Featured Posts Coolbthemes

Selasa, 12 Februari 2013

Prahara Partai Politik Memicu Golput

Prahara Partai Politik Memicu Golput Samsul Pasaribu - detikNews Jakarta - - Hampir sepekan sudah kita "menikmati" prahara yang menimpa partai politik sekelas PKS. Bersih, agamais dan profesional yang menjadi slogan sama saja dengan "katakan tidak pada korupsi" ala partai Demokrat. Sama-sama tidak punya ruh dan hanya menjadi pepesan kosong. Belakangan ada fenomena aneh dalam sistem kepartaian kita. Keanehan itu terlihat pada kinerja partai politik yang berbanding terbalik dengan upaya mereka mendongkrak elektabilitas partai di pemilu yang akan datang. Fenomena ini jelas semakin mempertegas kalau partai politik sebenarnya hanya mengorientasikan partainya pada kekuasaan semu dan tidak sama sekali bukan untuk interest of the people. Prahara yang menimpa setiap partai politik dewasa ini menjadi bumerang baru bagi sistem demokrasi nasional dimasa yang akan datang. Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kencederungan menurun ternyata tidak mendorong partai politik mana pun untuk memperbaiki kinerjanya. Kepentingan partainya jelas mendominasi dan mengalahkan suara-suara rakyat yang semakin redup bahkan hilang tanpa bekas. Disaat partai politik masih minim kasus dan perkara, partisipasi peserta pemilu masih jauh dari yang diharapkan. Lingkar Survey Indonesia (LSI) mengatkan bahwa kencenderungan penuruan pemilih pada pemilu itu sudah memasuki babak yang mengkhawatirkan. Untuk tahun 1999 misalnya partisipasi pemilih mencapai 93,33 persen, pemilu 2004 turun menjadi hanya 84,9 persen dan untuk pemilu tahun 2009 menembus angka 70,99 persen. Data diatas tentunya tidak diharapkan oleh siapa pun khususnya partai politik karena pundi-pundi suara yang ada pada rakyat sejatinya menjadi prioritas parpol untuk meraupnya. Dilihat dari fenomena penurunan partisipasi pemilih ini yang dalam kurun waktu 10 turun sebanyak 20 persen, maka untuk pemilu 2014 yang akan datang LSI memprediksi partisipasi peserta pemilu hanya 60 persen. Tentu saja angka ini buruk untuk demokrasi. Bahkan dilihat dari semakin terkuaknya "kebobrokan" partai politik dewasan ini, walaupun oleh LSI partisipasi pemilu akan mencapai 50 persen pada pemilu 2019, tetapi hemat penulis, pada 2014 ini pun peluang itu besar terjadi. Kasus korupsi yang banyak mejerat kader partai politik bahkan hingga level ketua umum jelas menjadi salah satu poin yang mempengaruhi elektabilitas parpol di pemilu 2014 yang akan datang. Celakanya adalah, meskipun hingga saat ini belum semua partai yang kadernya terlibat kasus korupsi, tetapi respon masyarakat yang men-generalisasi parpol saat ini berdampak buruk bagi partai-partai yang belum dapat giliran korupsi. Prahara PKS misalnya. Penulis memandang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh partai �€œdakwah�€ ini tetapi juga partai lainnya. Awalnya, masyarakat punya setitik harapan akan eksistensi partai ini yang menyatakan diri sebagai partai bersih, agamais dan profesional. Tetapi, akhirnya kredit poin itu buyar pasca penetapan presiden partainya sebagai tersangka oleh KPK. Memang, kasus LHI oleh PKS dianggap sebagai momentum untuk menyatukan kader dan pengurus. Tetapi harus dicatat, kader hanyalah secuil pemilik suara dari ratusan ribu pemilik suara di Indonesia. Berkaca dari pemilu legislatif tahun 2009 lalu dimana PKS mampu meraup 7,5 persen suara dan lulus parlementary threshold secara nasional maka andai pada saat itu para kader PKS tidak memilih sekali pun PKS tetaplah lulus threshold secara nasional. Artinya jumlah kader partai tentu tidak sebanding dengan yang bukan kader or simpatisan sehingga andai pun para kader partai yang mengatakan mereka tetap solid dan utuh tidak serta merta menjadi cerminan kalau rakyat pemilih partai tersebut tetap solid dan utuh. Hanya ada dua hal yang akan terjadi terkait merosotnya moral partai dan hubungannya dengan partisipasi pemilu. Pertama adalah para pemilih akan melih golput di pemilu berikutnya atau mereka akan mengalihkan suaranya kepartai lain yang minim dari kasus-kasus yang menjadi sorotan media. Tetapi berkaca dari kesalah partai-partai saat ini, peluang pemilih berpindah ke partai lain sangat kecil. Kekecewaan terhadap partai politik apa lagi yang sering berkoar-koar soal pemberantasan korupsi dan narkotika menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol. Seperti yang diutarakan diatas bahwa penurunan persentase peserta pemilu di 2014 yang akan datang ditentukan oleh kinerja partai saat ini. Maka dilihat dari fenomena yang sering terjadi dimasyarakat bahwa simpati rakyat akan turun terhadap partai tertentu bila terlibat perkara bahkan tanpa bukti sekali pun, maka partai politik tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Membersihkan partainya dari kader-kader yang pernah disebut dalam kasus-kasus tertentu bahka sudah ditetapkan jadi tersangka sebaiknya �€œdilengserkan�€ saja. Partai PKS dan Demokrat mungkin bisa menjadi pelopor kebijakan ini. Sebagai partai yang sering disoroti terhadap kasus korupsi belakangan ini, maka partai ini perlu "revolusi" besar untuk membersihkan partainya dari kader-kader yang disinyalir bisa memicu konflik internal partai dimasa yang akan datang. Kebijakan "bersih-bersih" partai ini setidaknya memberikan bukti bahwa langkah kongkrit ini diambil untuk menegaskan kalau partai dimaksud benar-benar anti terhadap tindak pidana korupsi dan kawan-kawannya seperti suap dan gratifikasi. Semoga. *Penulis adalah Ketua Umum PB Germasi dan Pemerhati Sosial Politi

Artis Jadi Politisi: Vote Getter atau Prestasi?

Artis Jadi Politisi: Vote Getter atau Prestasi? Rismayanti Nurjannah - detikNews Bandung - - Menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 panggung perpolitikan Indonesia semakin semarak dengan kehadiran publik figur (red: artis) yang mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub untuk lima tahun ke depan. Sebelumnya sejarah telah merekam beberapa nama artis yang telah lebih dulu eksis di dunia politik, seperti Rachel Maryam, Rano Karno, Dicky Candra, Ruhut Sitompul, Anggelina Sondakh, Marisa Haque, Nurul Arifin, Adjie Massaid (Alm), Zumi Zola, dan sederet nama lainnya. Melihat fenomena tersebut, banyak pihak yang kemudian angkat suara dan menilai hal ini merupakan langkah parpol yang pragmatis guna mendulang suara untuk meraih kemenangan. Hal ini membuktikan vote getter untuk artis masih menjadi hal yang cukup menjanjikan dalam kampanye politik di era perpolitikan saat ini. Biaya politik demokrasi yang teramat mahal "memaksa" parpol berkompetensi mengeluarkan sejumlah strategi untuk mendulang suara, salah satunya menggandeng artis yang cukup populer di mata masyarakat dan yang dianggap memiliki track record yang bersih. Bukan hal yang salah ketika banyak artis yang kemudian beralih profesi menjadi politisi. Hanya saja, dalam menyelesaikan problematika bangsa yang dibutuhkan bukan hanya ketokohan semata, melainkan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin. Negeri ini bukanlah panggung sandiwara seperti dalam film-film atau sinetron-sinetron yang pernah mereka bintangi. Negeri ini adalah negeri yang diliputi berbagai permasalahan yang multidimensi, memiliki penyakit yang sudah sangat kronis dan harus segera disembuhkan. Namun, apakah dengan menjadikan artis sebagai seorang pemimpin dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab untuk menyelesaikan problematika kehidupan ini? Tentu saja tidak bisa semudah itu. Banyak artis yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tetapi permasalahan yang ada tak kunjung usai. Bukankah ini cukup membuktikan, menggandeng artis bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di negeri ini, khususnya Jawa Barat. Salah satu permasalahan Jabar yang cukup krusial dan hingga saat ini belum terselesaikan yakni terkait ketenagakerjaan. Perlindungan kaum pekerja dimana saat ini eksploitasi besar-besaran menimpa para buruh yang lebih didominasi oleh kaum perempuan menjadi kasus yang fenomenal dan tidak pernah selesai dari dulu hingga sekarang. Hakikatnya, permasalahan yang melanda negeri ini merupakan permasalahan sistemik. Tidak cukup hanya sebatas ganti pemimpin semata. Namun, dibutuhkan juga pengobatan yang sistemik pula dengan menanggalkan sistem pemerintahan kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi yang mahal dan menggantinya dengan sebuah sistem pemerintahan yang sudah teruji selama 1400 tahun lamanya, yaitu sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Dengan demikian, seharusnya parpol menyadari bahwa menggandeng artis tidak bisa memberikan kemaslahatan kepada ummat. Dan sudah seharusnya parpol berupaya untuk sama-sama mewujudkan negeri yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat ini dengan sama-sama berjuang menerapkan kembali sistem pemerintahan Islam. *Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung

Minggu, 23 September 2012

PERGESERAN PERILAKU POLITIK ISLAM TRADISIONAL (Studi Kasus Pergeseran Perlaku Memilih Warga Nahdiyin Pasca Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Kota Tasikmalaya)

