Bandung - - Menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 panggung perpolitikan Indonesia semakin semarak dengan kehadiran publik figur (red: artis) yang mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub untuk lima tahun ke depan.
Sebelumnya sejarah telah merekam beberapa nama artis yang telah lebih dulu eksis di dunia politik, seperti Rachel Maryam, Rano Karno, Dicky Candra, Ruhut Sitompul, Anggelina Sondakh, Marisa Haque, Nurul Arifin, Adjie Massaid (Alm), Zumi Zola, dan sederet nama lainnya.
Melihat fenomena tersebut, banyak pihak yang kemudian angkat suara dan menilai hal ini merupakan langkah parpol yang pragmatis guna mendulang suara untuk meraih kemenangan.
Hal ini membuktikan vote getter untuk artis masih menjadi hal yang cukup menjanjikan dalam kampanye politik di era perpolitikan saat ini.
Biaya politik demokrasi yang teramat mahal "memaksa" parpol berkompetensi mengeluarkan sejumlah strategi untuk mendulang suara, salah satunya menggandeng artis yang cukup populer di mata masyarakat dan yang dianggap memiliki track record yang bersih.
Bukan hal yang salah ketika banyak artis yang kemudian beralih profesi menjadi politisi. Hanya saja, dalam menyelesaikan problematika bangsa yang dibutuhkan bukan hanya ketokohan semata, melainkan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin.
Negeri ini bukanlah panggung sandiwara seperti dalam film-film atau sinetron-sinetron yang pernah mereka bintangi.
Negeri ini adalah negeri yang diliputi berbagai permasalahan yang multidimensi, memiliki penyakit yang sudah sangat kronis dan harus segera disembuhkan.
Namun, apakah dengan menjadikan artis sebagai seorang pemimpin dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab untuk menyelesaikan problematika kehidupan ini? Tentu saja tidak bisa semudah itu.
Banyak artis yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tetapi permasalahan yang ada tak kunjung usai. Bukankah ini cukup membuktikan, menggandeng artis bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di negeri ini, khususnya Jawa Barat.
Salah satu permasalahan Jabar yang cukup krusial dan hingga saat ini belum terselesaikan yakni terkait ketenagakerjaan.
Perlindungan kaum pekerja dimana saat ini eksploitasi besar-besaran menimpa para buruh yang lebih didominasi oleh kaum perempuan menjadi kasus yang fenomenal dan tidak pernah selesai dari dulu hingga sekarang.
Hakikatnya, permasalahan yang melanda negeri ini merupakan permasalahan sistemik. Tidak cukup hanya sebatas ganti pemimpin semata.
Namun, dibutuhkan juga pengobatan yang sistemik pula dengan menanggalkan sistem pemerintahan kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi yang mahal dan menggantinya dengan sebuah sistem pemerintahan yang sudah teruji selama 1400 tahun lamanya, yaitu sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.
Dengan demikian, seharusnya parpol menyadari bahwa menggandeng artis tidak bisa memberikan kemaslahatan kepada ummat.
Dan sudah seharusnya parpol berupaya untuk sama-sama mewujudkan negeri yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat ini dengan sama-sama berjuang menerapkan kembali sistem pemerintahan Islam.
*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung
Selasa, 12 Februari 2013
Artis Jadi Politisi: Vote Getter atau Prestasi?
Artis Jadi Politisi: Vote Getter atau Prestasi?
Rismayanti Nurjannah - detikNews
Bandung - - Menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 panggung perpolitikan Indonesia semakin semarak dengan kehadiran publik figur (red: artis) yang mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub untuk lima tahun ke depan.
Sebelumnya sejarah telah merekam beberapa nama artis yang telah lebih dulu eksis di dunia politik, seperti Rachel Maryam, Rano Karno, Dicky Candra, Ruhut Sitompul, Anggelina Sondakh, Marisa Haque, Nurul Arifin, Adjie Massaid (Alm), Zumi Zola, dan sederet nama lainnya.
