Selasa, 03 April 2012

Materi Kuliah Trias Politika

                                  Trias  Politika
Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si



Refleksi Memahami Trias Politika
Trias politika merupakan konsep (ada yang menyebutnya sebagai teori) dan bahkan yang lebih tepat ada yang menyebutnya sebagai sebuah doktrin. Doktrin bukan dalam arti politis tetapi dalam maknanya sebagai yurisprudence, hasil kinerja pemikiran dari para ilmuwan. Trias politika merupakan doktrin klasik yang aktual menjadi bahan galian sistem pemerintahan negara, baik dalam perspektif politik maupun hukum, khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Acuan klasik ini senantiasa berakhir atau tepatnya dimulai dengan penilaian terhadap kinerja dari sistem pemerintahan tertentu pada suatu negara. Dalam hubungan ini, dipermasalahkan kadar keterpengaruhan, tingkat penerapan, konsistensi terhadap doktrin awal atau permasalahan lain yang berhubungan dengan aplikasi dari doktrin trias politika pada sistem pemerintahan dimanapun, khususnya di Indonesia. Secara sederhana, dipermasalahkan apakah Indonesia ini sistem pemerintahannya didasarkan pada trias politika[1]?
 Di dalam hubungan dengan sistem pemerintahan negara yang didasarkan pada trias politika, yang dikemukakan oleh Montesquieu, harus didasari bahwa doktrin tersebut dicetuskan pada situasi dan kondisi yang berbeda dengan keadaan sekarang. Paling tidak, berbagai fenomena yang kemudian melahirkan doktrin itu diambil dari hasil proses kontempelasi pada situasi dan kondisi yang sangat berbeda dengan saat sekarang. Adalah hal yang tidak adil jika penerapan itu dilakukan serta merta dengan menafikan kenyataan dari latar belakang sosiokultural yang sangat berbeda dengan Indonesia apalagi saat sekarang.
Penafsiran trias politika dengan tidak meninggalkan peninjauan dan penafsiran yang lain seperti dalam perspektif filsafat, sosial, dan hukum, khususnya kelembagaan pengkajian mengenai sistem pemerintahan Indonesia dalam perspektif trias politika ini lebih bersifat komprehensif. Tentu berbagai penafsiran dimaksud tidak secara mendalam dan luas, namun sekurangnya dapat dijadikan sebagai motivasi dasar guna melakukan elaborasi terhadap permasalahan yang dijadikan sebagai bahan kajian dalam hal ini trias politika yang sampai saat sekarang masih menjadi icon dari sistem pembagian dan atau pemisahan kekuasaan dalam negara.
Untuk lebih memperjelas masalahnya, perlu dikemukakan tentang dan sekitar trias politika yang dapat dinyatakan sebagai doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan. Didalam perkembangannya ada yang menyebut dengan doktrin tentang pembagian kekuasaan. Baik pemisahan kekuasaan ataupun pembagian kekuasaan mempunyai argumentasi yang didasarkan pada kontekstualitas yang berbeda. Oleh karena itu yang diperlukan dalam hubungan ini bukan kebenaran atau ketidakbenaran akan tetapi pemahaman terhadap argumentasi yang dikemukakan baik yang mengartikan dengan pemisahan kekuasaan maupun yang mengartikan dengan pembagian kekuasaan.
Doktrin tentang trias politika, cikal bakalnya bukan dari Montesquei, yang kemudian dikenal sebagai penyempurna doktrin pemisahan kekuasaan tersebut. John Locke (1634-1704) yang mengemukakan untuk pertama kalinya, ide tentang pembagian kekuasaan yang diartikan secara manajerial dalam kaitan dengan keharusan untuk mengatur kekuasaan dalam negara agar tidak tumpang tindih. Konsep ini lebih merupakan kinerja Hukum Administrasi jika dibandingkan dengan Hukum Tata Negara.
Dasar dari pemikiran yang dikemukakan pada saat itu adalah dicegahnya kekuasaan yang terpusat pada satu tangan sebagai sebuah kekuasaan absolute yang pasti tidak memberikan perlindungan maksimal kepada rakyat dan kinerja negara tidak akan tertata dengan baik[2]. Sifat-sifat yang tidak memberikan kesempatan kepada kepemimpinan berdasarkan pilihan dari rakyat yang dipimpin merupakan kinerja kekuasaan yang tidak terlaksana dengan baik. Kecenderungan untuk bertindak secara tirani adalah kenyataan yang telah dibuktikan oleh sejarah masa lalu yang berkembang dalam jangka waktu lama.
John Locke sebagai pencetus pertama kali dalam wacana modern tentang pembagian kekuasaan pada dasarnya menolak pendapat bahwa kekuasaan itu sifatnya turun temurun. Hal demikian akan berkecenderungan untuk melaksanakan kekuasaan itu dengan tidak memerhatikan aspirasi atau kehendak rakyat. padahal apapun yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin di dalam negara harus berorientasi kepada upaya konkret untuk peningkatan kesejahteraan rakyat yang dapat dicermati berdasarkan kehendak atau aspirasi tersebut. Untuk itulah kekuasaan di dalam negara perlu dan bahkan harus dibagi. Pembagian sebagaimana dimaksudkan oleh John Locke dikonsepsikan tiga kekuasaan :
1.     Kekuasaan Legislatif yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan Undang-Undang sebagai produk hukum yang harus dijadikan pegangan oleh semua elemen di dalam negara.
