Selasa, 03 April 2012

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia

Review
Pemikiran Politik Tan Malaka
(Sejarah, Pemikiran, dan Perjuangan Bapak Republik Indonesia)

Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si

Tan Malaka merupakan salah satu pahlawan dan tokoh, yang telah mengisi perjuangan Indonesia merebut penjajahan dari kolonialisme. Tan Malaka merupakan salah satu Bapak Republik Indonesia yang terlupakan oleh generasi muda Indonesia. Ia (Tan Malaka) orang pertama yang menulis tentang konsep atas cita-citanya  membentuk Republik Indonesia, Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”, sementara Soekarno menyebutnya sebagai “seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara Republik Indonesia. Mungkin dua – tiga generasi melupakan sosok sejarah perjuangannya selama ini, tokoh perjuangan ini kembali terkuak ketika reformasi 1998 pecah menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun. Karena mainstream pemikiran dan ideologinya adalah seorang Marxisme, tokoh perjuangan ini sengaja dihilangkan oleh penguasa Orde Baru, agar tidak menimbulkan semangat baru revolusi politik menentang sistem politik status quo Orde Baru.
Dengan nama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir 2 Juni 1897 tokoh Minangkabau Sumatra Barat, merupakan keturunan keluarga berada dan muslim taat. Namun perjalanan hidup dan karirnya berkata lain bukan menjadi seorang ulama. Mengenyam pendidikan di tingkat lokal yang baik karena ayahnya seorang pejabat, Tan meneruskan pendidikan sekolah guru di Haarlem Belanda, Rijkweekschool pada 1913. Pendidikan di Negeri Kincir Angin ini tidak terlepas dari campur tangan G.H.Horensma seorang guru asal Belanda yang pernah mengajari music cello di sekolah tingkat pertama di Indonesia.  
Namun pendidikan sekolah guru di Belanda bukan hanya menjadikannya sebagai calon guru bagi rakyat Indonesia, namun telah menguatkan tekad dan cita-citanya untuk melakukan revolusi di Tanah Air oleh penjajah kolonialis. Tekadnya ini didukung pula oleh diskusi politik dengan mahasiswa lainnya dari negara lain yang mengikuti perkembangan politik dunia yang memasuki perang dunia. Sehingga perang yang terus berkecamuk telah mempengaruhi pemikirannya, selain sering membaca koran atau buku dari aliran “kiri” dia rajin mencari informasi politik. Buku yang sering dibacanya adalah karangan filsuf Jerman Friedrich Nietzche (Will to Power) dan penulis esai The French Revolution karya Thomas Carlyle dari Skotlandia. Dari buku ini Tan mengenal semboyan Liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
Revolusi komunis yang di Rusia pada Oktober 1917, semakin memberi keyakinan pada Tan bahwa politik dunia sedang beralih ke sosialisme, selain itu berbagai gagasan baru tentang bagaimana bangsa Indonesia dibangun dan bangkit menuju kemerdekaan, berseliweran dalam pemikiran dan benak Tan apa yang tepat fondasi bagi Indonesia.
Sebagai pelajar dari bangsa yang terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari kolonialisme, dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan kelulusan dan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan Malaka memutuskan untuk kembali ke Tanah Air pada 1919. Tan memang kembali ingin merealisasikan cita-citanya untuk berjuang bagi bangsa Indonesia, karena cita-cita ini pulalah Tan Malaka kembali ke Belanda, namun bukan sebagai pelajar, melainkan sebagai buangan politik karena dianggap radikal. Terpesonanya pada paham Marxisme-Leninisme, menyebabkan dia berkali-kali dipenjara dan dibuang dari negara yang disinggahinya. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxis-lah yang menyebabkan dia dipenjara dan dibuang. Tapi pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di dunia, tapi untuk kemerdekaan Tanah Airnya.
