Penetrasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia Sebagai Implikasi Globalisasi Ekonomi Imperialisme Keuangan
(Studi Kasus PMA Korea Selatan Bulu
Mata Palsu di Purbalingga Jawa Tengah)
RESUME
Penelitian ini mengkaji benturan kepentingan ekonomi
politik antara perusahaan asing asal Korea Selatan, dengan pekerja di dalam
negeri sebagai objek produksi kapitalis. Merupakan pertentangan yang selalu
terjadi ketika skema ekonomi tumbuh menjadi era industrialisasi. Hubungan
klasik yang amat krusial, saling tarik menarik kepentingan merupakan hubungan
pertentangan yang tidak terelakkan, Kepentingan permanen dari sang kapitalis
adalah berupaya memperluas akses untuk memperbesar kekayaan materiilnya.
Sementara kepentingan buruh adalah memperbesar pengaruh politik dalam
memperjuangkan kepentingan ekonomi, agar kesejahteraan buruh terus membaik seiring
kepentingan kapitalis yang selalu berusaha meningkatkan keuntungan dan
mengurangi biaya produksi, termasuk upah buruh yang rendah.
Dengan dua kepentingan yang saling berbeda
dan selalu berbenturan ini, membuat hubungan sosial di dalam masyarakat industri
selalu berada dalam situasi konflik. PMA ini tidak serta merta datang dan
mencari laba yang besar ketika memasuki wilayah yang bukan otoritasnya. Proses
ini di dukung oleh adanya konsep dan gagasan globalisasi neoliberalisme yang
selalu didengungkan negara-negara maju untuk merubah pola ekonomi
internasional.
Persepektif ekonomi politik kali ini akan
mencoba mengkaitkan variabel internasional dengan variabel domestik. Fenomena
globalisasi ekonomi ternyata memberikan warna tersendiri bagi kehidupan manusia.
Warna kehidupan yang diciptakan globaliasasi telah merasuk, serta mempengaruhi
semua elemen masyarakat, dari masalah budaya yang telah menjadi ciri khas
masyarakat bawah (grassroot), hingga kebijakan ekonomi dan politik yang
selama ini diformulasikan pemerintah setempat.
Mengenai proses tersebut merupakan langkah
strategis dari pengintegrasian terhadap dunia internasional, melalui investasi
asing yang diusung oleh proses globalisasi yang telah menjanjikan kesejahteraan
ekonomi. Menurut Mas’oed, 2002 :30) modal pembangunan aneh tersebut akan
memenuhi kepentingan dari tiga pendukung penting. Pertama,
investor asing yang mencari lahan produksi dan tenaga kerja yang mau diupah
secara murah, Kedua, para investor portofolio yang mencari untung
besar dalam investasi jangka pendek. (Yang tidak berencana membangun industri
yang menyerap tenaga kerja, namun hanya berinvestasi dengan pembelian saham
atau surat
berharga dari pemerintah atau perusahaan). Ketiga, para teknokrat
dan elit ekonomi yang menggangap bahwa akumulasi modal secara cepat merupakan
strategi yang bisa mencapai beberapa tujuan sekaligus, yakni bermanfaat bagi
setiap orang dan terjadinya stabilisasi ekonomi dan politik.
Perubahan pola pikir dan pola tindak elit
mencapai klimaksnya dengan dilegal formalkanya Rancangan Undang-Undang
Ketenagakerjaan (RUUK) menjadi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) pada tanggal
25 Februari 2003, dengan ditandantangainya UUK No.13/2003 oleh Presiden
Megawati. UUK No. 13/2003 ternyata masih memiliki permasahan yang controversial
dan banyak ditentang oleh kaum buruh. Karena mengandung pasal yang mereduksi
eksistensi, masa depan, dan hak-hak buruh. Tiap-tiap pasal memuat tentang
sistem kerja kontrak, mengizinkan buruh anak di bawah 17 tahun, upah minimum
yang tidak sesuai dengan perubahan ekonomi makro, sistem kerja out sourcing,
pekerja perempuan yang tidak berhak atas upah penuh karena mengambil cuti haid,
dan diperketatnya hak buruh untuk melakukan aksi mogok kerja.
