Rabu, 13 Juni 2012

“Perburuan Rente” Kekuasaan 2009-2014

“Perburuan Rente” Kekuasaan 2009-2014

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Perburuan rente merupakan fenomena yang sering kita temukan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, atau kajian pelaku bisnis untuk mendapatkan kemudahan cara memperoleh keuntungan dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah (dengan atas nama publik), dengan memberikan hak-hak tertentu kepada satu, atau sekelompok orang pelaku bisnis dari lisensi atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dengan mendapatkan berbagai keistimewaan dalam usaha bisnisnya.
Pengertian rente juga sudah mendapatkan kajian pada studi ekonomi politik, rente disini merupakan sebagai imbalan yang tidak beresiko, dan paling mudah. Maka rente dalam analisis ekonomi politik yang dimaksud sebagai sifat pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dan modal yang seharusnya menjadi hak milik publik atau pelaku bisnis lainnya dengan persaingan yang sempurna tanpa ada campur tangan pemegang regulasi (pemerintah).
Dalam ekonomi klasik, rente merupakan perolehan yang wajar dan sah sebagaimana pelaku ekonomi (pemilik modal, tenaga kerja), sementara pelaku ekonomi yang mendapatkan rente (sewa) dari kepemilikan lahan atau tanah yang  bisa disewakan kepada investor lain. Aktor rente ini tanpa banyak mengeluarkan modal dan resiko besar sebagaimana pemilik modal dengan membangun perusahaan dan alat-alat produksinya, jika buruh/tenaga kerja akan mendapat imbalan atau upah dengan tenaga dan pikirannya. Kedua pelaku ekonomi (pemilik modal atau buruh) sangat beresiko dalam proses ekonomi. Jika perusahaan terancam bangkrut kalau usahanya tidak menguntungkan, sementara buruh akan kehilangan pekerjaannya.
Kendati demikian, pengertian rente dalam ekonomi politik akan menjadi negatif, jika seseorang atau pelaku bisnis mendapatkan keuntungan dari sekelompok orang karena mendapatkan keuntungan dengan kemudahan dari proteksi (perlindungan) dan privasi yang diberikan oleh pemerintah tersebut. Kemudahan itu muncul karena diberikan oleh pihak yang berkuasa untuk menentukan atau berkat kegigihan dari pengusaha untuk berburu hak dari pemerintah.
Karena amat mudahnya mendapatkan keuntungan maka menikmati rente amat mengasyikan. Hal ini menyebabkan ada kecenderungan masyarakat untuk sekedar berburu mendapatkan rente. Masyarakat yang mempunyai perilaku memburu rente, kemudian disebut dengan masyarakat pemburu rente. Aktivitas bisnis yang dilakukan bukan didasarkan oleh keterampilan usaha yang dimiliki berupa keuletan, kerja keras, dan kreativitas. Melainkan dilakukan karena mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan rente.
Kasus perburuan rente sudah diimplementasikan pada era kekuasaan Soeharto, dimana kerabat dekat yang menjadi rekan bisnisnya misal Bob Hasan dan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang terjun ke dunia bisnis mendapat keistimewaan fasilitas usaha dari “istana”. Sehingga bisnisnya lancar tanpa ada hambatan dari pesaing bisnis dari dalam maupun luar negeri yang mencoba membuka pasar di Indonesia. Mereka (pelaku bisnis) kroni-kroni Soeharto mampu memonopoli bisnis. Harga tinggi di pasaran tidak menjadi masalah karena tidak adanya pesaing sebagai pilihan bagi rakyat.
Bagaimana jika “perburuan rente” ini yang dimaksud dalam tulisan ini, dengan dimensi yang berbeda yakni pada permasalahan lain tentang pergelaran perebutan kekuasaan untuk menduduki jabatan politik (eksekutif dan legislatif) periode 2009-2014 mendatang. Apakah perebutan jabatan politik ada aktor-aktor ketiga yang menjadi “pemburu rente” ini akan terjadi. Jika saya mengamati pada pemerintahan SBY yang diusung oleh beberapa partai politik pendukung, terutama elit politik yang menjabat sebagai di dalam birokrasi khususnya menteri , akan mendapat tambahan “amunisi” dengan beberapa fasilitas agar sokongan suara pada pemilu mendatang minimal bisa tetap aman.
Keuntungan dari pemerintahan incumbent tersebut, mereka mampu menyusun strategi politik dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menurutnya populis, tapi sebenarnya hanya strategi kampanye pada pemilu mendatang. Misalnya dengan menurunkan harga BBM menjadi Rp 4.500 per liter. Tapi amat disangsikan bahwa pemerintahan SBY merupakan pemerintah yang berani menaikkan BBM lebih dari dua kali, dengan alasan mengikuti harga minyak dunia. Kalau memang SBY seorang nasionalis, mengapa negara penghasil minyak terbesar harus mengikuti harga minyak dunia, tanpa mampu melakukan bergaining position dengan kebijakan sendiri. Tapi yang patut dicatat adalah tentang penjegalan aturan calon presiden yang harus diusung oleh parpol, sehingga calon presiden yang tidak terlibat dalam parpol (calon independen) dipastikan tidak bisa mengikuti pesta demokrasi mendatang.  Dan masih banyak lagi agen-agen politik atau aktor-aktor politik, serta beberapa pengusaha yang berkeliaran disekitar pemerintah yang berusaha menjadi penjilat pemerintah untuk mendapat fasilitas istimewa dari negara. Mungkin aktivitas ini dianggap wajar dalam politik praktis di Indonesia saat ini.
Tapi yang harus diingat, jika budaya ini tidak segera diberantas dalam sistem politik di Indonesia. Maka posisi pemerintah (birokrasi) untuk melayani rakyat secara netral tidak akan pernah terwujud. Posisi pemerintah akan terus dipengaruhi oleh agen-agen politik oportunis yang menguntungkan secara sepihak. Sementara rakyat yang di luar lingkaran pemerintah hanya menunggu kebijakan yang populis pada masa-masa jabatan politik di eksekutif dan legislatif akan berakhir (biasanya kebijakan populis ini akan muncul setelah 4 tahun menjabat). Karena elit-elit politik akan memunculkan janji-janji surga kepada rakyat agar dukungan politik tetap aman.
Kendati demikian, bukan berarti situasi ini tidak akan bisa berubah. Perubahan politik di Indonesia yang amat demokratis dan pemerintahan yang mensejahterakan rakyatnya akan bisa terwujud. Jika adanya partisipasi dan peran aktif dari rakyat untuk terus mengawasi roda pemerintahan yang jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Masyarakat harus cerdas memilih aktor-aktor politik yang tepat, serta memiliki track record (reputasi) yang baik untuk menduduki kursi di eksekutif maupun legislatif. Agar sistem politik di Indonesia sesuai dengan hakekatnya untuk melakukan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya sebagaimana yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Mohammad Ali Andrias
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Siliwangi
Tasikmalaya




0 komentar:

Entri Populer