ABSTRAK Penelitian ini mengkaji bagaimana perilaku politik pemilih warga Nahdiyin (Islam Tradisional) pasca pemilu tahun 2009 di Kota Tasikmalaya. Bagaimana kecenderungan pergeseran dan dinamika politik masyarakat NU di Indonesia, ketika terjadi perubahan situasi politik nasional ketika PKB sebagai partai politik basis warga Nahdiyin pecah (antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar). Apakah perilaku politik masyarakat Nahdiyin semakin rasional, tidak mengikuti falsafah pemikiran politik Islam Tradisional, dimana sering menuruti apa kata kyai Tujuan penelitian ini ingin mengkaji bagaimana pergeseran perilaku pemilih warga Nahdiyin tahun 2009 di Kota Tasikmalaya. Apakah perpecahan politik di tubuh PKB membawa dampak signifikan terhadap pergeseran perilaku politik masyarakat Nahdiyin, atau memang warga Nahdiyin sudah semakin rasional menentukan sikap politik, mencari wakil maupun pemimpin politik yang bisa mambawa kemaslahatan umat, ketimbang mengikuti arahan kyai (pemuka agama) Adapun hasil penelitian ini akan dipublikasikan pada jurnal lokal ISSN atau jurnal nasional. Serta jadi bahan ajar pada mata kuliah Kajian Partai Politik dan Sistem Pemilu, Perilaku Politik, maupun Komunikasi Politik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, penggunaan metode ini akan memperoleh data berupa deskripsi ucapan, tulisan, serta penekanan pada aspek subjektif yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Teknik pengambilan informan menggunakan purposive sampling, peneliti akan memilih informan kunci yang dianggap mengetahui masalah yang diteliti secara mendalam. Peneliti bersifat selektif dengan mempertimbangkan berdasarkan konsep teoritis, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris, Mengingat jumlah informan dapat berkembang, peneliti juga melakukan penelitian dengan menggunakan teknik snowball sampling. Untuk menjamin kevalidan data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Kemudian, metode analisis data adalah analisis kualitatif interaktif model Miles dan Huberman. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan bahwa terdapat pergeseran perilaku politik di kalangan warga Nahdiyin, hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, pertama, masyarakat semakin rasional dalam menentukan sikap politik nasional maupun lokal, kedua, pengaruh informasi dan budaya politik cukup berpengaruh pada sebagian besar warga Nahdiyin, kemudian tidak menafikan bahwa pecahnya kongsi antara Gus Dur dan Muhaimin berdampak signifikan terhadap arah politik warga Nahdiyin, terjadi kebingungan politik yang mengakibatkan warga NU bebas memilih yang penting memberikan suara kepada elit politik yang terbaik. Namun pecahnya kongsi politik sebagian warga NU ada yang tidak peduli lagi terhadap politik. Kata Kunci : Pergeseran Politik, Perilaku Pemilih Warga Nahdiyin, Politik Islam Tradisional

Jumat, 07 September 2012

Mencari Sosok Ideal Presiden Masa Depan Indonesia

Mencari Sosok Ideal Presiden Masa Depan Indonesia Tulisan Ini Mendapat Juara 1 Nasional Kategori Dosen dari Pewarta Indonesia dengan total nilai 95 27 Pebruari 2012 14:03 | Oleh : Mohammad Ali Andrias KOPI - Euphoria reformasi pasca runtuhnya Orde Baru menuju era demokratisasi, sejatinya belum menunjukkan sesuatu yang membanggakan rakyat Indonesia. Rentetan krisis perpolitikan nasional, kesejahteraan ekonomi, dan konflik sosial antar kelompok masyarakat belum mampu dihentikan. Situasi ini semakin diperparah oleh minusnya kepemimpinan, baik di tingkat nasional maupun lokal yang “berlomba-lomba” bahkan berjamaah, mencetak penyalahgunaan wewenang kekuasaan, bukan mencetak prestasi yang membanggakan dimata rakyat. Mereka memperlihatkan apa yang sudah dinyatakan Lord Acton, bahwa “kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolute pasti korup”. Pemimpin atau wakil rakyat kita tidak memanfaatkan reformasi ini dalam memberikan amanah, jujur, atau contoh yang baik sebagai pemimpin, tapi menunjukan kearoganan sebagai pemimpin yang korup, oportunis, dan mengabaikan aturan hukum yang berlaku, yang tujuan utamanya hanya mempertahankan kekuasaan dan meraup kekayaan sebanyak-banyaknya.
Jika krisis kepemimpinan ini terus diperlihatkan, bukan tidak mungkin akan memunculkan chaos yang jauh lebih besar. Karena masyarakat sudah terjadi krisis kepercayaan terhadap pemimpin atau wakil rakyat, meski tidak semua pemimpin kita melakukan korup. Ketidakpercayaan atau sikap apatis ini bisa diperlihatkan dengan meningkatnya golput dalam setiap event pemilu atau pilkada, meski hal ini tidak bisa dijadikan patokan. Namun variabel lain terhadap krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin sudah semakin mengemuka, bahkan semakin menyedihkan bagi bangsa yang dulu pernah mengecap sebagai salah satu ‘Macan Asia’.
Mengutip prognosa peta politik nasional dari Herbeth Feith, sejak tahun 1955 hingga reformasi 1999, peta kekuatan dan kepemimpinan politik Indonesia hanya berkutat pada pemimpin yang membawa komunitas ideologis 1). Pemimpin negeri ini adalah pemimpin yang mengusung ideologi nasionalis atau Islamis, meski aliran sosialis dan komunis telah menghiasi peta politik nasional. Namun bukan kepemimpinan ideologis yang dibutuhkan sekarang ini, tapi program politik yang mensejahterakan rakyat.
Pola kepemimpinan di Indonesia juga menggunakan pendekatan tradisional dengan praktik budaya paternalistik, primodialisme, atau pemimpin yang memiliki trah keturunan garis kebangsawanan atau raja. Mungkin hal ini sah-sah saja sifat kepemimpinan “orang besar” karena sifat-sifat yang dibawa sejak lahir dan bakat dari garis keturunannya. Namun celakanya ketika rakyat menaruh harapan besar kepada pemimpin seperti ini, tidak sesuai harapannya dalam memberikan kesejahteraan dan kemakmuran, tapi malah melanggengkan penyalahgunaan wewenang dengan kelompok dilingkarannya, sementara rakyat hanya jadi objek yang dipimpin layaknya era monarkhi absolute, bukan melayani rakyat sebagai substansi demokrasi yang selalu didengungkan pada era reformasi ini.
Memang mencari sosok pemimpin ideal sangat sulit, namun harapan besar mencari sosok pemimpin ideal belumlah terlambat, bahkan pemimpin tersebut sudah ada di sekitar kita, hanya saja belum memiliki kesempatan naik ke tampuk kekuasaan. Dukungan dan partisipasi masyarakat Indonesia saat ini masih cukup besar, semakin rasional, selalu mengkritisi, dan memberi berbagai masukan yang membangun memilih pemimpin yang tepat. Meski tidak mencari seideal mungkin layaknya pemimpin besar umat Islam Rasullulah Muhammad SAW. Tapi setidaknya pemimpin yang dibutuhkan rakyat Indonesia sekarang ini, adalah pemimpin yang paham terhadap kebutuhan rakyat, dan selalu menghilangkan rasa haus untuk melakukan tindakan korup ketika berkuasa.
Munculnya presiden saat ini selalu hadir dari kalangan partai politik (parpol). Ironisnya mesin politik ini belum berbuat banyak dalam melahirkan kader-kader yang jujur, berahlaq, dan bersih dari segala tindakan korup. Parpol belum maksimal dalam memberikan pendidikan, sosialisasi dan rekrutmen politik. Bagaimana menjalankan etika dan moral politik yang substansial, parpol hanya mengejar suara politik rakyat, tapi kurang menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Meski sejarah politik Indonesia memiliki pemimpin besar yang berkualitas, namun itupun tidak bebas dari segala cacat hukum, dan haus terhadap kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Penulis mencoba melakukan kriteria sosok presiden yang layak memimpin Indonesia, sebagai berikut :
1) Pemimpin transformasional yakni, pemimpin mengajak pengikutnya untuk menaikan diri tingkat moralitas tinggi. Pemimpin ini menekankan kesadaran pengikutnya dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi, dan nilai moral seperti keadilan, kemanusian, dan menjauhkan tindakan korup 2).
2) Pemimpin kharismatik dirasakan masih dibutuhkan dalam menjustifikasi kualitas personal, heroisme, dan pemberian mandat. Pemimpin kharismatik berperan agar masyarakat yang sudah terfregmentasi ini, mau mengikuti dan mematuhi perintah atau saran agar program politik, ide-ide, serta bersatu memperbaiki moralitas bangsa bisa berjalan dengan semestinya.
3) Presiden harus memiliki sosok yang berkepribadian matang dan memahami rakyat. Pemimpin ini jelas memiliki tingkatan sifat, perilaku, dan perbuatan yang berahlaq, bermoral sebagai cerminan jiwanya. Sangat nista jika ada pemimpin politik mempunyai perilaku amoral seperti terlibat kriminalitas, perselingkuhan, narkoba atau menggunakan politik kekerasan dalam memaksakan kehendaknya.
4) Pemimpin partisipatif, dalam artian harus mampu mengakomodasi aspirasi dari bawah (bottom-up) atau bersifat demokratik. Pengambilan keputusan politik wajib semaksimal mungkin melibatkan stakeholder terkait. Berusaha menghindari pola-pola topdown, agar tidak terjadi krisis kepercayaan dan partisipasi.
5) Presiden terpilih seharusnya tanggalkan “jubah” sebagai kader salah satu parpol. Sehingga mereka lebih terkonsentrasi terhadap massa rakyat, bukan hanya kepada kelompok atau golongannya semata.
6) Jika sempat memunculkan wacana bahwa pemimpin muda. Pelabelan pemimpin muda atau tua amat relatif jika berdasarkan umur. Ukuran umur bukan masalah, yang pasti untuk menjadi pemimpin memiliki track record positif, tidak melakukan cacat hukum, atau menggunakan sistem merit seperti halnya dalam birokrasi atau kemiliteran. Bahwa pemimpin tidak ada yang muncul dari hal yang instant.
7) Mengenai pendidikan sangat jelas bahwa presiden harus mampu menduduki level tertinggi atau mencatat prestasi yang membanggakan. Jika pemimpin dari pihak sipil, minimal harus lulus bergelar doktor dengan predikat cumlaud. Sementara dari kalangan militer, jelas harus menimal berbintang empat tapi juga pernah mengecap pendidikan minimal master dengan predikat terbaik.
8) Permasalahan gender bagi sistem demokrasi dan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim memang masih dalam perdebatan. Meski Indonesia pernah mempunyai presiden perempuan, namun penulis menegaskan bahwa pemimpin politik di Indonesia saat ini sebaiknya berasal dari kaum maskulin, yang dinilai dari sisi psikologis lebih tegas dalam pengambilan kebijakan.
9) Pemimpin demokratis harus memiliki sense sebagai pelayan publik, bukan sebagai raja. Pemimpin atau pejabat politik sebaiknya mau turun ke lapangan tanpa mendapat pengawalan atau protokoler yang rumit. Seperti sesering mungkin menggunakan transportasi publik, atau ikut mengantri layaknya warga biasa dengan tidak menggunakan pihak ketiga atau stafnya.
10) Bagi bangsa Indonesia yang beragam suku dan agama, mencari pemimpin politik memang selalu diisukan dengan masalah primodialisme. Sosok pemimpin yang berjiwa nasionalisme harus diutamakan. Tanggalkan kesan sebagai putra daerah atau pemimpin yang mewakili rakyat tertentu. Sehingga rakyat dari suku, agama, atau kaum minoritas merasa sebagai salah satu bagian dari perhatiannya.
11) Pemimpin harus memiliki ketegasan dan disiplin yang ketat dalam hal peraturan yang dibuatnya. Pemimpin wajib memberikan reward atau punishment terhadap bawahannya dalam organisasinya. Segera tertibkan ketika mendapat laporan adanya oknum-oknum birokrat yang melakukan pelanggaran hukum. Namun sikap mosi tidak percaya tetap dikedepankan, tapi ketika ada bukti kuat segera berani ambil keputusan jangan banyak pertimbangan.
12) Permasalahan money politics memang sangat sulit dihilangkan. Jika ingin mendapat kepercayaan rakyat kembali bahwa money politics jangan dijadikan budaya. Calon pemimpin rakyat tanggalkan budaya seperti ini, sehingga ketika naik ketampuk kekuasaan tidak berencana melakukan korupsi untuk mengembalikan modal awal, ketika merebut suara rakyat dengan politik uang.
Harapan besar mencari sosok pemimpin memang belum hilang, jika dalam situasi politik penjajahan Bung Hatta pernah mengilustasikan bahwa bangsa ini membutuhkan sosok Bung Karno. Tapi bukan kualitas dan kapasitasnya saja, tapi juga kuantitasnya. Harus ada figur-figur Soekarno-Soekarno lain untuk mampu menopang bangsa ini. Meskipun tidak ada manusia yang sempurna, minimal pemimpin ini mampu mengembalikan kepercayaan rakyat dan mensejahterakan rakyat bagi keberlangsungan bangsa ini.
Referensi:
Pranoto, Bambang. 2001. Sejarah Kelam dan Kecerahan Masa Depan Indonesiaku. Penerbit : Sekretariat Jenderal GMNI. Halaman 48.

