Senin, 16 Juli 2012

Ilusi Antikorupsi dan Negara Gagal

M. M. Gibran Sesunan


Ilusi Antikorupsi dan Negara Gagal

OKEZONE.COM

The Fund For Peace baru saja mengeluarkan hasil surveinya yang bertajuk Indeks Negara Gagal dan menempatkan Indonesia dalam kategori waspada (warning). Penilaian ini tentu menohok kita sebagai sebuah bangsa, sekaligus juga mempertanyakan kinerja pemerintahan yang selama ini menggembar-gemborkan klaim keberhasilannya.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa dari empat fase negara yaitu negara kokoh dan berhasil (sustainable), negara rata-rata (moderate), negara dalam status waspada (warning), dan negara gagal (alert), Indonesia termasuk negara dalam kategori waspada dan lebih dekat dengan kategori negara gagal dibandingkan dengan negara rata-rata.

Ilusi Antikorupsi

Penegakan hukum menjadi salah satu indikator dalam menilai indeks suatu negara. Korupsi masih menjadi sumber petaka, dan interrelasi antara korupsi dan negara gagal bersifat linear dan tak terpisahkan. Michael Johnston dalam bukunya Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (2005) telah mengingatkan bahwa korupsi melemahkan negara karena menggerogoti institusi sosial politik yang notabene menjadi tiang negara.

Tentu saja, permasalahan korupsi masih menjadi titik krusial yang tak kunjung dapat diselesaikan dengan tuntas karena semangat Pemerintahan Yudhoyono dalam memberantas korupsi hanya sebatas wacana dan klaim keberhasilannya sekadar angka-angka.

Presiden bahkan lebih disibukkan dengan prahara dugaan korupsi besar-besaran di Partai Demokrat dibandingkan mengurus negara. Presiden yang mendeklarasikan diri sebagai garda depan pemberantasan korupsi tidak pernah memimpin dengan teladan.

Turunnya angka kemiskinan dan pengangguran akan sia-sia jika korupsi merajalela. Korupsi menghambat pemerataan kesejahteraan sehingga membuat ketimpangan kian menjadi-jadi. Wibawa pemerintah kian hancur karena korupsi terjadi di hampir setiap sendi pemerintahan. Bahkan kita seolah berlari kencang namun pada kenyataannya diam di tempat. Pemberantasan korupsi hanya ilusi yang membuat Indonesia bebas korupsi menjadi utopia.

Gerakan Kolektif

Tanpa menggunakan indikator tersebut, kita perlu kembali mengingat bahwa sebenarnya kita telah memiliki indikator keberhasilan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dan tanpa menunggu survei tersebut, kita tentu sadar betapa akutnya korupsi di negeri ini. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika kesadaran tersebut tidak bertransformasi menjadi gerakan kolektif untuk melawannya. Rakyat jelas perlu mengingatkan para penguasa negeri yang membiarkan negara berjalan tanpa pemimpin.

Presiden sebagai pemimpin tertinggi seharusnya mempunyai kekuatan untuk bertindak. Di bawahnya tunduk Kepolisian dan Kejaksaan yang seharusnya mampu menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi yang berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jangan pernah berharap korupsi di sektor-sektor lain dapat hilang jika korupsi masih menjangkiti para penegak hukum. Kita perlu belajar dari Komisi Antikorupsi Hongkong (ICAC) yang memulai gerakan nasional antikorupsi dengan membenahi dan membersihkan institusi kepolisiannya.

Selayaknya Presiden berani untuk mengganti Kapolri dan Jaksa Agung jika terbukti tidak memiliki gebrakan dan determinasi dalam usaha memberantas korupsi. Kedua institusi ini sangat strategis sehingga harus segera direvitalisasi. Sembari melakukan pembenahan, kita dukung pula kerja-kerja KPK dengan bersama melindunginya dari serangan balik para koruptor. KPK tidak didesain sebagai lembaga permanen sehingga Indonesia harus siap dengan Kepolisian dan Kejaksaan jika suatu saat tidak ada lagi lembaga negara yang khusus menangani tindak pidana korupsi.

Yang jelas, indeks negara gagal yang kita raih harus menjadi peringatan dini untuk segera berbenah. Pemerintah jangan lagi hanya beretorika, karena berbahaya jika korupsi dianggap biasa dan kelazimannya menjadi semacam “budaya” sehingga kemudian kita lupa.

