Rabu, 13 Juni 2012

Parpol Wajib Berbenah Menjelang Pemilu 2014


Parpol Wajib Berbenah Menjelang Pemilu 2014

Oleh : Mohammad Ali Andrias

Pergelaran pemilu 2014 memang masih dua tahun lagi . Namun hingga saat ini peserta pemilu (partai politik) masih mengkampanyekan secara simbol-simbol belum pada taraf sosialisasi dan kontrak politik yang ditawarkan, meski spanduk dan poster-poster bertebaran dimana-mana. Permasalahan yang terjadi di Indonesia belum sepenuhnya diatasi oleh partai politik tersebut. Mereka hanya bisa mengemukakan secara lisan, namun tidak ada realitasnya. Mungkin beberapa permasalahan seperti masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban lumpur PT Lapindo Brantas, yang hingga kini belum sepenuhnya mendapat ganti rugi dari PT Lapindo Brantas, penggusuran pasar-pasar tradisional dan pedagang kaki lima dengan alasan penertiban umum, namun penggusuran tersebut dimaksudkan ingin menggantikannya dengan pasar modern (mal atau hypermarket-Red). Kelangkaan pupuk bersubisidi bagi petani,  kasus korupsi yang semakin merajalela tanpa ada kepastian hukum yang jelas dari pengadilan, minimnya sarana dan prasarana pendidikan di tingkat daerah, rendahnya pendapatan petani miskin, belum pulihnya kondisi perekonomian Indonesia, permasalahan tingginya harga sembako di dalam negeri. Serta berbagai kasus lainnya yang menimpa masyarakat sipil ketika berhadapan dengan sosok yang bernama negara (state).   Tidak mampu diatasi secara maksimal oleh wakil rakyat dan partai politik (parpol), yang notabene sebagai manusia terpilih (ideal) yang mampu mewakili masyarakat dari kungkungan negara dan ekonomi global.
  Potret nyata yang ada di masyarakat ini telah memunculkan wacana yang serius bagi parpol yang akan menghadapi pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada 2009 nanti. Jika parpol tidak mampu mengatasi permasalahan sosial dan politik saat ini. Maka konsep dan arti yang buruk bagi parpol hanya sebagai lembaga atau institusi untuk mencari kekuasaan dan haus keuntungan ekonomi semata, bukan menjadi mitra hidup ketika rakyat sedang menghadapi kesulitan social, ekonomi dan politik.
Rakyat Indonesia yang semakin rasional pemikirannya ketika era reformasi digelar mulai 1998, kini semakin mempertanyakan keberadaan mesin politik bernama parpol yang semakin besar jumlahnya. “Parpol yang begitu beragam pada kemana ? Ngapain aja kerjanya ?”. Pada saat ini rakyat justru berada dalam situasi ketidakdilan dan termajinalkan oleh sosok negara dan pemimpin yang cenderung korup. “Apakah parpol terlihat sosoknya hanya pada saat pemilu akan digelar ?”. 
Jika kondisi demikian memang secara ‘sengaja’ dilaksanakan oleh parpol, konteks perpolitikan era reformasi Indonesia, sama artinya masih mengacu pada rezim Orde Baru, dimana masyarakat mengalami alienasi atau keterasingan ketika berhadapan dengan pemerintah. Dalam kondisi tertentu, rakyat hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan untuk meraup dukungan, tanpa diperhatikan kesulitan dan aspirasi yang dihadapinya selama ini.  
Sehingga tidak salah jika penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian politik sebelumnya, tahun 2009 pemilihan umum (pemilu) DPR atau Presiden dan Wapres diprediksikan tidak akan mencapai separuh lebih, bahkan ada dugaan pemilih golongan putih (golput) akan semakin membengkak sekitar 40% lebih dari pemilihan sebelumnya.
Seperti diberitakan oleh harian Seputar Indonesia edisi Kamis 20 Desember 2007, survei yang dilakukan Indo Barometer menyatakan bahwa kinerja parpol masih dinilai buruk. Mayoritas publik relatif tidak puas terhadap kinerja parpol saat ini. Berdasarkan data survei alasan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol sebanyak 47,5% tidak memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat, kinerja tidak dirasakan rakyat sebesar 28,5%, fungsi tidak berjalan seperti pengkaderan sebesar 19,5%, sementara sisanya 4,4% menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. Sementara untuk total jumlah tingkat kepuasan rakyat terhadap parpol hanya 30,1%, sedangkan yang tidak puas mencapai 54,6%
Terkait dengan ini pula, pemilih di berbagai daerah pada saat pemilihan kepala daerah (harian Kompas edisi Selasa 18 Desember 2007), rakyat sudah lebih rasional mencari sosok pemimpin yang terbukti gagal memperbaiki nasib rakyat tidak akan dipilih kembali, dan ini merupakan bentuk hukuman publik kepada pejabat atau partai politik yang sudah mendominasi sejak lama di suatu daerah pemilihan. Hal itu diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jerry Sumampow.
Bahkan, menurut Kepala Divisi Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Andy Agung Prihatna. Penyebabnya bukan karena pemilih mulai rasional, semakin banyaknya pemilih golput dan tidak memilih pejabat yang gagal mempertahankan pejabat bertahan, disebabkan lemahnya mesin politik dan kegagalan mereka mengkomunikasikan dirinya kepada pemilih.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya keterkaitannya dengan politik uang (money politic), menurut Andy, hampir tidak ada kandidat yang benar-benar bersih dari politik uang (money politic). Untuk menjadi gubernur, setidaknya diperlukan biaya politik Rp 400 miliar-Rp 500 miliar, sedangkan menjadi bupati atau walikota Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.
Keniscayaan money politic dalam proses politik di era reformasi sudah menjadi rahasia umum, bahkan dianggap sebagai prasyarat utama jika ingin menjadi pemenang pemilu, wakil rakyat atau pemimpin negara ini. Kondisi ini telah mencerminkan bahwa parpol belum bekerja dengan baik sebagai struktur yang mampu menjadi kendaraan sebagai pendidikan kepada rakyat. Struktur partai yang begitu kompleks seharusnya mampu menjalankan fungsi-fungsi partai sebagai alat untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi politik. Dengan optimalisasi fungsi pendidikan dan sosialisasi politik yang baik, masyarakat akan dapat memiliki wawasan, kompetensi, dan komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi, sosial dan politik di Indonesia.
Selain itu, keniscayaan terhadap uang menunjukan parpol belum berfungsi secara ideal dalam mempopulerkan kadernya yang hendak dijadikan sebagai wakil rakyat atau pemimpin. Secara teknis, ini terjadi karena lebih banyak parpol belum memiliki struktur sampai ke bawah. Karena itu, struktur parpol tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkenalkan kader-kader yang potensial menjadi pemimpin di kalangan masyarakat akar rumput (grass root). Bahkan kerap terjadi parpol bertindak sangat pragmatis dengan hanya merekrut atau mendukung individu yang sudah populer untuk dijadikan calon, walaupun popularitas itu bukan karena kemampuan, kompetensi, dan komitmen untuk mengelola struktur negara guna memperbaiki keadaan.
Jika kondisi demikian dibiarkan terus-menerus tanpa ada sumberdaya manusia yang memadai, dalam menghadapi situasi sosial dan politik dalam negeri. Maka lambat laun masyarakat semakin tidak percaya terhadap wakil rakyat, pemimpin atau partai politik yang dipilihnya secara langsung. Apalagi masyarakat kelas bawah semakin cerdas untuk memilih wakil rakyat, pemimpin, atau partai politik yang dianggap telah mewakili kepentingan dan aspirasinya. Jika partai politik tidak segera membenahi diri dengan menempatkan kader-kader politik yang cerdas, militan, dan mau mewujudkan cita-cita visi misi partai. Lambat laun partai akan segera ditinggalkan pemilihnya, bahkan dianggap sebagai partai yang tidak memiliki program yang jelas, dan hanya mencari keuntungan ekonomi semata.

