Selasa, 03 April 2012

BHP, Paradigma Baru atau Privatisasi Pendidikan?

SUARA PEMBARUAN DAILY

               BHP, Paradigma Baru atau            Privatisasi Pendidikan?

Pengantar
Kalangan kampus dan pengamat pendidikan meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena dinilai dapat menghancurkan dunia pendidikan di Indonesia. Namun, pemerintah tetap bersikukuh bahwa UU BHP akan memajukan dunia pendidikan, dan akan ada rambu-rambu yang mengaturnya. Wartawan SP, Willy Masaharu, menyoroti masalah tersebut dalam tulisannya di bawah ini.
ancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang segera akan diundangkan telah menimbulkan kegusaran dan kecemasan luar biasa di kalangan masyarakat, terutama penyelenggara perguruan tinggi.
Kegusaran itu karena beberapa hal, di antaranya dalam RUU BHP ditengarai tidak juga tampak adanya kesadaran pengambil kebijakan negara terhadap tanggung jawab untuk memikul amanat fundamental UUD 1945 dalam hal "mencerdaskan kehidupan bangsa" dengan menyediakan pendidikan yang baik bagi segenap warganya. Ini dianggap pengingkaran terhadap tujuan Proklamasi 1945.
Alih-alih mengambil tanggung jawab pendidikan yang kurang optimal, perumus, dan pengambil kebijakan negara justru bermaksud hendak menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan mahal. Implikasinya jelas, pendidikan yang baik hanya layak dinikmati oleh masyarakat yang mampu.
Peranan swasta yang terlembaga dalam badan penyelenggara yang telah berjasa memikul tanggung jawab negara justru akan dipinggirkan begitu saja dan hanya diberi ruang terbatas.
Sampai kini pun pemerintah tetap bersikukuh pada argumentasi bahwa hanya dengan mem-BHP-kan dunia pendidikan, maka pendidikan nasional akan maju dan mendunia, khususnya perguruan tinggi akan menuju world class university. Selain itu, BHP akan menjadi kekuatan moral bagi pembangunan nasional.
Namun, argumentasi ini ditolak mentah-mentah oleh sekelompok pemerhati dan pakar pendidikan. Kelompok ini, membaca BHP sebagai bentuk dari liberalisasi dan privatisasi pendidikan. Akibatnya, kaum marginal kian sulit memperoleh akses pendidikan bermutu.
Otonomi Kampus
Otonomi kampus dilatarbelakangi oleh krisis yang dialami oleh negara ini, di antaranya mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar. Pendidikan kemungkinan adalah vaksin terbaik dan satu-satunya untuk melawan dampak terburuk yang diakibatkan oleh globalisasi. Karena itu, perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan.
Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional.
Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, kata Satryo, pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Mendiknas tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.
Perubahan format perguruan tinggi menjadi BHP memungkinkan otonomi seluas-luasnya. Dengan demikian, rektor lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi.
"Otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju world class university. Sebab, selama ini perguruan tinggi terjerat dalam struktur dan mekanisme birokrasi, yang pada kenyataannya rektor justru tunduk kepada para pejabat di eselon tiga atau empat yang ada di Depdiknas dan Depkeu," kata Mendiknas Bambang Sudibyo.
"Ini yang ingin kita lakukan, liberalisasi dalam arti rektor dibebaskan dalam kungkungan seperti itu. Tentunya rektor jauh lebih cerdas dari pada bawahan saya yang eselon tiga dan empat," ujarnya. Dia berharap, perguruan tinggi memiliki basis struktural yang betul-betul memadai untuk kemudian berkreasi dan melakukan berbagai macam inovasi.
Menurut Bambang, untuk mencapai universitas bertaraf dunia, perguruan tinggi memang harus berbenah dalam tata kelola dan tata pamong, yakni dengan menerapkan format BHP.
"Sebab, dengan BHP ini perguruan tinggi memiliki otonomi yang luas sehingga secara struktural betul-betul menjadi world class university," katanya.
Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan, dengan perubahan format menjadi BHP, perguruan tinggi memiliki otonomi seluas-luasnya dalam hal akademik, keuangan, administrasi, personalia, dan yang lainnya. Otonomi ini, kata Bambang, disertai dengan accountability seoptimal mungkin di mana setiap tahunnya rektor harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Menteri Keuangan dan Mendiknas.
"Kepemimpinan dan pengelolaan selama satu tahun harus dipertanggungjawabkan oleh rektor kepada senat, majelis wali amanah, auditor eksternal, akuntan publik, dan Menteri Keuangan serta Mendiknas," tuturnya.
Hal lainnya, menurut Bambang, pembenahan yang harus dilakukan untuk menuju world class university adalah pembenahan kinerja dalam tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyakarat. Komitmen world class, menurut Bambang, artinya pendidikan, penelitian, dan pengabdiannya pun harus berbasis pada pendidikan dan penelitian yang kelas dunia juga.
Manjadi Payung