Realitas ini membuktikan
adanya pembiasan pola pikir dan pola tindakan elit yang hanya memandang pekerja
sebagai suatu komoditi yang siap diperdagangkan kepada para pemilik modal, yang
sekaligus dipersilahkan untuk dieksploitasi. Dengan menghadapkan pekerja pada
kondisi upah yang memprihatinkan, ketiadaan jaminan kerja dan sederet
ketidaksejahteraan lainnya terhadap pekerja dalam melakukan produksi di dalam
perusahaan.
Melakukan kajian penelitian tentang PMA yang
berasal dari Korea Selatan (Korsel) di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah,
merupakan contoh konkret bagaimana sektor industri yang masuk pada tahap awal
idiologi neoliberalisme dicanangkan. Dalam konteks ekonomi politik, dimana
adanya persoalan dan masalah kekayaan materiil dan kekuasaan politik, konflik
antar kelas dan resistensi terhadap berbagai perubahan di dalam masyarakat.
Investor asing yang mencoba menanamkan modalnya di Kabupaten Purbalingga,
memiliki motif untuk mencari buruh murah untuk mendapatkan laba yang besar.
Karena upah minimum di wilayah tersebut cukup layak sebagai motif utama
kapitalis Korsel mendapatkan untung besar.
Investor Korsel tersebut
menginvestasikan modalnya dengan membangun industri rambut dan bulu mata palsu yang
diekspor ke mancanegara, ditambah lagi masyarakat Purbalingga bermata
pencaharian sebagai pembuat rambut palsu yang sudah menjadi ciri khas wilayah
tersebut. Dengan demikian investor Korsel mengganggap ciri khas ini bisa
dimanfaatkan untuk membangun industri rambut dan bulu mata palsu. Sehingga
perusahaan asing tersebut tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk
memberikan skill kepada masyarakat di Purbalingga
Upah kerja yang rendah merupakan salah satu indikator determinan yang
menyebaban terjadinya hubungan konfliktual diantaranya keduanya. Orientasi
untuk memaksimalkan keuntungan kapitalis seringkali diwujudkan dengan menekan
biaya produksi, dan menekan upah yang akan diterima buruh. Ketika buruh menganggap
bahwa upah yang diterimanya tidak sepandan dengan tenaga kerja yang
dikeluarkannya, serta kebutuhan hidup yang semakin meningkat baik di tingkat
makro dan mikro. Maka ketegangan ini menjadi pemivu yang tidak senilai dengan
pekerjaan dan keuntungan dari penjualan produksi, serta menimbulkan implikasi
negatif terhadap perkembangan ekonomi di tingkat daerah dan nasional.
Bagi sekelompok orang yang berasal dari kelas pekerja rendahan yang
terlibat langsung dengan alat-alat produksi, berorientasi pada “usaha” daripada
“tujuan”. Sebab bagi mereka hidup tanpa pekerjaan berarti hidup tanpa sesuatu
yang harus dilakukan. Bagi seseorang buruh murah, pekerjaan apapun yang tidak
disukai, wajib mereka lakukan demi mendapatkan imbalan. Karena pekerjaan yang
tidak menyenangkan apapun, mereka anggap sebagai alat untuk mendapatkan uang.
Tanpa melihat sisi moral dan kesejahteraan lainnya bagi buruh itu sendiri
(Parker, dalam Ngesti Setyo rahayu, 2001).
