Mengukur Validitas Presiden Polling
Dina Kusumaningrum
Selasa, 21 Februari 2012 - 16:41 wib
OKEZONE.COM
PEMILU 2014 masih menyisakan tiga tahun lagi, namun ‘perang survei’ sudah dimulai. Ramai-ramai lembaga survei unjuk kebolehan menentukan siapa jagoan yang akan memimpin negara ini di masa mendatang.
Tentu, bukan karena pendapat pribadi atau menebak-nebak atas dasar suka dan kebencian. Calon presiden pilihan adalah keinginan rakyat yang dirajut berdasarkan hasil polling lembaga survei.
Polling yang dilakukan bukan tanpa alasan. Adalah fakta dan realistis, jelang pemilu dan diikuti pilpres, menjadikan polling ini sebagai barometer keberhasilan partai politik dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014.
Namun, polling yang dilakukan bukan juga untuk membuat publik terjebak. Keabsahan, kebenaran dan independensi sebuah lembaga survei harus menjadi perhatian.
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum kalau ada survei yang berdasarkan pesanan. Akibatnya cenderung mengakomodir kepentingan dan keinginan pihak pemesan.
Makanya, tidak heran bila hasil lembaga survei satu dan lainnya bervariasi. Bila hasil polling positif akan diterima dengan senang hati oleh sebagian kalangan. Sebaliknya bila itu negatif, bisa saja akan ada polling tandingan yang dilakukan sebagai bahan masukan dan pelajaran.
Belum lama ini, Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) mengeluarkan survei mengejutkan.
Nama Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri melambung tinggi. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, masih dianggap sebagai figur yang paling dikenal masyarakat dibandingkan tokoh politik lainnya dengan meraup sekira 91,6 persen.
Bahkan, bila pemilu digelar saat ini, CSIS berpendapat, Megawati adalah pemenang pemilihan presiden kali ini.
Berbeda ketika Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Kuskridho Ambardi, pada Januari 2012 merilis survei tokoh yang layak maju di capres 2014.
Nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menempati angka tertinggi sebagai tokoh yang layak untuk memimpin negara, yakni sebanyak 45 persen, kendati SBY tidak memiliki kesempatan kembali untuk mencalonkan diri di pemilu 2014.
CSIS juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai paling banyak mendapat dukungan masyarakat, meskipun dukungannya merosot 8,25 persen, urutan kedua ditempat Partai Golkar.
Sementara survei LSI menunjukkan Partai Golkar berada diurutan atas dengan perolehan 15,5 persen, menggeser posisi Demokrat 13,6 persen. Demokrat mengalami penurunan sebesar tujuh persen.
Adalah lumrah ketika lembaga survei menghasilkan analisa berbeda. Dengan perbedaan itu, apakah publik bisa menjadikan survei ini sebagai acuan?
Tentu saja tidak 100 persen demikian, menurut Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J. Vermote, fenomena jelang pemilu ini biasa di Indonesia.
Terlebih, saat ini Indonesia sedang memasuki era dinamisasi pendapat umum melalui polling yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik dan pengambilan keputusan bagi publik.
Harga Sesuai Pesanan Sehingga, upaya polling dengan melakukan berbagai cara guna menarik simpati publik kerap dilakukan. Termasuk survei pesanan yang dilakukan partai politik dan juga tokoh sebagai acuan untuk menentukan strategi pemenangan.
Bagi Philips, itu adalah biasa dan tidak ada masalah bila lembaga survei didanai parpol tertentu, sepanjang itu dilakukan dengan kaidah-kaidah statistik yang benar, didasarkan atas temuan ilmiah, metodologinya juga bisa dipertanggung jawabkan dan yang tak kalah penting independensinya.
Apalagi survei itu membutuhkan dana operasional tidak sedikit. “Ratusan juta pastinya”, kata Philips J. Vermote tanpa menyebut angka pasti, saat berbincang-bincang dengan okezone.
Mantan Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny JA mengatakan, adanya lembaga survei yang bisa dipesan oleh sekelompok tertentu, itu tergantung trak record lembaganya.
“Kalau baru muncul 3, 6 bulan, atau kemarin itu belum teruji dan sangat mungkin,” kata Denny kepada okezone beberapa waktu lalu.
Denny memang tidak menampik, saat ini ada banyak lembaga survei yang memiliki reputasi yang baik dan buruk, teruji dan belum teruji. Jadi tidak bisa diseragamkan.
Sementara, M. Qodari dari lembaga survei IndoBarometer juga tidak menampik, survei yang kerap dilakukannya tidak terlepas dari pesanan partai politik. Meski ada juga survei internal berdasarkan situasi kondisi terkini.
Untuk survei pesanan, M. Qodari memasang tarif beragam ada yang murah, juga mahal, itu tergantung dari situasi dan kondisi, wilayah, tingkat kesulitan juga faktor geografis. “Kalau perkotaan itu murah, tidak sampai ratusan juta, kalau nasional itu mahal hingga ratusan juta,” jelas M.Qodari.
Sementara, sumber okezone menyebut, survei yang pernah dilakukan pada 2009, untuk tingkat nasional biaya untuk satu kali survei Rp300-500juta, untuk lokal dan perkotaan Rp70-100 juta. “Tapi itu bisa ditawar-tawar lagi kok,” jelas sumber itu.
Gun Gun Heriyanto pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menegaskan, seharusnya survei yang diselenggarakan berbagai lembaga untuk mengukur popularitas seorang tokoh menjadi Capres harus mencerminkan realitas aspirasi publik. Survei Capres tak boleh berupa pesanan karena merusak demokrasi.
“Namun, pada kenyataannya intevensi atau pesanan sangat mungkin, sebuah riset oleh pelembaga riset di Indonesia tidak independen, dan motif untuk melakukan sangat rasial untuk mengetes hasil suatu pesanan, yakni berupa metodologi representative dan hasil risetnya akal sistem,” kata Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute ini.
Lembaga Survei MenjamurBelakangan banyak lembaga survei yang dinilai tidak transparan. Survei itu tidak memunculkan akuntabilitas data-data yang dihasilkan, seperti terang-terangan memberikan data mentahnya.
“Sepengatahuan saya, selama ini tidak ada lembaga survei yang mau memberikan data mentahnya kepada masyarakat,” jelas Philips J. Vermote pengamat dari CSIS.
Padahal menurutnya, data mentah itu penting dibuka untuk diketahui masyarakat. Dengan demikian, melalui data mentah itu, publik bisa melakukan kajian lagi dengan data yang sama dari hasil survei yang dilakukan.
Perlu dibukanya data mentah, juga untuk melakukan kebenaran, memperbaiki kemungkinan ada kesalahan-kesalahan metodologis.
Sementara, lembaga survei itu sendiri menjamur pertama kali di Indonesia lepas pemerintahan orde baru. Demam survei mulai terasa saat reformasi bergulir. Waktu itu Pemilu 1999.
Seperti yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dikutip situs resmi lsi.or.id dari opini Jurnal Nasional, waktu itu baru lima lembaga survei yang melakukan polling, yakni Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems (IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI.
Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei yang memakai metodologi penelitian yang sahih.
Sukses di 1999, survei kembali marak menjelang pemilu 2004, meski ‘pemain’ masih sedikit.
Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute (DRI) dll.
Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai ‘pemenang’ terbukti akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.
Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif 2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya.
Saat itu, LSI dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran Demokrat di antara 19-22%.
Berbeda jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan.
Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai
0 komentar:
Posting Komentar