M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Partai Islam dan Partai Islami

Ardi Winangun

Partai Islam dan Partai Islami


OKEZONE.COM

Bagi pengurus dan pemilih tradisional partai-partai yang berhaluan Islam tentu merasa tersinggung dengan sebuah survei yang menunjukan bahwa partai berhaluan Islam elektabilitasnya terus merosot hingga Pemilu 2014. Banyak faktor yang menyebutkan mengapa elektabilitasnya terus menurun, salah satu faktornya disebutkan, pemilih semakin sekuler di mana agama tidak lagi menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan publik dalam pemilu.

Apa yang dilakukan oleh salah satu lembaga survei itu sebenarnya bukan hal yang baru. Partai-partai berhaluan Islam sudah sejak lama memprediksi hal itu dan segera menyusun strategi baru. Partai-partai Islam sudah merasa kalau hanya mengandalkan pemilih tradisional, dengan semakin tingginya angka parlement threshold, maka keberadaan partai-partai Islam akan segera hilang di parlemen.

Pengurus partai-partai Islam sudah banting stir untuk meluaskan cakupan pemilih. Misalnya, dalam sebuah kesempatan membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II dan Harlah XXXVII PPP (Partai Persatuan Pembangunan), di Medan, Sumatera Utara, Januari 2010, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengatakan, isu keislaman tidak mampu mendongkrak dukungan bagi partai Islam. Ini bisa terjadi karena dikatakan, persoalan krusial yang menjadi perhatian utama masyarakat adalah keterjangkauan harga kebutuhan pokok, bukan lagi pada isu ritual keagamaan.
Sementara partai-partai politik Islam, saat-saat ini, masih mengemukakan isu keislaman yang masih pada tataran simbol dan ritual keagamaan. Untuk itu Suryadharma Ali mengharap, PPP harus bisa mengartikulasikan gagasan yang lebih membumi dan menyentuh hajat hidup orang banyak.

Pun demikian, PKS saat menggelar Munas (Musyawarah Nasional) II PKS, Juni 2010, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, menyatakan dirinya menjadi partai yang transformatif, menumbuhkembangkan diri di internal maupun luar. PKS sudah saatnya masuk ke dalam wacana kebangsaan yang lebih menukik. Tidak ada lagi dikotomi antara Islam, nasionalisme, maupun sekularisme dalam pandangan PKS dan Pancasila sebagai konsensus tidak perlu lagi diperdebatkan. Untuk itu PKS ingin menjadi partai nasionalis religius.

Apa yang dikatakan PKS di tempat itu sebenarnya menjadi gong dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Pada Januari 2008, PKS mengadakan Mukernas di Bali. Mukernas yang diadakan di pulau di mana mayoritas penduduknya beragama Hindhu itu merupakan tindak lanjut dari apa yang pernah disampaikan oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring, saat itu, dalam Rapimnas PKS di Hotel Putri Gunung, lembang, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2007, mengatakan partainya akan melakukan ekspansi terhadap kalangan nasionalis dan sekuler.

Kalau dibilang ceruk pemilih Islam semakin menurun sebenarnya tidak tepat, sebab beberapa partai yang berbasis nasionalis bahkan sekuler pun membentuk organ-organ yang hendak mewadahi kaum santri. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), untuk mewadahai kalangan santri mereka membentuk Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). PDIP membentuk wadah yang demikian bukan hanya sekadar menunjukan bahwa kaum nasionalis juga agamis, namun juga melihat potensi dari kalangan santri, Muhmmadiyah dan NU, yang cukup melimpah.

Alasan elektabilitas partai yang berhaluan Islam semakin menurun terkait dengan semakin banyaknya ummat Islam mencoblos partai berhaluan nasionalis atau sekuler bukan sebuah ukuran masyarakat menjadi sekuler, namun ini sebuah gejala baru di tengah masyarakat kita sejak Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam. Dengan memberi ruang kepada ummat Islam, seperti diperbolehkannya memakai jilbab, adanya bank Islam, dan berdirinya ICMI, maka masyarakat semakin religius dan lebih islami.

Ketika Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam, maka simbolisasi agama bukan dimonopoli oleh golongan santri, namun kaum abangan dan priyayi pun menggunakan simbol-simbol yang biasanya digunakan kaum santri itu. Bila dahulu, jilbab digunakan hanya di pesantren, namun setelah Orde Baru memberi ruang kepada ummat Islam maka perempuan berjilbab bisa ditemui di sekolah, kampus, kantor, dan di setiap-setiap tempat yang ada. Demikian pula semakin banyak kaum abangan dan priyayi yang melakukan ibadah haji.