Senin, 16 Juli 2012

Ilusi Antikorupsi dan Negara Gagal

M. M. Gibran Sesunan


Ilusi Antikorupsi dan Negara Gagal

OKEZONE.COM

The Fund For Peace baru saja mengeluarkan hasil surveinya yang bertajuk Indeks Negara Gagal dan menempatkan Indonesia dalam kategori waspada (warning). Penilaian ini tentu menohok kita sebagai sebuah bangsa, sekaligus juga mempertanyakan kinerja pemerintahan yang selama ini menggembar-gemborkan klaim keberhasilannya.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa dari empat fase negara yaitu negara kokoh dan berhasil (sustainable), negara rata-rata (moderate), negara dalam status waspada (warning), dan negara gagal (alert), Indonesia termasuk negara dalam kategori waspada dan lebih dekat dengan kategori negara gagal dibandingkan dengan negara rata-rata.

Ilusi Antikorupsi

Penegakan hukum menjadi salah satu indikator dalam menilai indeks suatu negara. Korupsi masih menjadi sumber petaka, dan interrelasi antara korupsi dan negara gagal bersifat linear dan tak terpisahkan. Michael Johnston dalam bukunya Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (2005) telah mengingatkan bahwa korupsi melemahkan negara karena menggerogoti institusi sosial politik yang notabene menjadi tiang negara.

Tentu saja, permasalahan korupsi masih menjadi titik krusial yang tak kunjung dapat diselesaikan dengan tuntas karena semangat Pemerintahan Yudhoyono dalam memberantas korupsi hanya sebatas wacana dan klaim keberhasilannya sekadar angka-angka.

Presiden bahkan lebih disibukkan dengan prahara dugaan korupsi besar-besaran di Partai Demokrat dibandingkan mengurus negara. Presiden yang mendeklarasikan diri sebagai garda depan pemberantasan korupsi tidak pernah memimpin dengan teladan.

Turunnya angka kemiskinan dan pengangguran akan sia-sia jika korupsi merajalela. Korupsi menghambat pemerataan kesejahteraan sehingga membuat ketimpangan kian menjadi-jadi. Wibawa pemerintah kian hancur karena korupsi terjadi di hampir setiap sendi pemerintahan. Bahkan kita seolah berlari kencang namun pada kenyataannya diam di tempat. Pemberantasan korupsi hanya ilusi yang membuat Indonesia bebas korupsi menjadi utopia.

Gerakan Kolektif

Tanpa menggunakan indikator tersebut, kita perlu kembali mengingat bahwa sebenarnya kita telah memiliki indikator keberhasilan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dan tanpa menunggu survei tersebut, kita tentu sadar betapa akutnya korupsi di negeri ini. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika kesadaran tersebut tidak bertransformasi menjadi gerakan kolektif untuk melawannya. Rakyat jelas perlu mengingatkan para penguasa negeri yang membiarkan negara berjalan tanpa pemimpin.

Presiden sebagai pemimpin tertinggi seharusnya mempunyai kekuatan untuk bertindak. Di bawahnya tunduk Kepolisian dan Kejaksaan yang seharusnya mampu menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi yang berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan pernah berharap korupsi di sektor-sektor lain dapat hilang jika korupsi masih menjangkiti para penegak hukum. Kita perlu belajar dari Komisi Antikorupsi Hongkong (ICAC) yang memulai gerakan nasional antikorupsi dengan membenahi dan membersihkan institusi kepolisiannya.

Selayaknya Presiden berani untuk mengganti Kapolri dan Jaksa Agung jika terbukti tidak memiliki gebrakan dan determinasi dalam usaha memberantas korupsi. Kedua institusi ini sangat strategis sehingga harus segera direvitalisasi. Sembari melakukan pembenahan, kita dukung pula kerja-kerja KPK dengan bersama melindunginya dari serangan balik para koruptor. KPK tidak didesain sebagai lembaga permanen sehingga Indonesia harus siap dengan Kepolisian dan Kejaksaan jika suatu saat tidak ada lagi lembaga negara yang khusus menangani tindak pidana korupsi.

Yang jelas, indeks negara gagal yang kita raih harus menjadi peringatan dini untuk segera berbenah. Pemerintah jangan lagi hanya beretorika, karena berbahaya jika korupsi dianggap biasa dan kelazimannya menjadi semacam “budaya” sehingga kemudian kita lupa.

M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Partai Islam dan Partai Islami

Ardi Winangun

Partai Islam dan Partai Islami


OKEZONE.COM

Bagi pengurus dan pemilih tradisional partai-partai yang berhaluan Islam tentu merasa tersinggung dengan sebuah survei yang menunjukan bahwa partai berhaluan Islam elektabilitasnya terus merosot hingga Pemilu 2014. Banyak faktor yang menyebutkan mengapa elektabilitasnya terus menurun, salah satu faktornya disebutkan, pemilih semakin sekuler di mana agama tidak lagi menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan publik dalam pemilu.

Apa yang dilakukan oleh salah satu lembaga survei itu sebenarnya bukan hal yang baru. Partai-partai berhaluan Islam sudah sejak lama memprediksi hal itu dan segera menyusun strategi baru. Partai-partai Islam sudah merasa kalau hanya mengandalkan pemilih tradisional, dengan semakin tingginya angka parlement threshold, maka keberadaan partai-partai Islam akan segera hilang di parlemen.

Pengurus partai-partai Islam sudah banting stir untuk meluaskan cakupan pemilih. Misalnya, dalam sebuah kesempatan membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II dan Harlah XXXVII PPP (Partai Persatuan Pembangunan), di Medan, Sumatera Utara, Januari 2010, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengatakan, isu keislaman tidak mampu mendongkrak dukungan bagi partai Islam. Ini bisa terjadi karena dikatakan, persoalan krusial yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah keterjangkauan harga kebutuhan pokok, bukan lagi pada isu ritual keagamaan.
Sementara partai-partai politik Islam, saat-saat ini, masih mengemukakan isu keislaman yang masih pada tataran simbol dan ritual keagamaan. Untuk itu Suryadharma Ali mengharap, PPP harus bisa mengartikulasikan gagasan yang lebih membumi dan menyentuh hajat hidup orang banyak.

Pun demikian, PKS saat menggelar Munas (Musyawarah Nasional) II PKS, Juni 2010, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, menyatakan dirinya menjadi partai yang transformatif, menumbuhkembangkan diri di internal maupun luar. PKS sudah saatnya masuk ke dalam wacana kebangsaan yang lebih menukik. Tidak ada lagi dikotomi antara Islam, nasionalisme, maupun sekularisme dalam pandangan PKS dan Pancasila sebagai konsensus tidak perlu lagi diperdebatkan. Untuk itu PKS ingin menjadi partai nasionalis religius.

Apa yang dikatakan PKS di tempat itu sebenarnya menjadi gong dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Pada Januari 2008, PKS mengadakan Mukernas di Bali. Mukernas yang diadakan di pulau di mana mayoritas penduduknya beragama Hindhu itu merupakan tindak lanjut dari apa yang pernah disampaikan oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring, saat itu, dalam Rapimnas PKS di Hotel Putri Gunung, lembang, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2007, mengatakan partainya akan melakukan ekspansi terhadap kalangan nasionalis dan sekuler.

Kalau dibilang ceruk pemilih Islam semakin menurun sebenarnya tidak tepat, sebab beberapa partai yang berbasis nasionalis bahkan sekuler pun membentuk organ-organ yang hendak mewadahi kaum santri. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), untuk mewadahai kalangan santri mereka membentuk Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). PDIP membentuk wadah yang demikian bukan hanya sekadar menunjukan bahwa kaum nasionalis juga agamis, namun juga melihat potensi dari kalangan santri, Muhmmadiyah dan NU, yang cukup melimpah.