Menelaah dari pemikiran Karl Marx ketika memilahkan masyarakat menjadi
dua kelas sosial yakni borjuis (kaum kaya) dan proletar (kaum miskin/buruh),
kedua kelas sosial ini terbentuk karena adanya konfliktual dan kepentingan yang
berbeda dari keduanya. Ekspolitasi kaum kapitalis atau borjuis yang selamanya
terus menghisap kaum dibawahnya (proletar). Meski pemikiran Marx banyak
ditentang karena sudah tidak relevan lagi dengan realitas sekarang ini. Karena
hubungan keduanya saling ketergantungan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Hampir semua ilmuwan politik banyak yang meyakini dan mempercayai persoalan
ini, yang tidak semata-mata hanya disebabkan oleh “bobroknya” struktur ekonomi
politik internal, melainkan adanya eksploitasi sistemik yang dilakukan oleh kekuatan
modal asng, akibat pengaruh globalisasi kepada buruh dan pemerintah. Melalui
kekuatan investasi dan modal yang dimilikinya, kaum kapitalis mampu menguasai
dan mengambil alih sumberdaya bagi kepentingan proses produksi seperti halnya
bahan baku, pasar barang industri, dan mencari tenaga kerja yang mau diberi
upah murah yang berlimpah di Indonesia.
Sasaran utama dari penelitan ini
adalah buruh yang bekerja di PT Royal Korindah dan buruh out sourcing, Manajemen Perusahaan PT Royal Korindah, aparatur
pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga Disdunaker, KPPI dan Disperindakop.
Lokasi penelitian di Kabupaten Purbalingga.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengambilan sample purposive sampling Teknik pengambilan
data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan metode analisis interaktif
dan validitas data dengan menggunakan teknik trianggulasi.
PEMBAHASAN
Pemilikan Saham
PT Royal Korindah
Kepemilikan Saham
|
Rencana Investasi
|
Realisasi
|
Peserta
|
Rp. 80.000.000
|
Rp. 80.000.000
|
Peserta Asing
Hyung Sang Lee
Jun Ho Lee
Chun Dee Lee
|
Rp. 320.000.000
|
Rp. 320.000.000
|
Rp. 200.000.000
|
Rp. 200.000.000
|
|
Rp. 200.000.000
|
Rp. 200.000.000
|
Dengan adanya modal dari Korea Selatan dengan membangun industri bulu
mata palsu di Purbalingga, telah membawa berkah tersendiri bagi Pemkab
Purbalingga yang memang sedang mengupayakan meningkatkan lapangan kerja bagi
masyarakatnya. Dengan penyerapan tenaga kerja maka masyarakat akan mendapatkan
pendapatan dari hasil kerjanya. Sehingga pertumbuhan dan peningkatan ekonomi di
Kabupaten Purbalingga lambat laun akan semakin dinamis membangun perekonomian
yang mapan di Purbalingga. Salah satu alat untuk mengukur atau menilai tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu daerah adalah dari pendapatan per kapita per
tahun. Pendapatan per kapita penduduk di Purbalingga dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Mulai tahun 1993 pendapatan per
kapita penduduk sebesar Rp 652.334 meningkat pesat menjadi Rp.076.734 pada
tahun 2002 akhir, yang berarti hampir tiga kali lipat selama kurun waktu selama
9 tahun. Meskipun ini menjadi tolok ukur pembangunan daerah, namun tidak
menjadi suatu patokan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi masyarakat secara
keseluruhan. Akan tetapi setelah mengalami pola pikir dan pola tindak kebijakan
Pemkab Purbalingga yang mengacu pada mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi
Purbalingga mengalami pertumbuhan ekonomi di era otonomi daerah, dimana daerah
secara mandiri mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di
wilayahnya.
Selain memberikan pertumbuhan perekonomian daerah, adanya investasi asing ini telah
membuka lapangan kerja baru yang memiliki angkatan kerja yang berlimpah,
kemudian masyarakat yang tidak terlibat langsung dengan alat produksi
perusahaan pun bisa menikmati daya beli dari buruh tersebut, atau sering
disebut trickle down effect. Dengan
kondisi demikian roda perekonomian daerah berjalan seiring dengan kemampuan
daya beli masyarakat untuk mengkonsumsi kebutuhan hidup lainnya di pasar.
