Selasa, 03 April 2012

Review Materi Kuliah Pemikiran Politik Sutan Sjahrir

Review
Pemikiran Sutan Sjahrir
(Sang “Atom” dalam Revolusi Indonesia)

Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP.,M.Si



A. Awal Karir Politik Sjahrir
Sutan Sjahrir salah satu pemikir Indonesia yang mungkin hampir dilupakan juga oleh generasi muda Indonesia. Tokoh ini adalah salah satu dari tujuh “Bapak Revolusi Indonesia”. Dia mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan, walau ia sendiri absen dari peristiwa besar itu. Ideologinya sangat konsisten yakni antifasisme dan antimiliter. Namun sebelum lebih dalam untuk menceritakan lebih dalam kerangka pemikiran politik Sjahrir hingga begitu popular dan menjadi perdana menteri. Sebelum lebih dalam mengamati alam pemikiran sosialisnya, ada baiknya menceritakan sedikit kronologis sejarah kehidupan Sjahrir hingga meninggal dalam pengasingan. Sjahrir menjadi pahlawan revolusioner yang gugur dalam kesepian akibat tersingkir karena politik.
Sutan Syahrir yang lahir 5 Maret 1909, dan di besarkan dalam lingkungan keluarga menengah karena ayahnya Muhammad Rasyad menjadi jaksa tinggi. Medan adalah kota kenangan Sjahrir kecil, di daerah kelahirannya Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir hampir tidak ada kenangan di daerah tersebut. Usianya baru menginjak setahun harus pindah ke Jambi mengikuti jejak sang ayah, hingga umur empat tahun, setelah itu Sjahrir pindah ke Medan. Sjahrir beruntung mampu mengenyam pendidikan di tengah perkembangan politik etis Belanda. Sehingga ia mampu masuk ke Europeesche Lagere School (ELS). Lulus dari ELS, Syahrir melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu mengambil jurusan Barat Klasik di Algemene Middelbare School (AMS), yang diharapkan Sjarhrir muda menjadi jaksa seperti ayahnya. Pada tahun 1929, ia melanjutkan studinya di Belanda, namun studinya tidak teratur, karena lebih menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan klub mahasiswa sosial demokrat Belanda, De Socialist. Sjahrir memiliki banyak teman termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka mengundangnya berpesta. Ia mahir dalam berdansa waltz, fox trot, dan Charleston. “Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci adalah paham imperialisme dan kolonialismenya. Kemudian studinya pun tidak selesai karena pada tahun 1931 ia dipanggil Hatta sebagai sahabat tua untuk bergabung dalam organisasi politik yang secara mendadak untuk kembali ke Indonesia.
Sjahrir 22 tahun, mengalah untuk menuruti seniornya Mohammad Hatta yang berumur 29 tahun, untuk bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan teman diskusinya De Socialist. Meski belum menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universteit van Amsterdam, ia akan pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi di Universteit Rotterdam yang sudah 9 tahun di Belanda. Kembalinya Hatta dan Sjahrir dipicu keadaan genting akibat Soekarno dan tokoh PNI banyak ditangkapi oleh Belanda. Situasi demikian bisa menyiratkan sinyal menyurutkan kaum muda Indonesia untuk berjuang.
Nasionalisme Hatta dan Syahrir memang sudah menjadi tokoh utama di kalangan nasionalis. Selain paham ini tumbuh akibat keadaan politik Indonesia sebagai negara terjajah oleh kolonialisme, semangat ini tumbuh oleh pidato Dr. Cipto Mangunkusumo. Dua tokoh Sjahrir dan Hatta menghidupkan kembali PNI yang sempat “mati suri” pada kongres di Bandung, Juni 1932, Hatta sebagai ketua, dan Sjahrir sebagai wakilnya. Namun gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI baru justru lebih radikal, daripada PNI Soekarno, yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa adanya aksi massa dan agitasi, organisasi PNI Hatta dan Sjarir menjadi organisasi mendidik kader-kader pergerakan. Akibat pergerakannya yang radikal, pada Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap dua tokoh ini dibuang ke Boven Digul Papua. Beruntung dia tidak lama tinggal di Boven Digul, karena pemerintah Belanda tidak ingin tokoh ini mendapat tekanan keras akibat penanahannya. Sebab akan menimbulkan masalah kemudian hari, kritik sudah tentu bermunculan. 2 Januari 1936, tokoh ini pindah ke Banda Neira Maluku, tapi penahannya lebih layak dan manusiawi.
Syahrir baru bebas setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Ia dan tokoh lainnya didesak melanjutkan perjuangan untuk memerdekakan  Indonesia melalui gerakan perlawanan di bawah tanah.  Setelah Indonesia merdeka, Syahrir menduduki jabatan perdana menteri pada Kabinet Parlementer sampai tahun 1946. Pada saat itu, kemerdekaan RI belum diakui karena dianggap oleh Sekutu sebagai pemberian Jepang. Oleh karena itu Syahrir memilih jalan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Menurut Syahrir, menggelar perjanjian dengan Belanda memiliki keuntungan politis untuk memperoleh pengakuan kekuasaan de facto. Perjanjian Linggarjati yang dikecam oleh beberapa tokoh bangsa seperti Tan Malaka, dapat memberi keuntungan bagi Indonesia karena berkat pasal arbitrase yang ia tambahkan pada perjanjian tersebut Indonesia diakui  PBB. Syahrir pun mulai mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional seperti pada Konferensi Asia.
Setelah kemerdekaan Indonesia benar-benar diakui oleh Belanda, namun ia tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia dan melanjutkan pendidikan kader demi memajukan bangsa. Namun, Syahrir gagal dalam pemilihan 1955 karena partainya hanya meraih lima kursi di DPR.  Kegagalan itu menyebabkan ia kehilangan kesempatan untuk terjun kembali dalam pemerintahan. Pada tahun 1960, atas tuduhan gerakan Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia / Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), PSI dibubarkan dan Sutan Syahrir ditangkap. Gerakan pemberontakan ini sebenarnya dilakukan oleh Sumitro (Ayah Mantan Jenderal Prabowo Subianto yang sekarang menjadi Ketua Umum Gerindra), dan pemberontakannya bukanlah prakarsa Syahrir. Tapi meninggal 6 tahun kemudian, masih sebagai tahanan politik.