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor, Sofian Effendi, mengatakan, RUU BHP yang selama empat tahun ini menuai kontroversi, sebaiknya tidak ditujukan sebagai bentuk penyeragaman. RUU BHP cukup sebagai payung hukum bagi berbagai bentuk badan hukum yang sudah digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
"Ide BHP semula hanya untuk melindungi otonomi dunia pendidikan dan memudahkan ruang gerak lembaga pendidikan. BHP semula diharapkan dapat menjadi payung bagi berbagai bentuk badan hukum yang lebih dulu digunakan institusi pendidikan, seperti bentuk yayasan, wakaf, badan hukum milik negara, dan persatuan. Karena itu, saat ini masih menggodok RUU BHP itu. Semoga berbagai aspirasi bisa dipertimbangkan," ucapnya.
Dia mengatakan, kesan pendidikan dijadikan komoditas dagang dan komersialisasi kian kental. Terlebih lagi dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Dalam peraturan tersebut, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49 persen.
Abaikan Konstitusi
Sementara itu, kelompok pemerhati dan pakar pendidikan menilai RUU BHP sebagai produk hukum yang mengabaikan konstitusi bangsa. Hal ini karena muatan BHP mengarah kepada privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Dengan demikian, anak-anak bangsa dari strata sosial paling rendah kian sulit untuk memperoleh akses pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, RUU BHP harus ditolak. "Roh BHP adalah mengabaikan nilai luhur Pancasila," tegas pakar pendidikan HAR Tilaar, dalam sebuah diskusi mengenai BHP, di Jakarta, baru-baru ini.
Dia mengatakan, dalam BHP banyak sekali agenda terselubung yang tidak diketahui masyarakat. Misalnya, tujuan BHP adalah persaingan yang diserahkan kepada mekanisme pasar. "Persaingan dalam esensi pendidikan nasional sama sekali bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," katanya.
Dia menerangkan, jika akhirnya BHP tetap disahkan maka BHP ini sangat prematur. Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik. "Kita ini negara miskin. Human Development Index pada tahun lalu posisi kita berada pada urutan 108 dari 177. Ini berarti, kita memang belum mampu. Kalau memang ingin BHP lebih baik 20 atau 30 tahun kemudian. Itu pun melalui kajian yang mendalam dan dilandasi dengan roh pendidikan bangsa ini," katanya.
Di Amerika, kata Tilaar, UU Wajib Belajar sudah diterapkan pada pertengahan abad 19. Pada tahun 2001, Amerika kembali menelurkan kebijakan dengan slogan "No Child Left Behind." "Artinya, setelah kurun waktu yang begitu panjang, Amerika ternyata sangat concern dengan pendidikan. Kita masih terlalu dini," ucapnya.
Tilaar mengemukakan, pasal-pasal yang termaktub dalam RUU BHP tidak ada yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. "Kenyataannya, persaingan menjadi tujuan BHP. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib jutaan anak bangsa di strata terendah ingin mengenyam pendidikan di Tanah Air," katanya.
Karena itu, kata Tilaar, RUU BHP sebaiknya dibatalkan. Menurutnya, penyusunan RUU BHP menggunakan pendekatan free market sebagai pisau analisisnya yang menganalogikan lembaga pendidikan sebagai komoditas ekonomi.
Pandangan serupa disampaikan pengamat pendidikan, Winarno Surakhmad. Menurutnya, keterbatasan itu mengakibatkan "inti permasalahan pendidikan" yang fundamental tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan. Mem-BHP-kan dunia pendidikan seperti yang dicanangkan pemerintah beserta segala beserta segala implikasinya (terutama privatisasi dan komersialisasi), serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperhitungkan akan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat.
Masih harus dimasalahkan apakah mati hidupnya pendidikan nasional dewasa ini ditentukan ada tidaknya BHP. Sedikitnya, gagasan ini dapat membunuh inisiatif, kreativitas, dan spontanitas masyarakat, apabila diterapkan dengan diagnosis yang salah, dan dengan terapi yang salah, walaupun dengan niat yang betul. Dalam hubungan itu, fokusnya ialah apakah wacana BHP dapat dan perlu dihormati sebagai intervensi kependidikan yang "berkualitas konstitusional".
Fokus ini penting, sehingga tidak perlu melayani gagasan yang lebih tertarik oleh bentuk dari pada subtansi dan tidak perlu risau mengadakan pendidikan yang gratis kalau tidak bermutu. "Kita tidak perlu berbicara tentang pendidikan yang bermutu kalau tidak terjamin konstitusional," katanya.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin melambung. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan hanya akan menjadi sebuah impian bagi sebagian besar warga negara negeri ini.
Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi. Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak dari pada golongan mampu.
Di samping itu, akan terlihat dampak ikutannya, yakni dampak psikis yang mungkin akan muncul jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Karena itu, menjadikan pendidikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat tanpa melihat strata sosialnya adalah keputusan yang sangat bijaksana. *

Last modified: 7/11/07

0 komentar:

Entri Populer