Pemilukada : Suara Rakyat atau Elit-Elit Parpol ?
Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP.,M.Si
Berbicara
pesta politik lokal pada pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilukada
secara langsung, yang terbesit dalam dibenak kita dan angan-angan rakyat
Indonesia, adalah terjadinya proses demokratisasi secara substansial bukan
demokrasi prosedural. Pilkada langsung diyakini sebagai mekanisme pemilihan
yang lebih memberikan harapan, dibandingkan dengan penyelenggarakan pemilihan
kepala daerah era sebelumnya. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap
sebagai demokrasi semu (pseudo democracy),
rakyat sama sekali tidak memiliki kedaulatan untuk menentukan pemimpin publik
di daerahnya sendiri. Ternyata di dalam lembaga terhormat tersebut (DPRD),
sarat dengan praktek politik uang (money
politics) atau politik “dagang sapi”. Jelas sangat mencederai demokrasi dan
tidak mendidik politik rakyat secara benar.
Pilkada langsung diyakini
memberi secercah harapan bagi demokratisasi dan pendidikan politik rakyat
Indonesia, karena akan memutus mata rantai praktek money politics di DPRD. Melalui Pilkada langsung kedaulatan
dikembalikan lagi ke tangan rakyat, vox
populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) bukan vox elite vox dei (suara elit suara Tuhan). Rakyat dengan hak pilihnya
bebas menentukan figur yang akan menjadi kepala daerah baik sebagai bupati,
walikota maupun gubernur yang berkualitas, aspiratif, bertanggungjawab serta
mempunyai legitimasi yang kuat di mata rakyat.
Namun demikian, harapan besar yang
dibebankan pada pilkada langsung bukan berarti right politics dan demokrasi di Indonesia berjalan sempurna, jika
mengacu pendapat Schumpeter bahwa penyelenggaraan pemilu bisa dikatakan sudah
menjalankan atau memasuki era demokrasi
di suatu negara. Pendapat Schumpeter ini bisa dikatakan sebagai demokrasi
minimalis, karena hanya sebatas pada pemilu. Realitasnya “ritual politik”
tersebut tidak mampu mengeliminasi penyimpangan pada model pemilihan kepala
daerah yang lama. Berbagai penelitian dan kajian mengenai pilkada langsung yang
telah diselenggarakan sejak tahun 2005 diberbagai daerah menunjukkan sisi gelap
(Mieztner 2005 dan Ufen 2006). Setidaknya dalam tulisan ini ada dua hal yang
mendasar yang akan ditelaah, yakni politik uang dan budaya elitisme sebagai permasalahan
yang telah mencederai proses pilkada langsung ini. Polemik pada pemilukada
mungkin bisa dijadikan pelajaran untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik,
namun jika permasalahan tersebut tidak bisa diperbaiki, malah menyimpan “bom waktu” atau bahaya laten yang dapat
mencederai reformasi politik, yang diperebutkan dengan darah dan air mata
rakyat dari tangan penguasa Orde Baru.
Semua permasalahan krusial sebenarnya masih
bermuara di tangan partai politik (parpol), mereka menganggap reformasi politik,
demokratisasi, suara rakyat,pemimpin yang berkualitas dan aspiratif hanya
sebagai jargon politik atau retorika
belaka. Parpol efektif hanya untuk membariskan orang yang haus kursi kekuasaan
dan kekayaan, mereka gagal memaknai reformasi. Bisa dipastikan pemilukada atau
politik Indonesia pasca reformasi merupakan politiknya partai-partai politik. Terlebih
lagi parpol sering terjebak memperparah krisis tersebut dengan konflik-konflik
internal di antara mereka yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mengacu UU No. 32 tahun 2004 dalam penyelenggaraan
kekuasaan politik partai di daerah, telah memberikan kedudukan dan posisi yang
istimewa kepada parpol sebagai mesin politik utama menuju kekuasaan di daerah.
Berdasarkan undang-undang tersebut, parpol atau gabungan parpol adalah
satu-satunya kendaraan politik yang sah untuk maju dalam pilkada. Meski terbukanya
pencalonan kepala daerah independen, namun realitasnya hanya sebagian kecil
calon pemimpin independen yang menang melalui pemilukada, sebagian besar
pemimpin yang menang melalui mesin politik parpol.
Bukan rahasia umum memang terjadinya transaksi
ekonomi dan politik antara parpol dengan pasangan calon kepala daerah. Parpol
memasang tawaran harga tertinggi bagi siapapun yang berminat menjadi calonnya,
sehingga seleksi atas kandidat yang dilakukan parpol kemudian tidak lagi
didasarkan atas kualitas sang kandidat namun lebih ditentukan oleh seberapa
banyak pundit-pundi harta yang dimiliki kandidat atau calon elit politik yang ingin
memasuki tampuk kekuasaan.
Terkait pola
pembentukan koalisi dalam pilkada hanya melihat sebagai pertimbangan kemenangan
pemilu, tidak lagi mempertimbangkan latar belakang sejarah dan ideologi.
