Menyoal Polemik Posisi Wamen dan Solusinya
Jum'at, 8 Juni 2012 14:09 wib
OKEZONE.COM
BERBAGAI kontroversi mewarnai negeri ini sejak awal digulirkannya ide Wakil Menteri (Wamen) sampai ditetapkannya 20 orang wamen dalam kabinet Presiden SBY. Pasalnya, keberadaan wamen dianggap menguras anggaran Negara dan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Dengan adanya wamen, maka menyedot uang Negara.
Bayangkan saja, fasilitas take home pay satu menteri saja sebesar Rp 619 juta setahun. Bagaimana kalau 20 wamen? tentunya lumayan besar. Harusnya ini dialokasikan untuk kebutuhan lain (Republika, 7/6/2012). Selain itu, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri. Maka, tidak heran jika muncul kontroversi di negeri ini.
Sebelumnya, banyak gugatan dilakukan, seperti Yusril Ihza Mahendra yang menggugat jabatan wamen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berharap jabatan wamen ditiadakan dari pemerintahan. Logika menolak wamen didasarkan bahwa posisi itu akan menghamburkan uang Negara.
Hal ini juga diungkapkan Gerakan Nasional Anti Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), mereka menilai jabatan wamen memboroskan uang negara. (VIVAnews, 5/6/2012). Sebelumnya, GN-PK sudah menggugat MK, mereka menilai Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Jabatan itu tidak diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur masalah kementerian negara.
Polemik
Ada beberapa kalangan yang setuju dan menolak jabatan wamen. Alasan mereka juga berbeda dan sama-sama kuat. Di sisi lain berpendapat, bahwa putusan MK itu mengakui dan menegaskan pengangakatan menteri atau wamen merupakan hak konstitusional Presiden. Jadi, jabatan menteri dan wamen adalah konstitusional serta sesuai dengan UUD 1945. Dengan adanya putusan MK itu, sama sekali tak bisa ditafsirkan bahwa jabatan wamen menjadi tidak sah, atau batal demi hukum.
Dengan begitu, pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Maka, hal ini dinilai sah dan berlaku, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dipersoalkan pada putusan MK adalah aspek implementasi dari kewenangan Presiden dalam mengangkat wamen. Sebab, pada prakteknya, ternyata Presiden mengangkat wamen bukan hanya dari kalangan pejabat karir atau PNS. Padahal, penjelasan pasal 10 UU tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”
Menurut putusan MK, justru penjelasan Pasal 10 itu menimbulkan masalah hukum, sekaligus membatasi kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangkat menteri atau wamen. Penjelasan pasal 10 membatasi kategori posisi wamen yang hanya bisa diduduki pejabat karir. Menurut putusan MK lagi, seharusnya kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangat menteri ataupun wamen tidak boleh dibatasi. Menteri atau wamen bisa dari pejabat karir atau PNS, namun bisa juga dari kalangan non pejabat karir, bahkan bisa dari kalangan warga biasa, kalau dinilai memenuhi kualifikasi jabatan tersebut. Namun, meskipun demikian, problem ini semakin berbelit dan menuai polemik.
Terlepas dari polemik itu, sebelumnya Rusman Heryawan juga rela bila ia tidak menjadi wamen. Begitu pula Deny Indrayana sempat berkelakar tentang apapun keputusan MK, ia siap menerimanya melalui plesetan lagu Bob Marley “No Woman No Cry” menjadi “No Wamen No Cry”. Secara tidak langsung, Denny tidak membutuhkan posisi wamen, artinya ia menyerahkan semua itu kepada putusan MK.
Maka dari itu, problem ini harus segara diselesaikan. Artinya, pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini dengan langkah strategis. Logikanya, setiap pengambilan keputusan baik yang dilakukan Presiden atau MK harus selaras dengan konstitusi dan UUD 1945. Jika inkonstitusinal, maka segala keputusan harus ditolak.
Kembali ke Konstitusi
Pada dasarnya, jabatan wamen sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara adalah konstitusional, sah, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah adalah penjelasan pasal 10 yang bertuliskan, "Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet."
Kalau kemudian presiden tetap mengangkat wamen kembali, berarti hal itu inkonstitusional. Dengan demikian, posisi wamen harus segera dikaji ulang. Selain itu, Presiden harus tetap menghormati dan mentaati putusan MK. Sebagai kebijakan dan langkah-langkah konkrit berikutnya, tentu a Presiden akan menyesuaikan berbagai Keputusan Presiden tentang pengangkatan para wamen dengan putusan MK itu.
Konsekuensi lain dari putusan itu, pemerintah harus mengubah Keppres wamen, sehingga kewenangan eksklusif Presiden dalam hal pengangkatan pembantu menteri itu bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dengan putusan MK itu, Presiden juga bisa mengangkat wamen dari berbagai kelompok, seperti profesional, partisan, dan nonpartisan. Wallahu a’lam bissawab.
Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Bayangkan saja, fasilitas take home pay satu menteri saja sebesar Rp 619 juta setahun. Bagaimana kalau 20 wamen? tentunya lumayan besar. Harusnya ini dialokasikan untuk kebutuhan lain (Republika, 7/6/2012). Selain itu, posisi wamen berpotensi menimbulkan konflik dengan menteri. Maka, tidak heran jika muncul kontroversi di negeri ini.
Sebelumnya, banyak gugatan dilakukan, seperti Yusril Ihza Mahendra yang menggugat jabatan wamen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berharap jabatan wamen ditiadakan dari pemerintahan. Logika menolak wamen didasarkan bahwa posisi itu akan menghamburkan uang Negara.
Hal ini juga diungkapkan Gerakan Nasional Anti Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), mereka menilai jabatan wamen memboroskan uang negara. (VIVAnews, 5/6/2012). Sebelumnya, GN-PK sudah menggugat MK, mereka menilai Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Jabatan itu tidak diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur masalah kementerian negara.
Polemik
Ada beberapa kalangan yang setuju dan menolak jabatan wamen. Alasan mereka juga berbeda dan sama-sama kuat. Di sisi lain berpendapat, bahwa putusan MK itu mengakui dan menegaskan pengangakatan menteri atau wamen merupakan hak konstitusional Presiden. Jadi, jabatan menteri dan wamen adalah konstitusional serta sesuai dengan UUD 1945. Dengan adanya putusan MK itu, sama sekali tak bisa ditafsirkan bahwa jabatan wamen menjadi tidak sah, atau batal demi hukum.
Dengan begitu, pasal 10 UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu.” Maka, hal ini dinilai sah dan berlaku, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang dipersoalkan pada putusan MK adalah aspek implementasi dari kewenangan Presiden dalam mengangkat wamen. Sebab, pada prakteknya, ternyata Presiden mengangkat wamen bukan hanya dari kalangan pejabat karir atau PNS. Padahal, penjelasan pasal 10 UU tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”
Menurut putusan MK, justru penjelasan Pasal 10 itu menimbulkan masalah hukum, sekaligus membatasi kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangkat menteri atau wamen. Penjelasan pasal 10 membatasi kategori posisi wamen yang hanya bisa diduduki pejabat karir. Menurut putusan MK lagi, seharusnya kewenangan konstitusional Presiden dalam mengangat menteri ataupun wamen tidak boleh dibatasi. Menteri atau wamen bisa dari pejabat karir atau PNS, namun bisa juga dari kalangan non pejabat karir, bahkan bisa dari kalangan warga biasa, kalau dinilai memenuhi kualifikasi jabatan tersebut. Namun, meskipun demikian, problem ini semakin berbelit dan menuai polemik.
Terlepas dari polemik itu, sebelumnya Rusman Heryawan juga rela bila ia tidak menjadi wamen. Begitu pula Deny Indrayana sempat berkelakar tentang apapun keputusan MK, ia siap menerimanya melalui plesetan lagu Bob Marley “No Woman No Cry” menjadi “No Wamen No Cry”. Secara tidak langsung, Denny tidak membutuhkan posisi wamen, artinya ia menyerahkan semua itu kepada putusan MK.
Maka dari itu, problem ini harus segara diselesaikan. Artinya, pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini dengan langkah strategis. Logikanya, setiap pengambilan keputusan baik yang dilakukan Presiden atau MK harus selaras dengan konstitusi dan UUD 1945. Jika inkonstitusinal, maka segala keputusan harus ditolak.
Kembali ke Konstitusi
Pada dasarnya, jabatan wamen sebagaimana termaktub dalam pasal 10 UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara adalah konstitusional, sah, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah adalah penjelasan pasal 10 yang bertuliskan, "Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet."
Kalau kemudian presiden tetap mengangkat wamen kembali, berarti hal itu inkonstitusional. Dengan demikian, posisi wamen harus segera dikaji ulang. Selain itu, Presiden harus tetap menghormati dan mentaati putusan MK. Sebagai kebijakan dan langkah-langkah konkrit berikutnya, tentu a Presiden akan menyesuaikan berbagai Keputusan Presiden tentang pengangkatan para wamen dengan putusan MK itu.
Konsekuensi lain dari putusan itu, pemerintah harus mengubah Keppres wamen, sehingga kewenangan eksklusif Presiden dalam hal pengangkatan pembantu menteri itu bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dengan putusan MK itu, Presiden juga bisa mengangkat wamen dari berbagai kelompok, seperti profesional, partisan, dan nonpartisan. Wallahu a’lam bissawab.
Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
1 komentar:
bagus apa yang bapak deskripsikan diatas sanagt menarik. yang menjadi pertanyaan dari judul apa yang disebut dengan polemeik sebenarnya ? sebenarnya memang iya dari dibentuknya wamen itu akan lebih memboroskan dana keuangan negara. tapi disisi lain apakah tugas dari setiap menteri itu tidak begitu berat, sehingga mereka membutuhkanya adanya wamen ? apakah hal ini keinginan dari menteri yang bersangkutan ?..
Posting Komentar