Melihat fenomena tersebut, banyak pihak yang kemudian angkat suara dan menilai hal ini merupakan langkah parpol yang pragmatis guna mendulang suara untuk meraih kemenangan.
Hal ini membuktikan vote getter untuk artis masih menjadi hal yang cukup menjanjikan dalam kampanye politik di era perpolitikan saat ini.
Biaya politik demokrasi yang teramat mahal "memaksa" parpol berkompetensi mengeluarkan sejumlah strategi untuk mendulang suara, salah satunya menggandeng artis yang cukup populer di mata masyarakat dan yang dianggap memiliki track record yang bersih.
Bukan hal yang salah ketika banyak artis yang kemudian beralih profesi menjadi politisi. Hanya saja, dalam menyelesaikan problematika bangsa yang dibutuhkan bukan hanya ketokohan semata, melainkan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin.
Negeri ini bukanlah panggung sandiwara seperti dalam film-film atau sinetron-sinetron yang pernah mereka bintangi.
Negeri ini adalah negeri yang diliputi berbagai permasalahan yang multidimensi, memiliki penyakit yang sudah sangat kronis dan harus segera disembuhkan.
Namun, apakah dengan menjadikan artis sebagai seorang pemimpin dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab untuk menyelesaikan problematika kehidupan ini? Tentu saja tidak bisa semudah itu.
Banyak artis yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tetapi permasalahan yang ada tak kunjung usai. Bukankah ini cukup membuktikan, menggandeng artis bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di negeri ini, khususnya Jawa Barat.
Salah satu permasalahan Jabar yang cukup krusial dan hingga saat ini belum terselesaikan yakni terkait ketenagakerjaan.
Perlindungan kaum pekerja dimana saat ini eksploitasi besar-besaran menimpa para buruh yang lebih didominasi oleh kaum perempuan menjadi kasus yang fenomenal dan tidak pernah selesai dari dulu hingga sekarang.
Hakikatnya, permasalahan yang melanda negeri ini merupakan permasalahan sistemik. Tidak cukup hanya sebatas ganti pemimpin semata.
Namun, dibutuhkan juga pengobatan yang sistemik pula dengan menanggalkan sistem pemerintahan kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi yang mahal dan menggantinya dengan sebuah sistem pemerintahan yang sudah teruji selama 1400 tahun lamanya, yaitu sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.
Dengan demikian, seharusnya parpol menyadari bahwa menggandeng artis tidak bisa memberikan kemaslahatan kepada ummat.
Dan sudah seharusnya parpol berupaya untuk sama-sama mewujudkan negeri yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat ini dengan sama-sama berjuang menerapkan kembali sistem pemerintahan Islam.
*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung
Bandung - - Menjelang pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 panggung perpolitikan Indonesia semakin semarak dengan kehadiran publik figur (red: artis) yang mencalonkan diri sebagai cagub dan cawagub untuk lima tahun ke depan.
Sebelumnya sejarah telah merekam beberapa nama artis yang telah lebih dulu eksis di dunia politik, seperti Rachel Maryam, Rano Karno, Dicky Candra, Ruhut Sitompul, Anggelina Sondakh, Marisa Haque, Nurul Arifin, Adjie Massaid (Alm), Zumi Zola, dan sederet nama lainnya.
Melihat fenomena tersebut, banyak pihak yang kemudian angkat suara dan menilai hal ini merupakan langkah parpol yang pragmatis guna mendulang suara untuk meraih kemenangan.
Hal ini membuktikan vote getter untuk artis masih menjadi hal yang cukup menjanjikan dalam kampanye politik di era perpolitikan saat ini.
Biaya politik demokrasi yang teramat mahal "memaksa" parpol berkompetensi mengeluarkan sejumlah strategi untuk mendulang suara, salah satunya menggandeng artis yang cukup populer di mata masyarakat dan yang dianggap memiliki track record yang bersih.
