Selasa, 03 April 2012

Konflik Ekonomi Politik dan Tantangan Otonomi Daerah dalam Menekan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Banyumas

Konflik Ekonomi Politik dan Tantangan Otonomi Daerah dalam Menekan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Banyumas

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Program Studi Ilmu Politik
Universitas Siliwangi Tasikmalaya



ABSTRAK

Kondisi perberasan nasional saat ini cukup memprihatinkan, Indonesia yang pernah diklaim sebagai negara agraris realitasnya sudah memasuki dalam 10 besar kelompok negara importir beras. Meski program revitalisasi pertanian Indonesia sudah digulirkan, dan adanya political will dari pemerintah terhadap sektor pertanian sudah sangat banyak, bahkan yang terbaru dengan menerbitkan UU No 41 tahun 2009 dan PP No 1 tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi. Formulasi kebijakan tersebut guna menyelamatkan pertanian dalam negeri. Secara implementasi revitalisasi pertanian tidak didukung sepenuhnya di level praktis
Berkurangnya produksi beras lokal dipengaruhi banyak faktor, salah satunya yang paling krusial adalah alih fungsi lahan pertanian yang semakin sempit, karena beralih ke sektor non pertanian, terutama bagi sektor pemukiman. Masalah ini ada kepentingan yang saling tarik menarik dan adanya benturan kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha yang bergerak di luar pertanian, serta kebutuhan konsumen (pasar) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun karena lonjakan jumlah penduduk.
Penelitian yang menggunakan analisis ekonomi-politik, dengan metode penelitian kualitatif. Akan menguak bagaimana permasalahan alih fungsi lahan di tingkat lokal, khususnya di Kabupaten Banyumas, Kecamatan Purwokerto Barat, Kelurahan Kober. Lahan pertanian produktif dialihkan menjadi sektor pemukiman Sappire Regency oleh pihak developer PT Putra Satria Agung. Bagaimana agenda kebijakan pemerintah dipahami dalam memutuskan pengalihan fungsi lahan produktif menjadi sektor perumahan, mengapa sektor pertanian menjadi second priorty atau tersingkir dari kebijakan pemerintah. Kemudian kepentingan mana yang diuntungkan dan dirugikan dari kebijakan tersebut.
Realitasnya revitalisasi pertanian dan pengamanan lahan pertanian produktif yang kian menyempit hanya jargon politik pemerintah, secara substansi dan relevansinya dalam peraturan perundangan yang sudah mengatur pelarangan konversi lahan pertanian produktif dan sawah irigasi teknis yang ditekankan hanya “political semata, tidak ada “will-nya sebagai tujuan revitalisasi pertanian itu sendiri untuk mengamankan pasokan pangan dalam jangka panjang di Indonesia.
Ketidakhadiran ketegasan dan komitmen memberikan perlindungan dan mengendalikan lahan pertanian produktif dan sawah irigasi teknis terhadap pembangunan pemukiman. Ironisnya mengalami benturan dan tumpang tindih peraturan perundangan tata ruang wilayah, tata kota dan kepentingan pemerintah pusat dan daerah. Dalam melakukan pembangunan yang cenderung mengutamakan "make up" perwajahan kota, agar menarik bagi investasi. Konsep pembangunan pertanian diterjemahkan dengan paradigma yang bertolak belakang dengan konsep revitalisasi pertanian.
Secara fundamental hambatan untuk mengimplementasikan program revitalisasi pertanian tersebut.  Pertama adalah, perangkat hukum formal yang ada  secara subtantif masih sangat lemah dan banyak celah yang mudah diselewengkan, kondisi ini memberikan peluang yang cukup besar bagi pihak tertentu untuk memperebutkan lahan pertanian untuk kebutuhan lainnya. Kedua adalah, peraturan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dengan peraturan untuk mengendalikan dan melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan di Indonesia kurang terpadu, ditambah lagi dengan benturan peraturan daerah saat ini yang sangat bersemangat membangun perekonomian daerah dalam era otonomi daerah dalam meningkatkan PAD. Tidak adanya sinkronisasi dan kesinambungan pembagian RTRW antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan peluang bagi banyak kepentingan untuk bermain di dalam mengatur rencana tata ruang dan wilayah suatu daerah. Ketiga, lemahnya sistem pengawasan pemerintah, terkait pengalihfungsian lahan khususnya yang terjadi dalam skala kecil. Pemerintah khususnya dari departemen pertanian, juga tidak mampu memberikan langkah persuasif dan preventif terhadap terjadinya pengalihfungsian lahan pertanian ke non pertanian.


Kata Kunci : Ekonomi Politik, Alih Fungsi Lahan, dan Benturan Kepentingan









0 komentar:

Entri Populer