Di dalam agama banyak orang untuk menimba ilmu dan kekuatan, serta mendapatkan pijakan saat berhadapan dengan penderitaan dan penindasan. Namun di sisi lainnya, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Sering muncul adanya pembelaan bahwa agama bukan pemicu utama konflik. Yang sering dipermasalahkan ketika ada konflik sosial adalah masalah kesenjangan ekonomi, kecemburuan sosial, perebutan kekuasaan politik. Akan tetapi mengapa agama yang dikatakan bukan sebagai pemicu utama konflik, justru memberikan jaminan bagi yang bersengketa. Malahan agama cukup sering bukannya mengelakkan konflik, tetapi agama memberikan landasan ideologis (melegalkan) dan pembenaran simbolis pada konflik tersebut.
Jika konflik agama di tanah Palestina yang sekarang sedang diperebutkan dan diklaim sepihak oleh Israel sebagai tanah suci milik Yahudi, atau milik umat Kristen karena penting sebagai wilayah dimana pusat ajaran Yesus Kristus muncul dan berkembang dari Jerusalem. Apakah klaim ini dibenarkan jika agama yang suci harus saling bertempur, membunuh untuk mencari pengakuan yang sepihak. Malahan menurut seorang profesor arkeologi dan seorang menafsir kitab injil perjanjian lama dari Chicago, Amerika Serikat, Leslie Hoope mengatakan simbol Jerusalem yang diakui dan sangat dikenal oleh masyarakat dunia bukanlah tempat suci Yahudi ataupun Kristen. Melainkan tempat suci milik umat Muslim yakni Dome of the Rock (mesjid Qubbath atau sering disebut mesjid Umar bin Khatab sahabat Rasullulah) atau mesjid al Aqsha sebagai perjalanan semalam Rasul ke Sidratul al Muntaha. Simbol Dome of the Rock bukan hanya dari sejarah spiritualnya, namun dari sisi kubahnya yang menjulan terbuat dari emas. Jika pendatang melihat ke kota Jerusalem pasti dapat mengatakan bangunan tersebut adalah mesjid Qubbath (Dome of the Rock). Bisa dikatakan sebagai jawaban atas Jerusalem terhadap Paris yang memiliki Menara Eiffel, Malaysia mengagumi menara Petronas, China mengagumi Tembok Cinanya, atau kota-kota dunia yang memiliki bangunan sebagai simbol kebanggaan, kekuatan, atau kekuasaan bagi negara.
Namun yang paling mendasar dari pertikaian yang terus berlanjut hingga kini, milik bangsa atau agama mana yang berhak menempati wilayah tersebut. Jika kita mempelajari sejarah Jerusalem semua bangsa bisa mengklaim tanah suci tersebut. Semua perjanjian perdamaian, resolusi ke resolusi yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Jerusalem telah dikeluarkan untuk meredakan konflik di wilayah tersebut. Namun tidak ada satupun yang bisa menataati perjanjian atau resolusi yang sudah disepakati. Berbagai usulan dilontarkan, salah satunya Jerusalem harus terbagi menjadi dua wilayah milik banga Palestina dan Israel. Bahkan Paus Yohanes Paulus II pun memberikan solusi bahwa Jerusalem harus di jadikan wilayah Internasional atau menjadi wilayah yang dikuasai oleh PBB. Baik Israel maupun Palestina tidak boleh mengklaim Jerusalem sebagai Ibu Kotanya. Namun PBB sendiri tidak sanggup mengimplementasikan usulan tersebut, sehingga kekacauan (chaos) terus terjadi di wilayah tersebut. Namun menurut pandangan saya, usulan Paus tersebut sebagai solusi terbaik dengan menjadikan wilayah tersebut (Jerusalem) sebagai wilayah internasional. Sehingga bangsa dan agama manapun bisa leluasa untuk berdoa dan beribadah di kota suci untuk menghadap secara langsung dengan Tuhannya, tanpa ada pertikaian dan pertempuran yang sudah banyak memakan korban manusia dan materiil.                                                                                     
                  
                                                                                         Mohammad Ali Andrias
                                 Dosen Program Studi Ilmu Politik UNSIL Tasikmalaya

