Senin, 09 April 2012

Hasil Penelitian (SKRIPSI) Penetrasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia Sebagai Implikasi Globalisasi Ekonomi Imperialisme Keuangan (Studi Kasus PMA Korea Selatan Bulu Mata Palsu di Purbalingga Jawa Tengah)


Penetrasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia Sebagai Implikasi Globalisasi Ekonomi Imperialisme Keuangan

(Studi Kasus PMA Korea Selatan Bulu Mata Palsu di Purbalingga Jawa Tengah)


RESUME

 PENDAHULUAN

Penelitian ini mengkaji benturan kepentingan ekonomi politik antara perusahaan asing asal Korea Selatan, dengan pekerja di dalam negeri sebagai objek produksi kapitalis. Merupakan pertentangan yang selalu terjadi ketika skema ekonomi tumbuh menjadi era industrialisasi. Hubungan klasik yang amat krusial, saling tarik menarik kepentingan merupakan hubungan pertentangan yang tidak terelakkan, Kepentingan permanen dari sang kapitalis adalah berupaya memperluas akses untuk memperbesar kekayaan materiilnya. Sementara kepentingan buruh adalah memperbesar pengaruh politik dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi, agar kesejahteraan buruh terus membaik seiring kepentingan kapitalis yang selalu berusaha meningkatkan keuntungan dan mengurangi biaya produksi, termasuk upah buruh yang rendah.
Dengan dua kepentingan yang saling berbeda dan selalu berbenturan ini, membuat hubungan sosial di dalam masyarakat industri selalu berada dalam situasi konflik. PMA ini tidak serta merta datang dan mencari laba yang besar ketika memasuki wilayah yang bukan otoritasnya. Proses ini di dukung oleh adanya konsep dan gagasan globalisasi neoliberalisme yang selalu didengungkan negara-negara maju untuk merubah pola ekonomi internasional.
Persepektif ekonomi politik kali ini akan mencoba mengkaitkan variabel internasional dengan variabel domestik. Fenomena globalisasi ekonomi ternyata memberikan warna tersendiri bagi kehidupan manusia. Warna kehidupan yang diciptakan globaliasasi telah merasuk, serta mempengaruhi semua elemen masyarakat, dari masalah budaya yang telah menjadi ciri khas masyarakat bawah (grassroot), hingga kebijakan ekonomi dan politik yang selama ini diformulasikan pemerintah setempat.
Mengenai proses tersebut merupakan langkah strategis dari pengintegrasian terhadap dunia internasional, melalui investasi asing yang diusung oleh proses globalisasi yang telah menjanjikan kesejahteraan ekonomi. Menurut Mas’oed, 2002 :30) modal pembangunan aneh tersebut akan memenuhi kepentingan dari tiga pendukung penting. Pertama, investor asing yang mencari lahan produksi dan tenaga kerja yang mau diupah secara murah, Kedua, para investor portofolio yang mencari untung besar dalam investasi jangka pendek. (Yang tidak berencana membangun industri yang menyerap tenaga kerja, namun hanya berinvestasi dengan pembelian saham atau surat berharga dari pemerintah atau perusahaan). Ketiga, para teknokrat dan elit ekonomi yang menggangap bahwa akumulasi modal secara cepat merupakan strategi yang bisa mencapai beberapa tujuan sekaligus, yakni bermanfaat bagi setiap orang dan terjadinya stabilisasi ekonomi dan politik. 
Perubahan pola pikir dan pola tindak elit mencapai klimaksnya dengan dilegal formalkanya Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan (RUUK) menjadi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) pada tanggal 25 Februari 2003, dengan ditandantangainya UUK No.13/2003 oleh Presiden Megawati. UUK No. 13/2003 ternyata masih memiliki permasahan yang controversial dan banyak ditentang oleh kaum buruh. Karena mengandung pasal yang mereduksi eksistensi, masa depan, dan hak-hak buruh. Tiap-tiap pasal memuat tentang sistem kerja kontrak, mengizinkan buruh anak di bawah 17 tahun, upah minimum yang tidak sesuai dengan perubahan ekonomi makro, sistem kerja out sourcing, pekerja perempuan yang tidak berhak atas upah penuh karena mengambil cuti haid, dan diperketatnya hak buruh untuk melakukan aksi mogok kerja.
Realitas ini membuktikan adanya pembiasan pola pikir dan pola tindakan elit yang hanya memandang pekerja sebagai suatu komoditi yang siap diperdagangkan kepada para pemilik modal, yang sekaligus dipersilahkan untuk dieksploitasi. Dengan menghadapkan pekerja pada kondisi upah yang memprihatinkan, ketiadaan jaminan kerja dan sederet ketidaksejahteraan lainnya terhadap pekerja dalam melakukan produksi di dalam perusahaan.
