Rabu, 18 April 2012

Obral Interpelasi oleh DPR

Sumber : MediaIndonesia.com
Kamis, 19 April 2012




OBRAL INTERPELASI

KONSTITUSI kita memang mengenal rupa-rupa hak yang dimiliki anggota DPR, salah satunya hak interpelasi. Hak bertanya tersebut bisa digunakan kapan pun, sepanjang terkait dengan kebijakan pemerintah yang berdampak besar terhadap masyarakat. 

Namun, kian hari penggunaan hak interpelasi DPR cenderung bersifat kenes, latah, bahkan genit. Banyak hal yang mestinya cukup diselesaikan dengan rapat kerja atau dengar pendapat harus diinterpelasi. 

Akibatnya, interpelasi tidak mendasarkan diri pada prinsip yang dianggap urgen dan membawa dampak yang luas buat bangsa dan negara, tetapi sudah terkesan obral dan murahan. 

Itu pula nuansa yang tertangkap dari hak interpelasi yang sempat diajukan 38 anggota DPR dari 7 fraksi, sebagian besar dari Fraksi Partai Golkar, terhadap Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor 236/2011 yang diteken Dahlan Iskan. Menteri bergaya 'koboi' itu diinterpelasi karena dianggap ngeyel dalam tiga kali rapat dengan Komisi VI yang membidangi BUMN. 

Dahlan menolak desakan dewan agar merevisi SK tersebut. Komisi VI meminta revisi karena SK tersebut dinilai melanggar sejumlah pasal dalam undang-undang, terutama UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 

Pasal-pasal dalam UU itu mengatur penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, presiden, dan atau menteri keuangan, sesuai dengan tingkat kewenangan masing-masing. Dalam SK menteri BUMN, wewenang itu bisa dilimpahkan kepada direksi BUMN. 

Selain itu, ada beberapa poin dalam SK yang dikeluarkan Dahlan Iskan tersebut yang juga dianggap melanggar sejumlah undang-undang. Di antaranya poin tentang penunjukan direksi BUMN tanpa melalui mekanisme rapat umum pemegang saham, penunjukan direksi BUMN tanpa melalui tim penilai akhir, pengangkatan kembali direksi BUMN yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana laporan Badan Pemeriksa Keuangan, serta pengangkatan kembali direksi BUMN untuk masa jabatan ketiga kalinya. 

Atas penolakan merevisi 'daftar dosa' itulah Dahlan sempat hendak diinterpelasi. Alih-alih merevisi SK, sang menteri malah membawa SK tersebut ke Mahkamah Agung untuk dimintakan fatwa. 

Dari sudut hak, interpelasi oleh 38 anggota dewan itu sah dilakukan. Sah karena sudah memenuhi syarat dukungan minimal 25 anggota DPR, seperti diatur UU Nomor 27 Tahun 2009. 

Akan tetapi, interpelasi kepada Dahlan Iskan yang meneken surat tersebut bisa jadi salah alamat. Seorang menteri tidak bisa dikenai interpelasi. Mengapa? 

Dalam sistem pemerintahan presidensial yang kita anut, menteri itu hanya pembantu presiden. Hak interpelasi dilakukan dengan mempertanyakan suatu kebijakan kepada presiden. 

Akhirnya, dukungan terhadap interpelasi itu rontok di tengah jalan. Sejumlah fraksi menarik pengajuan interpelasi. 

Terlalu besar wibawa interpelasi DPR digunakan hanya untuk mempersoalkan kewenangan menteri BUMN yang amat mungkin melakukan kesalahan prosedur dan administrasi. Kalau persoalannya hanya karena seorang menteri menolak tunduk dari tekanan DPR untuk merevisi surat keputusan lalu diinterpelasi, jangan-jangan nanti ada dirjen yang ngeyel dan tidak mau patuh diancam dengan alat serupa. Lalu, setelah gertak sambal interpelasi diluncurkan, pelan-pelan mereka mundur. 

Jika seperti itu caranya, apa yang dilakukan anggota dewan tak ubahnya preman pasar yang mengancam memorak-porandakan lapak pedagang yang menolak membayar rupa-rupa upeti

0 komentar:

Entri Populer