Konteks “Haram” MUI Terhadap Golput

Konteks “Haram” MUI Terhadap Golput

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Ketika transisi demokrasi coba digulirkan sebagai sebuah sistem politik di Indonesia, maka konsep demokrasi pun pada hakekatnya harus dilandasi oleh beberapa aspek yang melandasi pilar demokrasi tersebut. Namun ironisnya, ketika lembaga keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencoba mengeluarkan fatwa haram bagi masyarakat yang golput (golongan putih) pada pemilu 2009 sama sekali tidak mendasar dan arogan, bahkan lembaga tersebut mencoba melakukan pengekangan terhadap proses demokrasi yang terus mencari bentuk ideal di Indonesia.
Seharusnya ancaman golput dari beberapa kelompok masyarakat harus diperhatikan secara seksama dan proporsional, mengapa ancaman golput terhadap pemilu bermunculan?. Pemerintah (eksekutif) dan kalangan elit politik yang akan menjadi calon legislatif harus paham, bahwa munculnya ancaman golput merupakan salah satu bukti ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah (eksekutif) maupun legislatif akan membawa perubahan ekonomi, sosial dan kehidupan politik saat ini. Ancaman golput bermunculan akibat dari korban-korban politik dan ekonomi oleh pemerintah, sementara legislatif sebagai wakil rakyat tidak mampu, bahkan dianggap berkoalisi dengan pemerintah dan pengusaha dengan mendukung kebijakan yang tidak merakyat. Penggusuran pasar-pasar tradisional yang diganti dengan pasar modern, terabaikannya korban lumpur Sidorjo, SKB 4 Menteri, masih mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta kelangkaan pupuk bagi petani. Merupakan salah satu contoh dari sekian permasalahan yang belum terselesaikan, bahkan tidak ada solusi yang tepat untuk mengeliminir permasalahan tersebut.
     Bahkan persentase pemilu di salah satu negara yang paling demokrasi di dunia yakni Amerika Serikat (AS), keikutsertaan pemilih secara umum menurun dari 64 persen pada tahun 1960 menjadi 50 persen lebih pada 1996. Lembaga statistik di AS mengindikasikan penurunan ini karena publik tidak puas dengan situasi politik, dan masalah-masalah kontroversial dalam pemerintahan dan calon-calon legislatif yang akan duduk di parlemen. Dengan demikian untuk kembali meningkatkan kepercayaan  publik kepada pemerintah dan wakilnya di parlemen, dua lembaga yang dipilih secara langsung oleh rakyat tersebut harus memperbaiki kinerja dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, agar pencitraan positif pemerintah dan legislatif kembali pulih. Dengan membandingkan situasi politik tersebut, bagi MUI sendiri sangat tidak beralasan untuk mengeluarkan fatwa haram bagi kelompok masyarakat yang mengancam golput pada pemilu 2009. bagi pemerintah dan legislatif ancaman golput tersebut harus dilihat secara objektif dan proporsional.
Sebagai sebuah negara yang mencoba belajar berdemokrasi akan berjalan secara efektif, apabila  memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh di dalam lingkungannya dan memahami aspek-aspek yang melandasi pilar demokrasi yang sudah diutarakan sebelumnya. Aspek-aspek yang melandasi pilar demokrasi adalah (1) pluralisme, memahami konsep demokrasi tanpa mengetahui keberadaan masyarakat yang plural sama saja mencita-citakan sesuatu tanpa mengetahui dasar pijakannya. Heterogenitas masyarakat Indonesia dari aspek budaya, agama, suku dan etnis adalah suatu kenyataan. Dengan demikian membangun konsep demokrasi dalam bidang apapun akan lebih “membumi” apabila didasarkan pada kenyataan tersebut. Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keunikan dan kekhasan. Pluralitas tidak dapat disematkan pada “situasi cerai berai” dan”permusuhan” yang tidak mempunyai tali pengikat atau korelasi apapun. Oleh karena itu, dalam kehidupan pluralisme, masing-masing mempunyai identitas sendiri. Namun dalam beberapa hal ada identitas yang sama. Jika seseorang berbeda jenisnya (laki-laki dan perempuan), maka disana ada identitas yang sama, yakni sama-sama mempunyai jiwa (dapat pula nurani). Jika antar suku mempunyai ciri khas tertentu, maka mereka mempunyai identitas yang sama yakni nasionalisme. Jika ada suatu komunitas yang mempunyai isme (aliran) tertentu dalam bidang politik, maka disana ada metode yang signifikan dengan cara-cara pemenuhan suatu kebutuhan dan kepentingan. Jika ada suatu nilai filosofi yang menjadi dasar ideologi, maka di sana ada kebebasan yang dimiliki setiap pemikiran. Itulah pluralisme yang merambah ke setiap tepi kehidupan, bahkan tidak ada sejengkalpun suatu kehidupan lepas dari pluralitas.