Alasan elektabilitas partai yang berhaluan Islam semakin menurun terkait dengan semakin banyaknya ummat Islam mencoblos partai berhaluan nasionalis atau sekuler bukan sebuah ukuran masyarakat menjadi sekuler, namun ini sebuah gejala baru di tengah masyarakat kita sejak Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam. Dengan memberi ruang kepada ummat Islam, seperti diperbolehkannya memakai jilbab, adanya bank Islam, dan berdirinya ICMI, maka masyarakat semakin religius dan lebih islami.

Ketika Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam, maka simbolisasi agama bukan dimonopoli oleh golongan santri, namun kaum abangan dan priyayi pun menggunakan simbol-simbol yang biasanya digunakan kaum santri itu. Bila dahulu, jilbab digunakan hanya di pesantren, namun setelah Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam maka perempuan berjilbab bisa ditemui di sekolah, kampus, kantor, dan di setiap-setiap tempat yang ada. Demikian pula semakin banyak kaum abangan dan priyayi yang melakukan ibadah haji.

Gejala seperti ini merembes ke partai-partai nasionalis dan sekuler. Banyak kader-kader organisasi Islam, seperti HMI, PMII, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor, difasilitasi, masuk, dan direkrut ke dalam parta-partai politik berhaluan nasionalis dan sekuler, seperti Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan partai lainnya. Semakin banyaknya alumni-alumni organisasi Islam masuk ke dalam partai berhaluan nasionalis dan sekuler tentu mempengaruhi wajah dan gerak partai-partai itu.

Pengaruh dari banyaknya alumni organisasi Islam masuk ke partai-partai berhaluan nasionalis bahkan sekuler membuat kebijakan partai-partai itu tidak membahayakan eksistensi ummat Islam dalam menjalankan ibadah. Bahkan kebijakan-kebijakan partai-partai itu sejalan dengan kepentingan ummat Islam. Misalnya, Partai Golkar mendukung UU. Sisdiknas dan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Partai Demokrat pun demikian. Dalam beberapa hal, PDIP pun juga memperjuangkan kepentingan ummat Islam, seperti masalah ongkos naik haji agar lebih terjangkau dan transparan.

Dengan demikian, bila partai-partai Islam elektabilitasnya semakin menurun dalam Pemilu 2014, dan ancaman tak lolos dari parlement threshold, itu bukan menjadi masalah bagi ummat Islam, sebab seperti paparan di atas, dengan semakin banyaknya alumni organisasi Islam yang masuk dalam partai berhaluan nasionalis atau sekuler, membuat partai nasionalis atau sekuler menjadi islami. Dari waktu ke waktu akan semakin banyak ummat Islam yang menghiasi partai-partai berhaluan nasionalis dan sekuler, sehingga secara otomatis partai-partai itu akan lebih menjadi islami.

Ardi Winangun
Pengamat Politik

Pilpres 2014 Tak Ada Lagi Pertarungan Ideologi Partai


Pilpres 2014 Tak Ada Lagi Pertarungan Ideologi Partai
Tegar Arief Fadly - Okezone
Selasa, 17 Juli 2012 00:07 wib


JAKARTA - Banyak pihak yang menilai bahwa pada pemilihan presiden 2014 mendatang akan banyak bermunculan tokoh-tokoh baru, tak terkecuali dari kalangan pemuda. Namun, menurut Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Tohari, pilpres mendatang akan muncul pertarungan antar figur, bukan pertarungan antara ideologi suatu partai.

"Memang benar tidak ada pertarungan ideologi dalam Pilpres 2014. Dari nama-nama yang muncul ke permukaan memang susah untuk membedakan warna ideologi mereka masing-masing," kata dia saat dihubungi wartawan, Senin (16/07/2012).

Hajriyanto membandingkan sistem Pilpres di Indonesia dengan Amerika. Di Amerika, calon yang maju sebagai presiden memiliki ideologi jelas. Mana yang konservatif, mana yang liberal. Meskipun ada kecenderungan semuanya ke tengah, tetapi tetap kelihatan jelas mana yang kanan tengah atau mana yang kiri tengah.

"Sementara di Indonesia babar pisan, tidak ada bedanya. Secara ideologis mereka sama, yaitu ideologi ingin berkuasa menjadi presiden, itu saja. Sementara program-programnya hanyalah aksesoris belaka," tegasnya.

Dalam Pilpres, sambung Hajriyanto, jangankan pertarungan ideologi, bahkan paradigma partai politik pengusungnya saja seringkali tidak tercermin dalam figur pasangan capres dan cawapresnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa partai yang berbasis Islam yang mengusung figur yang bukan berasal dari partai berbasis Islam, misalnya dari partai nasionalis.

"Dalam satu hal kecenderungan ini positif karena menunjukkan tuntasnya Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Tetapi dari aspek lain ada negatifnya, yaitu terjebak dalam ideologi pragmatisme yang kering nilai dan cita-cita luhur. Akhirnya perpolitikan nasional terjebak dalam pragmatisme materialistis," paparnya.

Untuk itu, banyak kalangan yang berharap agar masing-masing parpaol melakukan regenerasi. Namun menurut Hajriyanto, regenerasi yang dilakukan selama ini tidak murni berlandaskan keinginan untuk menciptakan pemimpin baru yang bisa merubah arah masa depan bangsa. Namun hanya berdasarkan pada kekecewaan terhadap politisi tua.

"Karena kejenuhan atau bahkan kekesalan kepada yang tua maka muncullah gelombang tuntutan regenerasi. Tetapi generasi baru yang seperti apa mereka juga tidak tahu. Pokoknya yang penting ada regenerasi karena kecewa pada yang tua-tua," tandasnya.

Senin, 25 Juni 2012

Menggugat Klaim Kekayaan Intelektual

Mohammad Takdir Ilahi

Menggugat Klaim Kekayaan Intelektual

OKEZONE.COM
Selasa, 26 Juni 2012 09:25 wib
Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia kembali memanas seiring dengan gencarnya pemberitaan klaim tarian Tor-Tor dan Gondong Sambilan. Beredarnya klaim tersebut membuat publik Indonesia tersulut rasa nasionalismenya yang tidak ingin karya intelektual dan warisan budaya bangsa diklaim begitu saja oleh negara lain.

Berdasarkan cacatan, sepanjang 2007-2012, Malaysia telah tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai  warisan budaya mereka. Di antara yang diklaim adalah reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari pendet, angklung, batik, tari Tor-Tor, dan Gondong Sambilan. (JP, 22/6/2012).

Ada yang miris dengan beberapa klaim yang dilakukan Malaysia terhadap karya intelektual dan warisan budaya Indonesia, yakni penghinaan terhadap martabat bangsa yang dicabik-cabik. Isu mutakhir yang berkembang saat ini adalah klaim tari Tor-Tor dan Gondong Sambilan yang diklaim Malaysia sebagai produk seni dan budaya mereka. Ketika muncul klaim demi klaim, kuat dugaan kalau Malaysia memang sengaja membuat cari gara-gara dan berusaha menghina Indonesia melalui sikap klaim tadi.

Sebagai generasi mudah, saya merasa prihatin dengan maraknya pengklaiman kekayaan seni dan budaya Indonesia yang seolah-olah ingin membabat habis karya dan warisan budaya leluhur kita. Keperihatinan saya semakin menjadi-jadi ketika negeri tetangga kita berani mengklaim beberapa kekayaan intelektual dan warisan budaya nasional yang sudah dipatenkan sejak lama. Sama halnya persoalan yang terkait dengan hak intelektual seni dan budaya, di mana persoalan tersebut tidak hanya mencakup persoalan harga diri sebagai bangsa, tetapi juga sebagai sebuah penghinaan intelektual bagi bangsa kita.

Terlepas dari hal itu semua, sikap Indonesia pun turut menuai kecaman karena dianggap loyo menangani masalah klaim Malaysia. Banyak kalangan yang memperkirakan, jika klaim terus menerus terjadi, besar kemungkinan hasil produk budaya dan karya intelektual Indonesia akan perlahan-perlahan punah diterpa badai kehancuran dan keretakan dalam negeri. Itulah mengapa, segenap elemen bangsa perlu bersama-sama membangun komunikasi aktif dan kerja sama secara intens guna memikirkan solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk mempertahankan warisan budaya nasional.
Tidak heran bila klaim kekayaan intelektual yang dilakukan Malaysia terhadap sebagian karya seni dan budaya yang dimiliki Indonesia patut dijadikan refleksi kritis oleh elemen bangsa ini. Betapa tidak, kekayaan intelektual yang sejatinya menjadi bagian dari tradisi dan budaya Indonesia secara terang-terangan diklaim oleh Malaysia. Ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang dalam pasungan negeri Jiran. Karena kekayaan intelektual kita menjadi rebutan negara lain yang masih satu rumpun.

Mengenai warisan budaya, tak ada satupun negara yang berhak mengklaim sebuah entitas tradisi dari sebuah negara yang telah jamak dilakukan sebagai sebuah ritual dan seni yang integral dengan kehidupan berbangsa dan bernegara atau telah menjadi sebuah identitas budaya, seperti halnya reog ponorogo, batik, tari pendet, tari Tor-Tor, maupun Gondong Sambilan.

Saya memahami bahwa pengklaiman hak intelektual berupa seni dan budaya telah keluar dari etika kebudayaan yang dibangun atas dasar toleransi dan pluralistik. Bagi saya, tari Tor-Tor dan Gondong Sambilan adalah hasil karya, karsa, dan kreativitas manusia yang berbudaya dengan dibekali sikap toleransi untuk mengapresiasi hasil kebudayaan manusia lainnya.

Dengan kekayaan intelektual dan warisan budaaya yang melimpah, Indonesia patut bangga sebagai bangsa yang berbudaya dan berperadaban. Akan tetapi, dibalik itu semua, Indonesia menjadi incaran dunia dalam merauk profit yang lebih besar. Pantas Malaysia “ngiler” dengan kekayaan intelektual bangsa Indonesia,  sehingga Malaysia secara terang-teranga melakukan klaim atas berbagai kekayaan tradisi Indonesia.

Ada banyak bukti terkait munculnya klaim sepihak terhadap kekayaan intelektual negara lain. Pertama, ada overlap budaya antar Malaysia dan Indonesia, yang memang secara geografis berdekatan langsung dan orang-orangnya serumpun, sehingga entah bagaimana penyebaran hasil budaya ini jadi sedemikian ruwet dan tak bisa dijelaskan lagi siapa yang membuat, di mana asalnya, dan seterusnya. Kedekatan budaya dalam konteks perkembangannya menjadi alasan paling mendasar terjadinya klaim kekayaan intelektual. Malaysia sebagai sebuah negara, memang mempunyai akar budaya yang mirip dengan Indonesia.