Dengan konsep trickle down effect ini
maka efek positif dari investasi asing ini tidak hanya segelintir orang saja
yang menikmati keuntungan tersebut (positive
sum game).
Dibalik kesuksesan pembangunan di Purbalingga yang mampu menarik
investor dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakatnya, ada suatu masalah
yang sangat krusial yakni persoalan klasik yang memang sulit dipecahkan.
Hubungan kerja pengusaha, buruh dan pemerintah memiliki kepentingan ekonomi
politik yang berbeda satu sama lainnya. Meskipun permasalahan tersebut mampu diredam,
namun pemberian upah kerja sebagai patokan kesejahteraan ekonomi, dengan UMK
yang ditetapkan Pemkab Purbalingga sebesar Rp 380.000, sebenarnya tidak
sebanding dengan pendapatan perusahaan PT Royal Korindah yang menjual produknya
sekitar US$ 2,99-3,99 per pieces (pcs) di pasar mancanegara. Jika mengacu pada
pemikiran Marx (sosialisme) ada nilai lebih yang diambil oleh kapitalis asing
dari hasil pekerjaan buruhnya, meskipun buruh sudah tersadar dengan kekuatan
modal dan politik yang dimiliki kapitalis asing tersebut. Dengan sifat footloose (melarikan diri) yang dimiliki
kapitalis asing tersebut, ketika buruh sudah berupaya mengusik kepentingan
kapitalis maka buruh berusaha menerima nasibnya tersebut. Sehingga motif
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dapat dengan mudah tanpa adanya
gangguan sedikit pun dari kepentingan buruh maupun pemerintah sendiri.
Kemudian dengan penggunaan sistem pengupahan dalam PT Royal Korindah
yang berlaku saat ini adalah sistem upah kerja harian dan sistem upah borongan.
Untuk buruh yang bekerja di luar perusahaan (out sourcing), hanya menggunakan sistem upah borongan, yakni sistem
baru yang diinovasikan dari hubungan kerja yang dilakukan kapitalis dalam
rangka mempertahankan sistem produksinya agar tetap eksis. Jika dalam Siregar
(2003:85) menyatakan bahwa sistem produksi kapitalis selalu dirudung krisis dari waktu ke waktu, karena selalu
mengikuti perkembangan mekanisme pasar, kompetisi tinggi antara satu perusahaan
dengan lainnya serta sulitnya dan mahalnya harga bahan baku atau biaya
produksi, maka pemilik modal berusaha meminimalkan resiko bisnis yang ada.
Sistem upah harian dalam PT Royal Korindah yakni upah pokoknya sebesar
Rp 11.620 sudah termasuk uang makan dan uang transport yang masing-masing
sebesar Rp 1500. Untuk pembayaran uang ini dilakukan dalam dua kali dalam
sebulan antara tanggal 5 dan 20. Pada hari Minggu upah keraj tidak dibayarkan,
perusahaan hanya memberi upah kerja pada hari kerja (Senin-Sabtu), kecuali ada
kesepakatan diantara buruh dan pengusaha untuk memberlakukan proses produksi
pada hari libur, tergantung dari permintaan pasar terhadap produk tersebut.
Proses produksi pada hari diluar jam kerja masuk dalam upah kerja lembur. Dalam
upah untuk hari normal kerja perhitungannya 11.620 X 26 hari kerja yakni
sebesar Rp 302.120 per bulan, sementara upah yang diberikan pada tanggal 5 dan
20, maka pembayaranya per orang sebesar Rp 151.060 per orang.
Sementara tunjangan-tunjungan lainnya seperti masa kerja, keluarga dan extra fooding (makanan tambahan) Untuk extra fooding biasanya diberikan kepada
buruh laki-laki yang melebihi pekerjaan wanita yang biasanya lebih berat. Yang
berjumlah sekitar Rp 380.000 per orang (sesuai dengan UMK Purbalingga). Berbeda
dengan buruh dengan sistem kerja out
sourcing. Perbedaannya buruh di luar perusahaan tanpa adanya tunjangan masa
kerja, uang makan dan transport, kerajinan, non upah dan tanggungan keluarga.
