Selasa, 17 April 2012

Neolib dan Privatisasi BUMN


Neolib dan Privatisasi BUMN

Sumber : Investor Daily, 30 Juni 2009 -



Konsep neoliberal terus menjadi komoditas politik ketika pemilihan presiden 8 juli lalu. Dalam praktiknya di Indonesia, neoliberal telah muncul sejak era presiden Soeharto, BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, dalam kebijakan privatisasi BUMN.

Lalu apa yang salah dengan neoliberal? Itulah pertanyaan yang menarik. Dalam pandangan Milton Friedman, tokoh penganjur paham ini, urusan Negara adalah tentara dan polisi. Negara tidak boleh mencampuri urusan perekonomian, seperti menarik pajak dari rakyatnya.
Negara, berdasarkan paham ini, harus fokus pada tujuan utamanya, yakni melindungi individu, khususnya dunia usaha (pasar), kebebasan, dan hak-hak kepemilikan. Di luar itu, peranan Negara harus dikurangi dan diserahkan kepada swasta atau pivat. Karena itu, privatisasi menjadi cara terbaik untuk menghindari keterlibatan Negara pada urusan swasta atau individual.
Dengan privatisasi atau swastanisasi, peran pemerintah dikurangi, dan sektor swasta ditingkatkan, termasuk dalam kaitan kepemilikan harta kekayaan (Savas, 1987). Privatisasi, menurut paham ini, merupakan kunci untuk terciptanya pemerintahan yang lebih baik.

Terjadi Penyimpangan
Konsep privatisasi dalam sejarahnya menandai awal terjadinya pergeseran pendulum ekonomi dunia dari model liberal pada bentuk kapitalisme terbaru, yaitu model neoliberal. Konsep ini datang bersamaan agenda globalisasi di bidang ekonomi dan demokratisasi di bidang politik, yang menjadi simpati masyarakat dunia.
Menurut Stepen Green (2003), terdapat enam alasan penting privatisasi badan usaha milik Negara (BUMN), yakni (1) mengurangi beban keuangan pemerintah, (2) meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan, (3) meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan, (4) mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan, (5) mendukung perkembangan pasar modal dalam negri, (6) sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international.
Dalam praktiknya, privatisasi BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru sampai saat ini. Di era Soeharto, misalnya, pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994) dan 35% saham PT Aneka Tambang (1997). Pada era presiden BJ. Habibie, privatisasi dilakukan terhadap 12 BUMN, termasuk PT Semen Gresik (1998) yang menimbulkan kontroversi itu. Sementara di era Megawati, privatisasi dilakukan, misalnya terhadap PT Indosat (2002), dan pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program privatisasi juga dilakukan.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan privatisasi BUMN ternyata telah mengunmdang pro dan kontra dikalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset Negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi.
Sementara itu, ada sebagian masyarakat berfikir lebih realistis. Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi Negara dan masyarakat Indonesia.
Bukti empiris menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia, sebagaimana di Negara-negara berkembang lainnya, lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Gagasan privatisasi BUMN di Indonesia, sebagaimana di Negara Negara berkembang lainnya, kebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh Dana Moneter International (IMF) dan Bank Dunia.
Gagasan privatisasi yang bersumber di Negara Negara maju dicangkokkan tanpa melihat perbedaan perbedaan yang ada dalam struktur sosial, ekonomi, maupun politik antara Negara berkembang dan Negara maju. Akibatnya terjadilah penyimpangan yang akhirnya menimbulkan banyak kontroversi.
Simak sejak kebijakan  privatisasi PT. Semen gresik dan PT. Indosat. Proses divestasinya yang tidak transparans menimbulkan penyalahgunaan hasil penjualan sebagai sumber pendanaan bagi kepentingan partai politik dan para elite politik tertentu yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Privatisasi juga banyak dikecam karena dipandang merugikan Negara triliunan rupiah akibaat haarga jualnya yang terlalu murah.
Keputusan pemerintah untuk menjual PT. Semen Gresik dan PT. Indosat. Ketika itu, dinilai sebagai cara cepat untuk mendapatka dana segar guna menutupi defisit APBN cenderung tidak menunjukkan langkah strategis ke depan yang ingin dicapai pemerintah dalam konteks perencanaan pembangunan, khususnya sektor industri. Privatisasi tersebut juga sangat elitis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam hal kepemilikan saham padahal, justru kepemilikan saham oleh masyarakat luaslah yang hendak dicapai, sebagaimana privatisasi di Negara maju.

Kehilangan otoritas
Lahirnya kebijakan privatisasi menyebabkan pemerintah tidak lagi punya otoritas untuk turut berpartisipasi menentukan strategis dan saran kedepan yang ingin ditempuh perusahaan. Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan pengelola swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi public.
Dalam hal ini, pemerintah tidak berdaya untuk turut mengontrol berjalannya fungsi fungsi pelayanan, distribusi dan keadilan berkonsumsi, peran pemerintah tetap dipertahankan lewat kepemilikan golden share.
Belajar dari pengalaman kebijakan privatisasi BUMN pada masa lalu, akan menjadi pekerjaan rumah bagi capres dan cawapres yang siap bertarung dalam pilpres 2009 ? sejauh manakah peran pemerintah, kelak, dalam pengelolaan BUMN (pelayanan public) dalam pola hubungan baru antara Negara (state), pasar (Bisnis), dan masyarakat (civil society).
 (Achmad Habib)

0 komentar:

Entri Populer