Melakukan kajian penelitian tentang PMA yang berasal dari Korea Selatan (Korsel) di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, merupakan contoh konkret bagaimana sektor industri yang masuk pada tahap awal idiologi neoliberalisme dicanangkan. Dalam konteks ekonomi politik, dimana adanya persoalan dan masalah kekayaan materiil dan kekuasaan politik, konflik antar kelas dan resistensi terhadap berbagai perubahan di dalam masyarakat. Investor asing yang mencoba menanamkan modalnya di Kabupaten Purbalingga, memiliki motif untuk mencari buruh murah untuk mendapatkan laba yang besar. Karena upah minimum di wilayah tersebut cukup layak sebagai motif utama kapitalis Korsel mendapatkan untung besar.
Investor Korsel tersebut menginvestasikan modalnya dengan membangun industri rambut dan bulu mata palsu yang diekspor ke mancanegara, ditambah lagi masyarakat Purbalingga bermata pencaharian sebagai pembuat rambut palsu yang sudah menjadi ciri khas wilayah tersebut. Dengan demikian investor Korsel mengganggap ciri khas ini bisa dimanfaatkan untuk membangun industri rambut dan bulu mata palsu. Sehingga perusahaan asing tersebut tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk memberikan skill kepada masyarakat di Purbalingga
Upah kerja yang rendah merupakan salah satu indikator determinan yang menyebaban terjadinya hubungan konfliktual diantaranya keduanya. Orientasi untuk memaksimalkan keuntungan kapitalis seringkali diwujudkan dengan menekan biaya produksi, dan menekan upah yang akan diterima buruh. Ketika buruh menganggap bahwa upah yang diterimanya tidak sepandan dengan tenaga kerja yang dikeluarkannya, serta kebutuhan hidup yang semakin meningkat baik di tingkat makro dan mikro. Maka ketegangan ini menjadi pemivu yang tidak senilai dengan pekerjaan dan keuntungan dari penjualan produksi, serta menimbulkan implikasi negatif terhadap perkembangan ekonomi di tingkat daerah dan nasional.
Bagi sekelompok orang yang berasal dari kelas pekerja rendahan yang terlibat langsung dengan alat-alat produksi, berorientasi pada “usaha” daripada “tujuan”. Sebab bagi mereka hidup tanpa pekerjaan berarti hidup tanpa sesuatu yang harus dilakukan. Bagi seseorang buruh murah, pekerjaan apapun yang tidak disukai, wajib mereka lakukan demi mendapatkan imbalan. Karena pekerjaan yang tidak menyenangkan apapun, mereka anggap sebagai alat untuk mendapatkan uang. Tanpa melihat sisi moral dan kesejahteraan lainnya bagi buruh itu sendiri (Parker, dalam Ngesti Setyo rahayu, 2001).
Menelaah dari pemikiran Karl Marx ketika memilahkan masyarakat menjadi dua kelas sosial yakni borjuis (kaum kaya) dan proletar (kaum miskin/buruh), kedua kelas sosial ini terbentuk karena adanya konfliktual dan kepentingan yang berbeda dari keduanya. Ekspolitasi kaum kapitalis atau borjuis yang selamanya terus menghisap kaum dibawahnya (proletar). Meski pemikiran Marx banyak ditentang karena sudah tidak relevan lagi dengan realitas sekarang ini. Karena hubungan keduanya saling ketergantungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Hampir semua ilmuwan politik banyak yang meyakini dan mempercayai persoalan ini, yang tidak semata-mata hanya disebabkan oleh “bobroknya” struktur ekonomi politik internal, melainkan adanya eksploitasi sistemik yang dilakukan oleh kekuatan modal asng, akibat pengaruh globalisasi kepada buruh dan pemerintah. Melalui kekuatan investasi dan modal yang dimilikinya, kaum kapitalis mampu menguasai dan mengambil alih sumberdaya bagi kepentingan proses produksi seperti halnya bahan baku, pasar barang industri, dan mencari tenaga kerja yang mau diberi upah murah yang berlimpah di Indonesia.
Sasaran utama dari penelitan ini adalah buruh yang bekerja di PT Royal Korindah dan buruh out sourcing, Manajemen Perusahaan PT Royal Korindah, aparatur pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga Disdunaker, KPPI dan Disperindakop. Lokasi penelitian di Kabupaten Purbalingga. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengambilan sample purposive sampling Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data dengan menggunakan teknik trianggulasi.