Penyerdahanaan Parpol Atau Calon Independen ?
Berbagai seminar dan diskusi publik telah dilakukan oleh kalangan pakar politik dan akademis untuk menilik kinerja parpol selama runtuhnya rezim Orba. Berubahnya konstelasi politik Indonesia memasuki era reformasi diharapkan bisa membawa angin segar menuju demokrasi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Selama kurun waktu sepuluh tahun, banyaknya parpol berdasarkan Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur dalam seminar “Sistem Kepartaian dan Masa Depan Keindonesiaan” di Universitas Surabaya (Kompas edisi Selasa 18 Desember 2007) yang dihadiri mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, Sultan Hamengkubuwono X dan guru besar FISIP Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti. Banyaknya parpol telah mengakibatkan konflik politik sulit dikendalikan, sehingga permasalahan sosial dan ekonomi menjadi kurang diperhatikan. Karena itu, penyerdehanaan parpol wajar dilakukan, apalagi praktis sedikit parpol yang terlibat dalam pengambilan keputusan di parlemen.
Dalam pembicaraan tersebut, parpol didirikan untuk memperjuangkan cita-cita politik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, tujuannya tidak terlepas dari tujuan nasional yakni mengembangkan pengembangan yang demokratis, kesejahteraan rakyat dan memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.
Kendati bukan mekanisme seperti Orba, Akbar Tandjung mengharapkan, terjadinya penyederhanaan parpol sesuai dengan kesamaan idiologi dan platform. Penyerderhanaan parpol itu penting untuk rekrutmen dalam pemilihan presiden dan wapres. Namun kesemuanya itu harus ada dan aturan main yang jelas menggenai penggabungan parpol sebelum dan setelah pemilu.
Sementara itu, mengenai masalah calon independen yang akan menjadi pemimpin negara yang tidak terikat secara langsung dengan parpol, kiranya perlu ada hukum dan perundangan, serta komitmen yang jelas untuk mewujudkan sistem politik Indonesia yang ideal.
Jangan sampai ketika calon independen dimunculkan dan mendapat dukungan yang besar dari rakyat. Namun ketika memimpin malah diobok-obok oleh parpol yang dianggap tidak sejalan dengan visi dan misinya.
Tetapi kesemuanya itu, dengan komitmen parpol yang masih fluktuatif kinerjanya, diharapkan ada solusi, aturan main dan komitmen partai yang jelas untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Jangan sampai rakyat semakin kecewa dan menjadi korban dari sistem perpolitikan Indonesia.

Penulis :
Mohammad Ali Andrias
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya

2 komentar:

Kumpulan Karya Ilmiah mengatakan...

apakah mampu mereka para Elit politik menyederhanakan PARPOL ? sementara yang ada dibenak Fikiran mereka adalah MONEY.. hehe

Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si mengatakan...

sepertinya sangat sulit bagi DPR..menyederhanakan parpol..kalo lihat dari kepentingan dan tekanan dari pemikiran politik lain yg sulit disatukan...jika parpol dibatasi...jelas dianggap sebagai menghentikan semangat demokrasi...sementara adanya parpol tidak menjalankan fungsi-fungsi idealnya...sekarang ini tergantung dari mayoritas parpol yg ada di parlemen...apakah mereka berani mengambil keputusan...sementara komunitas lain legowo untuk turut bergabung dengan parpol besar...tanpa harus mendirikan parpol baru..

Entri Populer