Koalisi antar kekuatan politik yang berseberangan secara diametral, mungkin
pada masa lalu tidak bisa terbayangkan. Akan tetapi dalam event (penyelenggaraan) pilkada langsung ini menjadi tidak
mustahil. Pertimbangan yang diambil di dalam event pilkada oleh kandidat, partai dan pemilih bukan lagi
berdasarkan atas loyalitas jangka panjang dalam bingkai lingkungan sosial yang
spesifik, namun lebih pada pertimbangan-pertimbangan pragmatis.
Pragmatisme
inilah yang bisa dijadikan sebagai variabel penjelas fenomena maraknya politik
uang. Sementara pada tingkatan pemilih pragmatisme lebih banyak memperlihatkan
kecenderungan yang positif, meskipun pilihan mereka terbatas, para pemilih
secara umum mengambil keputusan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang
dan bertanggungjawab. Hal ini dibuktikan oleh kecenderungan pemilih untuk
menghukum kandidat incumbent yang
memiliki kinerja buruk, dengan tidak memilihnya lagi dalam pilkada, serta
penolakan pemilih atas kandidat yang mengusung sentiment keagamaan dan etnis
secara ekslusif.
Berdasarkan kajian politik yang bisa
dijadikan cerminan bahwa transaksi politik tersebut bukan rahasia publik lagi, ketika penelitian mengungkap sejumlah
kandidat dalam pilkada tingkat kabupaten dan kota Jawa Tengah, ongkos politik
rata-rata yang mesti dikeluarkan setiap calon sangatlah tinggi sekitar 8 miliar
rupiah (Amiruddin dan A. Zaini Bisri, 2006). Tak heran jika dikatakan Andreas
Ufen (2006) seorang Indonesianis dari Jerman, kemudian dia menyimpulkan “the institution direct election at these
levels did not erase money politics but transferred it” .
Sebagai gambaran di atas telah menuntut
kandidat atau calon pemimpin daerah, bukan hanya mampu mengalokasikan dana bagi
kegiatan kampanyenya, namun juga harus mampu menyediakan sejumlah besar uang
yang mesti diserahkan kepada parpol atau gabungan parpol yang mencalonkannya
sebagai upeti kepada ketua umum partai di tingkat pusat. Hal ini tentu tidak
bisa dipungkiri ketika pemimpin itu menang pemilukada, yang terjadi bukan
memikirkan kebijakan yang mensejahterakan rakyatnya, tapi memikirkan untuk
mengeruk kekayaan dengan korupsi, agar modal yang sudah dikeluarkan untuk
memenangkan pemilukada segera kembali. Sehingga tidak salah jika pendapat Lord
Acton dalam dunia politik praktis, “power
attend to corrupt, absolute power attend to corrupt absolutely” (kekuasaan
punya kecenderungan untuk menindas dan korupsi, dan kekuasaan absolut sudah
pasti akan cenderung untuk menindas dan kian korup).
Keharusan kandidat pemimpin politik
dinominasikan oleh parpol telah membatasi hak politik rakyat dalam pilkada,
bahkan nilai-nilai demokrasi secara substansial hilang oleh kekuatan dan
kepentingan elit-elit parpol. Hak rakyat hanyalah sebatas pada penggunaan hak
pilih atas kandidat-kandidat yang telah ditentukan oleh parpol, atau sering
kita sebutkan dengan demokrasi minimalis tersebut. Rakyat masih sangat minim atau
kurangnya “melek politik” dalam mengajukan
kandidat tanpa melalui parpol, atau sekarang disebut dengan calon independen.
Meski pada dasarnya sudah diatur dalam perundang-undangan, namun kekuatan parpol
masih begitu dominan dalam sistem politik di Indonesia, untuk menentukan calon
kepala daerah. Akibatnya pilkada langsung ini bisa digaris bawahi menjadi
sangat elitis. Artinya ritual politik (pemilu) hanya permainan perebutan
kekuasaan antar parpol atau elit dalam parpol itu sendiri, bukan ritual suara
rakyat dalam mencari sosok pemimpin kepala daerah yang ideal.
Sebagaimana terbukti dari fenomena money politics yang kini masih
berlangsung dalam pemilihan kepala daerah. Hanya orang-orang kuat yang
notabenenya memiliki daya finansial besar atau yang didanai oleh mereka, yang
akan mampu mencalonkan diri dalam pilkada. Sementara orang-orang yang memiliki kompetensi
dan berkualitas, namun tidak cukup “amunisi” dana atau ekonomi yang kuat akan
tersingkir dengan sendirinya, sebelum sampai panggung pemilihan kepala daerah
dimulai. Jika sekarang patokan dasarnya adalah finansial atau materialisme
untuk “membeli” kekuasaan politik. Dipastikan mayoritas kandidat yang muncul hanya
elit-elit yang masih memiliki kaitan rezim lama sebelumnya. Kemudian menjadikan
lembaga pemerintahan layaknya lembaga swasta (perusahaan), bukan melayani
kepentingan publik tapi mencari atau mengeruk kekayaan sebesar-besarnya.