Tan Malaka menulis dalam kalimat Massa Actie yang terbit pada 1926, “Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan, dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa” . “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan” . ITULAH REVOLUSI AGUSTUS 45
Setelah 1945, Bung Karno ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus belum selesai, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut “Re-So-Pim” (Revolusi, Sosialisme, Pimpinan. Bagi Soekarni, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya “teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni Pimpinan Besar Revolusi. Tan Malaka tak memiliki rumus itu,tapi ia  tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya “Satu partai yang revolusioner”. Yang bila berhubungan dengan baik dengan rakyat banyak akan punya peran “pimpinan”. Bahwa ia percaya kepada revolusi yang “timbul dengan sendirinya”, hasil dari “berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika, di satu sisi, perlunya “teori” atau “kesadaran” tentang revolusi sosialis, di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) “pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.
Tan Malaka bertemu dengan Syahrir salah satu pejuang lainnya yang berpengaruh. Pertemuan ini beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945 di Serang Banten. Pertemuan itu mungin yang pertama kalinya tokoh kiri radikal dengan tokoh sosial demokrat. Secara ideologis berseberangan seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial demokrat sejenis Yudas Escairot (pengkhianat yang memberitahu keberadaan Nabi Isa kepada tentara Romawi). Sjahrir berkata untuk menantang Tan Malaka, jika ia mampu menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari Soekarno dari kalangan rakyat, maka Sjahrir ingin bersekutu. Ada sikap Sjahrir meremehkan Tan Malaka, agar Tan Malaka segera melakukan keliling Jawa untuk melihat keadaan sebelum mengambil sikap untuk melakukan revolusi dan kudeta. Pertemuan itu antara Sjahrir dan Tan Malaka dalam Jurnal Indonesia April 1922 dari A.B Lubis, pertemuan itu lebih berupa perselisihan sang “Radikal” yang tak cocok dengan sang “Pragmatis”.
Sisi lain Tan Malaka adalah mengkritik terhadap Bung Karno, namun tidak ada sangkutpautnya dengan sikap Soekarno mengkritik “Madilog”, tapi kritik wajar terhadap orang yang dihormatinya. Tan Malaka lebih kecewa dengan sikap politik Soekarno, yang lebih memilih kolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Akan tetapi Tan Malaka amat menghormati Soekarno yang selama memimpin PNI, selalu mengajak rakyat Hindia Belanda untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tidak kenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno sudah sangat menderita sebagai orang buangan ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya. Dan kekecewaan terhadap Soekarno yang berkolaborasi dengan Jepang, sedikit terobati ketika Soekarno dan Mohammad Hatta dengan atas desakan pemuda revolusioner, membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang “revolusi terus menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negara seperti Rusia dan Indonesia yang tak punya kelas borjuasi yang kuat, revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda alias terus menerus. Trotsky tidak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dengan dua tahap : pertama, tahap “borjuis “ dan “demokratis”. Kedua, baru setelah itu, “tahap sosialis”. Bagi Trotsky di negeri yang “setengah feodal” dan “setengah kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama : membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletar yang harus melaksanakan revolusi itu, begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, “tahap sosialis”.
Tentu pandangan ini yang terlampau radikal bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotsky bisa seperti segaris dengan gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah. Ia yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Sukarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Namun Sjahrir “sang pragmatis” juga ada benarnya, pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tidak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot, disini “pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Namun Sjahrir memiliki pandangan mengenai Marxisme, tidak perlu melalui jalan radikal seperti keinginan Tan Malaka, tapi harus melakukan negoisasi atau berunding (“soft politics”) terhadap penjajah. Namun inipun menjadikan Sjahrir tersingkir sebagi perdana menteri karena dianggap melakukan rekonsiliasi ketika melakukan perjanjian Linggarjati. Tesis Madilog (Materialisme, Dialektik, dan Logika) yang ditulis Tan Malaka ini : revolusi lahir karena “berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan “otak yang luar biasa”.
Ketiga soal dalam Madilog, Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi “A” tidak mungin sama dengan yang bukan “A”. Sebaliknya, dialektika menunjukkan  peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat celcius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Tapi seberapa bebaskah pengaruh “kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun partai itu sendiri ? Bisa kuat dan bangkitkah Partai Komunis hingga bisa jadi subjek yang tanpa cela seperti bak pahlawan. Ternyata, sejarah Indonesia  menunjukkan PKI juga memiliki batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah “lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili “borjuis kecil” itu. Ia tidak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Soekarno. Di bawah Dipa Nusantara Aidit (DN. Aidit), PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa presiden pertama RI tersebut.