Sebagaimana upah yang diterima para buruh yang masuk di dalam perusahaan. Untuk
upah kerja borongan dalam PT Royal Korindah berdasarkan pada satuan hasil kerja
yang dilakukan buruh dalam memenuhi target perusahaan. Semakin banyak buruh
menghasilkan bulu mata palsu, semakin banyak pula hasil yang diperoleh buruh
tersebut. Hasil yang diterima buruh relatif tergantung pada tingkat kesulitan
bulu mata palsu (bulu mata yang biasanya dijual mahal). Harga yang dapat
diterima buruh antara Rp 45-250 per pcs. Inipun tergantung dengan permintaan
atau tuntutan pasar internasional terhadap perusahaan yang bersangkutan.
Namun pendapatan buruh tersebut tidak sebanding dengan kerusakan
penglihatan ketika mengerjakan produk bulu mata. Rata-rata buruh yang
mengerjakan proses produksi mengalami kerusakan mata karena diakibatkan terlalu
lamanya bekerja mengerjakan produk tersebut.
Apa yang didapatkan oleh buruh malah menjadi bumerang bagi mereka
sendiri. Sebagaimana di lansir oleh Suara Merdeka (Sabtu 26 Juni 2004),
pemberitaan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tim kesehatan dari
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa tengah dan Hiperkes Semarang yang bekerjasama pula dengan Dinas
Kependudukan Tenaga Kerja Kabupaten Purbalingga.
Ketiga instansi tersebut memeriksa 274 pekerja pabrik bulu mata palsu dan rambut palsu termasuk PT
Royal Korindah. Buruh di PT Royal Korindah yang diperiksa sebanyak 50 orang.
Dari hasil penelitian tersebut sekitar 66% buruh pabrik di bidang tersebut
sudah terganggu penglihatannya. Gangguan penglihatan diakibatkan karena terlalu
kelelahan atas kerjanya, sebab kondisi kerja di perusahaan kurang penerangan lampu
dan tidak dilengkapi dengan alat pembesar, agar objek (rambut yang tipis) bisa
terlihat sangat jelas.
Namun bagi perusahaan dengan dilengkapi fasilitas tersebut, maka ada
penambahan biaya produksi. Maka dianggap sebagai unsur kesengajaan yang lebih
menekankan atau meminimalkan terhadap biaya produksi. Sesuai dengan motif
kapitalistik maka tidak alasan bagi perusahaan memprioritaskan membeli
alat-alat produksi, jika cadangan buruh di Purbalingga masih berlimpah untuk
dijadikan bagian dari proses produksi.
Menanggapi investasi asing ini penulis akan dilihat dari dua dimensi
dari segi positif dan negatif tergantung dari manajemen dan kebijakan yang
digunaka oleh pemerintah yang menerima keberadaan PMA tersebut. Sebagaimana
dalam Yustika (2000:138) dapat dikatakan positif terhadap perekonomian nasional maupun daerah (1) sebagai sumber dana pembangunan, (2) sebagai
sumber pengetahuan mengenai teknik produksi dan teknologi, (3) sebagai sumber pembaruan proses atau produk, (4) sebagai sumber kesempatan kerja, dan (5) sumber pengaruh menguntungkan yang bersifat pelengkap. Sedangkan
dikatakan negatif yang dikhawatirkan dari kedatangan
PMA apabila (1) perusahaan asing tersebut mengirim
laba yang sangat besar ke negaranya, (2) perusahaan
asing bersaing dengan perusahaan lokal, (3) mereka
bahkan menghabiskan modal domestik bukannya memperbesar wilayah yang
ditempatinya, (4) mereka tidak menciptakan kesempatan
kerja yang cukup besar, dan (5) mereka menempuh praktek-praktek
yang melanggar hukum yang sulit diawasi.
