Jeffrie Geovanie
Mencermati Pilihan Politik Tere
Senin, 11 Juni 2012 08:30 wib
Theresia Ebenna Ezeria Pardede yang popular dipanggil Tere mengambil pilihan politik yang mungkin menurut banyak kalangan tergolong muskil. Pada saat para koleganya begitu kukuh mempertahankan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) walaupun sudah berstatus tersangka dan bahkan sudah menjalani penahanan, Tere malah dengan suka rela mundur dari DPR.
Di permukaan, alasan yang dikemukakan adalah untuk berkonsentrasi mengurus ayahnya, Tombang Mulia Pardede, yang sakit jantung, dan untuk menyelesaikan kuliah S-2 Komunikasi Politik di Universitas Indonesia. Dua alasan ini secara faktual benar adanya. Tapi adakah alasan lain selain mengurus sang ayah dan melanjutkan studi?
Sepengetahuan saya, Tere merupakan sosok anggota DPR yang baik dan konsisten dalam menjalankan tugas, selalu berjalan lurus di atas rel yang digariskan. Secara pribadi saya tidak akrab dengan Tere, tapi dari beberapa pertemuan dan pernyataan-pernyataannya dalam sidang-sidang DPR –yang tak selalu diliput media—tampak dengan jelas kegelisahan jiwa dan ketajaman pikirannya.
Di sebuah media ibu kota, Tere yang lahir di Jakarta, 2 September 1979, mengungkapkan bahwa keputusannya untuk mundur dari DPR dan Partai Demokrat merupakan bagian dari kecintaannya kepada negeri ini. Artinya, ada obsesi besar di balik pengunduran dirinya, yakni bagaimana menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Ada kesan paradoksal dari pernyataannya itu. Seharusnya, jika benar menyintai Indonesia, ia pertahankan jabatan DPR untuk terus ikut berkiprah memperbaiki sistem agar semuanya berjalan sesuai yang dicita-citakan. Karena di DPR lah semua komponen sistem politik dirancang dan diputuskan.
Tapi, yang ditempuh Tere justru sebaliknya, ia menyintai Indonesia dengan mengundurkan diri dari DPR. Ini benar-benar menjadi tamparan buat DPR. Ada pesan yang kuat bahwa DPR bukan tempat yang baik untuk mengekspresikan kecintaan pada Indonesia. Karena logika inversinya berarti, jika ia tetap bertahan sebagai anggota DPR berarti ia tidak menyintai Indonesia.
Sudah sedemikian burukkah citra DPR? Dari yang tampak di permukaan bisa jadi benar. Banyaknya anggota DPR yang terjerat korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa segala modus korupsi ada dan dilakukan oleh anggota DPR. Bagi seorang idealis seperti Tere, kondisi semacam ini pasti akan menggelisahkan. Membuat jiwanya tidak tenang. Maka benarlah apa kata Arvan Pradiansyah, penulis buku best-seller The 7 Laws of Happines, “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi” (Bandung, Mizan: 2009).
Setidaknya ada tujuh komponen yang menurut Arvan menjauhkan politik dari kebahagiaan: Pertama dalam kebahagiaan ada patience (kesabaran) dan fokus pada proses, sedangkan dalam politik butuh kerja instan dan fokus pada hasil. Kedua, dalam kebahagiaan ada gratefulness (syukur), sedangkan dalam politik kita tak bisa cepat puas. Ketiga, dalam kebahagiaan ada kesederhanaan, dalam politik semua menjadi rumit. Keempat, dalam kebahagiaan ada love (cinta), dalam politik ada kepentingan. Kelima, dalam kebahagiaan ada giving (memberi), dalam politik selalu ingin mendapatkan. Keenam, dalam kebahagiaan ada forgiving (memaafkan), dalam politik justru berkembang upaya balas dendam. Ketujuh, dalam kebahagiaan ada perasaan berserah diri (surrender) tapi dalam politik justru selalu meminta kepada Tuhan.
Realitas politik seperti itulah yang tampaknya membuat Tere galau. Begitu banyak kejadian yang bertolak belakang dengan cita-cita politiknya. Ia ingin sekali memperbaiki keadaan, tapi yang terjadi justru ia harus lebih banyak berkompromi dan tahu diri. Ia sadar bahwa seorang anggota DPR hanyalah semacam “pion” yang tak mampu berbuat apa-apa karena semuanya diputuskan melalui kesepakatan bersama, atau atas keinginan pimpinan partai yang tak selamanya sesuai dengan idealismenya.
