Paranoid politik bagi kalangan elite-elite politik
yang sudah merasakan “manisnya” kekuasaan memang pasti terjadi. Mereka menjadi
paranoid karena tidak ingin kekuasaan yang sudah diperoleh susah payah, runtuh
dan meninggalkan cacat politik yang menjadi catatan sejarah politik yang tidak
terlupakan. Keadaan ini sepertinya sedang dialami oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang terus mengalami kegelisahan dan ketakutan bahwa pemerintahan
jilid II-nya tidak akan berlangsung lama. Tak bisa dipungkiri dua skandal besar di
awal pemerintahannya, yang berkaitan dengan adanya kriminalisasi KPK dengan
penahanan Bibit-Chandra. Serta adanya perampokan uang rakyat lewat bailout Bank Century yang diduga
melibatkan Sri Mulyani dan Boediono sebagai orang yang paling dekat dengan SBY.
Skandal besar ini telah meresahkan masyarakat Indonesia , karena dunia politik dan
hukum di Indonesia
telah dimanipulasi demi kepentingan politik segelintir elit politik.
Paranoid
politik yang dialami SBY terus menjadi. Kecurigaannya terhadap aktivitas Gerakan
Politik yang diprakarsai oleh Gerakan Indonesia Bersih (GIB) untuk memperingati
hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember 2009, merupakan gerakan yang
mempunyai motif politik untuk menggoyang pemerintahan, serta menjatuhkan
dirinya dari kursi kepresidenan. Pernyataan-pernyataan SBY terhadap aksi
tersebut dilakukan berkali-kali dihadapan media massa . Pernyataan itu dipertegas di hadapan
kader Partai Demokrat, dalam rapat pimpinan nasional (rapimnas) ke-3 kemarin.
Pernyataan
Presiden SBY untuk menanggapi tentang aksi massa yang mempunyai motif politik
dalam aksi peringatan Hari Antikorupsi 9 Desember, merupakan cerminan bahwa
pemimpin politik kita tidak percaya diri, sangat berlebihan dan tidak produktif
bagi seorang pemimpin tertinggi bangsa ini, yang katanya dipilih oleh rakyat
lebih dari 60% pada pemilu kemarin. Aksi-aksi atau demo yang dilakukan oleh
sekelompok orang seperti memperingati Hari Buruh, pastinya ada gerakan politik
atau motif politik di balik aksi tersebut. Ada sekelompok orang yang menjadi “penumpang
gelap” untuk memanfaatkan situasi tersebut. Hanya saja, pemerintah tidak perlu
merespon berlebihan di depan publik, presiden dengan kewenangannya memberikan
instruksi kepada aparat keamanan untuk tetap siaga dan waspada agar aksi
tersebut tidak menjadi anarkis.
Namun dari pernyataan Presiden SBY yang terus
dilakukan berkali-kali ketika berpidato, justru berpotensi menimbulkan
keresahan di kalangan masyarakat, Itu bukan statement
seorang negarawan dengan mencari-cari kambing hitam siapa pelaku dari aksi
tersebut, gaya-gaya otoritarian pemerintahan Soeharto sedang dicoba oleh SBY.
Seharusnya, sebagai kepala negara dan tidak terlibat dalam dua skandal besar
tersebut, SBY memberikan dukungan terhadap aksi perang melawan korupsi tersebut
kalau memang benar-benar memiliki komitmen yang sama untuk memberantas
koruptor-koruptor di lembaga negaranya selama dia memimpin.
Inkonsistensi Pemerintah
Saat
inipun komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi sedang diuji, kali ini sedang
disusun Rancangan Peraturan Penyadapan (RPP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Jika ini terealisasi bahwa kinerja KPK untuk melakukan penyadapan
terhadap pelaku-pelaku koruptor, akan sangat jelas bahwa pemerintahan SBY saat
ini sedang memandulkan peran KPK untuk memberantas korupsi di negeri ini. Peran
SBY seperti Dewa Janus yang memiliki muka dua, yang berbeda sifat dan
pemikiran. Di satu sisi SBY komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi
dalam program pemerintahan jilid II-nya, tapi disisi lain ingin memandulkan
peran KPK dengan menyusun ulang tentang RPP KPK, yang dinilai telah terlalu
jauh melakukan penyidikan.
Penyidikan
KPK dengan melakukan penyadapan telepon begitu ampuh menggiring pelaku koruptor
ke penjara, kita tahu kasus Jaksa Urip, Arthalita Suryani, Amin Nasution
(Mantan DPR Komisi IV), Hamka Yamdu, dan beberapa koruptor lain. Jika kinerja
teknis ini coba diminimalisir, peran KPK hanya sebatas sebagai simbol, tetapi
tidak mampu melakukan fungsi sebagaimana mestinya. Memberantas korupsi dari
budaya yang sudah mengakar bertolak dari niat politik dan political will pemerintah, khususnya menuntaskan pengusutan Skandal
Bank Century yang telah menelan keuangan negara 6,7 triliun. Antusiasme
masyarakat Indonesia terhadap kepemimpinan SBY untuk memberantas korupsi tak
bisa dipungkiri, simbol ketidakpuasan masyarakat terhadap peran SBY dalam
mengungkap skandal ini terkesan ragu-ragu, hati-hati dan bahkan diduga enggan
membongkarnya terus mencuat. Ketidaktegasan SBY dalam kasus tersebut juga
menimbulkan teka-teki di masyarakat, “jangan-jangan SBY terlibat dalam
perampokan dana talangan Century tersebut”.
Sebab
itulah berbagai elemen masyarakat ribuan massa
yang menggelar aksi Hari Anti Korupsi Dunia merupakan simbol delegitimasi
pemerintahan SBY sebagai presiden yang inkonsisten dalam pemberantasan korupsi.
Citra pemerintahan yang bersih dan konsisten memberantas korupsi, kini mulai
terkikis dan runtuh. Masyarakat mulai bertanya dan menuntut SBY agar serius dan
tidak lamban dalam pemberantasan korupsi. Runtuhnya citra tersebutlah yang
sebenarnya sangat dicemaskan oleh SBY sehingga wajar jika dikatakan SBY sedang
mengalami Paranoid Politik.
Mohammad Ali Andrias.,S.IP.,M.Si
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas
Siliwangi Tasikmalaya
0 komentar:
Posting Komentar