PEMBAHASAN

Pemilikan Saham PT Royal Korindah
Kepemilikan Saham
Rencana Investasi
Realisasi
Peserta Indonesia (Hyung He Lee)
Rp. 80.000.000
Rp. 80.000.000
Peserta Asing
Hyung Sang Lee
Jun Ho Lee
Chun Dee Lee

Rp. 320.000.000

Rp. 320.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 200.000.000

Dengan adanya modal dari Korea Selatan dengan membangun industri bulu mata palsu di Purbalingga, telah membawa berkah tersendiri bagi Pemkab Purbalingga yang memang sedang mengupayakan meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Dengan penyerapan tenaga kerja maka masyarakat akan mendapatkan pendapatan dari hasil kerjanya. Sehingga pertumbuhan dan peningkatan ekonomi di Kabupaten Purbalingga lambat laun akan semakin dinamis membangun perekonomian yang mapan di Purbalingga. Salah satu alat untuk mengukur atau menilai tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah adalah dari pendapatan per kapita per tahun. Pendapatan per kapita penduduk di Purbalingga dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Mulai tahun 1993 pendapatan per kapita penduduk sebesar Rp 652.334 meningkat pesat menjadi Rp.076.734 pada tahun 2002 akhir, yang berarti hampir tiga kali lipat selama kurun waktu selama 9 tahun. Meskipun ini menjadi tolok ukur pembangunan daerah, namun tidak menjadi suatu patokan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi setelah mengalami pola pikir dan pola tindak kebijakan Pemkab Purbalingga yang mengacu pada mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi Purbalingga mengalami pertumbuhan ekonomi di era otonomi daerah, dimana daerah secara mandiri mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayahnya.
Selain memberikan pertumbuhan perekonomian  daerah, adanya investasi asing ini telah membuka lapangan kerja baru yang memiliki angkatan kerja yang berlimpah, kemudian masyarakat yang tidak terlibat langsung dengan alat produksi perusahaan pun bisa menikmati daya beli dari buruh tersebut, atau sering disebut trickle down effect. Dengan kondisi demikian roda perekonomian daerah berjalan seiring dengan kemampuan daya beli masyarakat untuk mengkonsumsi kebutuhan hidup lainnya di pasar. Dengan konsep trickle down effect ini maka efek positif dari investasi asing ini tidak hanya segelintir orang saja yang menikmati keuntungan tersebut (positive sum game).
Dibalik kesuksesan pembangunan di Purbalingga yang mampu menarik investor dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakatnya, ada suatu masalah yang sangat krusial yakni persoalan klasik yang memang sulit dipecahkan. Hubungan kerja pengusaha, buruh dan pemerintah memiliki kepentingan ekonomi politik yang berbeda satu sama lainnya. Meskipun permasalahan tersebut mampu diredam, namun pemberian upah kerja sebagai patokan kesejahteraan ekonomi, dengan UMK yang ditetapkan Pemkab Purbalingga sebesar Rp 380.000, sebenarnya tidak sebanding dengan pendapatan perusahaan PT Royal Korindah yang menjual produknya sekitar US$ 2,99-3,99 per pieces (pcs) di pasar mancanegara. Jika mengacu pada pemikiran Marx (sosialisme) ada nilai lebih yang diambil oleh kapitalis asing dari hasil pekerjaan buruhnya, meskipun buruh sudah tersadar dengan kekuatan modal dan politik yang dimiliki kapitalis asing tersebut. Dengan sifat footloose (melarikan diri) yang dimiliki kapitalis asing tersebut, ketika buruh sudah berupaya mengusik kepentingan kapitalis maka buruh berusaha menerima nasibnya tersebut. Sehingga motif mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dapat dengan mudah tanpa adanya gangguan sedikit pun dari kepentingan buruh maupun pemerintah sendiri.
Kemudian dengan penggunaan sistem pengupahan dalam PT Royal Korindah yang berlaku saat ini adalah sistem upah kerja harian dan sistem upah borongan. Untuk buruh yang bekerja di luar perusahaan (out sourcing), hanya menggunakan sistem upah borongan, yakni sistem baru yang diinovasikan dari hubungan kerja yang dilakukan kapitalis dalam rangka mempertahankan sistem produksinya agar tetap eksis. Jika dalam Siregar (2003:85) menyatakan bahwa sistem produksi kapitalis selalu dirudung  krisis dari waktu ke waktu, karena selalu mengikuti perkembangan mekanisme pasar, kompetisi tinggi antara satu perusahaan dengan lainnya serta sulitnya dan mahalnya harga bahan baku atau biaya produksi, maka pemilik modal berusaha meminimalkan resiko bisnis yang ada.
Sistem upah harian dalam PT Royal Korindah yakni upah pokoknya sebesar Rp 11.620 sudah termasuk uang makan dan uang transport yang masing-masing sebesar Rp 1500. Untuk pembayaran uang ini dilakukan dalam dua kali dalam sebulan antara tanggal 5 dan 20. Pada hari Minggu upah keraj tidak dibayarkan, perusahaan hanya memberi upah kerja pada hari kerja (Senin-Sabtu), kecuali ada kesepakatan diantara buruh dan pengusaha untuk memberlakukan proses produksi pada hari libur, tergantung dari permintaan pasar terhadap produk tersebut. Proses produksi pada hari diluar jam kerja masuk dalam upah kerja lembur. Dalam upah untuk hari normal kerja perhitungannya 11.620 X 26 hari kerja yakni sebesar Rp 302.120 per bulan, sementara upah yang diberikan pada tanggal 5 dan 20, maka pembayaranya per orang sebesar Rp 151.060 per orang.
Sementara tunjangan-tunjungan lainnya seperti masa kerja, keluarga dan extra fooding (makanan tambahan) Untuk extra fooding biasanya diberikan kepada buruh laki-laki yang melebihi pekerjaan wanita yang biasanya lebih berat. Yang berjumlah sekitar Rp 380.000 per orang (sesuai dengan UMK Purbalingga). Berbeda dengan buruh dengan sistem kerja out sourcing. Perbedaannya buruh di luar perusahaan tanpa adanya tunjangan masa kerja, uang makan dan transport, kerajinan, non upah dan tanggungan keluarga. Sebagaimana upah yang diterima para buruh yang masuk di dalam perusahaan. Untuk upah kerja borongan dalam PT Royal Korindah berdasarkan pada satuan hasil kerja yang dilakukan buruh dalam memenuhi target perusahaan. Semakin banyak buruh menghasilkan bulu mata palsu, semakin banyak pula hasil yang diperoleh buruh tersebut. Hasil yang diterima buruh relatif tergantung pada tingkat kesulitan bulu mata palsu (bulu mata yang biasanya dijual mahal). Harga yang dapat diterima buruh antara Rp 45-250 per pcs. Inipun tergantung dengan permintaan atau tuntutan pasar internasional terhadap perusahaan yang bersangkutan.