Sejauh ini keberadaan PMA di Purbalingga masih dianggap berimplikasi
positif bagi masyarakat setempat, juga bagi pemerintah. Bagi pemerintah adanya
PMA tersebut bisa mendapatkan pemasukan pajak dan retribusi lainnya.
Sebagaimana yang dinyatakan Bupati Purbalingga Triyono, bahwa keberadaan PMA
sangat menguntungkan bagi masyarakat Purbalingga dan sekitarnya. Jika setiap
karyawan digaji sesuai UMK sebesar Rp 350.000, berarti PMA dalam sebulan
mengeluarkan dana sebesar Rp 5,25 miliar. Dana ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Purbalingga sebesar
Rp 27 miliar setahun (Wawasan, Rabu 3 September 2003).
Sementara di dalam surat kabar Suara Merdeka edisi 22 Juli 2004
dikatakan, isu-isu yang paling krusial di Purbalingga masih seputar pada
masalah kemiskinan dan pengangguran, serta pendapatan daerah yang masih rendah.
Bupati Triyono mengatakan, penduduk miskin di wilayahnya telah berkurang
sekitar 20%. Sementara peduduk miskin se-Jawa Tengah sekitar 21,78%. Sementara
pengangguran tahun 2003 sebanyak 14.796 orang, sedangkan pada 2002 ada 18.654
orag, sehingga ada penurunan angka penggangguran sekitar 21%.
Bagi pemerintah sendiri
sulit kiranya untuk menaikan UMK yang dikenakan bagi kesejahteraan buruh
Purbalingga, karena sistem ekonomi pemerintahnya mengacu pada mekanisme pasar
dengan menerapkan kebijakan liberal. Sehingga keadaan ini menjadi keuntungan
dunia usaha milik kapitalis. Mereka semakin leluasa menggerakan produksi tanpa
ada campur tangan dari pihak politik (negara). Dengaan keadaan seperti
keterlibatan pemerintah dalam hubungan bipartrit antara pengusaha-buruh semakin
jauh dari harapan untuk mensejahterahkan buruh dengan menaikkan UMK di
Purbalingga.
Lain halnya dengan PT Royal Korindah sebagai
salah satu perusahaan yang mewakili PMA lainnya. Selain harus mengeluarkan
biaya produksi untuk membeli komoditi bahan baku produksi, peralatan produksi lainnya,
dan membayar upah buruh. PT Royal Korindah harus menanggung biaya lainnya di
luar biaya tetap. Dimaksud dengan biaya di luar ini adalah biaya ilegal yang dikeluarkan
untuk membayar keamanan dari oknum masyarakat maupun pemerintah setempat.
Sekitar 5-10% biaya non resmi yang dikeluarkan perusahaan setiap bulannya
Sehingga kondisi demikian telah menimbulkan biaya tinggi (high cost) bagi perusahaan yang berinvestasi di Purbalingga. Sulit
kiranya bagi perusahaan untuk membagi keuntungan dengan buruh.
Sehingga penerapan kebijakan
yang liberal yang diterapkan pemerintah lebih tunduk terhadap individu atau
aktor-aktor kapitalis asing, ketimbang mendengar keluhan dan aspirasi dan
tuntutan masyarakat pekerja lainnya. Tetapi realitanya pemerintah dan pengusaha
lebih menikmati hasil yang lebih besar, sementara buruh semakin tereksploitasi
dan termarjinalkan dari kepentingan ekonomi politik pemerintah dan pengusaha.
Dengan keberadaan PMA di Purbalingga nilai realisasi investasi pada
tahun 2001 sebesar Rp 16,1 miliar. Sementara pada 2003 meningkat menjadi Rp
18,9 miliar. Sedangkan realisasi investasi PMDN pada 2001 sebesar Rp 12,33
miliar, pada tahun 2003 meningkat Rp 12,5 miliar.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar,
Ana Nadhya.2002. Keberpihakan dan Komunikasi dalam kebijakan perlindungan
buruh. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Vol 5, Nomor 2, Edisi 3 Maret
2002.