Money politics juga bisa dipahami
sebagai persoalan survival (bertahan
hidup), apapun metodenya asal tetap bisa digunakan untuk mempertahankan dominasi,
atas kepentingan-kepentingan ekonomi politik elit-elit lama sebagaimana
penguasa tradisonal Jawa, membeli loyalitas para bawahannya utnuk mengamankan
kekuasaan.
Ada
juga hal yang menarik tidak selamanya kelompok yang memiliki modal (dana) besar,
terjun langsung sebagai kandidat. Kelompok ini berupaya “bermain” dalam pilkada
dengan memberikan dukungan finansial terhadap kandidat. Disinilah peluang untuk
mempertahankan dominasi ekonomi politik elit tetap terbuka lebar melalui
transaksi dengan para kandidat yang sangat membutuhkan dana untuk memenangkan
pilkada. Sebagai konsekuensinya, pasca pilkada kepala daerah dan wakilnya yang
terpilih mau tidak mau menjadi “political
hostage” (tawanan politik) para elit parpol yang mendukungnya. Hal-hal
inilah yang memunculkan fenomena yang disebut pemerintah bayangan atau Shadow Goverment, pemerintah ini yang
mengatur kebijakan pimpinan daerah agar selalu sesuai dengan arah kepentingan
politik dan ekonomi kelompok tersebut.
Kelompok ini memang tidak menduduki
jabatan politik (kekuasaan politik), namun sebenarnya sangat berpengaruh dalam
berbagai pengambilan keputusan. Tak heran bila kebijakan publik yang
dikeluarkan tidak terlalu memihak kepentingan masyarakat secara umum.
Kepentingan personal atau golongan lalu lebih diutamakan daripada kepentingan
publik yang lebih penting. Kecenderungan seperti inilah yang mendorong
munculnya praktek-praktek korupsi dan manipulasi dana publik sulit terbendung
di Indonesia.
Dua sisi buruk pilkada menandakan adanya
distorsi (pertentangan) demokrasi di tingkat lokal. Dalam kaitannya dengan
budaya politik elitisme lokal dan distorsi penyelenggaraan sistem demokrasi di
Indonesia. Akar kegagalan demokrasi dan pendidikan politik di Indonesia,
dianggap masih asing dalam budaya politik Indonesia. Lebih jauh lagi, menelisik
ke masa lalu dimana Indonesia mempunyai kehadiran kekuasaan kerajaan (monarkhi absolute) yang sangat personal,
yang diyakini masih terus berlangsung pada masa pasca kolonialisme, sehingga
budaya ini terus mengakar dan menjadi suatu mainstream masyarakat Indonesia.
Penelitian Benedict Anderson seorang
Indonesianis (1972) menyebut budaya politik Jawa dianggap sebagai salah satu penyebab
terjadinya distorsi demokrasi di Indonesia. Budaya politik seperti ini lebih memusatkan
dan mempertahankan kekuasaan daripada cara menggunakan kekuasaan tersebut
secara tepat. Dalam uraiannya senada dengan Harold Crouch (1978) yang menyoroti
adanya warisan tradisi Majapahit dan Mataram yang secara kultural mempengaruhi
bentuk dan operasi rezim yang berkuasa di Indonesia.
Kajian-kajian
tentang relasi budaya politik dengan praktek demokrasi di Indonesia, bisa
dikatakan lebih berfokus pada analisis elit politik pada level nasional sebelum
jatuhnya kekuasaan Seoharto. Dalam kaitannya dengan konteks lokal, pendekatan tersebut masih “layak jual”,
dalam arti masih bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena distorsi demokrasi
di daerah, sebagaimana terlihat dari sisi gelap penyelenggaraan pilkada
langsung. Dalam bingkai pendekatan budaya politik para Indonesianis tersebut,
elitisme dan money politics bisa
dianggap sebagai persoalan kultural yang diwarisi dari kekuasaan otoriter dan
korup pada masa lampau. Oleh karena itu, elitisme bisa dipandang sebagai bentuk
wajar perjuangan elit-elit lama, agar tetap bisa berkuasa meski tidak dipilih
oleh rakyatnya secara mayoritas.
Harapan pemilukada
adalah memperbaiki kualitas sistem politik di Indonesia, pendidikan politik,
dan demokrasi secara substansial pada tingkat lokal ternyata belum dapat
terpenuhi. Politik uang menjadi penyakit kronis elit politik masih terus
berlangsung, sementara elit-elit lama tetap bertahan dan secara menyakinkan
mampu mendominasi kancah politik lokal. Kondisi demikian telah menghempaskan
ekspektasi publik, akan hadirnya calon-calon pemimpin baru yang pro rakyat. Pemimpin
alternatif ataupun independen dari kepentingan parpol masih dianggap asing, dan
tidak dapat terfasilitasi kemunculannya dalam event pilkada langsung. Mau
sampai kapan kondisi politik ini bertahan, atau menunggu terjadinya reformasi
jilid II oleh rakyat. Atau menunggu kemunculan pemimpin yang amat otoritarian,
yang menganggap demokrasi politik hanya sebagai distorsi bagi Indonesia.
Penulis :
Dosen Prodi Ilmu Politik
FISIP Universitas Siliwangi
Tasikmalaya