Namun pendapatan buruh tersebut tidak sebanding dengan kerusakan penglihatan ketika mengerjakan produk bulu mata. Rata-rata buruh yang mengerjakan proses produksi mengalami kerusakan mata karena diakibatkan terlalu lamanya bekerja mengerjakan produk tersebut.  Apa yang didapatkan oleh buruh malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Sebagaimana di lansir oleh Suara Merdeka (Sabtu 26 Juni 2004), pemberitaan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tim kesehatan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa tengah dan Hiperkes Semarang yang bekerjasama pula dengan Dinas Kependudukan Tenaga Kerja Kabupaten Purbalingga.
Ketiga instansi tersebut memeriksa 274 pekerja pabrik  bulu mata palsu dan rambut palsu termasuk PT Royal Korindah. Buruh di PT Royal Korindah yang diperiksa sebanyak 50 orang. Dari hasil penelitian tersebut sekitar 66% buruh pabrik di bidang tersebut sudah terganggu penglihatannya. Gangguan penglihatan diakibatkan karena terlalu kelelahan atas kerjanya, sebab kondisi kerja di perusahaan kurang penerangan lampu dan tidak dilengkapi dengan alat pembesar, agar objek (rambut yang tipis) bisa terlihat sangat jelas.
Namun bagi perusahaan dengan dilengkapi fasilitas tersebut, maka ada penambahan biaya produksi. Maka dianggap sebagai unsur kesengajaan yang lebih menekankan atau meminimalkan terhadap biaya produksi. Sesuai dengan motif kapitalistik maka tidak alasan bagi perusahaan memprioritaskan membeli alat-alat produksi, jika cadangan buruh di Purbalingga masih berlimpah untuk dijadikan bagian dari proses produksi.
Menanggapi investasi asing ini penulis akan dilihat dari dua dimensi dari segi positif dan negatif tergantung dari manajemen dan kebijakan yang digunaka oleh pemerintah yang menerima keberadaan PMA tersebut. Sebagaimana dalam Yustika (2000:138) dapat dikatakan positif terhadap perekonomian nasional maupun daerah (1) sebagai sumber dana pembangunan, (2) sebagai sumber pengetahuan mengenai teknik produksi dan teknologi, (3) sebagai sumber pembaruan proses atau produk, (4) sebagai sumber kesempatan kerja, dan (5) sumber pengaruh menguntungkan yang bersifat pelengkap. Sedangkan dikatakan negatif yang dikhawatirkan dari kedatangan PMA apabila (1) perusahaan asing tersebut mengirim laba yang sangat besar ke negaranya, (2) perusahaan asing bersaing dengan perusahaan lokal, (3) mereka bahkan menghabiskan modal domestik bukannya memperbesar wilayah yang ditempatinya, (4) mereka tidak menciptakan kesempatan kerja yang cukup besar, dan (5) mereka menempuh praktek-praktek yang melanggar hukum yang sulit diawasi.
Sejauh ini keberadaan PMA di Purbalingga masih dianggap berimplikasi positif bagi masyarakat setempat, juga bagi pemerintah. Bagi pemerintah adanya PMA tersebut bisa mendapatkan pemasukan pajak dan retribusi lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan Bupati Purbalingga Triyono, bahwa keberadaan PMA sangat menguntungkan bagi masyarakat Purbalingga dan sekitarnya. Jika setiap karyawan digaji sesuai UMK sebesar Rp 350.000, berarti PMA dalam sebulan mengeluarkan dana sebesar Rp 5,25 miliar. Dana ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Purbalingga sebesar Rp 27 miliar setahun (Wawasan, Rabu 3 September 2003).
Sementara di dalam surat kabar Suara Merdeka edisi 22 Juli 2004 dikatakan, isu-isu yang paling krusial di Purbalingga masih seputar pada masalah kemiskinan dan pengangguran, serta pendapatan daerah yang masih rendah. Bupati Triyono mengatakan, penduduk miskin di wilayahnya telah berkurang sekitar 20%. Sementara peduduk miskin se-Jawa Tengah sekitar 21,78%. Sementara pengangguran tahun 2003 sebanyak 14.796 orang, sedangkan pada 2002 ada 18.654 orag, sehingga ada penurunan angka penggangguran sekitar 21%.
Bagi pemerintah sendiri sulit kiranya untuk menaikan UMK yang dikenakan bagi kesejahteraan buruh Purbalingga, karena sistem ekonomi pemerintahnya mengacu pada mekanisme pasar dengan menerapkan kebijakan liberal. Sehingga keadaan ini menjadi keuntungan dunia usaha milik kapitalis. Mereka semakin leluasa menggerakan produksi tanpa ada campur tangan dari pihak politik (negara). Dengaan keadaan seperti keterlibatan pemerintah dalam hubungan bipartrit antara pengusaha-buruh semakin jauh dari harapan untuk mensejahterahkan buruh dengan menaikkan UMK di Purbalingga.
Lain halnya dengan PT Royal Korindah sebagai salah satu perusahaan yang mewakili PMA lainnya. Selain harus mengeluarkan biaya produksi untuk membeli komoditi bahan baku produksi, peralatan produksi lainnya, dan membayar upah buruh. PT Royal Korindah harus menanggung biaya lainnya di luar biaya tetap. Dimaksud dengan biaya di luar ini adalah biaya ilegal yang dikeluarkan untuk membayar keamanan dari oknum masyarakat maupun pemerintah setempat. Sekitar 5-10% biaya non resmi yang dikeluarkan perusahaan setiap bulannya Sehingga kondisi demikian telah menimbulkan biaya tinggi (high cost) bagi perusahaan yang berinvestasi di Purbalingga. Sulit kiranya bagi perusahaan untuk membagi keuntungan dengan buruh.
Sehingga penerapan kebijakan yang liberal yang diterapkan pemerintah lebih tunduk terhadap individu atau aktor-aktor kapitalis asing, ketimbang mendengar keluhan dan aspirasi dan tuntutan masyarakat pekerja lainnya. Tetapi realitanya pemerintah dan pengusaha lebih menikmati hasil yang lebih besar, sementara buruh semakin tereksploitasi dan termarjinalkan dari kepentingan ekonomi politik pemerintah dan pengusaha.
Dengan keberadaan PMA di Purbalingga nilai realisasi investasi pada tahun 2001 sebesar Rp 16,1 miliar. Sementara pada 2003 meningkat menjadi Rp 18,9 miliar. Sedangkan realisasi investasi PMDN pada 2001 sebesar Rp 12,33 miliar, pada tahun 2003 meningkat Rp 12,5 miliar.

DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nadhya.2002. Keberpihakan dan Komunikasi dalam kebijakan perlindungan buruh. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Vol 5, Nomor 2, Edisi 3 Maret 2002.
Deliarnov.1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Effendi, Tadjudin Noer.1993. Perempuan Pekerja dan Kemiskinan. Cetakan Pertama Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta.
Fakih, Mancour. 2002. Jalan Lain (Manifesto Intelektual Organik). Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Farhany, Willy. 2002. Alienasi Buruh Dalam Sistem Produksi Subkontrak (Studi Tentang Sistem Produksi Sub Kontrak Dalam Implikasinya Terhadap Alienasi Buruh Pada Industri Rambut di Kabupaten Purbalingga). Skripsi S-1 Purwokerto : FISIP Universitas Jenderal Soedirman).
Hadiz, Vedi R. 1997. “ Ekonomi Politik Kepentingan Nasional’. Prisma Edisi 5, Mei-Juni 1997.
Hemmer, Rimbert-Hans. 2002. “Negara Berkembang dalam Proses Globalisasi ; Untung atau Buntung ?”, Analisis CSIS Tahun XXX/2001 No.4, Hal 413-431.
Holzner, dan Ratna Saptari. 1997. Perempuan Pekerja dan Pengusa Sosial ; Sebuah Pengantar Studi Perempuan. PT Anem Kosong Anem ; Jakarta. King, Dwight King.1989. “ Penelitian Empiris dan Pendekatan-Pendekatan Ekonomi-Politik (Kawan atau Lawan ?). Prisma Edisi ke 3 1989.
Kuncoro, Mudrajat dkk. 1997. Ekonomi Industri. Yogyakarta ; Widya Sarana Informatika.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1991. Pendekatan Politik-Ekonomi (Political-Economy) ; Jembatan Diantara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Poltik. Jurnal Politik 8. Kerjasama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) dengan PT Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta.
Mas’oed, Mochtar. 1997. Hutang Luar Negeri dan Struktur Finansial Internasional. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional. Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL. Yogyakarta ; UGM.
________________. 2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional ; Analisis Ekonomi-Politik Tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Guru Besar 19 Oktober 2002 (Yogyakarta : FISIP UGM.
________________. 1994. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
________________. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta : LP3ES.
Miles Mathew B, dan Huberman A, Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Alih bahasa Tjetep Rohendi Rohidi. UI-Press : Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya : Bandung.
Sastrowardoyo. “Deregulasi Sisi yang Menyehatkan dan Mematikan”. Prisma Edisi ke 3. 1989.
Sheinder, Eugene. 1986. Sosiologi Industri. Cetakan Indonesia PT Aksara Persada: Jakarta.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Cetakan Indonesia Insist Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Sugiono, Muhadi.1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. PT Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Suseno, Franz Magnis.2001. Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Suyatno, Hempri dan Suparjan. Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Nomor 3 Edisi Maret 2002
Surbakti, Ramlan. Himpunan Teori-Teori Politik. Untuk Kalangan Sendiri (FISIP UNAIR : Surabaya).
Staniland, Martin.2003. Apakah Ekonomi Politik Itu ? (Sebuah Studi Teori Sosial dan Keterbelakangan). PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Spillane, James J. 2003. “ Industri Ringan Kaki : Neoliberalisme dan Investasi Global “. dalam Wahono, Francis I Wibowo. 2003. Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas : Yogyakarta.
Latief. Dochak. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global. Muhammadiyah University Press : Surakarta.
Priyono, B Herry. 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme.  dalam Wahono, Francis I Wibowo. 2003. Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas : Yogyakarta.
Yustika, Erani Ahmad. 2000. Industrialisasi Pinggiran. PT Pustaka Pelajar : Yogyakarta.