Gejala seperti ini merembes ke partai-partai nasionalis dan sekuler. Banyak kader-kader organisasi Islam, seperti HMI, PMII, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor, difasilitasi, masuk, dan direkrut ke dalam parta-partai politik berhaluan nasionalis dan sekuler, seperti Partai Golkar, PDIP, Partai Demokrat, dan partai lainnya. Semakin banyaknya alumni-alumni organisasi Islam masuk ke dalam partai berhaluan nasionalis dan sekuler tentu mempengaruhi wajah dan gerak partai-partai itu.

Pengaruh dari banyaknya alumni organisasi Islam masuk ke partai-partai berhaluan nasionalis bahkan sekuler membuat kebijakan partai-partai itu tidak membahayakan eksistensi ummat Islam dalam menjalankan ibadah. Bahkan kebijakan-kebijakan partai-partai itu sejalan dengan kepentingan ummat Islam. Misalnya, Partai Golkar mendukung UU. Sisdiknas dan UU Antipornografi dan Antipornoaksi. Partai Demokrat pun demikian. Dalam beberapa hal, PDIP pun juga memperjuangkan kepentingan ummat Islam, seperti masalah ongkos naik haji agar lebih terjangkau dan transparan.

Dengan demikian, bila partai-partai Islam elektabilitasnya semakin menurun dalam Pemilu 2014, dan ancaman tak lolos dari parlement threshold, itu bukan menjadi masalah bagi ummat Islam, sebab seperti paparan di atas, dengan semakin banyaknya alumni organisasi Islam yang masuk dalam partai berhaluan nasionalis atau sekuler, membuat partai nasionalis atau sekuler menjadi islami. Dari waktu ke waktu akan semakin banyak ummat Islam yang menghiasi partai-partai berhaluan nasionalis dan sekuler, sehingga secara otomatis partai-partai itu akan lebih menjadi islami.

Ardi Winangun
Pengamat Politik

Pilpres 2014 Tak Ada Lagi Pertarungan Ideologi Partai


Pilpres 2014 Tak Ada Lagi Pertarungan Ideologi Partai
Tegar Arief Fadly - Okezone
Selasa, 17 Juli 2012 00:07 wib


JAKARTA - Banyak pihak yang menilai bahwa pada pemilihan presiden 2014 mendatang akan banyak bermunculan tokoh-tokoh baru, tak terkecuali dari kalangan pemuda. Namun, menurut Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Tohari, pilpres mendatang akan muncul pertarungan antar figur, bukan pertarungan antara ideologi suatu partai.

"Memang benar tidak ada pertarungan ideologi dalam Pilpres 2014. Dari nama-nama yang muncul ke permukaan memang susah untuk membedakan warna ideologi mereka masing-masing," kata dia saat dihubungi wartawan, Senin (16/07/2012).

Hajriyanto membandingkan sistem Pilpres di Indonesia dengan Amerika. Di Amerika, calon yang maju sebagai presiden memiliki ideologi jelas. Mana yang konservatif, mana yang liberal. Meskipun ada kecenderungan semuanya ke tengah, tetapi tetap kelihatan jelas mana yang kanan tengah atau mana yang kiri tengah.

"Sementara di Indonesia babar pisan, tidak ada bedanya. Secara ideologis mereka sama, yaitu ideologi ingin berkuasa menjadi presiden, itu saja. Sementara program-programnya hanyalah aksesoris belaka," tegasnya.

Dalam Pilpres, sambung Hajriyanto, jangankan pertarungan ideologi, bahkan paradigma partai politik pengusungnya saja seringkali tidak tercermin dalam figur pasangan capres dan cawapresnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa partai yang berbasis Islam yang mengusung figur yang bukan berasal dari partai berbasis Islam, misalnya dari partai nasionalis.

"Dalam satu hal kecenderungan ini positif karena menunjukkan tuntasnya Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Tetapi dari aspek lain ada negatifnya, yaitu terjebak dalam ideologi pragmatisme yang kering nilai dan cita-cita luhur. Akhirnya perpolitikan nasional terjebak dalam pragmatisme materialistis," paparnya.

Untuk itu, banyak kalangan yang berharap agar masing-masing parpaol melakukan regenerasi. Namun menurut Hajriyanto, regenerasi yang dilakukan selama ini tidak murni berlandaskan keinginan untuk menciptakan pemimpin baru yang bisa merubah arah masa depan bangsa. Namun hanya berdasarkan pada kekecewaan terhadap politisi tua.

"Karena kejenuhan atau bahkan kekesalan kepada yang tua maka muncullah gelombang tuntutan regenerasi. Tetapi generasi baru yang seperti apa mereka juga tidak tahu. Pokoknya yang penting ada regenerasi karena kecewa pada yang tua-tua," tandasnya.

Entri Populer