Kedua, alasan berikutnya karena Malaysia memang mau cari perkara. Dalam sejarahnya, Malaysia adalah negara yang memiliki kedekatan emosional paling tinggi diantara negara-negara tetangga lainnya. Namun, kedekatan emosional itu tidak lantas membuat Malaysia-Indonesia berada dalam ikatan batin yang sama. Konflik yang terjadi antara Indonesia-Malaysia diyakini tidak hanya mencakup hak kekayaan intelektual, tetapi juga menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya persoalan tenaga kerja, perbatasan wilayah, perdagangan, kabut asap, pembakaran hutan, media dan lain sebagainya.

Apa yang dilakukan Malaysia, bisa dikatakan telah melanggar etika kebudayaan, karena mengklaim kekayaan intelektual negara lain, sehingga proses pengklaim itu dianggap sebagai “intellectual accident”. Sejatinya, di negeri satu rumpun ini kita perlu menghindari sindrom intelektual yang dapat merugikan perkembangan dan kemajuan kebudayaan yang tumbuh subur di suatu negara. Melalui kesadaran dari masing-masing pihak, terutama pihak Malaysia yang selalu mengusik seni dan budaya Indonesia, persoalan ini dapat terselesaikan dan diharapkan tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Sebagai generasi muda, kita perlu membangun gerakan-gerakan kultural untuk melakukan penolakan secara terang-terangan atas setiap legitimasi Malaysia yang ingin mematenkan kekayaan seni dan budaya Indonesia. Gerakan-gerakan kultural yang ingin dibangun di sini, tidak hanya tercakup pada gerakan aksi bersama (class action) dalam membungkam legitimasi tersebut, tetapi juga yang paling penting adalah bagaimana kita mampu membangun kebersamaan dan kesepakatan dengan pemerintah untuk bersama-sama menjaga dan memelihara kekayaan seni dan budaya Indonesia.
Pada akhirnya, membungkam setiap klaim atau legitimasi yang dilakukan Malaysia tidaklah cukup, melainkan harus dengan memperkuat legalisasi hak intelektual yang telah diatur dalam HKI. Organisasi HKI ini merupakan badan yang mewadahi setiap hasil karya intelektual yang lahir dan berkembang di masyarakat sehingga menjadi tradisi dan budaya yang mengakar erat dari satu generasi ke generasi yang lain.

Mohammad Takdir Ilahi
Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta
Alamat: Gg. Ori 02. No. 6-F Papringan Depok Sleman Yogyakarta. Email: tkdr_ilahi@yahoo.co.id.

Pemilukada Bebas Money Politic, Mungkinkah?

Pemilukada Bebas Money Politic, Mungkinkah?

OKEZONE.COM
M Budi Santosa
Senin, 25 Juni 2012 - 11:00 wib
Pemilukada DKI sudah memasuki masa kampanye. Sebanyak enam kandidat sudah beradu visi dan misi untuk membangun Ibu Kota. Mereka penuh optimisme bahwa Jakarta ke depan akan lebih baik. Berbagai keluhan masyarakat seperti banjir, kemacetan, keamanan, dan kenyamanan, mereka janjikan akan bisa terselesaikan.

Optimisme tentu saja modal penting untuk membangun Jakarta yang sangat komplek dan heterogen. Namun yang tidak kalah penting dalam ajang kompetisi seperti sekarang ini adalah sikap fair dan mengedepankan integritas. Kita semua menginginkan agar gubernur dan wakil gubernur DKI mendatang adalah sosok yang mampu menyelesaikan masalah dan tentu memiliki moralitas.

Dengan harapan yang sungguh besar ini, kiranya perlu dicoba agar Pemilukada DKI ini tidak hanya bisa berlangsung dengan baik, berlangsung dengan jujur, berlangsung dengan damai, tapi juga bisa berlangsung tanpa money politic. Kita ingin melihat Pemilukada DKI bisa menjadi contoh pemilukada-pemilukada di daerah lainnya.

Selama ini masyarakat seringkali mencibir pelaksanaan Pemilukada. Sebab, pemilukada seringkali menunjukkan wajahnya sebagai ajang transaksi politik. Tidak hanya itu praktek money politic yang begitu kentara membuat sebagian masyarakat menjadi antipati. Jika budaya ini terus dipertahankan, maka persoalan kapital akan merusak aspek moralitas. Padahal yang sebenarnya diinginkan adalah moralitas ini akan makin baik jika didukung dengan kapital (modal) yang mencukupi.

Genderang kampanye sudah ditabuh. Optimisme pun sudah dikibarkan. Kini saatnya kita melihat bagaimana para kandidat bisa menciptakan suasana yang kondusif bagi proses pemilukada yang jujur dan bermartabat. Sudah saatnya Pemilukada dijadikan ajang pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Bukan malah sebaliknya, Pemilukada menjadi sejarah kelam pada proses politik di tingkat lokal maupun nasional.

Untuk para kandidat, selamat berjuang merebut hati warga Jakarta. Semoga di tangan Anda semua, Jakarta akan semakin baik.

Senin, 18 Juni 2012

Menagih Janji Nasionalisme

Menagih Janji Nasionalisme

Sabtu, 2 Juni 2012 11:22 wib
OKEZONE.COM

Bulan Mei menjadi bulan yang sangat penting bagi negeri ini. Dua momen besar sarat nilai historis dan heroisme diperingati; Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Kedua momen itu saling berkait berkelindan, tidak bisa dipisahkan atau pun dipandang parsial. Pendidikan menjadi sumber elan pital kebangkitan. Sedangkan kebangkitan itu sebagai pembuktian bahwa pendidikan itu berhasil menciptakan manusia berkarakter.

Harkitnas; Hari Sakit Nasional?
Peringatan Harkitnas yang ke 104 tahun 2012 ini menjadi penting, jika nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kejujuran, dan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi ciri ke-Indonesia-an, yang telah dipelopori oleh para pendahulu kita melalui gerakan “Boedi Oetomo” dapat dijadikan suatu enerji bagi langkah-langkah bangsa kedepan. Sekaligus menjadi renungan dan evaluasi, sejauhmana semangat nasionalisme tersebut terimplementasi dalam setiap potensi, profesi, tugas dan tanggung jawab perilaku masing-masing individu warganegara Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menapaki perjalanan sejarah kebangkitan nasional Indonesia, maka cara berfikir nasionalis dalam membangun Indonesia baru di masa depan adalah bagaimana mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Dalam hal ini, cara berpikir nasionalis diharapkan menjadi antitesis dari cara berpikir individual atau perorangan, antitesis dari cara berpikir kedaerahan, antitesis dari cara berpikir kepartaian atau golongan, dan mutlak antitesis dari cara berpikir kolonial.

“Karena itu, dalam memaknai kebangkitan nasional dan wacana Indonesia ke depan yang lebih baik, mandiri, sejahtera dan lebih bermartabat, diperlukan adanya korelasi antara kesadaran sejarah, fakta sosial, dan semangat nasionalisme ke-Indonesia-an kita ke depan. Nasionalisme ke-Indonesia-an yang memiliki bangunan karakter kesejatian Indonesia”, demikian tegas Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D kepada civitas akademika UGM dalam peringatan Harkitnas 2012 di kampus itu (Humas UGM, 21/5/2012).

Tapi, harapan Pak Rektor di atas hanya tinggal harapan di atas langit nusantara. Realitas factual justeru menabalkan bahwa bangasa ini sedang digerogoti penyakit akut lagi mematikan bernama KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) atau yang senada dengannya bernama NKK (nolongin kawan kroni). Penyakit itu sudah bersifat kolektif. Karenanya bisa dikatakan bahwa Harkitnas itu kini tak lebih dari akronim dari Hari Sakit Nasional.

Wakil Rakyat berlipstik harta tahta wanita, menari ganjen menyanyi Hedonesia ria. Tentu beda antara Indonesia Raya dengan Hendonesia ria. Bila Indonesia Raya kabarkan tentang ruang bercahaya nasionalisme emas. Maka Hedonesia ria muncratkan perilaku nasionalisme edan para wakil rakyat berwajah mewah, bermobil mewah, atas bawah sumringah. Sementara rakyat terjerat lagu Indonesia Melarat, "Benjing amenanging kala tida,wong duwur dadi umbul-umbul,wong cilik tengal-tengul nyedoti umbel"  (Skober, 2011).

Nasionalisme Digilas
Intervensi negara-negara Barat dan Eropa terhadap kebijakan dalam negeri negara lain yang berstandar ganda adalah suatu fakta, bahwa kepentingan yang ada didalamnya ikut ambil dalam menentukan kebijakan luar negeri mereka. Kemenangan kaum reformis dalam pergulatan meruntuhkan rezim orde baru dengan lengsernya Presiden soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari pertempuran ekonomi global yang sedang memperebutkan pasar dan sumber daya alam negeri ini (Ayu, 2011).

Lemahnya kekuasaan pemerintah negeri ini terhadap kebijakan asing tidak terlepas dari perekonomian negara yang sangat bergantung terhadap investasi asing. Banyaknya raksasa-raksasa ekonomi yang menguasai perekonomian negeri ini berpengaruh besar terhadap pertarungan politik yang ada di negeri ini. Kepentingan-kepentingan pasar yang bermain dalam rangka menciptakan boneka-boneka politik dalam struktur pemerintahan adalah salah satu bentuk neoimperialisme modern yang sedang trend sekarang ini.

Pemegang kartu atau kunci kekuasan politik dari siapa yang akan dipertahankan dan siapa yang akan dilengserkan adalah logika kaum neoliberal ketika kekuasaan pemerintahan suatu negara ada di tangan mereka.

Oleh karena hal tersebut perlunya agen ganda yang mampu bermain sebagai pejabat formil dengan merangkap sebagai agen pasar adalah keharusan dari suatu pemerintahan.
Banyaknya permasalahan dari  kepentingan publik yang terlantar dan tak kunjung terselesaikan akan menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang berdiri di struktur kekuasaan tanpa didukung oleh kekuatan ekonomi global ini.