Keunikan pluralitas dalam Kuntowijoyo (1997) adalah mengakui akan perbedaan dengan lainnya, meskipun ia tidak akan melepaskan kekhasan sendiri. dalam budaya akan muncul suatu kaidah yang berbunyi : “Selain budaya ada budaya yang lain”. “Selain ideologinya, akan ada ideologi lainnya,” selain agama ada agama lainnya”. Prinsip pengakuan dalam masyarakat yang majemuk inilah menjadi standar utama bagi pluralisme.
Bila demokrasi di bangun berdasarkan nilai-nilai pluralisme yang benar, maka akan dapat diterima sebagai pengembangan dari nilai-nilai yang sebenarnya telah dimilikinya. Mereka mengakui adanya kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis, atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.
Pemahaman terhadap demokrasi yang dilandasi dengan semangat pluralisme merupakan konsep rasional yang telah disadari oleh founding father bangsa, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika untuk kehidupan berbangsa. Suatu keniscayaan yang tidak mungkin terbantahkan adalah keberagaman tersebut tidak dapat selalu berjalan mulus, bahkan akan terjadi konflik. Sebab dalam kehidupan sehari-hari pasti akan selalu berinteraksi antara suku, etnis, agama yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu diperlukan kesadaran baru yakni munculnya sikap (2) toleransi di dalam kehidupan mereka. Toleransi adalah sikap rasional dalam kehidupan yang beragam. Namun toleransi harus distandarkan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Pengakuan akan perbedaan disadari sebagai perbedaan yang tidak saling menyinggung. Pembangunan toleransi dalam budaya Indonesia belum sepenuhnya dapat diaplikasikan secara menyeluruh. Terutama dalam ranah politik. Bukan saja pendidikan bangsa yang masih lemah, tetapi keberagaman bangsa Indonesia masih menjadi suatu problem yang sering muncul ke permukaan.
Dengan demikian memerlukan waktu yang relatif lama, kadang faktor internal, baik dari sisi budaya, agama atau kelompok menjadi pemicu dari munculnya tindakan-tindakan intoleran. Atau bisa jadi faktor eksternal, seperti kebijakan yang tidak rasional, sehingga mendiskriditkan kelompok lain dan memunculkan perbuatan intoleran. Akibat dari pendidikan yang lemah tersebut belum dapat mengikuti arus demokrasi yang sebenarnya. Kondisi ini mempermudah munculnya bentrokan sosial, baik atas dasar budaya, aga,a maupun hanya sekedar berbeda suku, etnis dan tempat tinggal. Bahkan apabila meninjau dari perjalanan demokrasi Pancasila yang tergores dalam panggung sejarah bangsa Indonesia, kiranya belum diaplikasikan sesuai dengan nilai-nilai yang dikandungnya. Demokrasi tersebut hanya “embel-embel”. Masih menjadi sebuah cita-cita yang ideal. Karena landasan pluralitas dan toleransi belum sepenuhnya dijadikan tonggak demokrasi. Hal ini dapat ditengok dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Pada dasarnya pelaksanaan di tengah kehidupan bangsa adalah sebuah pengakuan akan martabat manusia yang paling agung. Pluralisme sebagai suatu kenyataan dan toleransi sebagai sikap bijak, adil dan rasional yang menjadi dasar demokrasi belum berjalan secara “ikhlas”, manakala belum dapat memahami konsep (3) proporsionalisme. Dalam kerangka demokrasi tindakan proporsionalitas juga dapat tercermin dalam diri manusia, baik sebagai individu, kelompok maupun dalam negara, seperti kebijakan-kebijakan yang diterapkan kepada masyarakat. Dengan demikian akan sah dan rasional, apabila negata membuat suatu kebijakan yang didasarkan pada budaya setempat. Penerapan keadilan didasarkan pada nilai sosial buaya setempat, baik dari sisi komutatif maupun dari sisi distributif. Dalam pengertian yang sama. Dalam pengertian yang sama, agama mempergunakan kata adil melalui dua kata yakni al qisth dan al adlu. Dalam tataran sosial maupun pilitik, pembagian sesuatu yang sama persis, belum tentu menggambarkan tindakan tersebut adil. Demikian pula pembagian sesuatu yang tidak sama, juga belum tentu adil. Oleh karena itu keadilan adalah tindakan secara proporsional.
Warga bangsa yang demikian banyak ragam dan coraknya, sehingga memerlukan formulasi demokrasi yang dapat menampung dari seluruh kepentingan dan kebutuhan mereka. Secara penuh mungkin tidak dapat terwujud dalam menampung seluruh keinginan warga. Dari sinilai demi kepentingan bangsa yang lebih besar, dari sisi kestabilan, kenyamanan, kemananan. Tiga pilar demokrasi dapat disosialisasikan sebagai upaya untuk membentuk kesadaran awal dalam melangkah mengikuti tatanan kehidupan berbangsa yang lebih baik.  



Mohammad Ali Andrias
Dosen FISIP Universitas Siliwangi
Tasikmalaya

Entri Populer