Pada rencana kudeta pertama oleh Muso (1926) dan kedua (1965) pun gagal, terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat menentukan, tatkala militer dan partai “borjuis kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Namun harus diketahui, ketika Muso dan PKI berupaya melakukan revolusi dan kudeta berdarah pertama kali di Indonesia melawan pemerintah Belanda ketika itu, Tan Malaka sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan pemberontakan. Ditambah lagi keinginan Tan Malaka untuk mendukung Pan Islamisme (perjuangan melawan imprealisme-kolonialisme, antara kaum komintern bergabung dengan kaum muslim (Islam) dunia). Namun ini tidak mendapat tangapan dan respon yang baik dari masyarakat Indonesia, dan malahan yang terjadi adalah; sikapnya menentang Stalin dan inilah yang ia di tuduh Tan Malaka penganut Troskyisme, dan PKI ikut-ikutan megeroyok dan memusuhi Tan Malaka dengan cara melakukan pemberontakan pada Tahun 1926. Masukannya itu dianggap PKI sebagai biang penyebab kekalahan pemberontakan. Dia dimusuhi dan dicap pengkhianta komunis di Indonesia, atau “Trotsky”-nya Indonesia. padahal sejak semula Tan Malaka bukan tidak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang kelompok Prambanan. Terdiri dari tokoh PKI terkemuka seperti Semaun (189901971), Alimin Prawirodirjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897- ?) yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, 1926.
Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Tan Malaka menilai alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satunya argument yang terus diwacanakan kepada tokoh PKI adalah kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok keomunis. Tan Malaka sebagai pemimpin palung terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi-organisasi, dan tetap melakukan aksi-aksi “pemanasan” dan agitasi di tempatnya masing-masing.
Terkurung di bawah wacana “persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah partai yang mewakili sebuah minoritas yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum “Pan Islamisme, yang bagi kaum komunis adalah bagian dari “borjuasi” guna mengalahkan imperialisme.
Tan Malaka memiliki nama alias (nama samaran) selama masa dipelarian di luar negeri, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya memiliki tujuh nama samara. Di Manila (Filipina) dikenal nama Elias Fuentes, dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai (Cina) dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina keturunan Hawaii. Di Singapura, ketika mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng, setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten dan menjadi namanya Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya dia piawai menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Dia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog (Filipina), Tionghoa, dan Melayu. Dalam penyamaran itu pekerjaan sudah dilakukannya untuk menghidupi dirinya agar tidak kelaparan. Misalnya di Kanton (Cina) dia menerbitkan bahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris meski tanpa ijazah. Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda, pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow Rusia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Sebelum terbuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintahan kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya  ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukan penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).
Namun apapun itu, meski Tan Malaka tersingkir selama 20 tahun mengembara ke luar negeri sebagai pelarian politik (1922-1942), dan enam tahun belajar di Negeri Belanda. Juga sebagai berpikiran Marxisme yang radikal, perjuangan Tan Malaka terinspirasi oleh Dr. Sun Yat Sen (kemerdekaan Tiongkok). Sun Yat Sen, menurut Tan Malaka bukan seorang Marxis, tapi seorang nasionalis yang tidak berfikir dialektis, tapi logis. Kesanggupan analis dan menulisnya sangat baik sekali, serta seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun Yat Sen terdapat dua hal, yakni satunya kata dan tindakannya yang tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 gagal melakukan perlawanan. Serta terinspirasi oleh perjuangan Dr Jose Rizal pahlawan Filipina melawan kolonialis Spanyol.
Di sini terlihat bahwa Tan Malaka terinspirasi dua pahlawan Asia melawan kolonialis Eropa, Tan Malaka bukan seorang Marxisme Fundamentalis, karena menghargai dan berusaha mengikuti dua pahlawan tadi. Diketahui Dr. Sun Yat Sen merupakan pengkritik berat terhadap Marxisme, dan mengagumi seorang Dr Jose Rizal yang seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan melawan kolonialisme yang menyengsarakan rakyat. Inilah yang membuat Tan Malaka terinspirasi terhadap jiwa nasionalisme selain menjadi seorang Marxisme. Namun yang selalu terpikirkan dalam beberapa karya buku yang sudah ditulisnya. Gagasan Tan Malaka tentang pembentukan Republik Indonesia tersebar di banyak bukunya, meski tidak ada kesempatan untuk mentutaskannya.
