Senin, 18 Juni 2012

Menagih Janji Nasionalisme

Menagih Janji Nasionalisme

Sabtu, 2 Juni 2012 11:22 wib
OKEZONE.COM

Bulan Mei menjadi bulan yang sangat penting bagi negeri ini. Dua momen besar sarat nilai historis dan heroisme diperingati; Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Kedua momen itu saling berkait berkelindan, tidak bisa dipisahkan atau pun dipandang parsial. Pendidikan menjadi sumber elan pital kebangkitan. Sedangkan kebangkitan itu sebagai pembuktian bahwa pendidikan itu berhasil menciptakan manusia berkarakter.

Harkitnas; Hari Sakit Nasional?
Peringatan Harkitnas yang ke 104 tahun 2012 ini menjadi penting, jika nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kejujuran, dan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi ciri ke-Indonesia-an, yang telah dipelopori oleh para pendahulu kita melalui gerakan “Boedi Oetomo” dapat dijadikan suatu enerji bagi langkah-langkah bangsa kedepan. Sekaligus menjadi renungan dan evaluasi, sejauhmana semangat nasionalisme tersebut terimplementasi dalam setiap potensi, profesi, tugas dan tanggung jawab perilaku masing-masing individu warganegara Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menapaki perjalanan sejarah kebangkitan nasional Indonesia, maka cara berfikir nasionalis dalam membangun Indonesia baru di masa depan adalah bagaimana mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Dalam hal ini, cara berpikir nasionalis diharapkan menjadi antitesis dari cara berpikir individual atau perorangan, antitesis dari cara berpikir kedaerahan, antitesis dari cara berpikir kepartaian atau golongan, dan mutlak antitesis dari cara berpikir kolonial.

“Karena itu, dalam memaknai kebangkitan nasional dan wacana Indonesia ke depan yang lebih baik, mandiri, sejahtera dan lebih bermartabat, diperlukan adanya korelasi antara kesadaran sejarah, fakta sosial, dan semangat nasionalisme ke-Indonesia-an kita ke depan. Nasionalisme ke-Indonesia-an yang memiliki bangunan karakter kesejatian Indonesia”, demikian tegas Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D kepada civitas akademika UGM dalam peringatan Harkitnas 2012 di kampus itu (Humas UGM, 21/5/2012).

Tapi, harapan Pak Rektor di atas hanya tinggal harapan di atas langit nusantara. Realitas factual justeru menabalkan bahwa bangasa ini sedang digerogoti penyakit akut lagi mematikan bernama KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) atau yang senada dengannya bernama NKK (nolongin kawan kroni). Penyakit itu sudah bersifat kolektif. Karenanya bisa dikatakan bahwa Harkitnas itu kini tak lebih dari akronim dari Hari Sakit Nasional.

Wakil Rakyat berlipstik harta tahta wanita, menari ganjen menyanyi Hedonesia ria. Tentu beda antara Indonesia Raya dengan Hendonesia ria. Bila Indonesia Raya kabarkan tentang ruang bercahaya nasionalisme emas. Maka Hedonesia ria muncratkan perilaku nasionalisme edan para wakil rakyat berwajah mewah, bermobil mewah, atas bawah sumringah. Sementara rakyat terjerat lagu Indonesia Melarat, "Benjing amenanging kala tida,wong duwur dadi umbul-umbul,wong cilik tengal-tengul nyedoti umbel"  (Skober, 2011).

Nasionalisme Digilas
Intervensi negara-negara Barat dan Eropa terhadap kebijakan dalam negeri negara lain yang berstandar ganda adalah suatu fakta, bahwa kepentingan yang ada didalamnya ikut ambil dalam menentukan kebijakan luar negeri mereka. Kemenangan kaum reformis dalam pergulatan meruntuhkan rezim orde baru dengan lengsernya Presiden soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari pertempuran ekonomi global yang sedang memperebutkan pasar dan sumber daya alam negeri ini (Ayu, 2011).

Lemahnya kekuasaan pemerintah negeri ini terhadap kebijakan asing tidak terlepas dari perekonomian negara yang sangat bergantung terhadap investasi asing. Banyaknya raksasa-raksasa ekonomi yang menguasai perekonomian negeri ini berpengaruh besar terhadap pertarungan politik yang ada di negeri ini. Kepentingan-kepentingan pasar yang bermain dalam rangka menciptakan boneka-boneka politik dalam struktur pemerintahan adalah salah satu bentuk neoimperialisme modern yang sedang trend sekarang ini.

Pemegang kartu atau kunci kekuasan politik dari siapa yang akan dipertahankan dan siapa yang akan dilengserkan adalah logika kaum neoliberal ketika kekuasaan pemerintahan suatu negara ada di tangan mereka.