Walhasil terjadilah kontrak politik antara pemimpin negeri yang mempunyai ambisi untuk berkuasa dengan para pemilik modal. Ketika saat itu tiba, nasionalisme tidak lagi mampu berdiri tegak. Budaya menjadi pelacur terhadap nilai-nilai globalisasi dan idealisme menjadi barang yang murahan. Mereka yang melawan akan disingkirkan dan disebut terbelakang atau tidak beradab, yang bertahan dibuat sibuk saling menikam satu dengan yang lainnya. Sementara mekanisme pasar dengan nyaman mengeruk habis isi berharga dari tanah Republik dan kekayaan alam negeri ini.

Menagih Janji
Nasionalisme Indonesia datang sebagai sebuah janji (Andri, 2011). Dikala rakyat pribumi memilih nyaman berlindung di bawah payung feodalisme yang berjalan beriringan dengan kolonialisme, nasionalisme datang membawa harapan baru dengan logika bahwasanya setiap suku atau wilayah akan menjadi kekuatan besar apabila bersatu. Nasionalisme menjadi jawaban untuk mengusir penjajahan dari bumi nusantara.

Sebuah kisah historis yang kaya dan patut dibanggakan, dalam tempo beberapa puluh tahun saja, janji nasionalisme berhasil merubah arah bangsa. Negara Indonesia berhasil dibentuk. Rakyat resmi bebas dari kolonialisme. Kekuatan utamanya adalah spirit Bhineka Tunggal Ika, spirit yang demokratis dan berhasil menggalang kekuatan bersama. Berbagai latar budaya, kekuatan, ideologi, golongan, elit, melebur memperjuangkan entitas nasional.

Begitu dipercayainya nasionalisme sebagai sebuah janji pemersatu, membuat para founding fathers negara enggan melahirkan Indonesia dalam sistem federal. Ditakutkan, sistem federal kedepannya melanggengkan perpecahan. Sejarah telah mengingatkan bahwa Indonesia dulunya pernah kacau karena politik pecah belah, Devide Et Impera. Disepakati wujud Indonesia adalah negara kesatuan, sekalipun kurang sejalan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri atas ribuan suku.

Janji ini (nasionalisme) berjalan dengan penuh pergolakan. Banyak pengorbanan, pertumpahan darah. Keteguhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sempat tergoncang saat Belanda melangsungkan agresinya dan dalam beberapa masa, sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Indonesia berubah menjadi federal. Benarlah, sistem federal yang mengkotak-kotakkan, tidak sejalan dengan spirit nasionalisme yang masih berkobar sehingga Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Dalam perjalanannya lagi, nasionalisme sebagai janji terasa gagal setelah bertahun-tahun dijunjung tak jua membawa kesejahteraan. Soekarno, sang pemimpin, terlalu acuh terhadap kekuatan kapital sehingga rakyat tetap melarat, pembangunan lambat.

Periode berikut, masa orde baru, pembangunan berjalan pesat. Rasa nasionalisme diperkuat, bahkan dengan indoktrinasi via berbagai kebijakan dan agitasi media. Hanya saja, indoktrinasi ternyata bukan cara yang tepat untuk menguatkan nasionalisme. Nasionalisme adalah sesuatu yang berangkat dari kesadaran, dari kerinduan untuk menyatu dalam keragaman, kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kesatuan sebagai kekuatan, bukan dengan indoktrinasi yang melahirkan nasionalisme semu.

Yang terjadi, masyarakat sulit mengekspresikan hak politik secara demokratis. Sekalipun nasionalisme berdengung di segala arah, semangat nasionalisme meredup. Berganti orde, paradigma masyarakat tetap sama. Sekalipun pintu demokrasi setelah 1998 terbuka lebar, jiwa nasionalisme masih mengambang. Nasionalisme sebagai janji tetap gagal.

Masih layakkah kita percaya dengan janji pemersatu itu? Disaat lajunya acapkali tersendat-sendat? Jelas masih. Nasionalisme merupakan kekayaan historis yang bernilai besar, sangat layak diperjuangkan. Indonesia pernah punya pemikir-pemikir besar yang dengan keradikalannya masing-masing mau melebur dalam wadah nasionalisme. Adalah tanggung jawab setiap generasi memperjuangkan janji nasionalisme agar berhasil.

Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kajian sosial, pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh

Menyoal Polemik Posisi Wamen dan Solusinya

Menyoal Polemik Posisi Wamen dan Solusinya

Jum'at, 8 Juni 2012 14:09 wib
OKEZONE.COM

BERBAGAI kontroversi mewarnai negeri ini sejak awal digulirkannya ide Wakil Menteri (Wamen) sampai ditetapkannya 20 orang wamen dalam kabinet Presiden SBY. Pasalnya, keberadaan wamen dianggap menguras anggaran Negara dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Dengan adanya wamen, maka menyedot uang Negara.

Bayangkan saja, fasilitas take home pay satu menteri saja sebesar Rp 619 juta setahun. Bagaimana kalau 20 wamen? tentunya lumayan besar. Harusnya ini dialokasikan untuk kebutuhan lain (Republika, 7/6/2012). Selain itu, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri. Maka, tidak heran jika muncul kontroversi di negeri ini.

Sebelumnya, banyak gugatan dilakukan, seperti Yusril Ihza Mahendra yang menggugat jabatan wamen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berharap jabatan wamen ditiadakan dari pemerintahan. Logika menolak wamen didasarkan bahwa posisi itu akan menghamburkan uang Negara.

Hal ini juga diungkapkan Gerakan Nasional Anti Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), mereka menilai jabatan wamen memboroskan uang negara. (VIVAnews, 5/6/2012). Sebelumnya, GN-PK sudah menggugat MK, mereka menilai Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Jabatan itu tidak diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur masalah kementerian negara.
Polemik

Ada beberapa kalangan yang setuju dan menolak jabatan wamen. Alasan mereka juga berbeda dan sama-sama kuat. Di sisi lain berpendapat, bahwa putusan MK itu mengakui dan menegaskan pengangakatan menteri atau wamen merupakan hak konstitusional Presiden. Jadi, jabatan menteri dan wamen adalah konstitusional serta sesuai dengan UUD 1945. Dengan adanya putusan MK itu, sama sekali tak bisa ditafsirkan bahwa jabatan wamen menjadi tidak sah, atau batal demi hukum.

Dengan begitu, pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Maka, hal ini dinilai sah dan berlaku, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dipersoalkan pada putusan MK adalah aspek implementasi dari kewenangan Presiden dalam mengangkat wamen. Sebab, pada prakteknya, ternyata Presiden mengangkat wamen bukan hanya dari kalangan pejabat karir atau PNS. Padahal, penjelasan pasal 10 UU tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”

Menurut putusan MK, justru penjelasan Pasal 10 itu menimbulkan masalah hukum, sekaligus membatasi kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangkat menteri atau wamen. Penjelasan pasal 10 membatasi kategori posisi wamen yang hanya bisa diduduki pejabat karir. Menurut putusan MK lagi, seharusnya kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangat menteri ataupun wamen tidak boleh dibatasi. Menteri atau wamen bisa dari pejabat karir atau PNS, namun bisa juga dari kalangan non pejabat karir, bahkan bisa dari kalangan warga biasa, kalau dinilai memenuhi kualifikasi jabatan tersebut. Namun, meskipun demikian, problem ini semakin berbelit dan menuai polemik.

Terlepas dari polemik itu, sebelumnya Rusman Heryawan juga rela bila ia tidak menjadi wamen. Begitu pula Deny Indrayana sempat berkelakar tentang apapun keputusan MK, ia siap menerimanya melalui plesetan lagu Bob Marley “No Woman No Cry” menjadi “No Wamen No Cry”. Secara tidak langsung, Denny tidak membutuhkan posisi wamen, artinya ia menyerahkan semua itu kepada putusan MK.

Maka dari itu, problem ini harus segara diselesaikan. Artinya, pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini dengan langkah strategis. Logikanya, setiap pengambilan keputusan baik yang dilakukan Presiden atau MK harus selaras dengan konstitusi dan UUD 1945. Jika inkonstitusinal, maka segala keputusan harus ditolak.

Kembali ke Konstitusi
Pada dasarnya, jabatan wamen sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara adalah konstitusional, sah, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah adalah penjelasan pasal 10 yang bertuliskan, "Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet."

Kalau kemudian presiden tetap mengangkat wamen kembali, berarti hal itu inkonstitusional. Dengan demikian, posisi wamen harus segera dikaji ulang. Selain itu, Presiden harus tetap menghormati dan mentaati putusan MK. Sebagai kebijakan dan langkah-langkah konkrit berikutnya, tentu a Presiden akan menyesuaikan berbagai Keputusan Presiden tentang pengangkatan para wamen dengan putusan MK itu.

Konsekuensi lain dari putusan itu, pemerintah harus mengubah Keppres wamen, sehingga kewenangan eksklusif Presiden dalam hal pengangkatan pembantu menteri itu bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dengan putusan MK itu, Presiden juga bisa mengangkat wamen dari berbagai kelompok, seperti profesional, partisan, dan nonpartisan. Wallahu a’lam bissawab.

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Mencermati Pilihan Politik Tere

Jeffrie Geovanie

Mencermati Pilihan Politik Tere

Senin, 11 Juni 2012 08:30 wib
Theresia Ebenna Ezeria Pardede yang popular dipanggil Tere mengambil pilihan politik yang mungkin menurut banyak kalangan tergolong  muskil. Pada saat para koleganya begitu kukuh mempertahankan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) walaupun sudah berstatus tersangka dan bahkan sudah menjalani penahanan, Tere malah dengan suka rela mundur dari DPR.

Di permukaan, alasan yang dikemukakan adalah untuk berkonsentrasi mengurus  ayahnya, Tombang Mulia Pardede, yang sakit jantung, dan untuk menyelesaikan kuliah S-2 Komunikasi Politik di Universitas Indonesia. Dua alasan ini secara faktual benar adanya. Tapi adakah alasan lain selain mengurus sang ayah dan melanjutkan studi?

Sepengetahuan saya, Tere merupakan sosok anggota DPR yang baik dan konsisten dalam menjalankan tugas, selalu berjalan lurus di atas rel yang digariskan. Secara pribadi saya tidak akrab dengan Tere, tapi dari beberapa pertemuan dan pernyataan-pernyataannya dalam sidang-sidang DPR –yang tak selalu diliput media—tampak dengan jelas kegelisahan jiwa dan ketajaman pikirannya.