Tan Malaka sejatinya tidak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan atau konflik. Pemisahan antara orang-orang yang membuat undang-undang, dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas, ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen dengan ritual pemilu dalam 4, 5, dan 6 tahun sekali. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikirian rakyat sudah berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak terlibat dengan rakyat, seharusnya mereka tidak berhak lagi menjadi wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar, menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan (swasta), dan perbankan. Singkatnya keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan oleh Tan Malaka tak boleh ada. Karena itu pula Tan Malaka menentang keras terhadap Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai politik. Sebab dengan adanya peraturan tersebut maka partai-partai akan bermuara di parlemen.
Lalu apa wujud negara tanpa parlemen? Singkatnya apa yang dipikirkan Tan Malaka tentang negara adalah negara yang dikelola oleh organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa, atau pengawas, dan sebagai badan peradilan. Anda bisa membayangkan NU atau Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan kekuasaan antara pembuat dan pelaksana aturan. Di dalam organisasi sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan di bagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tidak menjadi tirani kekuasaan? Desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjalankan kekuasaan, agar amanah berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat rendah sampai tinggi, harus dilakukan dalam jarak terlalu lama. Waktu 2 tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kinerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tidak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Barangkali pembaca mengatakan bangunan ini jauh dari kata demokratis. Hal ini sangat wajar, sebab sudah sedemikian lama pemikiran otak kita dijejali dan dicekoki oleh trias politika ala Montesquei. Jika bangunan organisasi tanpa legislatif dianggap tidak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa parpol, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, PBB, merupakan lembaga tidak demokratis ?. Namun di luar itu, wajar juga gagasan Tan Malaka merupakan hal yang naïf dan tidak bisa diikuti. Pendapat ini wajar karena tidak bisa terlepas dari zamannya ketika itu,  akan tetapi tidak salah jika kita berupaya mengambil hikmah dari seorang pejuang yang berusaha menciptakan bentuk negara yang terlepas dari kolonialisme dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Kritikal Review
Setelah penulis berupaya untuk mereview buku-buku dari tokoh pejuang, siapa dan bagaimana Tan Malaka? di mana letak tertariknya mengapa kita berupaya mengambil sebagai salah satu pemikir politik Indonesia. Sebelum membaca gagasan dan menggali apa yang coba diperjuangkan Tan Malaka, bahwa kita menyangka Tan Malaka seorang Komunis tulen, dan terbukti  banyak orang membencinya dan banyak pula orang yang mencintainya, setelah mencoba mereview dan menganalisis buku tersebut apa yang kita duga tidak demikian. Ternyata Tan Malaka bukan seorang komunis seperti yang di bicarakan orang. Meski paham Tan Malaka adalah seorang Marxisme tapi dia mencoba mendiskusikan dan melobi di tingkat komunis internasional untuk bergabung dengan Pan Islamisme memerangi imperialisme-kapitalisme.
Bagi mahasiswa, guru, dosen, pelajar, serta bagi peminat sejarah, politik, dan masyarakat luas.  Catatan review ini dihadapkan sangat bermanfaat sebagai bahan pelajaran untuk masa depan agar tidak terulang sisi gelap sejarah Indonesia, dan ini  dipersembahkan bagi tokoh pejuang nasional, meski sudah melabeli sebagai pahlawan nasional, akan tetapi arsipnya dihilangkan begitu saja oleh pemerintah Soeharto kala itu, dan dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki arti sesungguhnya bagi masyarakat karena dicap sebagai subversi yang akan menimbulkan semangat komunisme di Indonesia, akan tetapi kenyataannya sangat jelas bahwa perjuangan Tan Malaka sebagai pemikir bagaimana kita memahami substansi politik dan implementasinya untuk masyarakat dan negara. Khususnya jeratan imperialisme kolonialisme yang menyengsarakan rakyat.

0 komentar:

Entri Populer