Bukan hal yang salah ketika banyak artis yang kemudian beralih profesi menjadi politisi. Hanya saja, dalam menyelesaikan problematika bangsa yang dibutuhkan bukan hanya ketokohan semata, melainkan kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin.
Negeri ini bukanlah panggung sandiwara seperti dalam film-film atau sinetron-sinetron yang pernah mereka bintangi.
Negeri ini adalah negeri yang diliputi berbagai permasalahan yang multidimensi, memiliki penyakit yang sudah sangat kronis dan harus segera disembuhkan.
Namun, apakah dengan menjadikan artis sebagai seorang pemimpin dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab untuk menyelesaikan problematika kehidupan ini? Tentu saja tidak bisa semudah itu.
Banyak artis yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, tetapi permasalahan yang ada tak kunjung usai. Bukankah ini cukup membuktikan, menggandeng artis bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di negeri ini, khususnya Jawa Barat.
Salah satu permasalahan Jabar yang cukup krusial dan hingga saat ini belum terselesaikan yakni terkait ketenagakerjaan.
Perlindungan kaum pekerja dimana saat ini eksploitasi besar-besaran menimpa para buruh yang lebih didominasi oleh kaum perempuan menjadi kasus yang fenomenal dan tidak pernah selesai dari dulu hingga sekarang.
Hakikatnya, permasalahan yang melanda negeri ini merupakan permasalahan sistemik. Tidak cukup hanya sebatas ganti pemimpin semata.
Namun, dibutuhkan juga pengobatan yang sistemik pula dengan menanggalkan sistem pemerintahan kapitalisme dengan sistem politiknya demokrasi yang mahal dan menggantinya dengan sebuah sistem pemerintahan yang sudah teruji selama 1400 tahun lamanya, yaitu sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.
Dengan demikian, seharusnya parpol menyadari bahwa menggandeng artis tidak bisa memberikan kemaslahatan kepada ummat.
Dan sudah seharusnya parpol berupaya untuk sama-sama mewujudkan negeri yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat ini dengan sama-sama berjuang menerapkan kembali sistem pemerintahan Islam.
*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Partisipasi Pemilukada dan Ancaman Golput (Telaah Teori Rational Choice Terhadap Perilaku Pemilih) Oleh : Mohammad Ali Andrias ...
-
Mencari Sosok Ideal Presiden Masa Depan Indonesia Tulisan Ini Mendapat Juara 1 Nasional Kategori Dosen dari Pewarta Indonesia dengan t...
-
Review Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si A. Arti Patologi Birokrasi Istilah “patolog...
-
REVIEW Politik Militer Transisi Pasca Reformasi Kekuatan Politik yang Menghiasi Perpolitikan Indonesia Oleh : Mohammad Ali Andri...
-
Mohammad Takdir Ilahi Menggugat Klaim Kekayaan Intelektual OKEZONE.COM Selasa, 26 Juni 2012 09:25 wib Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysi...
-
M. M. Gibran Sesunan Ilusi Antikorupsi dan Negara Gagal OKEZONE.COM The Fund For Peace baru saja mengeluarkan hasil surveinya yang ber...
-
Antara Seks, Politik, dan Kekuasaan JAKARTA, KOMPAS.com -- Mana yang lebih memalukan dan berakibat fatal di politik? Korupsi atau k...
-
Neolib dan Privatisasi BUMN Sumber : Investor Daily, 30 Juni 2009 - Konsep neoliberal terus menjadi komoditas politik ketika ...
-
Birokrasi dan Partai Politik Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si A. Kehadiran Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan Demokrat...
-
Netralitas Birokrasi dalam Pilkada [1] A. Pengantar Tujuan dalam tulisan ini adalah mengetahui dan menjelaskan netralitas birok...


0 komentar:
Posting Komentar