Di sebuah media ibu kota, Tere yang lahir di Jakarta, 2 September 1979, mengungkapkan bahwa keputusannya untuk mundur dari DPR dan Partai Demokrat merupakan bagian dari kecintaannya kepada negeri ini. Artinya, ada obsesi besar di balik pengunduran dirinya, yakni bagaimana menjadikan Indonesia yang lebih baik.

Ada kesan paradoksal dari pernyataannya itu. Seharusnya, jika benar menyintai Indonesia, ia pertahankan jabatan DPR untuk terus ikut berkiprah memperbaiki sistem  agar semuanya berjalan sesuai yang dicita-citakan. Karena di DPR lah semua komponen sistem politik dirancang dan diputuskan.

Tapi, yang ditempuh Tere justru sebaliknya, ia menyintai Indonesia dengan mengundurkan diri dari DPR. Ini benar-benar menjadi tamparan buat DPR. Ada pesan yang kuat bahwa DPR bukan tempat yang baik untuk mengekspresikan kecintaan pada Indonesia. Karena logika inversinya berarti, jika ia tetap bertahan sebagai anggota DPR berarti ia tidak menyintai Indonesia.

Sudah sedemikian burukkah citra DPR? Dari yang tampak di permukaan bisa jadi benar. Banyaknya anggota DPR yang terjerat korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa segala modus korupsi ada dan dilakukan oleh anggota DPR. Bagi seorang idealis seperti Tere, kondisi semacam ini pasti akan menggelisahkan. Membuat jiwanya tidak tenang.  Maka benarlah apa kata Arvan Pradiansyah, penulis buku best-seller The 7 Laws of Happines, “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi” (Bandung, Mizan: 2009).

Setidaknya ada tujuh komponen yang menurut Arvan menjauhkan politik dari kebahagiaan:  Pertama dalam kebahagiaan ada patience (kesabaran) dan fokus pada proses, sedangkan dalam politik butuh kerja instan dan fokus pada hasil. Kedua, dalam kebahagiaan ada gratefulness (syukur), sedangkan dalam politik kita tak bisa cepat puas. Ketiga, dalam kebahagiaan ada kesederhanaan, dalam politik semua menjadi rumit. Keempat, dalam kebahagiaan ada love (cinta), dalam politik ada kepentingan. Kelima, dalam kebahagiaan ada giving (memberi), dalam politik selalu ingin mendapatkan. Keenam, dalam kebahagiaan ada forgiving (memaafkan), dalam politik justru berkembang upaya balas dendam. Ketujuh, dalam kebahagiaan ada perasaan berserah diri (surrender) tapi dalam politik justru selalu meminta kepada Tuhan.

Realitas politik seperti itulah yang tampaknya membuat Tere galau. Begitu banyak kejadian yang bertolak belakang dengan cita-cita politiknya. Ia ingin sekali memperbaiki keadaan, tapi yang terjadi justru ia harus lebih banyak berkompromi dan tahu diri. Ia sadar bahwa seorang anggota DPR hanyalah semacam “pion” yang tak mampu berbuat apa-apa karena semuanya diputuskan melalui kesepakatan bersama, atau atas keinginan pimpinan partai yang tak selamanya sesuai dengan idealismenya.

Maka bagi Tere, politik bagaikan barang najis yang harus dijauhi. Ia tak hanya mundur dari DPR, tapi benar-benar menjatuhkan talak tiga dengan partai politik. “Saya  ingin menjadi masyarakat madani, di mana kata John Lennon (dalam lagu “Imagine”), partai politik tak perlu ada,” katanya.

Kita apresiasi jalan politik yang ditempuh Tere. Tapi saya yakin, pilihan eskapisme semacam ini bukanlah jalan yang terbaik. Menurut saya, jika kita ingin memperbaiki keadaan, keterlibatan secara langsung merupakan keniscayaan.  Karena dalam politik, kebaikan tidak akan datang dengan sendirinya. Kebaikan harus direbut dan diperjuangkan.

Dalam politik, kebaikan itu bisa diekspresikan  dalam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam demokrasi ada sarana, proses, dan tujuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Partai politik adalah sarana. Dinamika yang terjadi di DPR adalah proses untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena ketiganya merupakan satu kesatuan maka kita tak bisa meninggalkan satu atau dua komponen dari ketiganya, misalnya dengan memotong kompas menuju cita-cita tanpa melalui sarana dan prosesnya. Itulah mengapa partai politik disebut sebagai pilar demokrasi.  Tanpa pilar, bangunan demokrasi akan runtuh.

Karena partai politik merupakan keniscayaan dalam proses demokratisasi maka jika kita merasa tidak nyaman dengan partai politik tertentu, bukan berarti kita meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan partai politik. Yang seyogianya kita lakukan adalah mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang kita perjuangkan.

Jalan inilah yang baru-baru ini saya tempuh, mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang saya perjuangkan. Jadi kemunduran saya dari DPR hanyalah konsekuensi dari pilihan politik yang saya tempuh itu, bukan berarti saya menjauh atau meninggalkan partai politik. Karena sekali lagi, partai politik  adalah sarana yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses meraih tujuan.

Menurut saya, Indonesia yang baik membutuhkan pemerintah dan DPR yang baik, yang ditopang oleh partai politik yang baik. Partai politik yang baik membutuhkan orang-orang baik. Maka saya sangat menyayangkan langkah Tere, atau orang-orang baik lainnya –seperti Soetrisno Bachir-- yang keluar (bahkan terkesan antipati) pada partai politik.

Jika orang-orang baik terus bertahan, saya masih punya harapan, partai politik akan semakin membaik. Dan dengan membaiknya partai politik ada harapan besar, sistem politik yang  berjalan di negara ini pun semakin membaik.

Jeffrie Geovanie
Politisi Partai NasDem

Langkah Antisipatif Memberantas Korupsi

Zainurur rudin

Langkah Antisipatif Memberantas Korupsi

Kamis, 14 Juni 2012 10:18 wib
OKEZONE.COM

Korupsi dan koloninya tak henti-hentinya menjarah keuangan Negara. Terungkap yang satu, muncul lagi yang lainnya. Bagaikan pohon pisang yang belum berbuah, jika ditebang akan muncul tunasnya lagi.

Entah sudah berapa juta triliun uang rakyat yang habis dikorupsi oleh koruptor dan koloninya. Sehingga berdampak dengan pembangunan Negara yang lamban dan kehidupan masyarakat jauh dari kata sejahtera. Harus bagaimana cara bangsa/Negara ini mengatasi dan memberantasnya. Beberapa lembaga sudah terbentuk, dari yang dibentuk oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sipil. Namun tidak bisa membendung lajunya para penjahat, penjilat uang rakyat ini beraksi. Dari lembaga Negara yang dibentuk, itu juga sangat menyedot penggunaan uang rakyat. Mulai dari komisi, pansus, dan lain-lainya. Bayangkan saja untuk kasus century saja. Miliaran rupiah yang digunakan. Namun hasilnya sangat-sangat dipertanyakan sampai sekarang. Belum lagi pembentukan pansus-pansus yang lainnya.

Korupsi dan politik uang tak henti-hentinya mengrogoti Negara kita  bagaikan bom waktu yang sesekali meletus meghancurkan negra ini. Sekali dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, maka butuh waktu dan uang yang besar untuk mengungkap dan menangkap pelakunya. Bahkan uang yang digunakan untuk menangkap atau mengungkap kasus korupsi lebih besar dari uang yang dikorupsi oleh koruptor. Jika proses yang dilakukan benar dan berhasil, maka bisa menjadi bahan pertimbangan oleh masyarakat dan semua pihak. Namun jika proses yang dilakukan berhenti di tengah jalan tanpa hasil, alangkah sayangnya uang yang sudah habis untuk menjalankan proses itu.

Alangkah sayangnya uang Negara ini yang yang hakikatnya adalah uang rakyat dan harus digunakan untuk mensejahtrakan kehidupan rakyat, malah digunakan untuk membayar para orang hebat Negara ini duduk di kursi empuk dan berbasa basi seakan serius mambahas kasus-kasus korupsi. Sedangkan setelah itu tenggelam tanpa ada hasil yang bisa dipertanggung jawabkan. Salah satu ya kasus Bank Century.

Sungguh luar biasa dampak dari korupsi dan politik uang yang semakin lama semakin menjadi bahkan sudah menjadi ruh bgi pejabat-pejbat kita . Banyak hal yang menjadi korban.walau bagaimanapun keberhasilan para penegak hukum, para badan/ lembaga Negara yang menangani korupsi, namun tidak bisa menghilangkan koruspsi. Bahkan seakan-akan makin merajalela. Sudah banyak orang berhasil diugkap dan ditangkap, namun besok lusanya ada lagi berita tentang adanya korupsi. Sungguh capek, letih melihat semua ini.

Jadi, bagaimana caranya memberantas korupsi yang tiada hentinya ini. Dari segi hukum, Negara sudah memiliki hukum yang berfungsi menangkap, menyelidiki, mengadili dan memenjarakan para koruptor. Dari segi agama, setiap agama yang ada sangat tidak menganjurkan bagi

Siapa yang bertanggungjawab?


Beranjak dari perilkau korupsi semakin merajalela, maka penting untuk bangsa ini agar terus melakukan evaluasi dan pembelajaran secara terus menerus pada pola dan sistem perekrutan keanggotaan KPK. Mungkin lebih tepatnya, tugas ini merupakan juga milik sejumlah partai politik yang ada agar tidak sembarangan menempatkan kader-kadernya untuk duduk di parlemen. Hal tersebut merupakan langkah antisipatif, mengingat kejadian tersebut di atas dimungkinkan tidak dengan serta merta muncul pada saat itu saja. Bisa jadi tindakan tersebut merupakan salah satu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh salah seorang kader partai, maka individu semacam ini tentu tidak boleh dipasang sebagai kader yang duduk di kursi parlemen.

Apabila kita tilik pada kasus yang terjadi dari kasus century dan kasus Gayus semua orang bingung siapa yang mau disalahkan dan siap yangg harus bertanggung jawab apakah KPK bisa  menangkap siapa yang memakan begitu banyak uang miliyaran bahkan triliunan bahkan kasus yang sudah berbulan-bulan tentag kasus Nazaruddin dan kawan –kawan belum usai namun  dengan politik ynag begitu rapid an tertata kasus ini hilang bhakan tenggelam dengan ksaus lapindo terus bagimana para pejabat dan para wakil rakyat menanggapi ini kok seakan-akan semua orang terdiam dan tidak mau tahu tentang suatu hal ini.

