Kekuasaan
Legislatif
Oleh : Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si
Pengantar
Negara
sebagai organisasi modern yang dibangun untuk mencapai tujuan bersama dari
seluruh rakyatnya. Tujuan negara itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat maya
atau semu. Tujuan negara tidak akan pernah bisa dicapai sampai kapanpun. Karena
begitu dicapai berarti eksistensi negara sudah tidak berarti lagi alias selesai
tugasnya. Untuk itulah, tujuan negara meskipun dibahasakan misalnya untuk
menciptakan adil, makmur dan kesejahteraan ekonomi. Merupakan sesuatu yang amat
relatif tidak mutlak. (Wahidin, 2007 : 36)
Negara
memiliki fungsi yang sifat prosesnya dalam rangka mencapai tujuan negara
tersebut. Mulai abad XVI telah dikenal fungsi dari negara yang sifatnya
sederhana yang menjadikan organisasi negara bersifat abadi. Kelima fungsi
dimaksud adalah : a) fungsi diplomatic, b) fungsi defencie, c) fungsi financie, d) fungsi
justice, e) fungsi policie. Kelima fungsi itu terutama adalah sebagai
antiklimaks dari sistem pemerintahan negara yang ada pada umumnya bersifat
diktator. Pemisahan kekuasaan yang lebih tertata, sehingga kekuasaan di dalam
negara didistribusikan berdasarkan prinsip memihak rakyat dalam arti tidak
menindas rakyat, yang notabene adalah pemilik negara.
Pemahaman tentang Legislatif
Konsep Latum diambil dari bahasa latin yang
artinya (membuat atau mengeluarkan). Leges
juga berasal dari bahasa yang sama artinya Undang-Undang. Undang ini
dimaksudkan dalam pemaknaannya yang bersifat formal, bentuk hukum yang dibuat
oleh Badan Pembentuk Undang-Undang yang secara umum adalah lembaga perwakilan
yang dipilih melalui mekanisme pemilu yang demokratis di negara yang
bersangkutan. Dengan demikian legislatif lebih ditekankan pada pemaknaan
sebagai lembaga pembuat peraturan, bukannya sebagai lembaga yang membuat kebijakan.
Dalam
perkembangan ketatanegaraan merupakan refleksi dari kedaulatan rakyat.
kedaulatan rakyat merupakan bentuk konkret dari idealisme, bahwa di dalam
negara rakyatlah yang berdaulat sepenuhnya. Rakyat memberi legalitas dan
kekuasaan kepada negara yang direpresentasikan kepada pemerintah untuk
melindungi diri terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki negara.
(Wahidin, 2007 : 38).
Ihwal
subtansi dari mekanisme perwakilan ini sebenaranya berangkat dari filosofi
subtansial yang senantiasa berubah menurut tempat dan waktu. Namun intinya
tetap sama yakni, apakah orang-orang yang bertindak sebagai wakil di dalam
mekanisme perwakilan itu benar-benar mewakili kehendak (aspirasi) dari banyak
orang yang diwakili. Secara teoritik mengedepankan asumsi bahwa
keberhasilan seorang wakil adalah, jika ia dapat mengakomodasikan aspirasi dari
seluruh orang yang diwakilinya. Semakin sedikit, atau bahkan jika seorang wakil
tidak dapat mewakili aspirasi orang yang diwakilinya, maka dapat dikatakan
bahwa kedudukannya sebagai seorang wakil telah gagal.
Logikanya
memang tidak mungkin seorang wakil akan mampu mengakomodasikan begitu banyak
aspirasi, bahkan dalam jumlah ratusan ribu atau jutaan orang. Apalagi dalam
saat yang sama. Sementara itu, aspirasi dari orang-orang yang diwakili itu
sudah barang tentu tidak sama antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu
logikanya memang tidak mungkin seorang wakil benar-benar bisa memenuhi aspirasi
semua orang yang diwakilinya. Namun jika asumsi itu diturunkan maka setidaknya sebagian
besar dari orang-orang yang diwakili sudah merasa bahwa kepentingannya,
terutama yang berkenaan dengan kehidupan bersama telah diwakili maka itu sudah
dipandang cukup.
Sehubungan
dengan kenyataan di atas maka sejatinya
mekanisme perwakilan, secara khusus adalah hubungan antara wakil dan terwakil
itu berhubungan erat dengan antara wakil dan terwakil berhubungan erat dan
berkesinambungan, dengan tingkah laku dalam bentuk individual dan untuk itu ada
pengembangan teori kaitan yang membuat rekonstruksi tentang idealisme hubungan
antara wakil dengan orang yang diwakili.
0 komentar:
Posting Komentar