B. Pemikiran Sosialisme Sjahrir
Syahrir menaruh minat pada pemikiran sosialisme, namun dalam sejarah Indonesia Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal, dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan rakyat. Ini terlihat pada aktivitasnya pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Hal ini membuat ia dapat mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat. Sementara liberalisme terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Dalam melakukan perjuangan kemerdakaan dan turut serta memimpin Indonesia, Syahrir meyakini  ideologi sosialisme demokrasi mampu membangkitkan dan sebagai jalan tepat bagi rakyat Indonesia. Ia menjunjung tinggi kepentingan rakyat dengan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia. Dengan alasan itulah ia tidak bertumpu pada model pembangunan komunis seperti di Rusia dan Cina. Syahrir mengkritisi komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan. Ia melihat bahwa kaum komunis telah menghancurkan semangat nasionalisme, walaupun mereka dituntun oleh ajaran Lenin dan Stalin tentang perjuangan kelas dan kesusilaan kelas.  Syahrir ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bersifat adil dan merata. Ia berupaya menghilangkan bentuk penindasan terhadap buruh dengan memperjuangkan nasib buruh melalui partai yang didirikannya pada tahun 1948, Partai Sosialis Indonesia.
Menurut Syahrir, paham sosialisme yang ia yakini untuk mencapai kesejahteraan rakyat  sejalan dengan adanya demokrasi. Pada tulisannya yang berjudul Perdjoeangan Kita,  ia  menyatakan bahwa untuk membina kekuatan Indonesia, revolusi kerakyatan atau revolusi sosial harus dilaksanakan agar pimpinan politik tidak dikuasai oleh orang-orang yang berpikiran feodal. Feodalisme dianggap dapat bersekutu dengan fasisme yang hanya akan menghambat demokratisasi negara. Saat menjadi perdana menteri pada tahun 1945, Syahrir mengambil kebijakan untuk mengubah sistem presidensial dengan sistem parlementer. Melalui sistem parlementer yang menghadirkan wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, Syahrir berharap partisipasi rakyat bisa maksimal dan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Ia pun memfungsikan aparat negara seperti polisi dan petugas agrarian untuk mempertegas sistem demokrasi.
Sosialisme dan demokrasi yang diyakini Syahrir juga mementingkan aspek rasionalitas. Tampaknya aspek ini sejalan dengan anggapan Syahrir tentang pengutamaan pendidikan. Rasionalitas berarti berpikir dan bertindak sesuai hukum akal budi. Rasionalitas berkaitan dengan cara berpikir yang menjauhkan perasaan dan emosi, walaupun itu tidak berarti perasaan harus dihapuskan secara total. Emosi yang perlu dihindari  terbatas pada perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai kebutuhan perjuangan. Dengan rasionalitas, seseorang dapat memberikan penilaian pada situasi yang sedang dihadapinya dengan tepat, sehingga ia dapat mengambil tindakan yang sesuai. Pengembangan rasionalitas menurutnya dihambat oleh feodalisme dan mistik. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilaksanakan agar feodalisme dapat diberantas dan  demokrasi berdiri kokoh. 
Pemikiran Syahrir dan sikap-sikap politiknya memang berorientasikan Barat. Pengalaman studinya di Belanda telah membuatnya berkembang di iklim Barat. Syahrir cenderung menyukai kehidupan Barat yang dinamis dan bergelora. Baginya, kedinamisan itulah yang dibutuhkan bagi Timur untuk melepaskan diri dari imperialisme. Menurutnya, gambaran Timur yang tenang dan harmonis, seperti yang dilihat oleh orang-orang Buddhis tidaklah sesuai kenyataan. Hong Kong, Shanghai dan Batavia misalnya, tempat-tempat tersebut  telah dipengaruhi gaya hidup Barat yang mendesak maju. Dengan kata lain, Syahrir menganggap masyarakat Timur seperti Indonesia perlu melakukan modernisasi.
Sebagai elit politik, Sutan Syahrir berusaha membentuk suatu masyarakat politik dengan mengutamakan pendidikan. Pemikirannya ia sebarkan melalui media massa dan ia wujudkan melalui PSI. Semasa menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir mengembangkan sistem demokrasi politik untuk memperjuangkan ideologi sosialisme demokrasinya. Kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif masing-masing berfungsi dan kedudukan yang satu bebas dari yang lain. Partai-partai politik bebas untuk mengemukakan pendapat karena merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Syahrir juga menyadari bahwa kesenjangan masyarakat dapat menghambat demokrasi politik. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan, salah satunya dengan gerakan memperjuangkan buruh dan melindungi hak-hak individu dari tirani negara.
Sutan Sjahrir menekankan secara jelas tujuan dan strategi kaum sosialis berbeda dengan kaum komunis. Diktator Proletar sebagai sebuah tahapan revolusi bagi kaum komunis, buat kaum sosialis merupakan bentuk kediktatoran yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Namun Sjahrir sempat dikritisi oleh anggota partainya perihal keputusannya untuk menjadikan PSI sebagai partai kader sehingga tidak dapat bersaing dengan partai massa seperti Partindo pimpinan Soekarno. Ia menjawab bahwa partai tidak memerlukan banyak anggota karena dibandingkan jumlah massa yang banyak, Syahrir lebih mementingkan kualitas kadernya yang militan, dapat menguasai keadaan dan memahami teori-teori perjuangan. Pendidikan kader yang Syahrir utamakan bertujuan untuk mempersiapkan manusia-manusia arif yang dapat memutar roda kehidupan, yang dapat memimpin Indonesia dengan baik.
Demokrasi dan Sosialisme
Dalam kaidah ilmu pengetahuan mengenai kenegaraan, pencapaian cita-cita akan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, tanpa eksploitasi manusia dan sumber daya alam seperti yang tersirat dan tersurat di dalam konstitusi, hanya dapat diwujudkan melalui sebuah jalan yang disebut sosialisme. Kedaulatan rakyat tanpa sosialisme tidak akan dapat mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan sosialisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, yang berarti masih terdapat penindasan manusia. Dengan kata lain, sosialisme menekankan dan memperjuangkan demokrasi di segala bidang kehidupan masyarakat, sebagai prakondisi terciptanya masyarakat sosialis yang sejahtera dan berdaulat penuh. Dalam konteks ini, demokrasi politik adalah pintu masuk ke arah pengembangan demokrasi di bidang lain yang lebih mendasar sifatnya, seperti demokrasi ekonomi dan demokrasi pendidikan.
Membangun masyarakat sosialis suatu bangsa harus diletakkan pada konteks historisnya, berdasarkan situasi riil yang dihadapi dan sangat tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat suatu bangsa. Seperti yang sering dikatakan para pemikir sosialis di dunia, tidak ada model yang baku dalam mengimplementasikan sosialisme di setiap Negara, yang masing-masing memiliki perbedaan karakteristik dan kultur. Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam kultur dan karakter geografis yang unik. Sejarah panjang bangsa yang hidup di bumi Indonesia ini terdiri dari banyak kebudayaan dan etnis yang beragam. Kebudayaan-kebudayaan tersebut tumbuh dalam sistem monarki yang antara lain berbasis Hinduisme, sedikit Buddhisme, animisme dan agama Islam, yang tersebar di seluruh kepulauan dalam teritori Indonesia.

