Penataan Pasar
Wage Masih Jauh Dari Harapan
Pasar
tradisional saat ini masih menjadi icon
transaksi jual beli yang terkenal dengan ketidaknyaman, kumuh, dan penuh dengan
sampah yang berserakan. Kenyaman, kebersihan, dan keamanan untuk melakukan
transaksi ketika memasuki pasar, merupakan sesuatu yang mutlak dipenuhi saat
ini agar konsumen tertarik mengunjungi pasar tersebut. Namun ketiga syarat
tersebut ternyata masih dimiliki oleh pasar modern saja seperti Departemen
Store, Supermarket atau Mini Market yang sekarang ini terus booming perkembangangannya. Selain
strategi marketing yang ampuh coba dikerahkan untuk menarik konsumen, sarana
infrastruktur yang baik menjadi modal utama bagi pusat transaksi jual beli
tersebut.
Tidak halnya
demikian dengan pasar tradisional yang dibangun oleh pemerintah, yang
menggunakan dana APBD maupun bantuan pusat yang merogoh kocek cukup besar untuk
membangun sarana infrastrukturnya. Ketiga syarat mutlak yang sudah disebutkan sebelumnya,
kecenderungan bagi pasar tradisional masih jauh dari harapannya. Renovasi atau
penataan kembali pasar tradisional sebenarnya secara substansif, merupakan
langkah pemerintah untuk menyelamatkan eksistensi pasar tradisional yang
didominasi oleh pedagang kelas menengah ke bawah, agar tidak tergerus oleh
pasar modern yang terus merangkak naik untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya ditangan salah satu atau beberapa pengusaha besar.
Ketiga syarat
yang belum dimiliki pasar tradisional ini salah satunya adalah pasar wage.
Pasar yang sudah direlokasi tahun 2002
dengan menghabiskan dana Rp.14,5 miliar. Sebelumnya Pasar Wage
terbakar pada 2 Mei 2004 kemudian direnovasi dengan menggunakan anggaran APBD. Bantuan dari pusat Rp 1 miliar. Adapun total anggaran
renovasi sekitar Rp 1,735 miliar. Sumber pembiayaan renovasi Pasar Wage Rp 1
miliar dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan sekitar Rp 735 juta
dari APBD.
Pasar Wage adalah pasar induk terbesar di Kabupaten
Banyumas yang selalu ramai dikunjungi oleh konsumen dan pedagang dari wilayah
yang berbatasan langsung dengan Banyumas, maupun dari wilayah Priangan Timur
misalnya Tasikmalaya, Garut, Ciamis dan Banjar Jawa Barat. Serta berbatasan dengan Kabupaten Tegal, Pemalang,
Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Cilacap dan Brebes.
Kepedulian terhadap pasar wage ini, karena melihat potensi
dan posisi Banyumas yang belum dimaksimalkan oleh insan pemerintah dan
masyarakat. Memaksimalkan potensi pasar wage sangat srategis untuk meningkatkan
PAD dan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan memiliki makanan khas unggulan seperti
getuk goring, medoan, tempe keripik, dodol jenang, serta berbagai makanan khas
lainnya, serta tempat wisata Baturaden belum dimanfaatkan dengan menempatkan
pasar wage sebagai tempat strategis untuk dikunjungi oleh pelancong ke
Banyumas. Seperti halnya Yogyakarta dan Solo (pasar Klewer) menempatkan pasar
tradisionalnya sebagai tempat strategis untuk dikunjungi pelancong, situasi
demikian akan berdampak multidowan effect
kepada pemerintah setempat maupun masyarakat lapisan bawah.
Namun berdasarkan
data yang diperoleh dari berbagai sumber, para
pedagang yang tidak memiliki kios menolak pindah dari ke bangunan lantai dua.
Mereka menganggap relokasi tersebut akan mematikan usaha mereka, pedagang
menuntut agar petugas pasar menertibkan puluhan pedagang yang berjualan di
areal parkir dan tangga masuk menuju lantai dua. Keberadaan pedagang di lantai
bawah dan lokasi parkir itu membuat pembeli enggan naik ke lantai dua.
Akibatnya pendapatan pedagang yang menempati kios lantai dua menurun drastis
pendapatannya sekitar 50% lebih.
Meski sudah ada pengumuman
resmi nomor : 511.2/398/2011 yang belum lama ini dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi ( Dinperindagkop)
Kabupaten Banyumas, sebagai hasil kesepakatan dan koordinasi Dinperindagkop
dengan dinas dan instansi terkait. Kegiatan pedagang Pasar Wage Purwokerto
mulai dioperasionalkan. Dengan dioperasionalkan peraturan ini pedagang Pasar
Wage diharapkan telah berjualan di tempat yang telah ditentukan, yaitu di
lantai bawah-Blok A, B dan C) dan di lantai atas. Serta penertiban
oleh Satpol PP terhadap pedagang yang berjualan di areal parkir. Namun
situasinya sekarang ini kembali seperti semula, pedagang yang tidak memiliki
kios kembali ke lantai bawah dan memenuhi areal parkir. Kondisi demikian akan
menimbulkan bahaya laten jika tidak ada penertiban dari pemerintah setempat,
karena telah merugikan pedagang di lantai dua yang sudah membeli atau menyewa
kios.
Bahkan ketika menanggapi berita lokal pada tanggal 14 Juni 2011 tentang Banyumas Gagal
Meraih Adipura dikarenakan gagalnya penataan Pasar Wage dan PKL Jenderal Soedirman.
Jika ini benar bahwa kebijakan tersebut dianggap kontorversial yang dilakukan
dan niat yang tidak masuk akal ketika hanya untuk meraih sebuah penghargaan
harus mengorbankan begitu banyak rakyat yang terancam kelangsungan hidupnya
terutama di pasar wage Purwokerto. Pedagang yang tidak mendapat tempat layak
terancam bangkrut ketika harus naik ke lantai 2 yang penataanya sangat semrawut,
kumuh, sampah berserakan tanpa menghiraukan estetika dan etika tentang konsep
sebuah pasar tradisional.
Sebaiknya
pasar harus dijadikan tempat transaksi dan pusat ekonomi memiliki posisi yang strategis dalam
otonomi daerah saat ini. Otonomi daerah memberikan kesampatan kepada daerah
kabupaten untuk lebih berdaya dan mandiri, harus direspon secara tepat dan
cepat oleh pemerintah kabupaten yang tanggap dengan perubahan akan sangat cepat
membenahi infrastruktur demi pergerakan ekonomi secara cepat dan positif.
Pasar selain
sebagai bagian dari infrastruktur ekonomi yang strategis juga menjadi bagian
dari pemenuhan kebutuhan publik yang vital. Pasar yang tidak representative juga memberikan dampak
pada kepuasan publik terhadap pemerintah kabupaten. Pasar yang kumuh, tidak
tertib, tidak tersedianya fasilitas umum menjadikan pasar dijauhi oleh publik.
Pasar dengan
penjelasan di atas setidaknya menjadi hal penting dalam perkembangan kabupaten.
Hanya daerah-daerah yang mampu membenahi pasarnyalah yang mampu eksis dan meraih
keuntungan yang besar dalam aktivitas ekonomi. Pasar yang hidup dan dinamis
akan merangsang lahirnya usaha-usaha riil ekonomi, usaha riil ekonomi
diharapkan tidak hanya merangsang usaha-usaha ekonomi besar, tetapi juga usaha
menengah dan bawah.
Mohammad Ali Andrias, S.IP, M.Si
Pemerhati
Masalah Sosial dan Politik
Alumni Magister Ilmu Politik UNDIP
0 komentar:
Posting Komentar