Mao Tse Tung Sang Revolusioner China



Pemikiran Politik Mao Tse Tung (RRC)
Oleh : Wiwi Widiasuti.,S.IP

Bibiografi Singkat
Mao Tse Tung lahir di Shao Shan, Provinsi Hunan pada tanggal 23 Desember 1893. ia merupakan anak laki-laki dari keluarga petani yang sangat sederhana. Masa kanak-kanak dan remajanya dihabiskan di Shao Shan san baru pada usia 17 tahun ia melanjutkan sekolah di Chang Sha, ibu kota Provinsi Hunan, dimana pada tahun 1911 di Cina Tengah terjadi revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Kekaisaran.
Mao Banyak mengenal tentang Darwin, John Stuart Mill dan Rousseau dari buku-buku yang dibacanya di perpustakaan, terlebih ia membiayai hidupnya dengan bekerja pada Hunan Provincial Library. Selanjutnya pada tahun 1918 Mao pergi ke Peking (sekarang Beijing), ibu kota Cina untuk bekerja di sebuah perpustakan Universitas dengan gaji rendah. Lingkungan inilah yang mempertemukan Mao dengan orang-orang beraliran Marxis Radikal seperti Li Ta Chao seorang ketua perpustakaan dan Profesor Chen Tu Tsui. Profesor Chen Tu Tsui inilah yang nantinya dikenal sebagai pendiri Partai Komunis Cina.
Mao kembali ke Chang Sha untuk terlibat dalam dunia pendidikan dan menjadi seorang kepala sekolah dasar. Disamping itu Mao juga banyak membantu mendirikan Partai Komunis di Chang Sha. Pada tahun 1921 Mao terpilih menjadi Sekretaris Umum Partai Komunis Cina di Hunan dalam kongres yang diselenggarakan di Shanghai. Sesuai dengan ideologinya yang berkiblat ke Sovyet, pada tahun 1931-1934  Mao ikut mendirikan Partai Sovyet Sosialis Republik (CSSR) di Cina bagian tenggara dan Mao terpilih menjadi pemimpinnya.
Hal yang sangat heroik dilakukan oleh Mao adalah Long March pada tahun 1934 dari Cina bagian tenggara sampai ke Cina Barat laut. Hal ini mendapatkan  simpati yang besar dari masyarakat petani di pedesaan. Padahal saat itu Cina masih dikuasai oleh kekuatan Nasionalis (Kuomintang) pimpinan Chiang Kai Sek. Tetapi ketika terjadi perang Cina – Jepang pada tahun 1937, kekuatan komunis dan nasionalis menjadi bersatu melawan Jepang. Pasca perang Cina - Jepang ini terjadi perebutan kekuasan antara kaum Komunis dan Kaum Nasionalis yang berakibat kaum Nasionalis nenyingkir ke kepulauan Taiwan. Partai Komunis Cina sebagai partai yang berkuasa pada tahun 1949 mendirikan Republik Rakyat Cina dan menjadikan Mao Tse Tung sebagai presidennya.
Sepanjang hidupnya Mao memiliki tiga istri yaitu Yang Kaihui sebagai istre pertama, Ho Zuchen sebagai istri kedua dan Lang Ping yang lebih dikenal sebagai Jiang Qing sebagai istri ketiga.

Pemikiran Politik  
Pemikiran politik Mao Tse Tung sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan Lenin. sebagai penganut ideologi komunis, Mao tetap mendasarkan pemikirannya pada perjuangan kelas. Pada masyarakat Cina yang baru saja lepas dari pemerintahan imperialis selama berabad-abad sangat sulit mewujudkan cita-cita komunisme karena meskipun sudah banyak kaum terdidik yang modern tetapi budaya imperialis masih banyak melekat sehingga kaum modern ini justru menciptakan kelas tersendiri di Cina. Dalam istilah Mao, keadaan ini disebut sebagai kontradiksi. Kontradiksi inilah yang akan banyak mempengaruhi pelaksanaan pembangunan dan perwujudan kehidupan tanpa kelas di Cina.
Istilah kontradiksi sendiri diadopsi Mao dan Lenin yang mengatakan bahwa dialektika adalah studi tentang kontradiksi dalam hakekat itu sendiri. Ditambahkan oleh Mao bahwa kontradiksi adalah hukum kesatuan dari hal-hal yang berlawanan dan merupakan hukum terpokok dari dialektika materialis. Dalam konteks budaya Cina yang lekat dengan feodalisme yang berakar sejak masa kekaisaran menurutnya sangat perlu dilakukan perubahan untuk masyarakat komunis.
Pemikiran Mao yang lain dikenal dengan dialektika. Dialekstika materialis ini mengajarkan kita untuk melihat realitas internal, karena segala hal yang berkembang berasal dari realitas internal itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat Cina harus pandai-pandai mempersatukan realitas internal untuk kepentingan pembangunan.
Terwujudnya masyarakat modern tanpa kelas menurut Mao adalah bagaimana masyarakat memandang realitas internal yang ada serta bagaimana pandangan masyarakat tentang realitas itu dapat dipersatukan. Demikian pula dengan peran negara untuk mengatasi adanya kontradiksi dalam masyarakat.
Negara ideal dalam pemikiran Mao adalah negara diktator demokrasi rakyat yang dipimpin oleh kelas buruh atas persekutuan buruh dengan tani. Sedangkan fungsi negara menurut Mao adalah sebagai penindas kelas dan kaum reaksioner serta kelas penghisap yang melawan revolusi sosialis, memecahkan kontradiksi dalam negeri, memelihara ketertiban dan melindungi kepentingan rakyat serta membela negara dari agresi luar negeri terutama kapitalis. Untuk itulah Mao menggunakan istilah Sentralisme Demokrat sebagai sarana untuk mengatasi realitas internalnya.
Sentralisme Demokrat bermakna bagi rakyat untuk tetap memiliki hak dan kebebasannya sebagai warga negara termasuk bidang politik secara demokratis. Namun demokrasi yang dimaksud disini adalah demokrasi yang terpusat, hal ini mengandung tujuan agar rakyat tidak menggunakan kebebasannya secara sewenang-wenang yang akan berakibat merugikan kebebasan orang lain dan lebih jauh lagi berakibat pada pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, demokrasi yang terpusat diyakini Mao sebagai jalan yang terbaik bagi pembangunan di Cina.