Sosialisme Kerakyatan
Berkembangnya sosialisme di Eropa pada mulanya adalah merupakan gerakan buruh, yang muncul akibat terjadinya penindasan masyarakat kelas dominan atau pemodal terhadap masyarakat kelas pekerja. Sedangkan sosialisme di Indonesia tumbuh dalam masyarakat feudal yang kurang dapat menerima ide pertentangan kelas. Munculnya sosialisme di Indonesia adalah lahirnya perlawanan kepada sejarah feudalisme dan birokrasi feudal yang diciptakan pada era kolonial. Faktor kebudayaan yang cenderung feudal dalam karakter Bangsa Indonesia menyebabkan masyarakat justru terbiasa dengan struktur masyarakat dengan kelas bertingkat, dan oleh karenanya tidak mampu menyerap substansi ajaran sosialisme Marxis yang mengedepankan pertentangan kelas. Walaupun demi pencapaian cita-cita bangsa ini tetap memerlukan proses revolusi diktum nilai-nilai secara kognitif, namun untuk mengakomodir karakteristik rakyatnya, Indonesia perlu mengembangkan sistem sosialisme sendiri yang berpihak pada kerakyatan dan kemanusiaan.
Dari kondisi-kondisi tersebut, nyata terlihat bahwa prioritas obyek awal revolusi di Indonesia adalah kesadaran manusia-manusia yang menjadi rakyatnya. Kesadaran ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk berpikir secara rasional, kritis dan berdaulat. Yaitu kedaulatan di semua bidang kehidupan, kesamaan kesempatan serta kedudukan bagi seluruh rakyat, dan mengedepankan hak-hak rakyat di atas segala kepentingan golongan atau individu. Dalam hal ini, terlihat perlunya penegasan bahwa sosialisme yang paling ideal bagi karakteristik dan psikografis rakyat Indonesia adalah sosialisme yang berpegang pada asas persamaan derajat manusia, tanpa memandang perbedaan suku, agama atau kelas social, yang oleh Soetan Sjahrir disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Kerakyatan di sini mengandung makna perjuangan mengangkat nasib, martabat dan harkat kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat.

Negara dan Pemimpinnya
Mengacu kepada hal-hal tersebut, maka Negara sebagai pembawa cita-cita Sosialisme Kerakyatan harus mampu mengakomodir dinamika masyarakat dan mengharmonisasikan sosio-diversifikasi yang ada di dalamnya. Fungsi Negara sebagai perangkat institusi yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dalam mencapai cita-cita bersama, harus juga peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah sesuai perkembangan jaman dan teknologi. Untuk tujuan tersebut, sudah sewajarnya jika Negara Republik Indonesia yang membawa cita-cita kesejahteraan dari segenap rakyatnya harus dipimpin oleh Pimpinan yang mampu merepresentasikan setiap golongan atau kepentingan tanpa kecuali, dan lahir dari kelompok-kelompok terbaik dalam masyarakat sosialis. Para Pimpinan tersebut harus tersusun dalam sebuah sistem yang menjamin terlaksananya desentralisasi pemerintahan agar dapat mewakili setiap kepentingan daerah secara merata, dan terpilih oleh rakyat yang berdaulat.
Namun pada perkembangan selama 66 tahun sejak Indonesia diproklamirkan, kondisi Negara saat ini telah melenceng jauh dari cita-cita pendiriannya. Di era globalisasi saat ini, Indonesia hanyut terombang-ambing dalam tarik-menarik hegemoni politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina sebagai pemeran utama baru di panggung dunia. Analisa kronologi mengenai hilangnya kedaulatan tersebut dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah sentralistik Indonesia yang kekuasaannya sangat besar, lebih memilih pendekatan jalan pintas dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Langkah ini selain membawa pertumbuhan ekonomi yang semu, juga mengantarkan Indonesia ke tangan imperialisme model baru berbasis neoliberalisme. Akibatnya, sebagai kompensasi dari pertolongan tangan-tangan neoliberalisme asing yang hanya untuk kepentingan sesaat, kedaulatan rakyat Indonesia di berbagai bidang tergadaikan. Konsekuensi logis berikutnya adalah adanya belenggu kapital dan kepentingan penguasa yang dengan ketat membatasi peningkatan kualitas pemahaman dan pemerataan wawasan demokrasi dan sosialisme dalam masyarakat dengan segala cara, demi mempertahankan stabilitas kekuasaan tersebut.

Formalisme Negara
Kondisi ini telah menempatkan Indonesia pada posisi tanpa daya tawar dan tanpa daya kompetitif dalam arus deras globalisasi yang masuk dari segala pintu yang terbuka lebar. Indonesia tidak mampu memanfaatkan kondisi geopolitiknya untuk mengambil posisi tawar. Kuantitas impor yang semakin hari semakin meningkat, selain menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap Negara lain, juga menghilangkan kemampuan dan potensi produksi nasional. Di sisi lain, kekuasaan Pemerintah yang dibangun oleh sekelompok elit di masyarakat semakin menguat. Dukungan dari kepentingan neoliberalis asing dibelakang Pemerintah berhasil membangun hegemoni kekuasaan yang semakin menguat. Hegemoni yang dibangun dengan cara merasuk ke alam bawah sadar mayoritas rakyat, dan memaksa rakyat secara halus untuk menerima nilai-nilai moral, politik, prinsip ekonomi, etika dan budaya, melalui cara yang sistematis. Salah satu cara yang ditempuh adalah sistem formalisme yang melahirkan para pemegang titel dan melahirkan kelompok rakyat informal dalam masyarakat. Formalisme oleh Negara adalah satu bentuk imperialisme yang berbahaya.
Sementara intelektual saat ini terjebak dalam upaya untuk menyamakan antara realitas bangsa Indonesia dengan negeri lain, dan tidak melakukan upaya serius untuk mengidentifikasi karakteristik realitas nasional dan situasi konkret di dalam negeri, golongan mayoritas yang terdiri dari kalangan rakyat informal telah kehilangan kepercayaannya pada sistem kapitalis liberal yang diterapkan Negara. Mereka tidak lagi percaya kepada kalangan intelektual yang kerap mengacu pada praktik masa lalu untuk menjawab atau menyelesaikan tuntutan praktis di masa sekarang, dan kelompok ini sudah hampir sampai di ujung kesabarannya. Di sisi lain, kelompok masyarakat informal yang sederhana ini kurang menyukai pendekatan ilmiah dan kurang minat terhadap ilmu pengetahuan, sehingga mereka terjebak dalam situasi sulit tanpa solusi. Kelompok pembawa kepentingan modal sangat memahami hal ini, dan mereka mampu mengambil keuntungan secara optimal dari kurangnya wawasan masyarakat informal tersebut untuk kemudian memarjinalkan kelompok mayoritas tersebut dari percaturan ekonomi dan politik.