Maka bagi Tere, politik bagaikan barang najis yang harus dijauhi. Ia tak hanya mundur dari DPR, tapi benar-benar menjatuhkan talak tiga dengan partai politik. “Saya ingin menjadi masyarakat madani, di mana kata John Lennon (dalam lagu “Imagine”), partai politik tak perlu ada,” katanya.
Kita apresiasi jalan politik yang ditempuh Tere. Tapi saya yakin, pilihan eskapisme semacam ini bukanlah jalan yang terbaik. Menurut saya, jika kita ingin memperbaiki keadaan, keterlibatan secara langsung merupakan keniscayaan. Karena dalam politik, kebaikan tidak akan datang dengan sendirinya. Kebaikan harus direbut dan diperjuangkan.
Dalam politik, kebaikan itu bisa diekspresikan dalam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam demokrasi ada sarana, proses, dan tujuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Partai politik adalah sarana. Dinamika yang terjadi di DPR adalah proses untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena ketiganya merupakan satu kesatuan maka kita tak bisa meninggalkan satu atau dua komponen dari ketiganya, misalnya dengan memotong kompas menuju cita-cita tanpa melalui sarana dan prosesnya. Itulah mengapa partai politik disebut sebagai pilar demokrasi. Tanpa pilar, bangunan demokrasi akan runtuh.
Karena partai politik merupakan keniscayaan dalam proses demokratisasi maka jika kita merasa tidak nyaman dengan partai politik tertentu, bukan berarti kita meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan partai politik. Yang seyogianya kita lakukan adalah mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang kita perjuangkan.
Jalan inilah yang baru-baru ini saya tempuh, mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang saya perjuangkan. Jadi kemunduran saya dari DPR hanyalah konsekuensi dari pilihan politik yang saya tempuh itu, bukan berarti saya menjauh atau meninggalkan partai politik. Karena sekali lagi, partai politik adalah sarana yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses meraih tujuan.
Menurut saya, Indonesia yang baik membutuhkan pemerintah dan DPR yang baik, yang ditopang oleh partai politik yang baik. Partai politik yang baik membutuhkan orang-orang baik. Maka saya sangat menyayangkan langkah Tere, atau orang-orang baik lainnya –seperti Soetrisno Bachir-- yang keluar (bahkan terkesan antipati) pada partai politik.
Jika orang-orang baik terus bertahan, saya masih punya harapan, partai politik akan semakin membaik. Dan dengan membaiknya partai politik ada harapan besar, sistem politik yang berjalan di negara ini pun semakin membaik.
Jeffrie Geovanie
Politisi Partai NasDem
Di permukaan, alasan yang dikemukakan adalah untuk berkonsentrasi mengurus ayahnya, Tombang Mulia Pardede, yang sakit jantung, dan untuk menyelesaikan kuliah S-2 Komunikasi Politik di Universitas Indonesia. Dua alasan ini secara faktual benar adanya. Tapi adakah alasan lain selain mengurus sang ayah dan melanjutkan studi?
Sepengetahuan saya, Tere merupakan sosok anggota DPR yang baik dan konsisten dalam menjalankan tugas, selalu berjalan lurus di atas rel yang digariskan. Secara pribadi saya tidak akrab dengan Tere, tapi dari beberapa pertemuan dan pernyataan-pernyataannya dalam sidang-sidang DPR –yang tak selalu diliput media—tampak dengan jelas kegelisahan jiwa dan ketajaman pikirannya.
Di sebuah media ibu kota, Tere yang lahir di Jakarta, 2 September 1979, mengungkapkan bahwa keputusannya untuk mundur dari DPR dan Partai Demokrat merupakan bagian dari kecintaannya kepada negeri ini. Artinya, ada obsesi besar di balik pengunduran dirinya, yakni bagaimana menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Ada kesan paradoksal dari pernyataannya itu. Seharusnya, jika benar menyintai Indonesia, ia pertahankan jabatan DPR untuk terus ikut berkiprah memperbaiki sistem agar semuanya berjalan sesuai yang dicita-citakan. Karena di DPR lah semua komponen sistem politik dirancang dan diputuskan.
Tapi, yang ditempuh Tere justru sebaliknya, ia menyintai Indonesia dengan mengundurkan diri dari DPR. Ini benar-benar menjadi tamparan buat DPR. Ada pesan yang kuat bahwa DPR bukan tempat yang baik untuk mengekspresikan kecintaan pada Indonesia. Karena logika inversinya berarti, jika ia tetap bertahan sebagai anggota DPR berarti ia tidak menyintai Indonesia.
