Selasa, 12 Februari 2013

Prahara Partai Politik Memicu Golput

Prahara Partai Politik Memicu Golput Samsul Pasaribu - detikNews Jakarta - - Hampir sepekan sudah kita "menikmati" prahara yang menimpa partai politik sekelas PKS. Bersih, agamais dan profesional yang menjadi slogan sama saja dengan "katakan tidak pada korupsi" ala partai Demokrat. Sama-sama tidak punya ruh dan hanya menjadi pepesan kosong. Belakangan ada fenomena aneh dalam sistem kepartaian kita. Keanehan itu terlihat pada kinerja partai politik yang berbanding terbalik dengan upaya mereka mendongkrak elektabilitas partai di pemilu yang akan datang. Fenomena ini jelas semakin mempertegas kalau partai politik sebenarnya hanya mengorientasikan partainya pada kekuasaan semu dan tidak sama sekali bukan untuk interest of the people. Prahara yang menimpa setiap partai politik dewasa ini menjadi bumerang baru bagi sistem demokrasi nasional dimasa yang akan datang. Tingkat partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kencederungan menurun ternyata tidak mendorong partai politik mana pun untuk memperbaiki kinerjanya. Kepentingan partainya jelas mendominasi dan mengalahkan suara-suara rakyat yang semakin redup bahkan hilang tanpa bekas. Disaat partai politik masih minim kasus dan perkara, partisipasi peserta pemilu masih jauh dari yang diharapkan. Lingkar Survey Indonesia (LSI) mengatkan bahwa kencenderungan penuruan pemilih pada pemilu itu sudah memasuki babak yang mengkhawatirkan. Untuk tahun 1999 misalnya partisipasi pemilih mencapai 93,33 persen, pemilu 2004 turun menjadi hanya 84,9 persen dan untuk pemilu tahun 2009 menembus angka 70,99 persen. Data diatas tentunya tidak diharapkan oleh siapa pun khususnya partai politik karena pundi-pundi suara yang ada pada rakyat sejatinya menjadi prioritas parpol untuk meraupnya. Dilihat dari fenomena penurunan partisipasi pemilih ini yang dalam kurun waktu 10 turun sebanyak 20 persen, maka untuk pemilu 2014 yang akan datang LSI memprediksi partisipasi peserta pemilu hanya 60 persen. Tentu saja angka ini buruk untuk demokrasi. Bahkan dilihat dari semakin terkuaknya "kebobrokan" partai politik dewasan ini, walaupun oleh LSI partisipasi pemilu akan mencapai 50 persen pada pemilu 2019, tetapi hemat penulis, pada 2014 ini pun peluang itu besar terjadi. Kasus korupsi yang banyak mejerat kader partai politik bahkan hingga level ketua umum jelas menjadi salah satu poin yang mempengaruhi elektabilitas parpol di pemilu 2014 yang akan datang. Celakanya adalah, meskipun hingga saat ini belum semua partai yang kadernya terlibat kasus korupsi, tetapi respon masyarakat yang men-generalisasi parpol saat ini berdampak buruk bagi partai-partai yang belum dapat giliran korupsi. Prahara PKS misalnya. Penulis memandang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh partai �€œdakwah�€ ini tetapi juga partai lainnya. Awalnya, masyarakat punya setitik harapan akan eksistensi partai ini yang menyatakan diri sebagai partai bersih, agamais dan profesional. Tetapi, akhirnya kredit poin itu buyar pasca penetapan presiden partainya sebagai tersangka oleh KPK. Memang, kasus LHI oleh PKS dianggap sebagai momentum untuk menyatukan kader dan pengurus. Tetapi harus dicatat, kader hanyalah secuil pemilik suara dari ratusan ribu pemilik suara di Indonesia. Berkaca dari pemilu legislatif tahun 2009 lalu dimana PKS mampu meraup 7,5 persen suara dan lulus parlementary threshold secara nasional maka andai pada saat itu para kader PKS tidak memilih sekali pun PKS tetaplah lulus threshold secara nasional. Artinya jumlah kader partai tentu tidak sebanding dengan yang bukan kader or simpatisan sehingga andai pun para kader partai yang mengatakan mereka tetap solid dan utuh tidak serta merta menjadi cerminan kalau rakyat pemilih partai tersebut tetap solid dan utuh. Hanya ada dua hal yang akan terjadi terkait merosotnya moral partai dan hubungannya dengan partisipasi pemilu. Pertama adalah para pemilih akan melih golput di pemilu berikutnya atau mereka akan mengalihkan suaranya kepartai lain yang minim dari kasus-kasus yang menjadi sorotan media. Tetapi berkaca dari kesalah partai-partai saat ini, peluang pemilih berpindah ke partai lain sangat kecil. Kekecewaan terhadap partai politik apa lagi yang sering berkoar-koar soal pemberantasan korupsi dan narkotika menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol. Seperti yang diutarakan diatas bahwa penurunan persentase peserta pemilu di 2014 yang akan datang ditentukan oleh kinerja partai saat ini. Maka dilihat dari fenomena yang sering terjadi dimasyarakat bahwa simpati rakyat akan turun terhadap partai tertentu bila terlibat perkara bahkan tanpa bukti sekali pun, maka partai politik tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Membersihkan partainya dari kader-kader yang pernah disebut dalam kasus-kasus tertentu bahka sudah ditetapkan jadi tersangka sebaiknya �€œdilengserkan�€ saja. Partai PKS dan Demokrat mungkin bisa menjadi pelopor kebijakan ini. Sebagai partai yang sering disoroti terhadap kasus korupsi belakangan ini, maka partai ini perlu "revolusi" besar untuk membersihkan partainya dari kader-kader yang disinyalir bisa memicu konflik internal partai dimasa yang akan datang. Kebijakan "bersih-bersih" partai ini setidaknya memberikan bukti bahwa langkah kongkrit ini diambil untuk menegaskan kalau partai dimaksud benar-benar anti terhadap tindak pidana korupsi dan kawan-kawannya seperti suap dan gratifikasi. Semoga. *Penulis adalah Ketua Umum PB Germasi dan Pemerhati Sosial Politi

0 komentar:

Entri Populer