Masyarakat Informal
Ironinya, kelompok masyarakat pekerja informal ini adalah pelaku utama dalam perekonomian yang semakin vital perannya, karena jumlah pekerja formal atau buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri modern. Saat ini, jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari keseluruhan pekerja. Sedangkan pekerja di sektor manufaktur tidak melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21 juta orang atau 52,65 persen dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah Sekolah Dasar. Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas untuk meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Akibatnya, rakyat terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Sementara Negara mendorong de-industrialisasi dengan mendorong sebagian besar usaha ekonomi untuk bergerak pada sektor informal dan Usaha Kecil Menengah yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan ekonomi keluarga ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri modern.
Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi masyarakat informal. Semangat kerakyatan yang dibawa dalam konstitusi Negara tertutup dengan besarnya kepentingan sekelompok masyarakat elit yang didukung oleh kepentingan asing yang lebih besar. Sistem formalisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok kepentingan Neoliberal itu nyata-nyata sangat bertentangan dengan semangat kerakyatan yang di cita-citakan Negara di awal pendiriannya. Sistem ini membawa semangat buruk sangka terhadap rakyatnya sendiri, dan mengutamakan kepentingan pemodal diatas segalanya, serta cenderung memposisikan rakyat hanya sebagai obyek pertumbuhan modal, ketimbang subyek pembangunan Negara. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan kecil, terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari para pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian dalam skala kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas menengah. Golongan rakyat informal inilah yang paling menderita akibat penyelewengan cita-cita Negara oleh sekelompok elit pembawa kepentingan pemodal serta aparat politikusnya.

Kelompok Pembawa Kepentingan Modal
Kelompok elit pemodal ini menguasai kelompok-kelompok lain seperti politikus, militer, organisasi masyarakat, sampai jajaran pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu mereka dengan mudah memproteksi kepentingan dan modalnya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berindikasi anti-rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi salah-satu cita-cita utama berdirinya Negara ini pun dapat dengan mudah digerus oleh mereka melalui hegemoni di segala bidang. Sektor yang dikuasai pemodal seperti politik, industri informasi, industri teknologi, sistem pemerintahan daerah, sampai ke industri mikro, membuat rakyat semakin sulit melepaskan ketergantungannya terhadap para pemodal tersebut. Apa yang telah nyata menjadi penyelewengan cita-cita bangsa ini adalah terjadinya industrialisasi pendidikan, industrialisasi kesehatan, industrialisasi keamanan, bahkan semakin jelas mengarah ke industrialisasi agama dan lain-lain kebutuhan yang menjadi hak asasi manusia. Namun dengan cerdiknya mereka mampu mempertahankan keberpihakan kelas menengah dengan segala cara, demi kestabilan ekonomi dan politiknya. Cara-cara yang ditempuh seringkali adalah pembodohan, penyanderaan masa depan, dan lain-lain cara yang membuat ketergantungan kelas menengah terhadap pembawa kepentingan modal tersebut sulit dihilangkan. Jalan bagi rakyat untuk mendapatkan kembali kedaulatannya telah ditutup dengan rapi dan sistematis.
Dalam kondisi ini, revolusi social pun seperti bukan solusi yang tepat. Fakta sejarah mengenai beberapa kali revolusi yang terjadi di masa lalu, memperlihatkan kegagalan substansial yang terjadi. Revolusi hanya mampu mengganti struktur pemerintahan, tetapi tidak mampu memberi solusi dari permasalahan utama, yaitu adanya sistem yang menggerakkan arus modal dan kepentingan segelintir elit untuk berkuasa di negeri ini. Faktor mendasar yang selama ini terjadi adalah kurangnya pemahaman dan wawasan di masyarakat mengenai arah dan proses pencapaian tujuan bangsa yang di cita-citakan. Reaksi masyarakat yang didorong oleh emosi sesaat hanya mampu mendorong terjadinya revolusi yang hanya merubah struktur, namun gagal mengganti sistem karena kurangnya ilmu dan wawasan. Apa yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998 adalah contoh kongkrit bahwa diperlukan lebih dari sekedar revolusi fisik yang bergelora untuk menahan arus kepentingan modal, yang sebetulnya menjadi inti permasalahan. Peristiwa sejarah tersebut juga memberikan contoh kasus sempurna, bahwa perjuangan tidak cukup dengan semangat saja, tapi haruslah dilaksanakan dengan cerdas dan berintegritas.

Apakah Revolusi Menjadi Solusi?
Apakah masyarakat harus mengubur cita-cita yang dicanangkan diawal berdirinya Negara ini? Tentunya tidak! Pertama-tama harus disadari bahwa perjuangan mencapai tujuan tersebut lebih membutuhkan suatu kesabaran revolusioner daripada sebuah revolusi fisik. Tetapi jika diperlukan, revolusi fisik tidak ditabukan. Hanya persiapan kondisi subyektif masyarakat haruslah matang dan benar-benar siap mengambil alih jalannya pemerintahan yang benar-benar terputus dari jaringan arus modal. Rakyat haruslah dipersiapkan untuk mengisi situasi pasca revolusi dengan konsep kenegaraan yang ideal, dan para wakil-wakil rakyat yang diusung untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan haruslah muncul dari kalangan rakyat itu sendiri, dan bersih dari pengaruh kepentingan modal. Dalam hal ini, rakyat yang dimaksudkan adalah keseluruhan rakyat dari segenap pelosok negeri.
Bagaimana jalannya proses pengkondisian subyek dan obyek revolusi yang sesuai konsep kerakyatan itulah yang harus menjadi aspirasi dan semangat masyarakat. Aspirasi dan semangat rakyat tersebut harus dibawa dalam sebuah wadah yang tepat, yaitu wadah yang benar-benar memberikan komitmen 100 persen bagi berlangsungnya jalan Sosialisme Kerakyatan, yang saat ini telah nyata sebagai satu-satunya jalan ideal dalam proses meraih cita-cita kesejahteraan bangsa ini. Beberapa tahapan ideal dalam situasi dan kondisi yang berkembang saat ini mensyaratkan bentuk gerakan yang sistematis, terpola dan massif namun terkoordinir. Tahapan yang ditujukan untuk membangun kesadaran masyarakat secara massif untuk kembali mengusung cita-cita kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, seperti yang dicanangkan diawal berdirinya Negara.