Pada sudut pandang yang lain, uang memang adalah penguasa tak terbantahkan dalam kehidupan, terutama bagi para penganut materealisme sejati. Dengan uang seseorang bisa membeli apa saja, termasuk di dalamnya adalah pemenuhan kegiatan korupsi. Sejatinya hal tersebut merupakan tindakan di atas kewajaran (amoral). Deskripsi ini jika dikorelasikan pada Prilaku partai demokrat tersebut di atas, maka bisa diterka bahwa anggota Partai demokrat yang bersangkutan sejatinya mengidap penyakit berbahaya yang bernama materelisme. Dari uraian diatas Ada beberapa  hal yang mungkin bisa dijadikan cara untuk langkah antisipatitif  memberantas korupsi dan kejahatan lainnya. Pertama; dari segi hukum. Melihat bagaimana hukum sekarang ini berjalan memang sangat tidak adil. Di mana ganjaran bagi para koruptor kelas kakap masih ringan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Andai hukuman bagi para koruptor lebih berat dari hukuman bagi masyarakat biasa yang mencuri ayam, dan bahkan lebih berat dari hukumam kasus pembunuhan, para koruptor akan berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Yang pastinya juga koruptor tersebut harus mengembalikan jumlah uang yang dikorupsinya. Intinya, hukuman bagi koruptor lebih berat, lebih sakit dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya. Karena yang menerima danpaknya bukan cuma satu dua orang. Tapi masyarakat dan Negara.

Kedua; Pastinya adalah agama. Di mana setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kebaikan dan melarang melakukan kejahatan. Namun pendidikan agama sekarang ini sudah sangat kuruang. Kita menemukan pendidikan tentang agama secara intens hanya pada pesentren, madrasah, atau yang sejenisnya di agama lain. Di jenjang pendidikan yang umum, juga sangat jauh sekali. Di tingkat Sekoah Dasar sampai Sekolah Menengah Utama, pelajaran agama hanya ada di bidang studi pendididikan agama. Dan itu hanya seminggu sekali. Sedangkan di perguruan tinggi hanya ada mata kuliah Agama. Dan itu hanya ditemui di satu semester saja dengan beberapa kali pertemuan saja. Pastinya itu tidak akan cukup. Jika melihat perkembangan jaman yang semakin pesat. Jika pendidikan agam lebih diperbanyak dan secara kontinyu, pastinya akan memberikan danpak yang cukup baik untuk menjadikan manusia menjadi lebih baik. Baik dari segi pengetahuan umum, maupun pengetahuan agama.

Ketiga; larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah bila kita  menilik ke  zaman Nabi Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’). Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Wallahu A’lam bisshawab.
 
Zainurur rudin
Alumnus TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura

(//mbs)

Mengukur Validitas Presiden Polling



Mengukur Validitas Presiden Polling

Dina Kusumaningrum
Selasa, 21 Februari 2012 - 16:41 wib
OKEZONE.COM


PEMILU 2014 masih menyisakan tiga tahun lagi, namun ‘perang survei’ sudah dimulai. Ramai-ramai lembaga survei unjuk kebolehan menentukan siapa jagoan yang akan memimpin negara ini di masa mendatang. 

Tentu, bukan karena pendapat pribadi atau menebak-nebak atas dasar suka dan kebencian. Calon presiden pilihan adalah keinginan rakyat yang dirajut berdasarkan hasil polling lembaga survei.

Polling yang dilakukan bukan tanpa alasan. Adalah fakta dan realistis, jelang pemilu dan diikuti pilpres, menjadikan polling ini sebagai barometer keberhasilan partai politik dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014.

Namun, polling yang dilakukan bukan juga untuk membuat publik terjebak. Keabsahan, kebenaran dan independensi sebuah lembaga survei harus menjadi perhatian.

Apalagi, sudah menjadi rahasia umum kalau ada survei yang berdasarkan pesanan. Akibatnya cenderung mengakomodir kepentingan dan keinginan pihak pemesan.

Makanya, tidak heran bila hasil lembaga survei satu dan lainnya bervariasi. Bila hasil polling positif akan diterima dengan senang hati oleh sebagian kalangan. Sebaliknya bila itu negatif, bisa saja akan ada polling tandingan yang dilakukan sebagai bahan masukan dan pelajaran.

Belum lama ini, Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) mengeluarkan survei mengejutkan.

Nama Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri melambung tinggi. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, masih dianggap sebagai figur yang paling dikenal masyarakat dibandingkan tokoh politik lainnya dengan meraup sekira 91,6 persen.

Bahkan, bila pemilu digelar saat ini, CSIS berpendapat, Megawati adalah pemenang pemilihan presiden kali ini. 

Berbeda ketika Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Kuskridho Ambardi, pada Januari 2012 merilis survei tokoh yang layak maju di capres 2014. 

Nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menempati angka tertinggi sebagai tokoh yang layak untuk memimpin negara, yakni sebanyak 45 persen, kendati SBY tidak memiliki kesempatan kembali untuk mencalonkan diri di pemilu 2014.

CSIS juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai paling banyak mendapat dukungan masyarakat, meskipun dukungannya merosot 8,25 persen, urutan kedua ditempat Partai Golkar. 

Sementara survei LSI menunjukkan Partai Golkar berada diurutan atas dengan perolehan 15,5 persen, menggeser posisi Demokrat 13,6 persen. Demokrat mengalami penurunan sebesar tujuh persen. 

Adalah lumrah ketika lembaga survei menghasilkan analisa berbeda. Dengan perbedaan itu, apakah publik bisa menjadikan survei ini sebagai acuan? 
Tentu saja tidak 100 persen demikian, menurut Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J. Vermote, fenomena jelang pemilu ini biasa di Indonesia. 

Terlebih, saat ini Indonesia sedang memasuki era dinamisasi pendapat umum melalui polling yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik dan pengambilan keputusan bagi publik.

Harga Sesuai Pesanan Sehingga, upaya polling dengan melakukan berbagai cara guna menarik simpati publik kerap dilakukan. Termasuk survei pesanan yang dilakukan partai politik dan juga tokoh sebagai acuan untuk menentukan strategi pemenangan.

Bagi Philips, itu adalah biasa dan tidak ada masalah bila lembaga survei didanai parpol tertentu, sepanjang itu dilakukan dengan kaidah-kaidah statistik yang benar, didasarkan atas temuan ilmiah, metodologinya juga bisa dipertanggung jawabkan dan yang tak kalah penting independensinya.
 
Apalagi survei itu membutuhkan dana operasional tidak sedikit. “Ratusan juta pastinya”, kata Philips J. Vermote tanpa menyebut angka pasti, saat berbincang-bincang dengan okezone. 

Mantan Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny JA mengatakan, adanya lembaga survei yang bisa dipesan oleh sekelompok tertentu, itu tergantung trak record lembaganya. 

“Kalau baru muncul 3, 6 bulan, atau kemarin itu belum teruji dan sangat mungkin,” kata Denny kepada okezone beberapa waktu lalu.

Denny memang tidak menampik, saat ini ada banyak lembaga survei yang memiliki reputasi yang baik dan buruk, teruji dan belum teruji. Jadi tidak bisa diseragamkan.

Sementara, M. Qodari dari lembaga survei IndoBarometer juga tidak menampik, survei yang kerap dilakukannya tidak terlepas dari pesanan partai politik. Meski ada juga survei internal berdasarkan situasi kondisi terkini.

Untuk survei pesanan, M. Qodari memasang tarif beragam ada yang murah, juga mahal, itu tergantung dari situasi dan kondisi, wilayah, tingkat kesulitan juga faktor geografis. “Kalau perkotaan itu murah, tidak sampai ratusan juta, kalau nasional itu mahal hingga ratusan juta,” jelas M.Qodari.

Sementara, sumber okezone menyebut, survei yang pernah dilakukan pada 2009, untuk tingkat nasional biaya untuk satu kali survei Rp300-500juta, untuk lokal dan perkotaan Rp70-100 juta. “Tapi itu bisa ditawar-tawar lagi kok,” jelas sumber itu.

Gun Gun Heriyanto pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menegaskan, seharusnya survei yang diselenggarakan berbagai lembaga untuk mengukur popularitas seorang tokoh menjadi Capres harus mencerminkan realitas aspirasi publik. Survei Capres tak boleh berupa pesanan karena merusak demokrasi. 

“Namun, pada kenyataannya intevensi atau pesanan sangat mungkin, sebuah riset oleh pelembaga riset di Indonesia tidak independen, dan motif untuk melakukan sangat rasial untuk mengetes hasil suatu pesanan, yakni berupa metodologi representative dan hasil risetnya akal sistem,” kata Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute ini.

Lembaga Survei Menjamur
Belakangan banyak lembaga survei yang dinilai tidak transparan. Survei itu tidak memunculkan akuntabilitas data-data yang dihasilkan, seperti terang-terangan memberikan data mentahnya.

“Sepengatahuan saya, selama ini tidak ada lembaga  survei yang mau memberikan data mentahnya kepada masyarakat,” jelas Philips J. Vermote pengamat dari CSIS. 

Padahal menurutnya, data mentah itu penting dibuka untuk diketahui masyarakat. Dengan demikian, melalui data mentah itu, publik bisa melakukan kajian lagi dengan data yang sama dari hasil survei yang dilakukan.

Perlu dibukanya data mentah, juga untuk melakukan kebenaran, memperbaiki kemungkinan ada kesalahan-kesalahan metodologis. 

Sementara, lembaga survei itu sendiri menjamur pertama kali di Indonesia lepas pemerintahan orde baru. Demam survei mulai terasa saat reformasi bergulir. Waktu itu Pemilu 1999. 

Seperti yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dikutip situs resmi lsi.or.id dari opini Jurnal Nasional, waktu itu baru lima lembaga survei yang melakukan polling, yakni Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems (IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI. 

Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei yang memakai metodologi penelitian yang sahih.

Sukses di 1999, survei kembali marak menjelang pemilu 2004, meski ‘pemain’ masih sedikit. 

Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute (DRI) dll. 

Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai ‘pemenang’ terbukti akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.

Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif 2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya. 

Saat itu, LSI dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran Demokrat di antara 19-22%.

Berbeda jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan. 

Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai

Entri Populer