Rabu, 18 April 2012

Birokrasi dan Kultur Kesetaraan


Birokrasi dan Kultur Kesetaraan
Oleh Trisno Yulianto





KIPRAH perempuan selalu dipersoalkan dalam tatanan masyarakat yang masih memegang budaya patriarki. Perempuan sering dianggap “pelengkap” (the second position) dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial. Perempuan tidak pernah direstui tampil menjadi pemimpin di bidang kerja yang mereka geluti.

Arus keterbukaan demokrasi, yang memungkinkan adaptasi nilai-nilai kesetaraan gender atas posisi perempuan di ruang publik, masih berjalan setengah-setengah. Perempuan tetap mengalami tahap peminggiran dalam area kompetisi di ruang publik. Begitu pula nasib dan eksistensi perempuan di lingkup birokrasi.

Perempuan di lingkup birokrasi masih dianggap kanca wingking dalam relasi kerja yang masih kentara menempatkan dominasi peran lelaki. Perempuan acap mengalami kebuntuan karier ketika menjelajahi karier kepemimpinan di birokrasi. Sedikit perempuan yang mampu menapaki jejak sebagai kandidat pemimpin di bidang kerja di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Problem Domestik

Hal itu selama ini menjadi persoalan dalam akomodasi program kesetaraan gender dalam tata kelola pemerintahan. Ada beberapa kenyataan yang terjadi pada posisi perempuan di kancah profesi di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Pertama, perempuan sulit meraih posisi tertinggi, jabatan tertinggi dalam dimensi karier birokrasi, karena status keperempuanan mereka. Dalam tata kelola pemerintahan lokal, terutama di daerah, sangat sulit atau bahkan mustahil perempuan mampu menapaki karier dan berkompetisi dalam meraih jabatan puncak birokrasi. Karena, kultur feodalisme dan patriarki masih menjadi domain kekuasaan kaum lelaki.

Kedua, secemerlang karier dan semilitan pekerjaan perempuan, masih tidak dianggap “pas” dan ideal bila menjadi sosok pemimpin dalam penjenjangan birokrasi. Stereotipe gender menempatkan perempuan seolah tak memiliki karakter yang kuat dan mumpuni sebagai pemimpin bidang kerja birokrasi. Perempuan diidealkan sekadar sebagai pamong praja yang mengurusi persoalan administrasi.

Ketiga, perempuan terhambat persoalan “biologis” dan definisi seksualitas ketika menapaki karier birokrasi. Sebab, waktu mereka sering tersita oleh problem domestik, tak memiliki waktu sepenuhnya untuk berkompetisi dengan para lelaki. Itu dianggap sebagai handicap jenjang karier bagi perempuan.

Setengah-setengah

Banyak daerah pada era otonomi daerah belum mengakomodasi program tata kelola pemerintahan lokal yang berparadigma keadilan gender. Kalaupun paradigma tata kelola pemerintahan lokal dan birokrasi rasional mendekati gagasan keadilan gender dijalankan, itu masih bersifat setengah-setengah. Tak ada keikhlasan bagi para lelaki yang mendominasi jenjang karier untuk membiarkan kehadiran “jalan tol” bagi pemuliaan karier perempuan.

Penelitian lembaga Kemitraan (Partnership For Governance Reform) tahun 2003 tentang gender dan tata kelola pemerintahan lokal menyajikan data yang ironis. Perempuan bisa mencapai karier politik birokrasi melalui kompetisi demokratis semacam pemilihan kepala daerah langsung, tetapi tidak mungkin, atau sangat jarang, mampu meraih puncak karier sebagai pemimpin administrasi dan kebijakan pemerintahan di daerah. Secara lugas bisa dikatakan, banyak perempuan bisa meraih posisi sebagai bupati/gubernur/wali kota. Namun sedikit yang bisa menjadi sekretaris daerah.

Itu menunjukkan fakta, posisi dan eksistensi perempuan di lingkup kerja birokrasi di banyak daerah belum dianggap sebagai mitra sejajar dan pesaing kompetisi para abdi negara yang berkelamin lelaki. Kultur kesetaraan yang substansial dan bukan wacana belum dijalankan oleh tata kelola birokrasi. Birokrasi yang memiliki ikatan sejarah kolonialis mataraman masih mengedepankan superioritas lelaki.

Lelaki adalah pemimpin dan lelaki memiliki kekuatan untuk mengendalikan berbagai sumber daya manusia dalam domain pemerintahan di daerah. Lelaki memiliki talenta kepemimpinan birokrasi yang jauh lebih unggul ketimbang perempuan. Sebuah paradigma yang keliru dalam dimensi nilai pembaruan.

Hal itu boleh jadi akan memandulkan potensi dan ekspresi talenta kepemimpinan perempuan di lingkup birokrasi. Dan, seharusnya diakhiri dengan perubahan kultur dan kebijakan struktural yang prokeadilan gender. Kultur kesetaraan adalah keniscayaan bila masyarakat dan pengelola negara memiliki keinginan kuat memajukan fungsi birokrasi sebagai institusi pengemban amanat pelayanan publik.
Spirit pelayanan publik dalam dimensi filosofis sangat selaras dengan karakter perempuan. Perempuan adalah sosok kolektif yang memiliki jiwa “pamomong” yang bisa “mengasuh” kepentingan masyarakat. 

Perempuan pemimpin birokrasi administrasi memiliki nilai lebih karena mampu memahami perasaan publik; perasaan publik tentang kepuasan akan pelayanan birokrasi. Sebuah item dari persepsi kinerja birokrasi dalam pandangan masyarakat, yang selama ini menjadi tolok ukur umum tata kelola pemerintahan pada era otonomi daerah. (51)

- Trisno Yulianto, pegawai Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemerintahan Desa (Bapermas) Magetan, Jawa Timur (/)

0 komentar:

Entri Populer