Tahapan Revolusioner
Tahapan awal yang harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses kristalisasi gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader Sosialisme Kerakyatan yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di setiap entitas yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita bangsa. Kader-kader tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang nantinya akan dilatih untuk memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan, Kemandirian, Integritas, Militansi dan berkarakter Problem Solver serta memiliki visi Negarawan.

Pembangunan Jalan Kerakyatan
Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan formalitas ekonomi yang ada dengan memberdayakan sector informal dan membangun bisnis-bisnis jaringan, yang nantinya juga akan menjadi pendukung operasional gerakan. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah yang berkaitan dengan lingkungan, sesuai dengan visi rakyat sosialis yang tidak menghendaki eksploitasi manusia dan sumber daya alam. Gagasan-gagasan seperti desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat pesisir pantai atau pembangunan reactor mikro hidro untuk penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut akan dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan perlunya perhatian tarhadap lingkungan, sebagai antisipasi perubahan iklim yang semakin menggejala.
Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang timbul akibat aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan dengan solusi-solusi yang berdasarkan kerakyatan. Pengupayaan hal tersebut selain memperluas sebaran pemahaman sosialistis dalam masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang bersumber dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah lembaga pengkajian ilmiah yang membahas permasalahan social dangan pendekatan Sosialisme Kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari sekelompok pemikir intelektual yang bertugas menggali serta mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang timbul akibat gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian tersebut selain di carikan jalan pengimplementasiannya, juga diterbitkan dalam bentuk tabloid, yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh negeri.

Lembaga Keuangan Mikro
Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah siap dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke organisasi-organisasi masyarakat di daerahnya. Mereka akan mensosialisasikan gagasan Sosialisme Kerakyatan dan membuat wacana-wacana solusi yang diperlukan oleh setiap daerahnya masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan kualitas masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan social yang mungkin terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari perputaran bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan beberapa bagian keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis yang baru, melalui komunitas masyarakat yang di pilih oleh Kader-Kader yang diterjunkan di organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang paling ideal adalah sebuah lembaga keuangan mikro, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat organisasi masyarakat itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera Barat adalah pilihan yang ideal.
Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang focus kepada penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya adalah membangun sekolah-sekolah lanjutan yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap daerah. Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan harus mendapatkan akses pemberitaan di media masa local di setiap daerahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membutuhkan sebuah wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri, yang dikhususkan untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka pembentukan organisasi badan hukum seperti yayasan atau koperasi akan diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan tersebut.


Mengembalikan Tujuan Negara
Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka tunailah revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik dan ekonomi dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara demokratis, tanpa revolusi fisik. Kondisi yang dimaksud adalah melemahnya Negara-Negara pemain utama dunia, dan berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki kesadaran serta wawasan yang cukup akan memiliki juga kekuatan politik yang signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu Pemerintahan yang melindungi segenap rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan Berdirinya Republik Indonesia

Tujuan NKRI ini didirikan, yang secara resmi dicantumkan dalam konstitusi negara sebagai kontrak sosial institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan rakyatnya, mencerdaskan rakyatnya, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negerinya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi tersebut untuk menempuh sebuah jalan yang pada dasarnya bertumpu kepada konsep Kedaulatan Rakyat, atau yang umum disebut dengan demokrasi. Baik dalam hal politik maupun ekonomi, jalan yang disepakati para pendiri untuk ditempuh oleh Negara adalah Kedaulatan Rakyat, atau demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ketika mendirikan Negara ini, semangat para pendiri adalah menumbuhkan demokrasi berdasarkan ikatan solidaritas kolektif untuk merdeka dan keutamaan partisipasi politik rakyat yang jauh dari sistem ekonomi kapitalisme. Semangat Negara untuk berperan aktif, tidak saja dalam wilayah politik namun juga sosial ekonomi untuk memenuhi hajat hidup warganegaranya.
Definisi demokrasi politik yang dijabarkan dalam konstitusi tersebut mengacu kepada suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merujuk kepada definisi itu, makna dari demokrasi ekonomi adalah suatu sistem ekonomi, dimana permasalahan produksi adalah diselenggarakan oleh rakyat dan untuk rakyat, dan karenanya mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan. Secara umum, demokrasi ekonomi itu mencakup aspek akses terhadap sumber daya ekonomi, aspek tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek partisipasi kaum pekerja dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengacu kepada tujuan berdirinya Negara Kesatuan ini, maka terdapat pengertian bahwa nama Republik Indonesia adalah sebuah sebutan bagi pencapaian cita-cita kesejahteraan segenap rakyat didalamnya, berdasarkan kedaulatan rakyat yang berkeadilan sosial.
Pandangan Politik pada fase selanjutnya, dengan kekuatan diplomasi Sutan Sjahrir membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sutan Sjahrir menyadari sebuah negara baru merdeka, dan berada ditengah arus dua kutub politik yang sedang bersaing. Hanya kecerdasan dan kecerdikan membaca situasi politik, membuat posisi Indonesia tidak mudah terperangkap dalam pusaran konflik perang dingin, dan ancaman kembalinya kolonialisme Belanda.
Didepan sidang Dewan Kemanan PBB tanggal 14 Agustus 1947 Sutan Sjahrir menyampaikan pandangan politik. Ia mengupas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki budaya dan peradaban lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, pada forum itu secara cerdas Bung Sjahrir juga mematahkan argumen-argumen yang disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Melalui jalan politik diplomasi ini, akhirnya Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah negara berdaulat dan bermartabat di pentas internasional.
Pikiran Sjahrir dan Jalan Politik yang diambil Sutan Sjahrir, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh jiwa patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia. Sutan Sjahrir dengan tegas menolak segala bentuk totalitarianisme. Baik totalitarianisme kanan dalam bentuk fasisme, maupun komunisme sebagai wujud totalitarianisme kiri. Keduanya mengekang kebebasan perorangan yang membuat manusia tidak lebih dari budak kekuasaan semata.
Menurut Sutan Sjahrir nasionalime harus berpijak pada demokrasi, karena nasionalisme bisa tergelincir pada fasisme jika bersekutu dengan feodalisme lokal. Nasionalisme juga bisa menjadi chauvinistik dalam hubungan internasional, jika tidak dilandasi pemikiran humanistik (kemanusiaan). Hal ini yang dialami oleh Hitller dan Musolini yang kemudian menimbulkan Perang Dunia kedua.