Implementasi
Banyak yang menilai kebijakan-kebijakan pembangunan Mao merupakan kebijakan yang sangat utopis yang ditandai dengan adanya komune rakyat. Impian ini menjadi obsesi bagi Mao dimana komune menjadi satuan dasar baru dari suatu masyarakat komunis yang merupakan prasarana kelembangaan yang mampu menjembatani kesenjangan yang ada baik itu kesenjangan antara desa dengan kota, buruh, petani dengan kaum intelekual.
Menyadari realitas internal dan pengalaman pahit masa lalu tentang gagalnya perjuangan kaum buruh dan kehebatan pemberontakan kaum petani pada bulan mei 1925 membuat Mao berpikir bahwa kaum petani merupakan kekuatan paling besar dan revolusioner yang dapat digunakan untuk mewujudkan revolusi sosialis di Cina, sehingga dalam perjuangannya komunis di Cina memiliki perbedaan karakteristik dari komunis di negara asalnya, meski tetap berpegang teguh pada Marxisme dan Leninisme. Dalam kepemimpinannya Mao melakukan strategi rekonstruksi tehadap pemikiran dasar gerakan komunis Cina yang berbasis pada petani yaitu mengutamakan petani sebagai kekuatan pokok revolusi, mementingkan pembentukan tentara komunis secara tersendiri untuk melindungi keutuhan hidup partai, menjadikan daerah pedesaan dimana sebagian besar petani tinggal sebagai basis perjuangan. Disamping rekonstruksi, Mao juga melakukan konsolidasi untuk dapat menghilangkan hubungan produksi yang eksploitatif. Salah satunya dengan melakukan sistem pembaharuan kepemilikan tanah (landreform) yang dinilai perlu untuk membangun hubungan produksi yang egaliter bagi pembentukan pola pertanian kolektif. Kampanye landreform ini sekaligus untuk menghapus kelas tuan tanah.
Dalam hal pembangunan, Mao menetapkan sistem pembangunan lima tahun (Pelita) sebagai strategi untuk melihat perkembangan masyarakat dan perkembangan yang terjadi di dalam partainya. Pada Pelita I banyak diadopsi model-model pembangunan Soviet yang dikenal sebagai Stalinist Strategy yang bertujuan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan penekanan pada sektor industri dengan produksi yang padat modal. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari peranan Deng Xiaoping dan Liu Shaoqi sebagai perumus kebijakan pada masa pemerintahan Mao. Pada tahun 1957 mao mencetuskan kebijakan Lompatan Jauh Ke Muka (Da Yuejin) dengan pertimbangan bahwa pembanguna model Sovyet hanya akan membawa masyarakat pada revisi ideologi. Sedangkan Mao lebih berambisi untuk menyongsong momentum milenium. Untuk itu Lompatan Jauh Ke Muka (Da Yuejin) memiliki target yang sangat tinggi diantaranya mengejar produksi industri berat Inggris dalam waktu 15 tahun, mendahului kemajuan Sovyet dalam pembangunan sosialis berencana dengan mengandalkan semangat Maoisme dan faktor tenaga kerja yang besar, menyamai produksi besi baja Amerika dalam waktu 8 tahun. Untuk melaksanakannya Mao merasa perlu mementuk Komune Rakyat yang merupakan kesatuan usaha mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, produksi dan investasi masyarakat. Pelaksanaan Da Yuejin ditandai oleh pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran dan pengawasan partai yang ketat, pengurangan insentif material, penghentian bentuk-bentuk usaha swasta, pengarahan politik dan usaha pencapaian target yang irasional dari produksi sektor pertanian maupun industri.
Pelaksanaan kebijakan Da Yuejin ini tidaklah berjalan dengan lancar, bahkan hasilnya bertolak belakang dengan yang diinginkan. Para petani merasa dipaksa bergabung dengan komune-komune yang membuat kehidupan keluarganya menjadi miskin. Dengan jam kerja yang padat dan upah yang kecil, pelayanan kesejahteraan yang tidak memadai serta tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas rumah tanah, kebun maupun ternak. Dengan kesejahteraan yang tidak memadai sangat tidak mungkin bagi rakyat untuk menghasilkan produktifitas yang tinggi. Kebijakan ini membawa dampak buruk bagi perekonomian Cina yang sebelumnya sudah membaik dalam Pelita I dengan pertumbuhan yang dinamis dari sektor pertanian maupun industri.
Kebijakan Mao yang lain adalah Revolusi Kebudayaan (1966 – 1969). Revolusi kebudaaan adalah konsep pembangunan yang mendasarkan diri pada mobilisasi politik, bukan pada prinsip teknokratisme. Mobilisasi politik inipun masih mendasarkan pada dialektika materialis yang mengutamakan transformasi individu sebagai alat dan tujuan pembangunan sosialis. Menurutnya pembangunan ekonomi akan mencapai sasaran apabila dilakukan secara merata dan seimbang sehingga seluruh anggota masyarakat dapat mengambil keuntungan bersama.
Revolusi Kebudayaan meliputi dua bidang utama yaitu pembaharuan manajemen industri dan sistem pendidikan. Dalam bidang manajemen industri dilakukan upaya partisipasi buruh dalam bidang administrasi serta partisipasi kader dalam kerja buruh (liang san), partisipasi masa secara positif dalam produksi (yi gai) dan aliansi segitiga antara kader, pekerja, dan teknisi dalam mendukung administrasi publik. Dalam bidang pendidikan Revolusi Kebudayaan diarahkan untuk mengkombinasikan dan menserasikan perkembangan ekonomi dengan revolusi sosial. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kondisi masyarakat agar tidak tergantung pada teknokrat yang mengabdi bagi kepentingan sendiri. Strategi yang dilakukan adalah dengan mengintensifkan pendidikan ideologi agar tercipta kesadaran politik. Buku merah yang berisi pemikiran politik Mao menjadi bacaan wajib bagi masyarakat. Sementara itu integrasi antara teori dan praktek dimaksudkan agar sistem pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan langsung produksi di daerah pedesaan. Revolusi ini mengalami berbagai kendala, liang san sangat sulit terealisasi karena bidang keahlian buruh dan kader sangat jauh berbeda. Sedangkan gerakan pembaharuan pendidikan Mao  lebih banyak dinilai sebagai sarana melanggengkan karismanya. Revolusi Kebudayaan sangat mempengaruhi kondisi ekonomi Cina. Kemerosotan ekonomi dan mutu pendidikan menjadi masalah utama pasca gerakan ini. Namun dari segi pemerataan (egalitarianisme strategy) kebijakan pembangunan Mao membuat Cina mengalami kemajuan yang mengagumkan dibandingkan dengan negara berkembang lain pada masa itu
  