2.    Kekuasaan Eksekutif, ialah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan dan Undang-Undang, termasuk di dalamnya kekuasaan untuk mengadili pelanggar terhadap undang-undang
3.    Kekuasaan Federatif ialah seluruh kekuasaan yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan di dalam negara, terutama sekali dalam hubungannya dengan upaya pertahanan dari kejahatan negara lain.
John Locke mengemukakan pembagian atas tiga kekuasaan tersebut, sebagaimana didalam bukunya “Two Treatises on Civil Government” yang kemudian menjadi buku utama dalam rujukan pembagian kekuasaan pada generasi berikutnya. Buku ini pula yang dijadikan sebagai dasar rujukan dari ahli yang memberikan penjelasan riil tentang bagaimana kekuasaan di dalam negara itu harus dibagi untuk mencegah abolutisme. Pemikiran ini tidak semata dalam perspektif kekuasaan, namun sesuai dengan keahliannya lebih dimaknai sebagai kajian filsafat, bahkan dengan pendidikan.
Pada dasarnya didalam perspektif ini John Locke lebih menginginkan pembagian kekuasaan tersebut dalam arti sebagai sebuah konsistensi atas perlindungan terhadap hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Ia dapat dikatakan sebagai orang pertama yang secara sistematis memisahkan kekuasaan di dalam negara.  Kesimpuan demikian bisa dinyatakan dengan mengingat bahwa proses untuk sampai kepada ide tersebut secara praktis lebih didominasi oleh ide-ide tentang aliran empirisme dalam menganalisis kekuasaan negara. Sementara aspek manajerial dalam maknanya sebagai sebuah perspektif untuk mencermati kekuasaan secara lebih mendalam belum dilakukan oleh para ahli pada waktu itu.
Sekitar lima puluh tahun kemudian, Montesquieu menuslis sebuah buku ‘De I’ Espirit des Lois (Semangat Hukum), yang membawa namanya dikenal setiap pembicaraan mengenai pemisahan kekuasaan di dalam negara. Kontekstualitas idealism yang dikemukakan Montesquieu tidak semata dalam perspektif pembagian kekuasaan tetapi lebih tegasnya lagi yakni di dalam pemisahan kekuasaan dalam negara. Montesqueiu mencetuskan trias politika yang tidak semata-mata membagi-bagi kekuasaan di dalam negara, tetapi pada waktu yang bersamaan ia menyampaikan ide lebih tegas yakni memisahkan kekuasaan di dalam negara itu secara riil menjadi tiga bagian dengan otoritas masing-masing. Ketiga kekuasaan yang dimaksud oleh Montesquieu itu berkesetaraan, dalam arti tidak ada kekuasaan yang bersifat subordinat antara satu kekuasaan dengan kekuasaan lain. Kekuasaan yang dimaksud adalah :
1.     Kekuasaan Legislatif, sebagai Pembuat Undang-Undnag yang nantinya dijadikan sebagai patokan untuk berinteraksi baik secara kelembagaan maupun individual di dalam negara
2.    Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana UU yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan penerapan UU tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakan
3.    Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar untuk menegakkan UU serta mengadili pelanggaran UU dengan segala konsekuensinya.
Penekanan pemisahan kekuasaan ini pada lembaga Yudikatif, sebagai cerminan kebebasan HAM dan Kemerdekaan individu. Dengan begitu mengedepankan proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi dan senantiasa berorientasi kepada terwujudnya keadilan, ketika terjadi konflik di dalam masyarakat yang memerlukan penyelesaian atas dasar hukum.
Jika kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam satu tangan, atau pada satu badan tidak akan mungkin tercapai kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Soalnya yang membuat UU nantinya juga sebagai pelaksana. Oleh karena itu tentu menjadi pilihan adalah UU yang sekira dapat dilaksanakan dalam arti sesuai dengan selera pembuatnya, akibatnya dipastikan mengenyampingkan aspek-aspek yang berhubungan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai idealisme keberadaan negara. Begitupula jika Yudikatif yang tidak dipisahkan dengan Legislatif dan Eksekutif, dipastikan kehidupan rakyat akan dikuasai angkara murka, sebab yang mengadili adalah juga yang membuat peraturan atau yang melaksanakan peraturan.


[1] Misalnya dalam kerangka UU No.19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan yang didasarkan pada trias politika. Hal ini dijadikan sebagai legalitas terhadap campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudikatif, di bawah klausa bahwa pemerintah dapat ikut campur dalam urusan peradilan jika keadaan mendesak. Bagaimana keadaan mendesak pada kenyataannya dipakai tafsir politis.
[2] Kekuasaan paling klasik dalam wacana kehidupan bernegara yang dikenal adalah absolute di bawah kepemimpinan seorang raja sebagai proses panjang atas perebutan kekuasaan dalam negara. Yang memulai proses evolutif kekuasaan di dalam negara khususnya yang menjadi tonggak kekuasaan pada abad XIX di Eropa.

0 komentar:

Entri Populer