Perseteruan dan Tersingkirnya Sjahrir Dari Panggung Politik Indonesia
Partai Sosialis Indonesia bersama Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno dengan alasan yang tidak cukup jelas. Partai berbasis kader ini, walaupun dalam Pemilu 1955 mengalami kekalahan, tetapi berhasil mencetak kader-kader tangguh. Sutan Sjahrir berhasil membuka jalan demokrasi, dan memberi pelajaran etika berpolitik yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Kejatuhan Sjahrir memang adanya percekcokan dengan Presiden Soekarno sejak lama, selain berbeda pemikiran kepentingan keduanya memang sangat jelas dalam kekuasaan. Puncak keretakan terjadi awal 1962, terjadi penangkapan terhadap Sjahrir yang dianggap melakukan teror alias melakukan separatisme dengan Soemitro. Dengan penahanannya kondisi fisik Sjahrir merosot, dan harus berobat ke Zurich Swiss pertengahan 1965. namun kesehatannya terus memburuk dan wafat pada 9 April 1966 di Swiss jauh dari Tanah Air dan rakyatnya yang berusaha dibelanya. Dia meninggal dalam kesepian dan kesendirian. namun perjuangannya tetap dikenal sebagai tokoh nasional yang tetap diperhitungkan.
Selain berseteru dengan Soekarno, Sjahrir juga berseteru dengan Panglima Jenderal Soedirman. Perseteruan itu terjadi karena membaca pamflet Perdjoeangan Kita, sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima hari sebelum menjadi Perdana Menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama “menyingkirkan semua kolaborator Jepang”.
Seodirman tersinggung karena PETA yang dipimpinnya merupakan bentukan Jepang. “pertanyaan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan kalangan PETA”. Kata Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik”. “Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijakan sendiri”. Sejak saat itu perseteruan Soedirman-Sjahrir tak terelakkan, kemudian Soedirman bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Menjadi penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Dan mendesak Soekarno untuk memecatnya.
Soedirman menanggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi, karena diplomasi politiknya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan pada wilayah Jawa dan Madura saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Soedirman, mestinya Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh Indonesia setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik. Oposisi mengeras karena Soekarno dan Hatta lebih condong jalan Sjahrir. Orang persatuan perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan politik Sjahrir dari jauh. Dan saling tangkappun terjadi, Soedirman yang terpengaruh kelompok radikal menangkap Sjahrir, kemudian Tan Malaka pun ditangkap oleh tentara yang pro Soekarno.
Tapi Sjarir tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar diplomasi Perjanjian Renville, Linggarjati, dan Konferensi Meja Bundar. Para penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih lama bercokol di Indonesia. Sementara bagi pendukungnya, Sjahrir dianggap sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional.
Andai saja Sutan Sjahrir seorang yang haus kekuasaan, maka dengan segala potensi ia bisa meraih dan mempertahankannya. Namun, Bung Sjahrir meyakini politik tidak semata diartikan tindakan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Politik harus dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dengan kriteria moral.
Sutan Sjahrir-pun seorang anak bangsa yang telah memberi arti banyak bagi tegaknya republik, diakhir hayatnya lebih memilih jalan sunyi. Mohamad Hatta pernah berkata, Ia (Sjahrir) berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan untuk Indonesia merdeka, ikut membina Indonesia merdeka, tapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka, ia lebih banyak menderita di dalam Republik Indonesia yang ia cintai, daripada di dalam Hindia Belanda kolonial yang ditentangnya.
Demikianlah Sutan Syahrir, seorang bung kecil yang telah memberikan kontribusi besar bagi modernisasi politik di Indonesia  meski hanya dalam waktu yang singkat. Pemikiran sosialisme demokrasinya yang pada masa revolusi nasional berlawanan dengan ideologi Soekarno, dapat diterapkan pada kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Tentu saja dengan disertai langkah-langkah perbaikan seperti menggalang kekuataan massa dan lebih menekankan nilai persatuan dan loyalitas nasional untuk mengubah gejala pluralitas dari kelemahan menjadi kelebihan.


Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Review
Pemikiran Politik Tan Malaka
(Sejarah, Pemikiran, dan Perjuangan Bapak Republik Indonesia)

Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si

Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan dan tokoh, yang telah mengisi perjuangan Indonesia merebut penjajahan dari kolonialisme. Tan Malaka merupakan salah satu Bapak Republik Indonesia yang terlupakan oleh generasi muda Indonesia. Ia (Tan Malaka) orang pertama yang menulis tentang konsep atas cita-citanya  membentuk Republik Indonesia, Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”, sementara Soekarno menyebutnya sebagai “seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara Republik Indonesia. Mungkin dua – tiga generasi melupakan sosok sejarah perjuangannya selama ini, tokoh perjuangan ini kembali terkuak ketika reformasi 1998 pecah menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun. Karena mainstream pemikiran dan ideologinya adalah seorang Marxisme, tokoh perjuangan ini sengaja dihilangkan oleh penguasa Orde Baru, agar tidak menimbulkan semangat baru revolusi politik menentang sistem politik status quo Orde Baru.
Dengan nama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir 2 Juni 1897 tokoh Minangkabau Sumatra Barat, merupakan keturunan keluarga berada dan muslim taat. Namun perjalanan hidup dan karirnya berkata lain bukan menjadi seorang ulama. Mengenyam pendidikan di tingkat lokal yang baik karena ayahnya seorang pejabat, Tan meneruskan pendidikan sekolah guru di Haarlem Belanda, Rijkweekschool pada 1913. Pendidikan di Negeri Kincir Angin ini tidak terlepas dari campur tangan G.H.Horensma seorang guru asal Belanda yang pernah mengajari music cello di sekolah tingkat pertama di Indonesia.  
Namun pendidikan sekolah guru di Belanda bukan hanya menjadikannya sebagai calon guru bagi rakyat Indonesia, namun telah menguatkan tekad dan cita-citanya untuk melakukan revolusi di Tanah Air oleh penjajah kolonialis. Tekadnya ini didukung pula oleh diskusi politik dengan mahasiswa lainnya dari negara lain yang mengikuti perkembangan politik dunia yang memasuki perang dunia. Sehingga perang yang terus berkecamuk telah mempengaruhi pemikirannya, selain sering membaca koran atau buku dari aliran “kiri” dia rajin mencari informasi politik. Buku yang sering dibacanya adalah karangan filsuf Jerman Friedrich Nietzche (Will to Power) dan penulis esai The French Revolution karya Thomas Carlyle dari Skotlandia. Dari buku ini Tan mengenal semboyan Liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
Revolusi komunis yang di Rusia pada Oktober 1917, semakin memberi keyakinan pada Tan bahwa politik dunia sedang beralih ke sosialisme, selain itu berbagai gagasan baru tentang bagaimana bangsa Indonesia dibangun dan bangkit menuju kemerdekaan, berseliweran dalam pemikiran dan benak Tan apa yang tepat fondasi bagi Indonesia.
Sebagai pelajar dari bangsa yang terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari kolonialisme, dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan kelulusan dan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan Malaka memutuskan untuk kembali ke Tanah Air pada 1919. Tan memang kembali ingin merealisasikan cita-citanya untuk berjuang bagi bangsa Indonesia, karena cita-cita ini pulalah Tan Malaka kembali ke Belanda, namun bukan sebagai pelajar, melainkan sebagai buangan politik karena dianggap radikal. Terpesonanya pada paham Marxisme-Leninisme, menyebabkan dia berkali-kali dipenjara dan dibuang dari negara yang disinggahinya. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxis-lah yang menyebabkan dia dipenjara dan dibuang. Tapi pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di dunia, tapi untuk kemerdekaan Tanah Airnya.
Tan Malaka menulis dalam kalimat Massa Actie yang terbit pada 1926, “Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan, dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa” . “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan” . ITULAH REVOLUSI AGUSTUS 45
Setelah 1945, Bung Karno ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus belum selesai, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut “Re-So-Pim” (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan. Bagi Soekarni, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya “teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni Pimpinan Besar Revolusi. Tan Malaka tak memiliki rumus itu,tapi ia  tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya “Satu partai yang revolusioner”. Yang bila berhubungan dengan baik dengan rakyat banyak akan punya peran “pimpinan”. Bahwa ia percaya kepada revolusi yang “timbul dengan sendirinya”, hasil dari “berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika, di satu sisi, perlunya “teori” atau “kesadaran” tentang revolusi sosialis, di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) “pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.
Tan Malaka bertemu dengan Syahrir salah satu pejuang lainnya yang berpengaruh. Pertemuan ini beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945 di Serang Banten. Pertemuan itu mungin yang pertama kalinya tokoh kiri radikal dengan tokoh sosial demokrat. Secara ideologis berseberangan seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial demokrat sejenis Yudas Escairot (pengkhianat yang memberitahu keberadaan Nabi Isa kepada tentara Romawi). Sjahrir berkata untuk menantang Tan Malaka, jika ia mampu menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari Soekarno dari kalangan rakyat, maka Sjahrir ingin bersekutu. Ada sikap Sjahrir meremehkan Tan Malaka, agar Tan Malaka segera melakukan keliling Jawa untuk melihat keadaan sebelum mengambil sikap untuk melakukan revolusi dan kudeta. Pertemuan itu antara Sjahrir dan Tan Malaka dalam Jurnal Indonesia April 1922 dari A.B Lubis, pertemuan itu lebih berupa perselisihan sang “Radikal” yang tak cocok dengan sang “Pragmatis”.
Sisi lain Tan Malaka adalah mengkritik terhadap Bung Karno, namun tidak ada sangkutpautnya dengan sikap Soekarno mengkritik “Madilog”, tapi kritik wajar terhadap orang yang dihormatinya. Tan Malaka lebih kecewa dengan sikap politik Soekarno, yang lebih memilih kolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Akan tetapi Tan Malaka amat menghormati Soekarno yang selama memimpin PNI, selalu mengajak rakyat Hindia Belanda untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tidak kenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno sudah sangat menderita sebagai orang buangan ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya. Dan kekecewaan terhadap Soekarno yang berkolaborasi dengan Jepang, sedikit terobati ketika Soekarno dan Mohammad Hatta dengan atas desakan pemuda revolusioner, membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang “revolusi terus menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negara seperti Rusia dan Indonesia yang tak punya kelas borjuasi yang kuat, revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda alias terus menerus. Trotsky tidak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dengan dua tahap : pertama, tahap “borjuis “ dan “demokratis”. Kedua, baru setelah itu, “tahap sosialis”. Bagi Trotsky di negeri yang “setengah feodal” dan “setengah kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama : membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletar yang harus melaksanakan revolusi itu, begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, “tahap sosialis”.
Tentu pandangan ini yang terlampau radikal bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotsky bisa seperti segaris dengan gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah. Ia yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Sukarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Namun Sjahrir “sang pragmatis” juga ada benarnya, pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tidak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot, disini “pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Namun Sjahrir memiliki pandangan mengenai Marxisme, tidak perlu melalui jalan radikal seperti keinginan Tan Malaka, tapi harus melakukan negoisasi atau berunding (“soft politics”) terhadap penjajah. Namun inipun menjadikan Sjahrir tersingkir sebagi perdana menteri karena dianggap melakukan rekonsiliasi ketika melakukan perjanjian Linggarjati. Tesis Madilog (Materialisme, Dialektik, dan Logika) yang ditulis Tan Malaka ini : revolusi lahir karena “berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan “otak yang luar biasa”.
Ketiga soal dalam Madilog, Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi “A” tidak mungin sama dengan yang bukan “A”. Sebaliknya, dialektika menunjukkan  peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat celcius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Tapi seberapa bebaskah pengaruh “kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun partai itu sendiri ? Bisa kuat dan bangkitkah Partai Komunis hingga bisa jadi subjek yang tanpa cela seperti bak pahlawan. Ternyata, sejarah Indonesia  menunjukkan PKI juga memiliki batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah “lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili “borjuis kecil” itu. Ia tidak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Soekarno. Di bawah Dipa Nusantara Aidit (DN. Aidit), PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa presiden pertama RI tersebut.