Referensi :
1.     Raharjo, Dawam. Esai-Esai Ekonomi Politik. LP3ES. Jakarta.1983
2.     Tjeng, Lie Tek. RRC Sebagai Kekuatan Asia. LRKN-LIPI. 1982
3.     Wang, James CF. Contemporary Chinese Politics An Introduction. Prentice Hall Inc. New Jersey. 1980
4.     Tse Tung, Mao. Empat Karya Filsafat. FuspAd. Yogyakarta. 2001
5.     Nainggolan, Poltak Partogi. Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping. Pustaka Sinar Harapan. 1995
  

Teori Perwakilan



Teori Perwakilan
Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si

Pengantar
Sebelum membahas tentang teori ini, ada baiknya kita membahas mengenai teori klasik tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan antara wakil dan terwakil, dikenal dengan teori mandat. Di dalam teori ini pada dasarnya berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandate yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakat, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. (Wahidin, 2007 : 40).
 Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari :
1)     Mandat imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orang-orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya.

2)     Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya.

3)     Mandat representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori mandat representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu.
Perkembangan berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili ini berkembang Teori Organ yang beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa pemilihan organ perwakilan menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili dalam jumlah sangat banyak.
Gambaran sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu ada berbagai organ yang harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu organ dimaksud adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya bersifat formalistik. Dalam arti orang-orang yang duduk di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum. Keberadaan organ itu memenuhi persyaratan formal dari eksistensi negara yang mengaruskan adanya lembaga perwakilan. Jadi tidak dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili, apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh yang memberikan kewenangan.
Di dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang melakukan telaah tentang bagaimana hubungan antara wakil dan terwakil tersebut namun pendapat para ahli dapat dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya gambaran hubungan wakil dan orang yang diwakili dalam nilai sosiologis yang menggambarkan bahwa lembaga perwakilan pada dasarnya adalah sebagai bangun sosial masyarakat. Jadi harus mewakili kepentingan masyarakat.
Demikian pula pendapat dari Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan wakil dan orang yang diwakil, tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat objektif.
Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai akibat dari mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil.
Atas dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan.

Sumber : Samsul Wahidin, 2007, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia: Penerbit   
Pustaka Pelajar

Entri Populer