Sudah sedemikian burukkah citra DPR? Dari yang tampak di permukaan bisa jadi benar. Banyaknya anggota DPR yang terjerat korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa segala modus korupsi ada dan dilakukan oleh anggota DPR. Bagi seorang idealis seperti Tere, kondisi semacam ini pasti akan menggelisahkan. Membuat jiwanya tidak tenang. Maka benarlah apa kata Arvan Pradiansyah, penulis buku best-seller The 7 Laws of Happines, “Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi” (Bandung, Mizan: 2009).
Setidaknya ada tujuh komponen yang menurut Arvan menjauhkan politik dari kebahagiaan: Pertama dalam kebahagiaan ada patience (kesabaran) dan fokus pada proses, sedangkan dalam politik butuh kerja instan dan fokus pada hasil. Kedua, dalam kebahagiaan ada gratefulness (syukur), sedangkan dalam politik kita tak bisa cepat puas. Ketiga, dalam kebahagiaan ada kesederhanaan, dalam politik semua menjadi rumit. Keempat, dalam kebahagiaan ada love (cinta), dalam politik ada kepentingan. Kelima, dalam kebahagiaan ada giving (memberi), dalam politik selalu ingin mendapatkan. Keenam, dalam kebahagiaan ada forgiving (memaafkan), dalam politik justru berkembang upaya balas dendam. Ketujuh, dalam kebahagiaan ada perasaan berserah diri (surrender) tapi dalam politik justru selalu meminta kepada Tuhan.
Realitas politik seperti itulah yang tampaknya membuat Tere galau. Begitu banyak kejadian yang bertolak belakang dengan cita-cita politiknya. Ia ingin sekali memperbaiki keadaan, tapi yang terjadi justru ia harus lebih banyak berkompromi dan tahu diri. Ia sadar bahwa seorang anggota DPR hanyalah semacam “pion” yang tak mampu berbuat apa-apa karena semuanya diputuskan melalui kesepakatan bersama, atau atas keinginan pimpinan partai yang tak selamanya sesuai dengan idealismenya.
Maka bagi Tere, politik bagaikan barang najis yang harus dijauhi. Ia tak hanya mundur dari DPR, tapi benar-benar menjatuhkan talak tiga dengan partai politik. “Saya ingin menjadi masyarakat madani, di mana kata John Lennon (dalam lagu “Imagine”), partai politik tak perlu ada,” katanya.
Kita apresiasi jalan politik yang ditempuh Tere. Tapi saya yakin, pilihan eskapisme semacam ini bukanlah jalan yang terbaik. Menurut saya, jika kita ingin memperbaiki keadaan, keterlibatan secara langsung merupakan keniscayaan. Karena dalam politik, kebaikan tidak akan datang dengan sendirinya. Kebaikan harus direbut dan diperjuangkan.
Dalam politik, kebaikan itu bisa diekspresikan dalam prinsip-prinsip demokrasi. Dalam demokrasi ada sarana, proses, dan tujuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Partai politik adalah sarana. Dinamika yang terjadi di DPR adalah proses untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena ketiganya merupakan satu kesatuan maka kita tak bisa meninggalkan satu atau dua komponen dari ketiganya, misalnya dengan memotong kompas menuju cita-cita tanpa melalui sarana dan prosesnya. Itulah mengapa partai politik disebut sebagai pilar demokrasi. Tanpa pilar, bangunan demokrasi akan runtuh.
Karena partai politik merupakan keniscayaan dalam proses demokratisasi maka jika kita merasa tidak nyaman dengan partai politik tertentu, bukan berarti kita meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan partai politik. Yang seyogianya kita lakukan adalah mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang kita perjuangkan.
Jalan inilah yang baru-baru ini saya tempuh, mencari sarana lain yang lebih sesuai dengan idealisme dan cita-cita politik yang saya perjuangkan. Jadi kemunduran saya dari DPR hanyalah konsekuensi dari pilihan politik yang saya tempuh itu, bukan berarti saya menjauh atau meninggalkan partai politik. Karena sekali lagi, partai politik adalah sarana yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses meraih tujuan.
Menurut saya, Indonesia yang baik membutuhkan pemerintah dan DPR yang baik, yang ditopang oleh partai politik yang baik. Partai politik yang baik membutuhkan orang-orang baik. Maka saya sangat menyayangkan langkah Tere, atau orang-orang baik lainnya –seperti Soetrisno Bachir-- yang keluar (bahkan terkesan antipati) pada partai politik.
Jika orang-orang baik terus bertahan, saya masih punya harapan, partai politik akan semakin membaik. Dan dengan membaiknya partai politik ada harapan besar, sistem politik yang berjalan di negara ini pun semakin membaik.
Jeffrie Geovanie
Politisi Partai NasDem
0 komentar:
Posting Komentar