Deliarnov.1995.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta .
Effendi,
Tadjudin Noer.1993. Perempuan Pekerja dan Kemiskinan. Cetakan Pertama
Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta .
Fakih,
Mancour. 2002. Jalan Lain (Manifesto Intelektual Organik). Pustaka
Pelajar : Yogyakarta .
Farhany,
Willy. 2002. Alienasi Buruh Dalam Sistem Produksi Subkontrak (Studi Tentang
Sistem Produksi Sub Kontrak Dalam Implikasinya Terhadap Alienasi Buruh Pada
Industri Rambut di Kabupaten Purbalingga). Skripsi S-1 Purwokerto : FISIP
Universitas Jenderal Soedirman).
Hadiz,
Vedi R. 1997. “ Ekonomi Politik Kepentingan Nasional’. Prisma Edisi 5,
Mei-Juni 1997.
Hemmer,
Rimbert-Hans. 2002. “Negara Berkembang dalam Proses Globalisasi ; Untung
atau Buntung ?”, Analisis CSIS Tahun XXX/2001 No.4, Hal 413-431.
Holzner,
dan Ratna Saptari. 1997. Perempuan Pekerja dan Pengusa Sosial ; Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. PT Anem Kosong Anem ; Jakarta . King, Dwight King.1989. “ Penelitian
Empiris dan Pendekatan-Pendekatan Ekonomi-Politik (Kawan atau Lawan ?).
Prisma Edisi ke 3 1989.
Kuncoro,
Mudrajat dkk. 1997. Ekonomi Industri. Yogyakarta
; Widya Sarana Informatika.
Kuntjoro-Jakti,
Dorodjatun. 1991. Pendekatan Politik-Ekonomi (Political-Economy) ; Jembatan
Diantara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Poltik. Jurnal Politik 8. Kerjasama Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) dengan
PT Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta .
Mas’oed,
Mochtar. 1997. Hutang Luar Negeri dan Struktur Finansial Internasional.
Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional. Ilmu Hubungan Internasional
FISIPOL. Yogyakarta ; UGM.
________________.
2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional ; Analisis
Ekonomi-Politik Tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Guru
Besar 19 Oktober 2002 (Yogyakarta : FISIP UGM.
________________.
1994. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
________________.
1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta : LP3ES.
Miles
Mathew B, dan Huberman A, Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Alih
bahasa Tjetep Rohendi Rohidi. UI-Press : Jakarta .
Moleong,
Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya : Bandung .
Sastrowardoyo.
“Deregulasi Sisi yang Menyehatkan dan Mematikan”. Prisma Edisi ke 3. 1989.
Sheinder,
Eugene. 1986. Sosiologi Industri. Cetakan Indonesia PT Aksara Persada: Jakarta .
Simon,
Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Cetakan Indonesia Insist
Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar : Yogyakarta .
Sugiono,
Muhadi.1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. PT
Pustaka Pelajar : Yogyakarta .
Suseno,
Franz Magnis.2001. Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta .
Suyatno,
Hempri dan Suparjan. Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Nomor 3 Edisi Maret 2002
Surbakti,
Ramlan. Himpunan Teori-Teori Politik. Untuk Kalangan Sendiri (FISIP
UNAIR : Surabaya ).
Staniland,
Martin.2003. Apakah Ekonomi Politik Itu ? (Sebuah Studi Teori Sosial dan
Keterbelakangan). PT Raja Grafindo Persada : Jakarta .
Spillane,
James J. 2003. “ Industri Ringan Kaki : Neoliberalisme dan Investasi Global
“. dalam Wahono, Francis I Wibowo. 2003. Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas : Yogyakarta .
Latief.
Dochak. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global. Muhammadiyah University Press : Surakarta .
Priyono,
B Herry. 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme. dalam Wahono, Francis I Wibowo. 2003.
Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas : Yogyakarta .
Yustika,
Erani Ahmad. 2000. Industrialisasi Pinggiran. PT Pustaka Pelajar : Yogyakarta .