Pada rencana kudeta pertama oleh Muso (1926) dan kedua (1965) pun gagal, terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat menentukan, tatkala militer dan partai “borjuis kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Namun harus diketahui, ketika Muso dan PKI berupaya melakukan revolusi dan kudeta berdarah pertama kali di Indonesia melawan pemerintah Belanda ketika itu, Tan Malaka sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan pemberontakan. Ditambah lagi keinginan Tan Malaka untuk mendukung Pan Islamisme (perjuangan melawan imprealisme-kolonialisme, antara kaum komintern bergabung dengan kaum muslim (Islam) dunia). Namun ini tidak mendapat tangapan dan respon yang baik dari masyarakat Indonesia, dan malahan yang terjadi adalah; sikapnya menentang Stalin dan inilah yang ia di tuduh Tan Malaka penganut Troskyisme, dan PKI ikut-ikutan megeroyok dan memusuhi Tan Malaka dengan cara melakukan pemberontakan pada Tahun 1926. Masukannya itu dianggap PKI sebagai biang penyebab kekalahan pemberontakan. Dia dimusuhi dan dicap pengkhianta komunis di Indonesia, atau “Trotsky”-nya Indonesia. padahal sejak semula Tan Malaka bukan tidak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang kelompok Prambanan. Terdiri dari tokoh PKI terkemuka seperti Semaun (189901971), Alimin Prawirodirjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897- ?) yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, 1926.
Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Tan Malaka menilai alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satunya argument yang terus diwacanakan kepada tokoh PKI adalah kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok keomunis. Tan Malaka sebagai pemimpin palung terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi-organisasi, dan tetap melakukan aksi-aksi “pemanasan” dan agitasi di tempatnya masing-masing.
Terkurung di bawah wacana “persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah partai yang mewakili sebuah minoritas yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum “Pan Islamisme, yang bagi kaum komunis adalah bagian dari “borjuasi” guna mengalahkan imperialisme.
Tan Malaka memiliki nama alias (nama samaran) selama masa dipelarian di luar negeri, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya memiliki tujuh nama samara. Di Manila (Filipina) dikenal nama Elias Fuentes, dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai (Cina) dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina keturunan Hawaii. Di Singapura, ketika mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng, setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten dan menjadi namanya Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya dia piawai menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Dia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog (Filipina), Tionghoa, dan Melayu. Dalam penyamaran itu pekerjaan sudah dilakukannya untuk menghidupi dirinya agar tidak kelaparan. Misalnya di Kanton (Cina) dia menerbitkan bahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris meski tanpa ijazah. Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda, pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow Rusia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Sebelum terbuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintahan kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya  ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukan penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Namun apapun itu, meski Tan Malaka tersingkir selama 20 tahun mengembara ke luar negeri sebagai pelarian politik (1922-1942), dan enam tahun belajar di Negeri Belanda. Juga sebagai berpikiran Marxisme yang radikal, perjuangan Tan Malaka terinspirasi oleh Dr. Sun Yat Sen (kemerdekaan Tiongkok). Sun Yat Sen, menurut Tan Malaka bukan seorang Marxis, tapi seorang nasionalis yang tidak berfikir dialektis, tapi logis. Kesanggupan analis dan menulisnya sangat baik sekali, serta seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun Yat Sen terdapat dua hal, yakni satunya kata dan tindakannya yang tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 gagal melakukan perlawanan. Serta terinspirasi oleh perjuangan Dr Jose Rizal pahlawan Filipina melawan kolonialis Spanyol.
Di sini terlihat bahwa Tan Malaka terinspirasi dua pahlawan Asia melawan kolonialis Eropa, Tan Malaka bukan seorang Marxisme Fundamentalis, karena menghargai dan berusaha mengikuti dua pahlawan tadi. Diketahui Dr. Sun Yat Sen merupakan pengkritik berat terhadap Marxisme, dan mengagumi seorang Dr Jose Rizal yang seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan melawan kolonialisme yang menyengsarakan rakyat. Inilah yang membuat Tan Malaka terinspirasi terhadap jiwa nasionalisme selain menjadi seorang Marxisme. Namun yang selalu terpikirkan dalam beberapa karya buku yang sudah ditulisnya. Gagasan Tan Malaka tentang pembentukan Republik Indonesia tersebar di banyak bukunya, meski tidak ada kesempatan untuk mentutaskannya.
Tan Malaka sejatinya tidak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan atau konflik. Pemisahan antara orang-orang yang membuat undang-undang, dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas, ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen dengan ritual pemilu dalam 4, 5, dan 6 tahun sekali. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikirian rakyat sudah berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak terlibat dengan rakyat, seharusnya mereka tidak berhak lagi menjadi wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar, menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan (swasta), dan perbankan. Singkatnya keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan oleh Tan Malaka tak boleh ada. Karena itu pula Tan Malaka menentang keras terhadap Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai politik. Sebab dengan adanya peraturan tersebut maka partai-partai akan bermuara di parlemen.
Lalu apa wujud negara tanpa parlemen? Singkatnya apa yang dipikirkan Tan Malaka tentang negara adalah negara yang dikelola oleh organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa, atau pengawas, dan sebagai badan peradilan. Anda bisa membayangkan NU atau Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan kekuasaan antara pembuat dan pelaksana aturan. Di dalam organisasi sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan di bagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tidak menjadi tirani kekuasaan? Desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjalankan kekuasaan, agar amanah berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat rendah sampai tinggi, harus dilakukan dalam jarak terlalu lama. Waktu 2 tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kinerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tidak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Barangkali pembaca mengatakan bangunan ini jauh dari kata demokratis. Hal ini sangat wajar, sebab sudah sedemikian lama pemikiran otak kita dijejali dan dicekoki oleh trias politika ala Montesquei. Jika bangunan organisasi tanpa legislatif dianggap tidak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa parpol, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, PBB, merupakan lembaga tidak demokratis ?. Namun di luar itu, wajar juga gagasan Tan Malaka merupakan hal yang naïf dan tidak bisa diikuti. Pendapat ini wajar karena tidak bisa terlepas dari zamannya ketika itu,  akan tetapi tidak salah jika kita berupaya mengambil hikmah dari seorang pejuang yang berusaha menciptakan bentuk negara yang terlepas dari kolonialisme dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Kritikal Review
Setelah penulis berupaya untuk mereview buku-buku dari tokoh pejuang, siapa dan bagaimana Tan Malaka? di mana letak tertariknya mengapa kita berupaya mengambil sebagai salah satu pemikir politik Indonesia. Sebelum membaca gagasan dan menggali apa yang coba diperjuangkan Tan Malaka, bahwa kita menyangka Tan Malaka seorang Komunis tulen, dan terbukti  banyak orang membencinya dan banyak pula orang yang mencintainya, setelah mencoba mereview dan menganalisis buku tersebut apa yang kita duga tidak demikian. Ternyata Tan Malaka bukan seorang komunis seperti yang di bicarakan orang. Meski paham Tan Malaka adalah seorang Marxisme tapi dia mencoba mendiskusikan dan melobi di tingkat komunis internasional untuk bergabung dengan Pan Islamisme memerangi imperialisme-kapitalisme.
Bagi mahasiswa, guru, dosen, pelajar, serta bagi peminat sejarah, politik, dan masyarakat luas.  Catatan review ini dihadapkan sangat bermanfaat sebagai bahan pelajaran untuk masa depan agar tidak terulang sisi gelap sejarah Indonesia, dan ini  dipersembahkan bagi tokoh pejuang nasional, meski sudah melabeli sebagai pahlawan nasional, akan tetapi arsipnya dihilangkan begitu saja oleh pemerintah Soeharto kala itu, dan dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki arti sesungguhnya bagi masyarakat karena dicap sebagai subversi yang akan menimbulkan semangat komunisme di Indonesia, akan tetapi kenyataannya sangat jelas bahwa perjuangan Tan Malaka sebagai pemikir bagaimana kita memahami substansi politik dan implementasinya untuk masyarakat dan negara. Khususnya jeratan imperialisme kolonialisme yang menyengsarakan rakyat.

Entri Populer