Oleh karena hal tersebut perlunya agen ganda yang mampu bermain sebagai pejabat formil dengan merangkap sebagai agen pasar adalah keharusan dari suatu pemerintahan.
Banyaknya permasalahan dari  kepentingan publik yang terlantar dan tak kunjung terselesaikan akan menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang berdiri di struktur kekuasaan tanpa didukung oleh kekuatan ekonomi global ini.

Walhasil terjadilah kontrak politik antara pemimpin negeri yang mempunyai ambisi untuk berkuasa dengan para pemilik modal. Ketika saat itu tiba, nasionalisme tidak lagi mampu berdiri tegak. Budaya menjadi pelacur terhadap nilai-nilai globalisasi dan idealisme menjadi barang yang murahan. Mereka yang melawan akan disingkirkan dan disebut terbelakang atau tidak beradab, yang bertahan dibuat sibuk saling menikam satu dengan yang lainnya. Sementara mekanisme pasar dengan nyaman mengeruk habis isi berharga dari tanah Republik dan kekayaan alam negeri ini.

Menagih Janji
Nasionalisme Indonesia datang sebagai sebuah janji (Andri, 2011). Dikala rakyat pribumi memilih nyaman berlindung di bawah payung feodalisme yang berjalan beriringan dengan kolonialisme, nasionalisme datang membawa harapan baru dengan logika bahwasanya setiap suku atau wilayah akan menjadi kekuatan besar apabila bersatu. Nasionalisme menjadi jawaban untuk mengusir penjajahan dari bumi nusantara.

Sebuah kisah historis yang kaya dan patut dibanggakan, dalam tempo beberapa puluh tahun saja, janji nasionalisme berhasil merubah arah bangsa. Negara Indonesia berhasil dibentuk. Rakyat resmi bebas dari kolonialisme. Kekuatan utamanya adalah spirit Bhineka Tunggal Ika, spirit yang demokratis dan berhasil menggalang kekuatan bersama. Berbagai latar budaya, kekuatan, ideologi, golongan, elit, melebur memperjuangkan entitas nasional.

Begitu dipercayainya nasionalisme sebagai sebuah janji pemersatu, membuat para founding fathers negara enggan melahirkan Indonesia dalam sistem federal. Ditakutkan, sistem federal kedepannya melanggengkan perpecahan. Sejarah telah mengingatkan bahwa Indonesia dulunya pernah kacau karena politik pecah belah, Devide Et Impera. Disepakati wujud Indonesia adalah negara kesatuan, sekalipun kurang sejalan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri atas ribuan suku.

Janji ini (nasionalisme) berjalan dengan penuh pergolakan. Banyak pengorbanan, pertumpahan darah. Keteguhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sempat tergoncang saat Belanda melangsungkan agresinya dan dalam beberapa masa, sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Indonesia berubah menjadi federal. Benarlah, sistem federal yang mengkotak-kotakkan, tidak sejalan dengan spirit nasionalisme yang masih berkobar sehingga Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Dalam perjalanannya lagi, nasionalisme sebagai janji terasa gagal setelah bertahun-tahun dijunjung tak jua membawa kesejahteraan. Soekarno, sang pemimpin, terlalu acuh terhadap kekuatan kapital sehingga rakyat tetap melarat, pembangunan lambat.

Periode berikut, masa orde baru, pembangunan berjalan pesat. Rasa nasionalisme diperkuat, bahkan dengan indoktrinasi via berbagai kebijakan dan agitasi media. Hanya saja, indoktrinasi ternyata bukan cara yang tepat untuk menguatkan nasionalisme. Nasionalisme adalah sesuatu yang berangkat dari kesadaran, dari kerinduan untuk menyatu dalam keragaman, kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kesatuan sebagai kekuatan, bukan dengan indoktrinasi yang melahirkan nasionalisme semu.

Yang terjadi, masyarakat sulit mengekspresikan hak politik secara demokratis. Sekalipun nasionalisme berdengung di segala arah, semangat nasionalisme meredup. Berganti orde, paradigma masyarakat tetap sama. Sekalipun pintu demokrasi setelah 1998 terbuka lebar, jiwa nasionalisme masih mengambang. Nasionalisme sebagai janji tetap gagal.

Masih layakkah kita percaya dengan janji pemersatu itu? Disaat lajunya acapkali tersendat-sendat? Jelas masih. Nasionalisme merupakan kekayaan historis yang bernilai besar, sangat layak diperjuangkan. Indonesia pernah punya pemikir-pemikir besar yang dengan keradikalannya masing-masing mau melebur dalam wadah nasionalisme. Adalah tanggung jawab setiap generasi memperjuangkan janji nasionalisme agar berhasil.

Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kajian sosial, pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh

0 komentar:

Entri Populer